Setelah mengantar Sari kembali ke rumah, Rangga langsung menuju markas Singa Emas. Malam sudah mulai turun, lampu-lampu jalan berpendar di sepanjang kota, memberikan suasana gelap yang bercampur dengan kehidupan malam yang sibuk.
Begitu sampai di markas, suasana terasa lebih sibuk dari biasanya. Beberapa anggota terlihat berdiskusi serius, sementara yang lain membersihkan senjata atau menyusun kotak-kotak barang yang jelas bukan barang legal. Di sudut ruangan utama, Rio duduk sambil menghisap rokoknya, matanya menatap lurus ke depan. Begitu melihat Rangga, pria itu menyeringai kecil. "Akhirnya datang juga, bocah." Rangga tersenyum tipis dan duduk di sebelahnya. "Markas ramai malam ini, ada apa?" Rio mengembuskan asap rokoknya perlahan. "Ada transaksi besar dalam dua hari ke depan. Alex ingin semua orang siap." Rangga mengangguk. Sejak bergabung dengan Singa Emas, ia mulai memahami bagaimana dunia ini bekerja. Perdagangan narkoba, senjata, dan bisnis ilegal lainnya semuanya berjalan dengan sistem yang ketat, dan Alex mengelola semuanya dengan tangan besi. Rio menepuk bahunya pelan. "Kau sudah mulai terbiasa dengan semua ini?" Rangga menatapnya. "Aku masih belajar." Rio tertawa kecil. "Bagus. Jangan terlalu cepat percaya pada siapa pun, Rangga. Di dunia ini, teman bisa berubah jadi musuh dalam sekejap." Rangga mengangguk pelan. Ia sudah mulai menyadari itu. "Tapi kalau ada satu orang yang bisa kau percaya di sini.." Rio menepuk dadanya sendiri. "Itu aku." Rangga tersenyum tipis. "Aku tahu." Bagi Rangga, Rio sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Sejak awal bergabung, Rio lah yang mengajarinya banyak hal dari cara bertahan hidup, cara membaca situasi, hingga cara bertarung. Namun, jauh di dalam hatinya, Rangga bertanya-tanya… sampai kapan ia bisa bertahan di dunia ini tanpa kehilangan dirinya sendiri? Dua hari setelah perbincangan dengan Rio, suasana di markas Singa Emas semakin tegang. Malam ini adalah malam transaksi besar yang sudah dipersiapkan berhari-hari. Semua anggota dipastikan dalam kondisi siap tempur. Rangga berdiri di depan gudang belakang markas, merapikan sarung tangan kulit yang diberikan oleh Rio sebagai simbol bahwa ia kini bukan lagi anak baru. "Ini transaksi pertamamu, bocah," Rio menepuk pundaknya. "Dengar baik-baik, kita hanya menjaga keamanan. Jangan gegabah. Kalau ada yang mencurigakan, tetap tenang dan ikuti perintah." Rangga mengangguk. Ia bisa merasakan bahwa transaksi malam ini bukan sembarang jual-beli barang ilegal. Ini lebih dari sekadar uang dan kekuasaan, ini tentang menunjukkan siapa yang berkuasa di dunia bawah tanah. Gudang Tua di Pinggiran Kota Konvoi kendaraan tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Truk besar berisi senjata ilegal dan narkoba sudah diparkir di dalam, menunggu pembeli yang akan mengambilnya. Rangga berdiri di sisi Rio, matanya mengamati sekeliling. Di dalam gudang, Alex duduk di atas peti kayu, menunggu kedatangan pihak pembeli. Beberapa menit kemudian, suara mobil terdengar. Dua SUV hitam memasuki area gudang, diikuti oleh beberapa pria berpakaian serba hitam dengan wajah serius. Seorang pria bertubuh tinggi turun dari mobil dan berjalan ke arah Alex. Pria itu adalah Viktor, seorang mafia dari luar negeri yang terkenal kejam. "Alex," sapanya singkat dengan suara berat. Alex mengangguk tanpa bangkit. "Viktor. Kau tepat waktu." Viktor tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku tidak suka permainan anak-anak." Seorang anak buah Alex membuka salah satu peti dan memperlihatkan isinya senjata otomatis lengkap dengan amunisi. Sementara itu, Viktor memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk membuka koper berisi uang tunai dalam jumlah besar. Situasi Memanas Semuanya tampak berjalan lancar, hingga salah satu anak buah Viktor mengangkat senjatanya sedikit, seolah bersiap menyerang. Rangga langsung merasakan ketegangan meningkat. Tangannya refleks mendekati pistol di pinggangnya. Alex tetap tenang, tapi tatapannya tajam. "Turunkan senjatamu. Kau di sini untuk berbisnis, bukan cari mati." Viktor tertawa pelan. "Anak buahku hanya berhati-hati, Alex. Kau tahu, dunia kita ini penuh pengkhianat." Alex tidak menjawab. Ia hanya menatap Viktor tanpa berkedip, memberikan tekanan tanpa kata-kata. Akhirnya, pria itu memberikan isyarat, dan anak buahnya menurunkan senjatanya. Transaksi pun selesai. Koper ditukar dengan senjata, dan kedua belah pihak mulai beranjak. Namun, saat Rangga dan Rio hendak meninggalkan gudang, Rio berbisik pelan. "Aku tidak suka ini.. ada yang terasa aneh." Rangga mengangguk. Ia juga merasa bahwa malam ini terlalu sunyi untuk sebuah transaksi sebesar ini. Dan benar saja. Begitu SUV Viktor keluar dari area gudang, suara ledakan besar mengguncang malam. Salah satu truk yang berisi sisa barang dagangan terbakar hebat. Serangan Tak Terduga "SERANGAN!" Tiba-tiba, dari arah luar gudang, beberapa pria bersenjata muncul dan langsung memberondongkan tembakan. Mereka bukan bagian dari Viktor ini kelompok lain. Rangga langsung berlindung di balik peti bersama Rio, sementara Alex dan anak buahnya mulai membalas tembakan. "Siapa mereka?!" Rangga berteriak. "Entah, tapi mereka bukan orang yang kita tunggu!" Rio menjawab sambil menembakkan pelurunya. Malam itu berubah menjadi kekacauan total. Rangga merasakan adrenalin mengalir deras dalam tubuhnya. Ini bukan lagi latihan ini adalah perang yang sebenarnya. Dan di tengah baku tembak itu, ia mulai menyadari satu hal.. Dunia yang ia masuki ini lebih berbahaya dari yang pernah ia bayangkan. Tembakan berdesing di udara. Asap dari truk yang terbakar membuat suasana semakin kacau. Rangga berjongkok di balik peti kayu bersama Rio, sementara peluru beterbangan dari berbagai arah. "Mereka bukan kelompok Viktor!" teriak salah satu anak buah Alex. "Rajawali Hitam!" balas Alex dengan suara keras. "Sial, mereka ingin merebut transaksi kita!" Rajawali Hitam adalah geng saingan yang dipimpin oleh seorang pria kejam bernama Rudi Santoso. Mereka sudah lama mengincar wilayah Singa Emas, tapi selama ini hanya berani bergerak dalam bayang-bayang. Namun, malam ini berbeda. Mereka terang-terangan menyerang. * Serangan Balik Rangga menatap Rio. "Apa rencana kita?" Rio menyeringai. "Kita habisi mereka. Sesederhana itu!" Tanpa ragu, Rio keluar dari perlindungan dan menembakkan senjatanya dengan cepat. Dua orang dari Rajawali Hitam langsung tumbang. Rangga merasakan darahnya mendidih. Ini bukan lagi latihan. Ia tahu, jika ia tidak bertindak, ia akan mati di tempat. Dengan cepat, ia mengambil pistolnya dan menembak ke arah seorang pria bersenjata yang mendekat dari sisi kanan. Peluru tepat mengenai dada pria itu, membuatnya tersungkur. Namun, serangan Rajawali Hitam tidak berhenti. Dari balik truk yang terbakar, seorang pria berbadan besar dengan tato rajawali di lehernya berjalan santai ke arah mereka. Satrio. Ia adalah tangan kanan pemimpin Rajawali Hitam, terkenal sebagai algojo tanpa ampun. "Alex!" teriaknya sambil menodongkan senjata ke arah pemimpin Singa Emas. "Kau pikir bisa menguasai kota ini sendirian?" Alex tidak bergerak. Matanya tajam menatap Satrio. "Kau sudah membuat kesalahan besar malam ini," kata Alex dingin. "Dan kau akan menyesalinya." Satrio tertawa sinis. "Yang akan menyesal itu kau!" Tiba-tiba, Satrio mengangkat senjatanya dan menarik pelatuk. Rangga, yang sejak tadi mengawasi pergerakannya, langsung bereaksi. Dengan kecepatan yang sudah ia latih selama berminggu-minggu, ia melompat dan menendang tangan Satrio, membuat tembakannya meleset. Rio dan Alex segera memanfaatkan momen itu untuk menembaki anak buah Satrio yang tersisa. Sementara itu, Rangga dan Satrio terlibat dalam perkelahian sengit. * Duel Hidup dan Mati Satrio memang lebih besar dan lebih kuat, tapi Rangga lebih cepat. Ia menghindari pukulan demi pukulan, mencari celah untuk menyerang balik. Satrio akhirnya berhasil menangkap lengan Rangga dan mendorongnya ke tumpukan peti kayu. Tubuh Rangga menghantam kayu keras, membuatnya kesakitan. "Kau masih hijau, bocah!" geram Satrio sambil mengangkat pisau. Namun, sebelum ia sempat menusuk, Rangga mengangkat kakinya dan menendang lutut Satrio dengan keras. Pria itu terhuyung, memberi Rangga kesempatan untuk meraih batang besi di dekatnya dan menghantamkan ke kepala Satrio sekuat tenaga. Satrio jatuh berlutut, darah mengalir dari pelipisnya. Rangga tidak membuang waktu. Dengan satu gerakan cepat, ia menendang dada Satrio, membuat pria itu terlempar ke belakang dan jatuh tak bergerak. * Kemenangan Singa Emas Melihat pemimpin mereka tumbang, sisa anggota Rajawali Hitam segera melarikan diri. Rio mendekat, menepuk bahu Rangga. "Kau makin bagus, bocah." Alex berjalan ke arah mereka, menatap tubuh Satrio yang tergeletak. "Bawa dia," perintahnya pada anak buahnya. "Aku ingin pemimpin Rajawali Hitam tahu bahwa kita tidak bisa diremehkan." Rangga menghela napas panjang. Dadanya masih naik turun. Ini pertama kalinya ia benar-benar bertarung dalam situasi hidup dan mati. Dan ia menang. Namun, di dalam hatinya, ia mulai bertanya-tanya… Apakah aku masih Rangga yang dulu?Rangga menutup teleponnya, wajahnya langsung berubah serius. "Ada apa?" tanya Tasya, melihat perubahan ekspresi Rangga. Rangga berdiri dari kursinya, mengencangkan jaketnya dan menatap Tasya dengan dingin. "Aku harus kembali ke kota. Ini perintah langsung dari ayahmu." Tasya terdiam. "Lalu, bagaimana denganku?" "Kau tetap di sini. Aku sudah mengatur pengawalanmu. Tidak akan ada yang bisa menyentuhmu." Tasya mendengus, menatapnya dengan ekspresi tidak senang. "Jadi, kau pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?" Rangga menghela napas. Ia tidak bisa menjelaskan lebih jauh, terutama tentang urusan bisnis kotor yang melibatkan ayah Tasya. "Ini urusan penting, Tasya." "Semuanya selalu penting bagimu, kecuali aku." Kata-kata Tasya membuat Rangga terdiam sesaat. Namun, ia tidak bisa terjebak dalam emosi ini. "Aku akan kembali setelah urusanku selesai," kata Rangga akhirnya. "Percayalah, kau tetap aman." Tanpa menunggu jawaban Tasya, Rangga berbalik dan melangkah pergi. Di dalam hati
Di sebuah rumah mewah di pinggiran kota, Beno duduk di sebuah ruangan ber-AC dengan aroma kopi yang masih mengepul. Di hadapannya, seorang pria berjas putih dengan tato burung gagak di lehernya menatap tajam. Pria itu adalah Bayu, pemimpin Geng Gagak Putih. Bayu melemparkan sebuah amplop tebal ke atas meja. "Kerja bagus, Beno. Klien kita puas." Beno mengambil amplop itu dengan tenang, tapi pikirannya masih waspada. Geng Gagak Putih berbeda dari geng lain. Mereka tidak memiliki banyak anggota, tapi uang mereka mengalir deras. Tidak seperti Singa Emas yang fokus pada perdagangan senjata dan bisnis ilegal lainnya, Gagak Putih adalah otak di balik peredaran narkoba kelas atas. Bayu mengisap cerutunya sebelum berkata, "Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu." Beno menaikkan alisnya. "Apa itu?" Bayu bersandar ke kursinya. "Kau masih sering berhubungan dengan Rangga, bukan?" Beno tersentak, tapi ia segera menyembunyikan ekspresi terkejutnya. "Tentu, dia teman lamaku." Bayu menye
Setelah beberapa menit berjalan menjauh dari desa, Rangga membawa Tasya ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Ia memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sebelum akhirnya berhenti dan menatap Tasya serius. "Apa yang sebenarnya terjadi, Rangga?" Tasya bertanya dengan kesal. Rangga menarik napas dalam. "Ada seseorang yang mengawasi kita. Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya." Tasya mengernyit. "Mengawasi kita? Tapi ini hanya penelitian biasa!" Rangga tidak menjawab. Naluri pengawalnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba, suara dering ponsel berbunyi. Nomor tidak dikenal. Rangga segera mengangkatnya. "Rangga," suara berat di seberang terdengar. "Siapa ini?" "Aku Anton. Aku orang kepercayaan Tuan Alex yang ditugaskan mengawasi kalian di Bali." Mata Rangga menyipit. "Kenapa aku tidak diberitahu sebelumnya?" "Karena ini perintah langsung dari Tuan Alex," jawab Anton tenang. "Kau mungkin pengawal pribadi Tasya, tapi aku harus memastikan bahwa kau tidak mel
Pagi itu, Rangga baru saja selesai berolahraga di halaman belakang rumah Alex ketika Tasya tiba-tiba menghampirinya. "Rangga, aku ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar Tasya sambil menyilangkan tangannya di dada. Rangga menghentikan gerakannya, mengusap keringat di lehernya dengan handuk kecil. "Apa itu, Nona?" Tasya mengerucutkan bibirnya, tampak tidak suka dipanggil begitu. "Jangan panggil aku Nona, itu terdengar kaku. Panggil saja Tasya." Rangga sedikit tersenyum. "Baiklah, Tasya. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" Tasya menarik napas dalam. "Tugas studiku." "Tugas studi?" "Ya. Untuk mata kuliahku, aku harus melakukan penelitian budaya langsung. Dan kali ini aku mendapat tugas ke Bali untuk mengamati keberagaman budaya di sana." Rangga mengangkat alis. "Bali?" Tasya mengangguk. "Ya. Dan ayah sudah menunjukmu sebagai pendampingku selama di sana." Rangga terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Alex akan mempercayakan tugas sebesar ini kepadanya. "Jadi... aku harus ikut d
Di sudut lain kota, Beno duduk santai di sebuah rumah sederhana yang tampak kumuh. Matanya tajam, tak lagi terlihat seperti mahasiswa ceroboh dan periang seperti yang Rangga kenal. Di hadapannya, tiga pria dengan tatapan penuh hormat menunggu instruksi. Salah satu dari mereka menyerahkan sebuah tas hitam kepada Beno. “Semua barangnya sudah siap, Bos.” Beno membuka tas itu, mengecek bungkusan-bungkusan plastik kecil berisi serbuk putih. Ia menyentuhnya sedikit, lalu mengangguk puas. “Bagus.” Ia menutup tas itu dan menyerahkannya kepada pria di sampingnya. “Sebarkan sesuai rencana. Jangan tinggalkan jejak.” Pria itu mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Beno menghela napas, lalu bersandar di kursinya. Siapa sangka, mahasiswa yang selama ini dianggap culun itu justru menjadi bagian dari jaringan peredaran narkoba di kota ini? Seorang pria lain, yang tampaknya lebih senior, mendekat dan berbicara dengan suara pelan. “Bagaimana dengan Rangga? Apa dia masih mencurigai sesuatu?” Beno menye
Sebuah mobil mewah meluncur memasuki halaman luas rumah Tuan Alex. Malam itu, suasana terasa lebih hidup dari biasanya. Para penjaga berdiri lebih waspada, sementara Sari tampak sibuk mengatur sesuatu di dalam rumah. Di teras, Alex berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya, menunggu dengan ekspresi datar seperti biasa. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, ada sedikit perubahan dalam sorot matanya. Rangga, yang baru saja kembali dari tugas bersama Rio, berdiri tak jauh dari sana. Ia melihat bagaimana pria itu, yang biasanya dingin dan tanpa ekspresi, kini tampak sedikit lebih… manusiawi. Pintu mobil terbuka, dan seorang wanita muda melangkah keluar dengan anggun. Tasya, putri semata wayang Alex dan Sari, akhirnya pulang setelah sekian lama berkuliah di luar negeri. Rambut panjangnya tergerai, matanya tajam seperti ayahnya, tetapi ada kelembutan di sana, warisan dari ibunya. Ia mengenakan setelan kasual yang tetap terlihat berkelas, dengan tas selempang kecil menggantun
Di sudut sebuah kampung di tengah kota, suasana malam terasa tenang. Lampu-lampu jalanan redup, hanya menyisakan remang-remang di gang sempit yang dipenuhi tembok dengan coretan liar. Seorang pria berjaket hitam, dengan topi menutupi sebagian wajahnya, berdiri di sudut gang. Tangannya bermain-main dengan sebuah bungkus kecil berisi bubuk putih. Dari kejauhan, seorang pemuda berkacamata dengan jaket hoodie mendekat dengan langkah santai. "Kau tepat waktu," suara pria berjaket hitam terdengar dalam nada rendah. Pemuda berkacamata itu menyeringai. "Kau pikir aku mahasiswa yang suka telat?" Pria itu terdiam, lalu menyerahkan bungkusan kecil. "Barangnya murni, tidak ada campuran. Seperti biasa, bayar di muka." Pemuda berkacamata itu mengeluarkan sejumlah uang tunai dari sakunya dan menyerahkannya. Setelah memastikan uangnya sesuai, pria berjaket hitam mengangguk. "Bagus. Kau selalu jadi pelanggan yang rapi." Pemuda berkacamata itu tersenyum kecil, lalu menyimpan bungkusan kecil itu
Empat bulan telah berlalu sejak Rangga pertama kali menginjakkan kaki di dunia kejahatan ini. Kini, ia bukan lagi anak desa yang kebingungan di kota besar—ia telah menjadi ketua kelompok di bawah komando Tuan Alex, berdampingan dengan Rio.Semua tugas yang diberikan kepadanya selalu diselesaikan dengan sempurna. Entah itu pengiriman senjata, transaksi narkoba, atau menyingkirkan musuh, Rangga selalu memastikan bahwa tidak ada kesalahan yang dibuat.Namun, semakin tinggi posisinya, semakin besar pula ancaman yang datang.MISI DI PERBATASAN KOTAMalam itu, Rangga dan Rio memimpin kelompoknya untuk mengamankan pengiriman senjata ke luar kota. Mereka bertemu dengan pemasok di sebuah gudang tua di pinggiran kota.Semua berjalan lancar—koper berisi uang telah diserahkan, dan peti-peti senjata mulai dipindahkan ke truk.Namun, sesuatu terasa janggal.Rio, yang berdiri di sampingnya, berbisik, "Ada yang tidak beres. Aku merasa kita diawasi."Rangga mengamati sekeliling dengan tatapan tajam. S
Pagi itu, Rangga bangun lebih awal dari biasanya. Meski tubuhnya masih terasa nyeri akibat pertarungan semalam, ia memaksakan diri untuk bangkit dan bersiap.Saat ia turun ke ruang makan, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada beberapa pelayan yang berlalu lalang, sementara Alex belum terlihat.Namun, Sari sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya. Saat melihat Rangga, ia tersenyum tipis."Bagaimana lukamu?" tanyanya."Sudah lebih baik, Bu.. maksud saya, Sari," jawab Rangga dengan sedikit canggung.Sari mengangguk dan mendorong satu piring roti panggang ke arahnya. "Makanlah. Kau akan butuh energi untuk hari ini."Rangga tak menolak. Ia duduk dan mulai makan dalam diam, merasa bahwa Sari ingin mengatakan sesuatu.Benar saja, setelah beberapa saat, wanita itu membuka suara. "Aku tidak tahu apakah aku seharusnya mengatakan ini… tapi kau mengingatkanku pada anakku."Rangga terkejut. "Anakmu?"Sari mengangguk, matanya menerawang. "Ya. Dia seumuran den