Share

Pertemuan Bara dan Farhan

Seorang pria dewasa tampak menghampiri Farhan. Ia mengenakan kaos Persib dan celana kolor.

"Farhan ... Farhan ... Ayah pulang, ayah pulang! Kersen untuk kamu, kamu suka kersen," kata lelaki itu riang. Di tangannya ada gelas bekas air mineral. Setengah dari gelas plastik itu, berisi buah berwarna merah cerah. Buah Muntingia calabura yang banyak tumbuh di pinggir jalan. Sebagian orang menyebut buah ini, ceri.

Farhan menghalau gelas pemberian sang ayah. Tangan Farhan menampol gelas plastik tersebut. Hingga isinya, jatuh berceceran di lantai. Sebagian pecah saat berbenturan dengan ubin, yang lainnya menggelinding.

"Jatuh, Farhan suka kersen. Farhan suka kersen." Agung jongkok sambil memunguti buah yang berserak di lantai.

"Ayah, hentikan! Aku malu!" teriak Farhan sambil berlalu dari hadapan Agung dan Samiah. Langkah kakinya menginjak buah yang telah ranum itu. Menyemburkan sari buah dan bijinya yang berwarna putih.

"Berhenti kau pungut, Nak. Sudah kotor, sapu dan buang, saja!" ujar Samiah sambil memegang pundak Agung.

"Farhan suka kersen. Agung senang memetik banyak kersen untuk Farhan. Farhan malu. Agung akan menutup muka jika melihatmu di jalan." Agung masih berjongkok. Ia membenamkan wajahnya pada kaos biru yang dikenakannya.

•~reinma~•

Farhan yang kesal, berjalan lurus mengikuti jalan desa. Langkah kakinya menghentak. Menendang udara di hadapannya. Hingga sasarannya berganti saat melihat botol yang tergeletak. Bekas air mineral dengan sisa sedikit air.

DUG.

Tendangan kaki Farhan. Melambungkan botol ke udara.

Tiga detik berikutnya.

Botol itu mendarat menimpa kepala seseorang.

"Arrgggggh ... aduh!" seru Bara yang baru saja keluar mengendap-endap dari villanya. Sambil mengusap kepalanya yang sakit, ia balik badan. Tampak jelas sosok Farhan yang berdiri mematung.

"Kamu, ya, yang lempar botol ini?" tanya Bara sambil memegang botol.

"Kalau iya, kenapa? Kamu mau laporin aku ke polisi? Dasar, kerikil kecil!" tantang Farhan yang masih diselimuti emosi.

"Apa kamu tidak diajari sopan santun oleh orang tuamu? Jika berbuat salah, minta maaflah. Ayah dan ibuku selalu mengingatkan hal itu padaku." Bara berkata sambil berjalan mendekati Farhan.

Dari jarak tiga langkah, Bara melihat Farhan muka Farhan yang memerah. Hembusan napasnya begitu cepat, dengan tangan yang mengepal.

"Hey, ayolah. Seharusnya aku yang pantas marah. Aku korban di sini. Bukan kamu!" kata Bara sambil menatap pria kecil di hadapannya.

Farhan membalas tatapan Bara. Ia membatin. Kenapa dirinya terlahir miskin dan mempunyai ayah yang bodoh? Cukup lama kedua bocah itu bersitatap. Hingga pandangan tajam Farhan mulai melunak.

Bara jadi keki, bingung dengan apa yang harus ia lakukan.

“Baiklah, kau tak perlu meminta maaf padaku. Paling, kamu juga tidak dengan sengaja melemparku dengan ini, kan?” ucap Bara sambil melirik botol bekas di tangan kirinya.

Farhan diam saja, ia memutuskan untuk kembali berjalan. Langkah kakinya menyusuri jalanan ke bantaran sungai. Bara mencebik pelan, rasa penasaran, bosan tidak ada teman membuat ia mengikuti Farhan dari belakang.

•~reinma~•

Di villa keluarga Wilaga terjadi kepanikan. Para pelayan sudah disebar mencari keberadaan tuan muda. Setiap sudut bangunan dan tanah di Villa sudah mereka ubek-ubek.

"Maaf, Nyonya! Tuan Muda, belum ditemukan."

"Cari sampai, ketemu! Anak itu tidak tahu daerah sini!" perintah Nyona Listyana atau yang biasa disebut Tyana.

"Baik, nyonya!" serempak mereka menjawab perintah sang Nyonya.

Tyana menghubungi suaminya.

"Han, Bara hilang di Vila ..." nada panik Tyana mengadu pada Handoko.

"Tenanglah, Sayang. Aku segera ke sana!" ucap Han berusaha menenangkan istrinya.

***

"Hai ... tunggu," kata Bara sambil mengejar Farhan. Ia kesulitan untuk bisa mensejajari langkah kaki Farhan.

"Ngapain, kamu ngikuti ,aku? Pergi, sana!" usir Farhan.

Bara bergeming. Ia mencabut rumput liar lalu melemparkan ke arah Farhan.

Puk

Tepat mengenai punggung Farhan.

"Apa mau kamu, hah!" hardik Farhan. Tunggu dulu, Farhan mengamati Bara dari atas sampai ke bawah. Seorang anak berkulit putih bersih. Memakai sepatu lengkap dengan kaus kaki. Kaos berkerah warna kuning dan celana kargo selutut. Bukan penampilan anak kampung pada umumnya. Terlalu rapi dan terlihat mahal apa yang melekat pada bocah ini.

Bara hanya menyeringai, menanggapi pertanyaan Farhan.

"Kamu, bukan orang kampung sini, kan? Pergi sana! Jangan ikuti aku terus." Farhan kembali mengusir Bara.

"Bagaimana aku bisa pergi? Aku tidak tahu jalan." Bara berkata memelas.

Akhirnya kedua anak yang sepantaran itu meneruskan langkah kakinya. Bara mengambil kerikil kecil lalu melemparkannya ke sungai.

Bunyinya nyaring. Membuyarkan pijar keemasan pantulan sinar surya. Bara terkekeh.

Farhan menengok ke belakang, memperhatikan Bara yang sedang asyik melempar kerikil ke permukaan air.

"Psst! Dasar kerikil kecil!" umpat Farhan.

"Iya, kamu betul. Ini memang kerikil kecil." Bara mengambil satu buah batu kerikil. Ia memberikannya pada Farhan.

"Cobalah, buang rasa kesalmu dengan kerikil ini. Lempar, sejauh kau bisa!" kata Bara sambil melempar kerikil dari tangannya.

Farhan melirik Bara. Rona wajahnya mulai mencair, tak sedingin sebelumnya.

"Ayo, kita bertanding! Siapa yang paling jauh melempar, dialah pemenangnya!" seru Bara.

Farhan menyentuh hidung dengan mengibas lengannya, "hmmm siapa takut?"

Kedua anak yang sama-sama duduk di bangku kelas tiga SD itu terlihat gembira.

"Dasar kerikil kecil!" teriak Farhan.

"Dasar kerikil kecil!" suara Bara mengikuti.

***

Di waktu yang sama Tyana dan para pelayannya masih sibuk mencari keberadaan Bara.

"Nyonya, kata seorang yang baru pulang memancing ia melihat anak yang mirip Tuan Muda di sungai." Salah seorang pelayan melapor.

"Kerahkan orang untuk menemukannya, cepat! Sekarang juga!"

Tyana tak mau sesuatu yang buruk menimpa anaknya. Sang pelita saat dirinya jatuh terjerembab dalam gelap. Tubagus Bara Lazuardi.

***

Bara dan Farhan masih asyik bermain di bantaran sungai. Dari kejauhan tampak berbondong orang berjalan. Bara sudah menduga mereka adalah orang-orang suruhan ibunya.

"Aku bosan, kau selalu menang! Ayo kita lomba lari!" seru Bara sambil bersiap lari.

"Hai, tunggu! Hai, batu kerikil! Kau berlari ke arah yang salah!" Farhan berusaha mengejar Bara.

Bara membalik badan, menjulurkan lidahnya.

"Weee ... sini, lampaui aku, jika kau mampu!" ucap Bara kemudian meneruskan langkahnya.

"Hai bocah kota! Berhenti! Tepat di depanmu ada air terjun," seru Farhan pada Bara.

Terlambat. Satu kaki Bara terperosok. Keseimbangan tubuhnya goyah.

Hap. Dengan cepat Farhan memegang tangan Bara. Tangan kiri Farhan memeluk pohon, tangan kanannya memegang erat tangan Bara.

"Pegang, erat-erat. Bertahanlah!" Farhan berkata pada Bara.

Bara mengangguk. Kedua bocah yang sama-sama meninggalkan rumah tanpa izin itu tak mengira jika akan berada di posisi seperti ini. Antara selamat atau hanya tinggal nama. Mengingat batuan terjal lagi dalam seolah menanti di bawah sana.

Wajah Farhan memerah. Memikul beban pada tangan kanannya. Peluh di dahinya mulai bercucuran.

Wosh. Angin bertiup kencang. Helaian rambut yang menutupi dahi Bara tersibak. Sepasang manik jernih milik Bara menatap tajam ke atas. Memandang penuh harap pada Farhan. Ia ingin selamat.

"Ka—mu, bisa, na—naik?" Farhan berucap patah-patah, nafasnya memburu. Ngos-ngosan.

Bara tersenyum aneh menatap wajah Farhan. Ia sudah pasrah pada nasibnya. Tangannya terasa licin dan basah. Berharap bantuan bisa cepat datang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status