Share

Bab 10

Author: Lilia
Berlutut di depan komputer, menatap berkas video yang memojokkan, aku mengeluarkan ponsel dan menekan nomor Hendra Permana.

"Ayah," kataku, suaraku berat oleh air mata yang belum jatuh.

"Ada apa? Kupikir kau akan memutuskan hubungan denganku." Suaranya dingin dan terkejut.

"Aku cuma ingin tanya satu pertanyaan. Tiga tahun lalu, apakah Vincent menawarkan untuk mendisiplinkanku?"

Beberapa detik hening terdengar di ujung telepon.

"Bagaimana kau tahu?"

Aku menutup mata. "Jadi itu benar."

"Vincent menawarkan proyek pelabuhan senilai 3,2 triliun padaku sebagai imbalan untuk kesempatan mengawasi dan mendisiplinkanmu." Suara Hendra dingin dan pragmatis. "Aku tidak tahu bagaimana kau menyinggungnya, tapi kupikir sedikit pendidikan tidak akan menyakitimu. Jadi aku setuju."

Aku langsung menutup telepon.

Harapan terakhir yang bahkan tak kusadari sedang kupegang... Hilang begitu saja.

Vincent mendekati aku, tidur denganku, mengendalikanku, semua itu demi balas dendam. Demi Isabel.

Aku mulai tertawa lagi. Pelan di awal, lalu semakin keras, suara histeris memenuhi ruangan steril dan rahasia itu.

Aku tertawa sampai air mata turun, sampai napas pun tersengal.

Saat akhirnya lelah, aku menghapus air mata dan berdiri.

Aku pergi ke kamar utama dan mengambil koper yang sudah aku kemas sebelumnya.

Dari laci meja samping tempat tidur, aku mengambil paspor dan tiket pesawat ke Arunika.

Aku menatap sekali lagi ruangan itu, tempat yang pernah kuanggap rumahku dengan bodohnya.

Di ruang tamu, aku mengambil pemantik emas padat dari kotak cerutu Vincent.

Itu hadiah pertama yang pernah dia berikan padaku. Aku dulu menganggapnya berarti sesuatu yang istimewa.

Sekarang aku tahu, itu hanyalah tanda pemburu pada mangsanya.

Aku menyalakannya. Api menari di cahaya remang.

Lalu aku melemparkannya ke tirai sutra tebal.

Api menyebar dengan kecepatan mengerikan, melahap setiap kenangan, setiap kebohongan, setiap hantu di rumah itu.

Aku menyeret koperku ke pintu dan menoleh ke ruangan yang sekarang diterangi oleh api yang ganas dan lapar.

Selamat tinggal, Vincent.

Selamat tinggal, diriku yang dulu.

Setengah jam kemudian, suara sirine mobil pemadam kebakaran mengisi lingkungan mewah itu.

Aku duduk di koper di trotoar seberang jalan, menyaksikan semuanya terjadi.

Api menjilat langit malam, mengubahnya menjadi merah neraka.

Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti mendadak. Vincent meloncat keluar, wajahnya membeku melihat rumahnya yang kini menjadi lautan api.

Dia melihat sekeliling panik, matanya mencari-cari, akhirnya jatuh ke arahku.

"Sofia!" teriaknya sembari berlari ke arahku. "Apakah kau terluka?!"

Aku hanya menatapnya, diam.

"Kenapa kau membakar rumah? Baiklah, bakar saja. Apakah itu membuatmu merasa lebih baik sekarang, Putri?" Suara Vincent terdengar lelah dan frustrasi.

Aku tetap diam, berdiri, dan mulai melangkah pergi, menyeret koper di belakangku.

Vincent menghalangi jalanku. "Ke mana kau mau pergi?"

"Rumah."

"Aku akan mengantarmu kembali ke Kediaman Permana," katanya, mengeluarkan ponsel. "Marwan, siapkan mobil."

"Tidak perlu," kataku yang melangkah melewatinya.

Saat ini ponsel Vincent berdering. Dia melirik nama penelepon, ekspresinya makin gelap.

"Aku ada pertemuan penting. Marwan akan mengantarmu pulang," katanya, nada suara tegas dan penuh perintah. "Kita bicara nanti."

Aku mengabaikannya dan berjalan menuju taksi yang menunggu di sudut jalan.

"Sofia," panggil Vincent, suaranya tajam.

Aku menoleh sebentar ke belakang.

"Tunggu di rumah. Ada yang perlu aku katakan padamu." Dengan itu, dia masuk mobil dan melesat pergi.

Aku menatap lampu belakang mobilnya menghilang ke malam, lalu berbisik ke udara kosong,

"Kita tidak akan pernah bertemu lagi."

Aku masuk ke taksi dan memberi tahu sopir untuk membawaku ke bandara.

Dalam perjalanan, aku membuka aplikasi perbankan di ponsel, menghitung total uang Vincent yang telah kubelanjakan selama tiga tahun terakhir, dan mengembalikan semua padanya.

Tagihan medis, biaya hidup, semuanya. Totalnya empat belas miliar rupiah.

Setelah transfer selesai, aku melempar ponsel dari jendela.

Melihatnya pecah di trotoar, aku merasakan gelombang lega yang dalam.

Mulai sekarang, Vincent Dirgantara tidak akan pernah bisa menghubungiku lagi.

Satu jam kemudian, taksi berhenti di bandara.

Aku menyeret koper menuju gerbang keberangkatan.

"Nona, penerbangan Anda akan mulai boleh naik penumpang dalam tiga puluh menit." Seorang staf memberitahuku.

Aku mengangguk dan duduk di ruang tunggu.

Melalui jendela besar, aku melihat beberapa jet pribadi di landasan.

Salah satunya sedang bersiap untuk lepas landas. Aku melihat siluet Vincent yang tak mungkin salah lagi sedang menaiki tangga.

Dia pasti menuju Kota Bhuana untuk pertemuan penting itu.

"Sekarang penumpang ke Arunika sudah boleh naik." Pengumuman terdengar di pengeras suara.

Aku berdiri dan menatap sekali terakhir jet pribadinya.

Cerita kita selesai, Vincent.

Di pesawat, aku memilih kursi dekat jendela.

Saat pesawat bergerak di landasan, aku melihat dua pesawat di landasan pacu, mengarah ke arah yang berlawanan.

Satu terbang ke Bhuana, satu ke Arunika.

Seperti hidup kita. Menuju jalannya masing-masing, tak akan pernah bertemu lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 22

    Di hari kedua puluh tujuh masa tahanannya, Sofia mulai belajar patuh.Ia berhenti melawan, berhenti mogok makan, bahkan sesekali memberinya senyum tipis.Awalnya Vincent curiga, tapi lama-lama ia mulai percaya kalau Sofia sudah pasrah menerima nasibnya."Apa yang mau kamu makan hari ini?" tanyanya suatu pagi sambil mengikat dasinya di tepi ranjang.Sofia bersandar di sandaran kepala ranjang, rambutnya terurai di bahu. Suaranya tenang. "Apa saja yang kamu buat."Jari Vincent terhenti. Sekilas rasa terkejut melintas di matanya, lalu senyum. "Baiklah." Ia berbalik menuju dapur, langkahnya untuk pertama kali dalam berminggu-minggu terasa rileks.Begitu ia pergi, Sofia menyingkap selimut dan mengeluarkan sebuah mikro komputer dari bawah kasur, hasil curian dari ruang kerjanya seminggu lalu. Jemarinya menari di atas keyboard mengetik serangkaian kode. Ia berhasil membobol sistem keamanan pulau itu. Sebuah sinyal darurat terenkripsi terkirim.Tiga malam kemudian, Sofia berdiri di tepi tebing.

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 21

    Vincent harus kembali ke Mandala Jaya untuk mengurus urusan Keluarga Dirgantara.Di hari ketiga kepergiannya, Sofia berdiri di depan pintu kaca besar vila di pulau itu, menatap sinar matahari terakhir yang menghilang di cakrawala.Seorang pelayan masuk pelan-pelan. "Nyonya, silakan minum susunya."Sofia tak bergerak. "Kapan dia kembali?""Tuan Vincent bilang akan segera..."BRAK!Gelas itu membentur dinding dan pecah berderai. "Aku bukan nyonyamu," ejek mencibir. "Keluar."Pelayan itu ketakutan dan langsung lari. Sofia membungkuk, mengambil pecahan kaca yang paling tajam.Pada saat yang sama, di markas Keluarga Dirgantara di Mandala Jaya, Vincent duduk di kursi kepala meja rapat. Ibu jarinya tanpa sadar mengusap layar ponsel. Di layar, sebuah cuplikan rekaman pengawasan menampilkan Sofia di pantai, menatap ke arah laut, siluetnya begitu rapuh seakan angin laut bisa menerbangkannya."Bos? Tentang transaksi senjata ini...""Tunda," ujarnya tiba-tiba berdiri. "Siapkan mobil. Kita ke banda

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 20

    Helikopter itu mendarat di sebuah pulau pribadi saat fajar menyingsing. Deru baling-balingnya perlahan mereda, berganti dengan suara ombak yang menghantam karang.Vincent menggendong Sofia turun dari pesawat. Begitu kakinya menyentuh tanah, ia langsung mendorongnya menjauh."Penahanan ilegal?" Dia mencibir, gaun pengantinnya berkibar dihembus angin laut. "Sejak kapan Vincent Dirgantara jatuh ke taktik murahan seperti ini?"Vincent tidak marah. Ia justru tersenyum tipis. "Lalu kenapa kalau memang begitu?" Tangannya terulur membelai pipinya. Ujung jarinya dingin, namun tatapannya membakar. "Sofia, kamu milikku. Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan orang lain."Di dalam vila utama, Vincent mengajaknya berkeliling. "Semuanya di sini milikmu," katanya sambil membuka pintu kaca besar. "Kebun, kolam renang, perpustakaan... bahkan laut itu."Sofia tak tergoyahkan. "Aku mau pulang.""Sofia, mari kita mulai dari awal," ucap Vincent memeluknya dari belakang. Ia menyandarkan dagu di kepalan

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 19

    Sehari sebelum pernikahan, Sofia duduk di depan meja rias di ruang pengantin, ujung jarinya menelusuri deretan berlian di gaun pengantinnya. Matahari bersinar terang, dan para staf di luar sibuk mempersiapkan upacara. Semuanya terlihat sempurna.Ketukan lembut terdengar di pintu."Putri?" Alexander masuk membawa secangkir teh herbal hangat dan sebuah kotak beludru kecil yang elegan. Ia mengenakan setelan jas hitam yang pas di tubuhnya, tatapannya lembut tak terlukiskan."Kamu hampir tidak menyentuh sarapanmu," katanya sambil meletakkan cangkir di sampingnya.Sofia menoleh, senyum tipis terlukis di bibirnya. "Ini cara Alexander mendisiplinkanku?""Aku tidak berani." Ia membungkuk sedikit dan menyerahkan kotak itu. "Aku hanya khawatir kamu akan lapar."Sofia membuka kotak itu. Di dalamnya ada potongan cokelat yang indah."Aku dengar dulu kamu suka cokelat dari toko ini," ucap Alexander lembut. "Aku memesannya langsung dari Arjapura."Sofia tertegun, hendak bicara, namun tiba-tiba alarm k

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 18

    Keluarga Nugraha dan mafia Mandala Jaya selalu menjaga jarak satu sama lain.Lalu, apa yang Vincent Dirgantara lakukan di sini?Para tamu mulai berbisik-bisik, gumaman mereka cepat menyebar di seluruh aula dansa. Semua mata tertuju pada sosok tinggi di ambang pintu."Kenapa dia menatap Nona Sofia seperti itu? Jangan-jangan dia datang untuk merusak pernikahan ini."Hampir seketika, Alexander menarik Sofia ke dalam pelukannya, melindunginya dengan tubuhnya. Namun, Sofia justru terlihat tenang.Ia menatap Vincent dan tersenyum. "Tuan Vincent, ada apa Anda kemari? Bawa hadiah pernikahan?"Kata-katanya seperti pisau, menusuk dalam ke dada Vincent.Rahangnya mengeras, urat-urat di lehernya menegang. Suaranya serak. "Sofia, ikut aku pulang."Senyum Sofia melebar. "Pulang untuk apa? Untuk melihat kamu mengurus Isabel?""Aku tidak mencintai Isabel!"Suara Vincent hampir seperti teriakan, membuat kerumunan langsung terdiam."Aku mencintaimu!"Para tamu terkejut, bisik-bisik kembali pecah."Dia b

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 17

    "Sepuluh tahun lalu, di pesta kapal pesiar di Pantai Adirama...""Kamu lupa siapa yang kamu selamatkan?"Sofia tertegun, ingatannya tertarik kembali satu dekade silam. Di pesta itu, ia berada di dek ketika mendengar suara cipratan air. Seorang anak laki-laki terjatuh ke laut. Sebelum siapa pun sempat bereaksi, ia sudah melompat mengejarnya.Airnya sedingin es, tapi ia berenang sekuat tenaga menuju sosok yang berjuang di permukaan. Setelah menelan beberapa kali air laut, akhirnya ia berhasil menariknya kembali ke dek."Kamu baik-baik saja?" tanyanya, tubuh basah kuyup tapi tak memedulikan dirinya sendiri saat berlutut untuk memberi pertolongan pertama.Anak laki-laki itu batuk mengeluarkan air lalu membuka mata, bulu matanya berembun. Sofia melepas jaketnya dan membungkus tubuh mungil yang menggigil itu. "Hei, Nak. Lain kali hati-hati."Anak itu menggenggam jaketnya erat-erat, matanya berkilau seperti bintang....Sofia tersadar kembali ke masa kini, menatap Alexander tak percaya. "Anak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status