Share

Cita-Cita Terlewatkan

“Kapan kamu pergi?” 

Aisha melotot malu menatap pria itu berdiri dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Karena kali ini dilihatnya kalau Devan terlihat sangat tidak terima dengan kelakuannya Aisha meninggalkan pada tadi pagi. 

Sedangkan dia masih belum bisa berhadapan dengan Devan. 

“Jawab aku, kapan kamu pergi?” 

Aisha dengan malu-malu bertemu dengan pria itu. “Saya pergi tadi pagi. Karena harus segera ke rumah sakit. Hendra harus berangkat sekolah. Jadi saya harus segera ke sana untuk setor biaya operasi.” 

“Siapkan aku makanan! Jangan banyak bicara.” 

Pria itu pergi meninggalkan Aisha sendirian setelah menjawab demikian. Memang sudah benar-benar di luar dugaan kalau akan ditinggalkan seperti itu. 

Harusnya dia tidak ada kesibukan lagi hari ini. Tapi justru diminta untuk siapkan makan malam pria itu. 

Di dapur dia membuka kulkas dan lihat bahan-bahan persediaan terbatas. “Mas Devan mau dimasakin apa?” 

Pria itu menatapnya sebentar. “Terserah.” 

Jawaban itu tidak diinginkan olehnya Aisha. Tapi dia harus berpikir keras untuk sediakan makanan seadanya. Ingat kalau makan untuk malam harinya Devan tidak suka makan yang berat. Jadi dia harus perbanyak sayur. 

Devan membawa tabletnya pergi. “Bangunkan aku kalau sudah selesai.” 

Dia memasak sendirian ketika Devan sudah pergi dari dapur. 

Cukup lama dia berada di dapur sampai akhirnya hidangan selesai. Tapi tidak lupa juga mengupas buah dan memotongnya. 

Semua selera Devan sampai dia hafal. 

Aisha bangunkan Devan yang rebahan di sofa. Perlahan dia mengguncang tubuh pria itu dan Devan bangun dari tidurnya. 

“Mas, udah selesai. Mas mau makan, kan.” 

Devan bangun dari sofa dan merenggangkan ototnya. 

Pria itu berjalan ke meja makan dan juga sudah ada potongan buah juga. “Buatkan aku infused water, Aisha. Buat besok pagi. Aku harus olahraga juga.” 

“Oh oke.” 

Aisha mengambil dan mencuci buah. Menyiapkan yang diminta oleh pria itu. Terdengar suara sendok dan garpu saling beradu di atas piring itu. Cukup lama dia membuatkan minuman untuk besok. Lalu dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Dia berbalik dan sudah dihabiskan oleh Devan. 

“Kamu nggak makan?” 

“Sudah di rumah sakit.” 

“Kapan ibumu dioperasi?” 

“Secepatnya.” 

Devan bersandar di kursi itu dan mengangguk. “Semoga lekas sembuh. Nanti kalau ada waktu, aku ke sana.” 

“Terima kasih, Mas.” 

Dia membereskan sisa makanan itu. Di sini hanya ada mereka berdua. Sudah lama sekali Devan menjadi orang yang kesepian sejak ditinggalkan oleh orangtuanya untuk dinas di luar negeri. Mereka pergi ke luar negeri sudah sangat sering sekali. Adiknya Devan juga ada di Inggris. 

Jadi, yang ada di rumah ini hanyalah mereka berdua. Tidak heran kalau ternyata mereka bisa tidur satu ranjang malam itu di rumah ini. Bahkan ini juga rumah pribadinya Devan. 

Pertanyaan kapan nikah? Sudah sering sekali di dengar oleh Aisha selama tinggal di sini. 

Akan tetapi Devan pada pendiriannya bahwa dia tidak akan pernah menikah karena orangtuanya tidak pernah ada waktu bicara sama sekali. 

Jujur saja kalau sebenarnya ini sangat membuat kepalanya Aisha juga berpikir keras mengenai penolakan dari Devan yang sangar keras. 

Tapi sekarang Aisha yang mencuci piring itu hanya terdiam. 

Dirinya sendiri bagaimana? 

Dia adalah wanita kotor, hina bahkan murahan telah tidur dengan Devan. 

Dia telah kehilangan kehormatannya menjadi seorang gadis yang belum menikah tapi sudah pernah tersentuh. Dia mengusap air matanya dengan punggung lengannya. 

Berusaha untuk kuatkan diri untuk sekarang ini. 

Ia yakin kalau sekarang hidupnya sudah berantakan. Aisha tidak perlu lagi berpikir bahwa dia akan menikah. Usai mencuci piring dan sudah rapi di dapur. Aisha kembali ke kamarnya. 

Dia punya pendidikan bagus. Wisuda baru beberapa bulan lalu tapi ternyata ibunya sakit dan menahan diri waktu itu. Biaya operasi juga diberikan oleh Devan tapi ternyata kurang. Akhirnya dia terpaksa menerima tawaran itu dengan memberikan tubuhnya kepada anak tertua dari majikannya. 

Waktu dia sedang ingin tidur dan istirahat waktu itu. 

Terdengar pintu kamarnya diketuk oleh pria itu sambil memanggil namanya. 

Devan menyodorkan lembaran dan juga kartu untuknya. “Ini apa, Mas?” 

“Belanja bulanan mulai besok. Keperluan aku di dalam kamar. Termasuk juga parfum, sabun cuci muka, untuk minyak rambut, segalanya. Termasuk apa yang ada di dalam kamar mandi. Kamu harus tetap perhatikan. Ini daftar yang harus kamu beli. Dan untuk ruang kerjaku juga. Isi dapur, juga termasuk segala kepentingan. Kamu boleh beli peralatan mandi kamu, juga keperluan kamu sebagai perempuan untuk beli pembalut misal.” 

Tidak ada uang cash, dia diberikan kartu oleh Devan. “Itu uangnya tidak ada batas. Kamu bisa beli apa pun. Sandinya tanggal kita melakukan hubungan itu.” 

Dia mengangguk. Menerima kartu itu dan juga daftar belanja yang sudah diberikan oleh Devan barusan. 

Tapi sebelum Devan pergi. Pria itu berdiri di depannya Aisha dan berkata. “Jangan menyesali kejadian kemarin. Aku tidak mau melihat ekspresi sedihmu karena kejadian itu sudah terlanjur terjadi.” 

Dia mengurungkan niatnya untuk menyesali itu. “Katakan padaku jika terjadi sesuatu padamu. Salah satunya hamil. Aku lupa aku tidak pakai pengaman semalam. Aku pertama kali melakukannya, Aisha.” 

Tubuhnya Aisha membeku mendengar itu. “Lalu apa?” 

“Kita aborsi, Aisha. Nggak mungkin kalau kita menikah. Aku tidak ada niat menikah.” Aisha mengiyakan. “Aku pergi dulu.” 

Jadi mereka terpisah ketika pria itu kembali ke kamarnya. Aisha telah diingatkan mengenai kalau terjadi apa-apa. Salah satunya adalah tentang kehamilan. 

Mengingatkan lagi kalau Devan tidak pakai pengaman semalam. 

Aisha merebahkan diri di atas kasur ingat ucapan Devan kalau dia tidak menginginkan jika Aisha hamil. 

Dia juga harusnya sadar diri kalau di sini hanyalah seorang pembantu. 

Awalnya Aisha pikir hanya jadi teman tidur dan itu sudah cukup. Tapi beban kedua membuat dia kepikiran laig soal kehamilan. Kepalanya baru saja terguncang. Jadi, bisa jadi penglihatan juga kabur. Tidak bisa fokus dengan apa yang dilakukan. 

Jujur saja ini juga merupakan hal yang sangat membuat Aisha merasa menyesal. 

Tapi apa boleh buat? 

Pria yang disebut dengan Ayah hanya menikahi, tidak menafkahi bahkan ketika itu Aisha juga hidup di tempat orangtuanya Devan sudah lama sekali. 

Biaya pendidikan juga ditanggung oleh orangtuanya Devan. Bahkan Aisha juga kuliah waktu itu. Tapi ditanggung oleh Devan dan mendapatkan gelar dengan nilai yang baik. Tapi di sini dia tetap jadi pembantu di rumah Devan secara pribadi. 

Aisha berharap tidak ada yang terjadi setelah ini. Jangan sampai beban baru muncul di dalam hidupnya saat dia tidak siap mendapatkan beban berat itu. 

Segera dia memejamkan matanya untuk tidur karena besok harus kembali lagi ke rumah sakit setelah dia siapkan semua keperluan Devan. Juga membeli semua yang dibutuhkan oleh pria itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status