Sudah hampir seminggu Rangga mencari pekerjaan. Dari pagi hingga sore, ia dan Beno berjalan dari satu tempat ke tempat lain, toko, restoran, bengkel, bahkan proyek bangunan. Tetapi jawaban yang mereka terima selalu sama.
"Maaf, belum ada lowongan." Hari itu, matahari mulai condong ke barat saat Rangga berjalan sendirian menyusuri trotoar kota. Wajahnya lesu, langkahnya gontai. Beno hari ini tidak bisa menemaninya karena ada urusan di kampus. Perutnya kosong sejak siang tadi. Ia hanya membawa beberapa lembar uang yang tidak cukup untuk makan enak, jadi ia memilih menghematnya. Saat melangkah melewati taman kecil di pinggir jalan, matanya tertuju pada seorang kakek tua yang duduk sendirian di bangku taman. Rambutnya putih, tubuhnya kurus, dan pakaiannya lusuh. Di sampingnya ada sebuah gerobak kecil berisi beberapa kantong plastik berisi barang-barang bekas. Rangga berhenti sejenak, memperhatikan kakek itu yang tampak termenung. Entah kenapa, ada sesuatu dalam diri Rangga yang mendorongnya untuk mendekat. "Assalamualaikum, Kek," sapanya pelan. Kakek itu menoleh, lalu tersenyum samar. "Waalaikumsalam, Nak. Mau duduk?" Rangga mengangguk dan duduk di sampingnya. "Kakek lagi istirahat?" tanyanya. Kakek itu mengangguk pelan. "Iya, Kakek baru keliling cari barang bekas. Usia segini udah nggak bisa kerja berat lagi, jadi Kakek kumpulin barang-barang yang bisa dijual." Rangga menatap gerobak tua di samping kakek itu. Seketika ia merasa dirinya masih jauh lebih beruntung. Setidaknya, ia masih muda dan punya tenaga untuk terus mencari pekerjaan. "Nak, kamu kenapa? Wajahmu kelihatan capek dan sedih," tanya kakek itu tiba-tiba. Rangga tersenyum tipis. "Saya lagi cari kerja, Kek. Udah keliling ke mana-mana, tapi belum ada yang mau nerima." Kakek itu mengangguk pelan, seolah memahami. "Kota ini memang keras, Nak. Tapi jangan pernah putus asa. Kadang, jalan rezeki datang dari arah yang nggak kita duga." Rangga terdiam, mencerna kata-kata itu. "Makasih, Kek," ucapnya tulus. Kakek itu tersenyum lagi. Lalu, dari kantong bajunya, ia mengeluarkan sepotong roti yang sudah agak keras. "Ini buat kamu. Mungkin nggak seberapa, tapi bisa buat ganjal perut." Rangga menatap roti itu, hatinya terasa hangat. Ia ingin menolak, tapi melihat ketulusan di mata kakek itu, ia menerimanya dengan hormat. "Terima kasih, Kek. Saya nggak akan lupa kebaikan Kakek." Sore itu, di bawah langit yang mulai berubah jingga, Rangga merasa sedikit lebih kuat. Kata-kata sang kakek seakan memberinya harapan baru. Ia tahu, ia belum menemukan pekerjaannya. Tapi ia juga tahu, ia tidak akan menyerah. Malam turun dengan cepat. Kota masih ramai, tetapi sebagian jalan mulai lengang. Rangga berjalan sendirian di trotoar, pikirannya masih dipenuhi ucapan kakek tua yang ditemuinya tadi sore. Saat melintasi gang sempit yang temaram, ia mendengar suara perempuan berteriak tertahan. Langkahnya spontan berhenti. Di ujung gang, seorang wanita muda dikelilingi dua pria berjaket hitam. Salah satu dari mereka menarik tasnya, sementara yang lain mengancamnya dengan pisau kecil. "Lepasin! Tolong!" suara wanita itu terdengar panik. Rangga tanpa pikir panjang langsung berlari ke arah mereka. "Hei! Lepaskan dia!" teriaknya lantang. Kedua pria itu menoleh. Salah satunya mendengus. "Urusan lu apa, ha?" Tanpa menunggu jawaban, pria berpisau maju ke arah Rangga, mengayunkan senjatanya dengan kasar. Rangga refleks menghindar, lalu menendang pergelangan tangan pria itu, membuat pisaunya jatuh ke tanah. Pria satunya mencoba menyerang, tetapi Rangga lebih cepat. Dengan satu pukulan ke rahang, pria itu terhuyung ke belakang. Melihat keadaan berbalik, kedua pria itu saling pandang, lalu memutuskan kabur ke gang lain. Rangga menghela napas, lalu menoleh ke arah wanita yang hampir dirampok tadi. "Mbak nggak apa-apa?" tanyanya. Wanita itu masih tampak syok, tapi akhirnya mengangguk. "Aku nggak apa-apa… Terima kasih." Ia menatap Rangga lebih lama, seolah menilai sesuatu. "Siapa namamu?" tanyanya kemudian. "Rangga, Mbak." Wanita itu tersenyum tipis. "Aku Sari. Kamu baru di kota?" Rangga mengangguk. "Iya, saya lagi cari kerja, tapi belum dapat." Sari terlihat berpikir sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, kamu ikut aku. Aku punya pekerjaan untukmu." Rangga terkejut. "Pekerjaan?" Sari mengangguk. "Aku butuh seseorang untuk membantu di rumah. Dan aku yakin suamiku juga tidak akan keberatan." Tanpa banyak pilihan, Rangga akhirnya mengikuti Sari. Ia tidak tahu siapa sebenarnya wanita ini, tapi satu hal yang pasti—kehidupannya di kota baru saja berubah arah. * Rumah yang Tak Terduga Rangga menatap takjub saat mobil yang membawanya berhenti di depan sebuah rumah mewah. Gerbang besi hitam yang tinggi terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman tertata rapi. Lampu-lampu sorot menerangi bangunan megah berlantai dua dengan desain klasik yang elegan. "Masuklah," kata Sari sambil melangkah lebih dulu. Rangga ragu sejenak, tetapi akhirnya mengikuti. Di dalam, rumah itu lebih mewah dari yang ia bayangkan—lantai marmer berkilau, perabotan mahal, dan aroma khas ruangan berkelas. Beberapa pria berbadan tegap berdiri di sudut-sudut ruangan, seperti pengawal pribadi. Langkah Sari terhenti ketika seorang pria keluar dari ruangan dalam. Tinggi, tegap, dengan tatapan tajam yang penuh kewaspadaan. Ia mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung, memperlihatkan tato di lengannya. Pria itu memandang Rangga dengan mata penuh selidik. "Siapa dia?" suaranya dalam dan tegas. Sari tersenyum tipis. "Alex, dia yang menyelamatkanku dari perampokan tadi malam." Alex, suami Sari, menatap Rangga tajam. "Kau membawa orang asing ke rumah kita tanpa memberitahuku dulu?" suaranya dingin. Sari menghela napas. "Dia butuh pekerjaan, dan aku pikir kita bisa memberinya kesempatan." Alex tidak langsung menjawab. Ia berjalan perlahan mendekati Rangga, mengamati pemuda desa itu dari ujung kepala hingga kaki. Lalu, dalam satu gerakan cepat, ia mengeluarkan pistol dari pinggangnya dan menodongkannya langsung ke pelipis Rangga. Rangga membeku. Jantungnya berdegup kencang. "Siapa kau sebenarnya?" suara Alex rendah tapi penuh ancaman. Rangga menelan ludah, tetapi tetap menatap mata pria itu dengan penuh keberanian. "Saya hanya orang biasa yang sedang mencari kerja. Tidak lebih." Sari buru-buru melangkah maju, menyentuh lengan Alex. "Alex, turunkan senjatamu. Dia bukan ancaman." Alex tidak langsung menurut. Matanya masih terkunci pada wajah Rangga, mencoba mencari kebohongan. Ketegangan menggantung di udara. Lalu, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Alex perlahan menurunkan pistolnya. "Baik," katanya akhirnya. "Tapi kalau kau macam-macam, aku sendiri yang akan menghabisimu." Rangga menghela napas panjang, menyadari bahwa hidupnya baru saja melewati ujian pertamanya di rumah ini.Rangga menutup teleponnya, wajahnya langsung berubah serius. "Ada apa?" tanya Tasya, melihat perubahan ekspresi Rangga. Rangga berdiri dari kursinya, mengencangkan jaketnya dan menatap Tasya dengan dingin. "Aku harus kembali ke kota. Ini perintah langsung dari ayahmu." Tasya terdiam. "Lalu, bagaimana denganku?" "Kau tetap di sini. Aku sudah mengatur pengawalanmu. Tidak akan ada yang bisa menyentuhmu." Tasya mendengus, menatapnya dengan ekspresi tidak senang. "Jadi, kau pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?" Rangga menghela napas. Ia tidak bisa menjelaskan lebih jauh, terutama tentang urusan bisnis kotor yang melibatkan ayah Tasya. "Ini urusan penting, Tasya." "Semuanya selalu penting bagimu, kecuali aku." Kata-kata Tasya membuat Rangga terdiam sesaat. Namun, ia tidak bisa terjebak dalam emosi ini. "Aku akan kembali setelah urusanku selesai," kata Rangga akhirnya. "Percayalah, kau tetap aman." Tanpa menunggu jawaban Tasya, Rangga berbalik dan melangkah pergi. Di dalam hati
Di sebuah rumah mewah di pinggiran kota, Beno duduk di sebuah ruangan ber-AC dengan aroma kopi yang masih mengepul. Di hadapannya, seorang pria berjas putih dengan tato burung gagak di lehernya menatap tajam. Pria itu adalah Bayu, pemimpin Geng Gagak Putih. Bayu melemparkan sebuah amplop tebal ke atas meja. "Kerja bagus, Beno. Klien kita puas." Beno mengambil amplop itu dengan tenang, tapi pikirannya masih waspada. Geng Gagak Putih berbeda dari geng lain. Mereka tidak memiliki banyak anggota, tapi uang mereka mengalir deras. Tidak seperti Singa Emas yang fokus pada perdagangan senjata dan bisnis ilegal lainnya, Gagak Putih adalah otak di balik peredaran narkoba kelas atas. Bayu mengisap cerutunya sebelum berkata, "Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu." Beno menaikkan alisnya. "Apa itu?" Bayu bersandar ke kursinya. "Kau masih sering berhubungan dengan Rangga, bukan?" Beno tersentak, tapi ia segera menyembunyikan ekspresi terkejutnya. "Tentu, dia teman lamaku." Bayu menye
Setelah beberapa menit berjalan menjauh dari desa, Rangga membawa Tasya ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Ia memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sebelum akhirnya berhenti dan menatap Tasya serius. "Apa yang sebenarnya terjadi, Rangga?" Tasya bertanya dengan kesal. Rangga menarik napas dalam. "Ada seseorang yang mengawasi kita. Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya." Tasya mengernyit. "Mengawasi kita? Tapi ini hanya penelitian biasa!" Rangga tidak menjawab. Naluri pengawalnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba, suara dering ponsel berbunyi. Nomor tidak dikenal. Rangga segera mengangkatnya. "Rangga," suara berat di seberang terdengar. "Siapa ini?" "Aku Anton. Aku orang kepercayaan Tuan Alex yang ditugaskan mengawasi kalian di Bali." Mata Rangga menyipit. "Kenapa aku tidak diberitahu sebelumnya?" "Karena ini perintah langsung dari Tuan Alex," jawab Anton tenang. "Kau mungkin pengawal pribadi Tasya, tapi aku harus memastikan bahwa kau tidak mel
Pagi itu, Rangga baru saja selesai berolahraga di halaman belakang rumah Alex ketika Tasya tiba-tiba menghampirinya. "Rangga, aku ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar Tasya sambil menyilangkan tangannya di dada. Rangga menghentikan gerakannya, mengusap keringat di lehernya dengan handuk kecil. "Apa itu, Nona?" Tasya mengerucutkan bibirnya, tampak tidak suka dipanggil begitu. "Jangan panggil aku Nona, itu terdengar kaku. Panggil saja Tasya." Rangga sedikit tersenyum. "Baiklah, Tasya. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" Tasya menarik napas dalam. "Tugas studiku." "Tugas studi?" "Ya. Untuk mata kuliahku, aku harus melakukan penelitian budaya langsung. Dan kali ini aku mendapat tugas ke Bali untuk mengamati keberagaman budaya di sana." Rangga mengangkat alis. "Bali?" Tasya mengangguk. "Ya. Dan ayah sudah menunjukmu sebagai pendampingku selama di sana." Rangga terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Alex akan mempercayakan tugas sebesar ini kepadanya. "Jadi... aku harus ikut d
Di sudut lain kota, Beno duduk santai di sebuah rumah sederhana yang tampak kumuh. Matanya tajam, tak lagi terlihat seperti mahasiswa ceroboh dan periang seperti yang Rangga kenal. Di hadapannya, tiga pria dengan tatapan penuh hormat menunggu instruksi. Salah satu dari mereka menyerahkan sebuah tas hitam kepada Beno. “Semua barangnya sudah siap, Bos.” Beno membuka tas itu, mengecek bungkusan-bungkusan plastik kecil berisi serbuk putih. Ia menyentuhnya sedikit, lalu mengangguk puas. “Bagus.” Ia menutup tas itu dan menyerahkannya kepada pria di sampingnya. “Sebarkan sesuai rencana. Jangan tinggalkan jejak.” Pria itu mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Beno menghela napas, lalu bersandar di kursinya. Siapa sangka, mahasiswa yang selama ini dianggap culun itu justru menjadi bagian dari jaringan peredaran narkoba di kota ini? Seorang pria lain, yang tampaknya lebih senior, mendekat dan berbicara dengan suara pelan. “Bagaimana dengan Rangga? Apa dia masih mencurigai sesuatu?” Beno menye
Sebuah mobil mewah meluncur memasuki halaman luas rumah Tuan Alex. Malam itu, suasana terasa lebih hidup dari biasanya. Para penjaga berdiri lebih waspada, sementara Sari tampak sibuk mengatur sesuatu di dalam rumah. Di teras, Alex berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya, menunggu dengan ekspresi datar seperti biasa. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, ada sedikit perubahan dalam sorot matanya. Rangga, yang baru saja kembali dari tugas bersama Rio, berdiri tak jauh dari sana. Ia melihat bagaimana pria itu, yang biasanya dingin dan tanpa ekspresi, kini tampak sedikit lebih… manusiawi. Pintu mobil terbuka, dan seorang wanita muda melangkah keluar dengan anggun. Tasya, putri semata wayang Alex dan Sari, akhirnya pulang setelah sekian lama berkuliah di luar negeri. Rambut panjangnya tergerai, matanya tajam seperti ayahnya, tetapi ada kelembutan di sana, warisan dari ibunya. Ia mengenakan setelan kasual yang tetap terlihat berkelas, dengan tas selempang kecil menggantun
Di sudut sebuah kampung di tengah kota, suasana malam terasa tenang. Lampu-lampu jalanan redup, hanya menyisakan remang-remang di gang sempit yang dipenuhi tembok dengan coretan liar. Seorang pria berjaket hitam, dengan topi menutupi sebagian wajahnya, berdiri di sudut gang. Tangannya bermain-main dengan sebuah bungkus kecil berisi bubuk putih. Dari kejauhan, seorang pemuda berkacamata dengan jaket hoodie mendekat dengan langkah santai. "Kau tepat waktu," suara pria berjaket hitam terdengar dalam nada rendah. Pemuda berkacamata itu menyeringai. "Kau pikir aku mahasiswa yang suka telat?" Pria itu terdiam, lalu menyerahkan bungkusan kecil. "Barangnya murni, tidak ada campuran. Seperti biasa, bayar di muka." Pemuda berkacamata itu mengeluarkan sejumlah uang tunai dari sakunya dan menyerahkannya. Setelah memastikan uangnya sesuai, pria berjaket hitam mengangguk. "Bagus. Kau selalu jadi pelanggan yang rapi." Pemuda berkacamata itu tersenyum kecil, lalu menyimpan bungkusan kecil itu
Empat bulan telah berlalu sejak Rangga pertama kali menginjakkan kaki di dunia kejahatan ini. Kini, ia bukan lagi anak desa yang kebingungan di kota besar—ia telah menjadi ketua kelompok di bawah komando Tuan Alex, berdampingan dengan Rio.Semua tugas yang diberikan kepadanya selalu diselesaikan dengan sempurna. Entah itu pengiriman senjata, transaksi narkoba, atau menyingkirkan musuh, Rangga selalu memastikan bahwa tidak ada kesalahan yang dibuat.Namun, semakin tinggi posisinya, semakin besar pula ancaman yang datang.MISI DI PERBATASAN KOTAMalam itu, Rangga dan Rio memimpin kelompoknya untuk mengamankan pengiriman senjata ke luar kota. Mereka bertemu dengan pemasok di sebuah gudang tua di pinggiran kota.Semua berjalan lancar—koper berisi uang telah diserahkan, dan peti-peti senjata mulai dipindahkan ke truk.Namun, sesuatu terasa janggal.Rio, yang berdiri di sampingnya, berbisik, "Ada yang tidak beres. Aku merasa kita diawasi."Rangga mengamati sekeliling dengan tatapan tajam. S
Pagi itu, Rangga bangun lebih awal dari biasanya. Meski tubuhnya masih terasa nyeri akibat pertarungan semalam, ia memaksakan diri untuk bangkit dan bersiap.Saat ia turun ke ruang makan, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada beberapa pelayan yang berlalu lalang, sementara Alex belum terlihat.Namun, Sari sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya. Saat melihat Rangga, ia tersenyum tipis."Bagaimana lukamu?" tanyanya."Sudah lebih baik, Bu.. maksud saya, Sari," jawab Rangga dengan sedikit canggung.Sari mengangguk dan mendorong satu piring roti panggang ke arahnya. "Makanlah. Kau akan butuh energi untuk hari ini."Rangga tak menolak. Ia duduk dan mulai makan dalam diam, merasa bahwa Sari ingin mengatakan sesuatu.Benar saja, setelah beberapa saat, wanita itu membuka suara. "Aku tidak tahu apakah aku seharusnya mengatakan ini… tapi kau mengingatkanku pada anakku."Rangga terkejut. "Anakmu?"Sari mengangguk, matanya menerawang. "Ya. Dia seumuran den