Home / Urban / Dunia yang Sempurna / langkah pertama di kota

Share

Dunia yang Sempurna
Dunia yang Sempurna
Author: Laskar_pena

langkah pertama di kota

Author: Laskar_pena
last update Last Updated: 2025-02-28 03:39:37

Kereta yang membawa Rangga dari desa berhenti dengan suara gemuruh di stasiun kota. Kepulan asap samar dari gerbong tua berbaur dengan hiruk-pikuk manusia yang bergegas turun, seakan waktu berjalan lebih cepat di tempat ini. Rangga berdiri di dekat pintu, menatap kerumunan dengan mata penuh kebingungan.

Stasiun kota jauh lebih ramai dan sibuk daripada yang pernah ia bayangkan. Orang-orang berlalu-lalang dengan wajah-wajah sibuk, suara pengumuman terdengar menggema, sementara deretan pedagang kaki lima menjajakan dagangan di lorong-lorong sempit. Tas ransel lusuhnya terasa berat di punggung, bukan karena isinya, tetapi karena beban perasaan yang ia bawa.

Ia menghela napas panjang. “Jadi ini kota…” gumamnya pelan.

Baru saja ia hendak melangkah, seseorang menepuk bahunya dari belakang.

“Rangga?”

Rangga menoleh dan mendapati sosok yang tak asing. Beno, teman lamanya dari Bojongbata. Beno tersenyum lebar, masih dengan gaya khasnya yang ceria.

“Gila! Beneran lo, Rangga? Udah lama banget, bro!” seru Beno sambil menepuk bahu Rangga keras.

Wajah Rangga yang tadi penuh kebingungan perlahan berubah lega.

“Beno… Ya Allah, gue kira bakal nyasar seharian di sini.”

Beno tertawa, lalu merangkulnya erat.

“Tenang, bro. Lo sekarang di tangan yang tepat. Ayo, gue ajak ke tempat gue dulu. Ntar kita ngobrol banyak.”

Dengan langkah yang lebih ringan, Rangga mengikuti Beno keluar dari stasiun. Kota yang tadi tampak menakutkan kini terasa sedikit lebih ramah.

Beno membawa Rangga melewati jalanan kota yang sibuk. Mobil dan motor berlalu-lalang tanpa henti, suara klakson bersahutan, dan udara penuh dengan bau asap kendaraan. Rangga merasa asing dengan semua ini, tetapi kehadiran Beno sedikit mengurangi kegelisahannya.

“Gue sekarang ngekos di belakang kampus. Tempatnya nggak gede, tapi cukup lah buat numpang istirahat,” kata Beno sambil berjalan cepat.

Rangga mengangguk, menyesuaikan langkahnya. Sepanjang jalan, ia melihat deretan gedung tinggi menjulang, warung-warung makan dengan lampu neon berkedip, dan orang-orang dengan gaya berpakaian yang berbeda dari di kampung. Semua terasa baru.

Setelah berjalan sekitar lima belas menit, mereka tiba di sebuah gang sempit. Kos Beno terletak di ujung gang, bangunan tua dengan pintu kayu yang sedikit mengelupas.

“Masuk aja, anggap rumah sendiri,” ujar Beno sambil membuka pintu.

Di dalam, ruangan itu kecil, hanya ada satu kasur tipis di lantai, meja kecil dengan tumpukan buku dan beberapa gelas kosong. Rangga duduk di kasur, melepas ranselnya.

“Jadi, lo ke kota buat apa, Ga?” tanya Beno sambil menuangkan air minum ke gelas.

Rangga menarik napas dalam. “Gue mau cari kerja. Di desa nggak banyak pilihan, gue pengen nyoba peruntungan di sini.”

Beno mengangguk. “Bagus, bro. Kota ini keras, tapi kalau lo niat, pasti bisa bertahan.”

Malam itu, mereka mengobrol panjang tentang masa lalu, kehidupan di kota, dan rencana Rangga ke depan. Di luar, suara kendaraan masih terdengar, tetapi di dalam ruangan kecil itu, Rangga merasa sedikit lebih tenang.

Keesokan paginya, Beno mengajak Rangga berkeliling mencari pekerjaan. Mereka mendatangi beberapa toko dan rumah makan, tetapi jawaban yang mereka dapat hampir sama “Maaf, belum ada lowongan.”

Di sebuah kafe kecil, pemiliknya menatap Rangga dari ujung kepala hingga kaki.

“Pernah kerja di tempat kayak gini?” tanyanya.

Rangga menggeleng. “Belum, Pak, tapi saya siap belajar.”

Pemilik kafe menghela napas. “Kami butuh yang pengalaman. Maaf, ya.”

Mereka keluar dari kafe dengan perasaan sedikit kecewa.

“Sabar, Ga. Nggak ada yang gampang di awal,” kata Beno menyemangati.

Hari itu mereka terus mencari, hingga akhirnya matahari mulai condong ke barat. Rangga merasa lelah, tetapi ia tahu ini baru permulaan.

Di persimpangan jalan, saat mereka hendak pulang, mata Rangga tertuju pada seorang gadis yang berdiri di depan toko bunga. Rambutnya panjang, tubuhnya mungil, dan wajahnya terlihat begitu lembut di bawah cahaya senja.

Tanpa sadar, Rangga terpaku.

Beno mengikuti arah pandangannya lalu tertawa kecil. “Udah nemu alasan buat betah di kota?” candanya.

Rangga hanya tersenyum tipis.

Hari itu mungkin sulit, tapi di balik semua kesulitan, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dan mungkin, kota ini menyimpan lebih banyak kejutan daripada yang ia duga.

Malam itu, setelah seharian berkeliling mencari pekerjaan, Rangga duduk termenung di depan kos Beno. Jalanan sudah mulai sepi, hanya suara kendaraan yang sesekali melintas. Ia menatap langit kota yang berbeda jauh dari langit di desanya. Di sini, bintang-bintang sulit terlihat, tertutup cahaya lampu yang tak pernah padam.

Beno keluar membawa dua gelas kopi instan. "Lo kelihatan capek banget, Ga," katanya sambil menyerahkan satu gelas ke Rangga.

Rangga menerima kopi itu dengan senyum tipis. "Ya, capek pasti, tapi gue harus nemu kerja di sini, Ben. Gue nggak bisa pulang dengan tangan kosong."

Beno menyesap kopinya pelan. "Lo bener-bener niat banget ninggalin kampung."

Rangga menghela napas, menatap gelas di tangannya. "Gue nggak punya pilihan. Orang tua gue udah lama nggak ada. Kalau gue tetap di rumah tanpa penghasilan, adik-adik gue nggak akan bisa sekolah. Mereka butuh masa depan, Ben, dan gue satu-satunya yang bisa bantu mereka."

Beno terdiam sejenak, lalu menepuk bahu Rangga. "Lo kakak yang hebat, Ga. Gue yakin lo bakal nemu jalan."

Rangga tersenyum samar, tapi di dalam hatinya, ia tahu ini bukan soal hebat atau tidak. Ini soal tanggung jawab, soal memastikan bahwa adik-adiknya tidak mengalami hidup yang sama beratnya seperti dirinya.

Ia menatap jalanan kota yang masih terang, meski malam semakin larut.

"Besok, gue coba lagi," katanya mantap.

Beno tersenyum. "Dan gue bakal temenin lo."

Di dalam hatinya, Rangga berjanji bagaimanapun sulitnya, ia akan menemukan jalan di kota ini. Demi keluarganya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dunia yang Sempurna    panggilan tugas

    Rangga menutup teleponnya, wajahnya langsung berubah serius. "Ada apa?" tanya Tasya, melihat perubahan ekspresi Rangga. Rangga berdiri dari kursinya, mengencangkan jaketnya dan menatap Tasya dengan dingin. "Aku harus kembali ke kota. Ini perintah langsung dari ayahmu." Tasya terdiam. "Lalu, bagaimana denganku?" "Kau tetap di sini. Aku sudah mengatur pengawalanmu. Tidak akan ada yang bisa menyentuhmu." Tasya mendengus, menatapnya dengan ekspresi tidak senang. "Jadi, kau pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?" Rangga menghela napas. Ia tidak bisa menjelaskan lebih jauh, terutama tentang urusan bisnis kotor yang melibatkan ayah Tasya. "Ini urusan penting, Tasya." "Semuanya selalu penting bagimu, kecuali aku." Kata-kata Tasya membuat Rangga terdiam sesaat. Namun, ia tidak bisa terjebak dalam emosi ini. "Aku akan kembali setelah urusanku selesai," kata Rangga akhirnya. "Percayalah, kau tetap aman." Tanpa menunggu jawaban Tasya, Rangga berbalik dan melangkah pergi. Di dalam hati

  • Dunia yang Sempurna    benang merah antara geng

    Di sebuah rumah mewah di pinggiran kota, Beno duduk di sebuah ruangan ber-AC dengan aroma kopi yang masih mengepul. Di hadapannya, seorang pria berjas putih dengan tato burung gagak di lehernya menatap tajam. Pria itu adalah Bayu, pemimpin Geng Gagak Putih. Bayu melemparkan sebuah amplop tebal ke atas meja. "Kerja bagus, Beno. Klien kita puas." Beno mengambil amplop itu dengan tenang, tapi pikirannya masih waspada. Geng Gagak Putih berbeda dari geng lain. Mereka tidak memiliki banyak anggota, tapi uang mereka mengalir deras. Tidak seperti Singa Emas yang fokus pada perdagangan senjata dan bisnis ilegal lainnya, Gagak Putih adalah otak di balik peredaran narkoba kelas atas. Bayu mengisap cerutunya sebelum berkata, "Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu." Beno menaikkan alisnya. "Apa itu?" Bayu bersandar ke kursinya. "Kau masih sering berhubungan dengan Rangga, bukan?" Beno tersentak, tapi ia segera menyembunyikan ekspresi terkejutnya. "Tentu, dia teman lamaku." Bayu menye

  • Dunia yang Sempurna    bayang bayang di balik penelitian

    Setelah beberapa menit berjalan menjauh dari desa, Rangga membawa Tasya ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Ia memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sebelum akhirnya berhenti dan menatap Tasya serius. "Apa yang sebenarnya terjadi, Rangga?" Tasya bertanya dengan kesal. Rangga menarik napas dalam. "Ada seseorang yang mengawasi kita. Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya." Tasya mengernyit. "Mengawasi kita? Tapi ini hanya penelitian biasa!" Rangga tidak menjawab. Naluri pengawalnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba, suara dering ponsel berbunyi. Nomor tidak dikenal. Rangga segera mengangkatnya. "Rangga," suara berat di seberang terdengar. "Siapa ini?" "Aku Anton. Aku orang kepercayaan Tuan Alex yang ditugaskan mengawasi kalian di Bali." Mata Rangga menyipit. "Kenapa aku tidak diberitahu sebelumnya?" "Karena ini perintah langsung dari Tuan Alex," jawab Anton tenang. "Kau mungkin pengawal pribadi Tasya, tapi aku harus memastikan bahwa kau tidak mel

  • Dunia yang Sempurna    tugas ke Bali

    Pagi itu, Rangga baru saja selesai berolahraga di halaman belakang rumah Alex ketika Tasya tiba-tiba menghampirinya. "Rangga, aku ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar Tasya sambil menyilangkan tangannya di dada. Rangga menghentikan gerakannya, mengusap keringat di lehernya dengan handuk kecil. "Apa itu, Nona?" Tasya mengerucutkan bibirnya, tampak tidak suka dipanggil begitu. "Jangan panggil aku Nona, itu terdengar kaku. Panggil saja Tasya." Rangga sedikit tersenyum. "Baiklah, Tasya. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" Tasya menarik napas dalam. "Tugas studiku." "Tugas studi?" "Ya. Untuk mata kuliahku, aku harus melakukan penelitian budaya langsung. Dan kali ini aku mendapat tugas ke Bali untuk mengamati keberagaman budaya di sana." Rangga mengangkat alis. "Bali?" Tasya mengangguk. "Ya. Dan ayah sudah menunjukmu sebagai pendampingku selama di sana." Rangga terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Alex akan mempercayakan tugas sebesar ini kepadanya. "Jadi... aku harus ikut d

  • Dunia yang Sempurna    wajah lain beno

    Di sudut lain kota, Beno duduk santai di sebuah rumah sederhana yang tampak kumuh. Matanya tajam, tak lagi terlihat seperti mahasiswa ceroboh dan periang seperti yang Rangga kenal. Di hadapannya, tiga pria dengan tatapan penuh hormat menunggu instruksi. Salah satu dari mereka menyerahkan sebuah tas hitam kepada Beno. “Semua barangnya sudah siap, Bos.” Beno membuka tas itu, mengecek bungkusan-bungkusan plastik kecil berisi serbuk putih. Ia menyentuhnya sedikit, lalu mengangguk puas. “Bagus.” Ia menutup tas itu dan menyerahkannya kepada pria di sampingnya. “Sebarkan sesuai rencana. Jangan tinggalkan jejak.” Pria itu mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Beno menghela napas, lalu bersandar di kursinya. Siapa sangka, mahasiswa yang selama ini dianggap culun itu justru menjadi bagian dari jaringan peredaran narkoba di kota ini? Seorang pria lain, yang tampaknya lebih senior, mendekat dan berbicara dengan suara pelan. “Bagaimana dengan Rangga? Apa dia masih mencurigai sesuatu?” Beno menye

  • Dunia yang Sempurna    kedatangan tuan putri

    Sebuah mobil mewah meluncur memasuki halaman luas rumah Tuan Alex. Malam itu, suasana terasa lebih hidup dari biasanya. Para penjaga berdiri lebih waspada, sementara Sari tampak sibuk mengatur sesuatu di dalam rumah. Di teras, Alex berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya, menunggu dengan ekspresi datar seperti biasa. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, ada sedikit perubahan dalam sorot matanya. Rangga, yang baru saja kembali dari tugas bersama Rio, berdiri tak jauh dari sana. Ia melihat bagaimana pria itu, yang biasanya dingin dan tanpa ekspresi, kini tampak sedikit lebih… manusiawi. Pintu mobil terbuka, dan seorang wanita muda melangkah keluar dengan anggun. Tasya, putri semata wayang Alex dan Sari, akhirnya pulang setelah sekian lama berkuliah di luar negeri. Rambut panjangnya tergerai, matanya tajam seperti ayahnya, tetapi ada kelembutan di sana, warisan dari ibunya. Ia mengenakan setelan kasual yang tetap terlihat berkelas, dengan tas selempang kecil menggantun

  • Dunia yang Sempurna    wajah yang sebenarnya

    Di sudut sebuah kampung di tengah kota, suasana malam terasa tenang. Lampu-lampu jalanan redup, hanya menyisakan remang-remang di gang sempit yang dipenuhi tembok dengan coretan liar. Seorang pria berjaket hitam, dengan topi menutupi sebagian wajahnya, berdiri di sudut gang. Tangannya bermain-main dengan sebuah bungkus kecil berisi bubuk putih. Dari kejauhan, seorang pemuda berkacamata dengan jaket hoodie mendekat dengan langkah santai. "Kau tepat waktu," suara pria berjaket hitam terdengar dalam nada rendah. Pemuda berkacamata itu menyeringai. "Kau pikir aku mahasiswa yang suka telat?" Pria itu terdiam, lalu menyerahkan bungkusan kecil. "Barangnya murni, tidak ada campuran. Seperti biasa, bayar di muka." Pemuda berkacamata itu mengeluarkan sejumlah uang tunai dari sakunya dan menyerahkannya. Setelah memastikan uangnya sesuai, pria berjaket hitam mengangguk. "Bagus. Kau selalu jadi pelanggan yang rapi." Pemuda berkacamata itu tersenyum kecil, lalu menyimpan bungkusan kecil itu

  • Dunia yang Sempurna    kekuatan dan pengkhianatan

    Empat bulan telah berlalu sejak Rangga pertama kali menginjakkan kaki di dunia kejahatan ini. Kini, ia bukan lagi anak desa yang kebingungan di kota besar—ia telah menjadi ketua kelompok di bawah komando Tuan Alex, berdampingan dengan Rio.Semua tugas yang diberikan kepadanya selalu diselesaikan dengan sempurna. Entah itu pengiriman senjata, transaksi narkoba, atau menyingkirkan musuh, Rangga selalu memastikan bahwa tidak ada kesalahan yang dibuat.Namun, semakin tinggi posisinya, semakin besar pula ancaman yang datang.MISI DI PERBATASAN KOTAMalam itu, Rangga dan Rio memimpin kelompoknya untuk mengamankan pengiriman senjata ke luar kota. Mereka bertemu dengan pemasok di sebuah gudang tua di pinggiran kota.Semua berjalan lancar—koper berisi uang telah diserahkan, dan peti-peti senjata mulai dipindahkan ke truk.Namun, sesuatu terasa janggal.Rio, yang berdiri di sampingnya, berbisik, "Ada yang tidak beres. Aku merasa kita diawasi."Rangga mengamati sekeliling dengan tatapan tajam. S

  • Dunia yang Sempurna    langkah semakin dalam

    Pagi itu, Rangga bangun lebih awal dari biasanya. Meski tubuhnya masih terasa nyeri akibat pertarungan semalam, ia memaksakan diri untuk bangkit dan bersiap.Saat ia turun ke ruang makan, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada beberapa pelayan yang berlalu lalang, sementara Alex belum terlihat.Namun, Sari sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya. Saat melihat Rangga, ia tersenyum tipis."Bagaimana lukamu?" tanyanya."Sudah lebih baik, Bu.. maksud saya, Sari," jawab Rangga dengan sedikit canggung.Sari mengangguk dan mendorong satu piring roti panggang ke arahnya. "Makanlah. Kau akan butuh energi untuk hari ini."Rangga tak menolak. Ia duduk dan mulai makan dalam diam, merasa bahwa Sari ingin mengatakan sesuatu.Benar saja, setelah beberapa saat, wanita itu membuka suara. "Aku tidak tahu apakah aku seharusnya mengatakan ini… tapi kau mengingatkanku pada anakku."Rangga terkejut. "Anakmu?"Sari mengangguk, matanya menerawang. "Ya. Dia seumuran den

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status