Keesokan paginya, Rangga bangun lebih awal. Udara pagi di halaman rumah Alex terasa sejuk, meskipun tetap ada aura ketegangan di sekitar rumah besar itu.
Semalam setelah insiden pistol, Alex tidak banyak bicara lagi. Ia hanya menatap Rangga dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Kau bisa tinggal di sini untuk sementara. Tapi jangan coba-coba cari masalah." Kini, di bawah arahan salah satu pekerja lama di rumah itu, Rangga mulai menjalankan tugas barunya menjadi tukang kebun. Dengan cangkul di tangan, ia mulai membersihkan tanah, memangkas ranting, dan menyiram tanaman. Meski pekerjaan ini tidak seperti yang ia bayangkan saat datang ke kota, setidaknya ia bisa mendapatkan tempat tinggal dan makanan. Saat ia sedang menyiram bunga di tepi pagar, Alex muncul, mengenakan jas hitam dengan ekspresi yang lebih santai dibanding semalam. "Kau terbiasa dengan pekerjaan seperti ini?" tanyanya. Rangga menoleh dan mengangguk. "Di desa, saya sering berkebun." Alex mendengus kecil. "Bagus. Aku tidak butuh orang yang hanya bisa ongkang-ongkang kaki." Setelah itu, pria itu pergi, masuk ke dalam mobilnya yang sudah menunggu di depan rumah. Rangga memperhatikan kepergian Alex dengan diam. Satu hal yang pasti, pria itu bukan orang biasa. Tapi setidaknya, untuk saat ini, ia sudah mendapatkan tempat di rumah ini walaupun hanya sebagai tukang kebun sementara. Sudah tiga hari Rangga bekerja sebagai tukang kebun di rumah Sari. Pekerjaan itu tidak sulit, hanya saja suasana di rumah tersebut terasa aneh baginya. Rumah itu terlalu besar, tetapi selalu dijaga oleh pria-pria berbadan kekar yang jarang bicara. Sari kadang mengobrol dengannya sekadar menanyakan kabar, tetapi Alex hampir tidak pernah terlihat kecuali saat hendak pergi atau pulang. Siang itu, setelah selesai membersihkan halaman, Rangga duduk di bangku taman belakang. Ia mengeluarkan ponselnya yang sejak kemarin mati karena kehabisan baterai. Untungnya, ia bisa mengisi ulang dayanya tadi pagi. Dengan cepat, ia membuka aplikasi pesan dan mengetik untuk Beno. Rangga: Ben, lo di mana? Tidak sampai semenit, Beno membalas. Beno: Lagi di kampus, ada jam kuliah. Kenapa? Lo di mana sekarang? Rangga tersenyum tipis, sedikit lega. Ia segera membalas. Rangga: Gue dapet kerjaan, Ben. Beno langsung mengetik dengan cepat. Beno: Serius? Di mana? Kok lo nggak kabarin dari kemarin? Rangga berpikir sejenak. Ia tidak bisa langsung menceritakan semuanya melalui chat. Rangga: Nanti gue jelasin. Tapi tempat gue kerja agak beda dari yang lo bayangin. Beno: Maksud lo? Sebelum Rangga sempat mengetik balasan, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam saku. Seorang pria berbadan kekar berdiri di dekatnya, menatapnya dengan tajam. "Bos mau bicara denganmu," katanya singkat. Rangga langsung paham bahwa yang dimaksud adalah Alex. Ia menghela napas, lalu bangkit. "Baik, saya datang." Dengan langkah mantap, ia mengikuti pria itu ke dalam rumah. Ada sesuatu yang berbeda kali ini seolah Alex punya urusan serius dengannya. Rangga mengikuti pria berbadan kekar itu menuju ruang kerja Alex. Pintu kayu besar terbuka, memperlihatkan ruangan luas dengan rak buku yang berjajar rapi, meja kayu mahal, dan jendela besar yang menghadap ke halaman depan. Di balik meja, Alex duduk dengan ekspresi serius. Sari berdiri tak jauh darinya, menyilangkan tangan di dada. "Duduk," kata Alex, suaranya tegas tapi tidak terdengar mengancam seperti sebelumnya. Rangga menurut, duduk di kursi di hadapan mereka. Alex menggeser sebuah map cokelat di atas meja. "Aku sudah mencari tahu tentangmu." Rangga terdiam, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Kau berasal dari desa. Kedua orang tuamu sudah lama meninggal. Kau datang ke kota untuk mencari pekerjaan demi adik-adikmu," lanjut Alex, matanya menatap tajam. Rangga mengepalkan tangannya di atas paha. Ia tidak suka merasa seperti sedang diinterogasi, tapi semua yang dikatakan Alex memang benar. "Dan karena itu…" Alex menarik napas sebelum melanjutkan, "Aku sudah mengirim orang ke desamu dan membawa adik-adikmu ke sini." Rangga langsung membelalakkan mata. "Apa?!" Sari tersenyum kecil. "Tenang, Rangga. Ini bukan hal buruk." Rangga berusaha mencerna kata-kata mereka. Ia tidak pernah membayangkan Alex akan melakukan hal seperti ini. "Di mana mereka sekarang?" tanyanya dengan suara sedikit gemetar. "Di rumah lain milikku. Aku ingin mereka mendapatkan pendidikan yang layak di kota ini," jawab Alex. "Aku dan Sari hanya memiliki satu anak perempuan yang sedang berkuliah di luar negeri. Kami tahu bagaimana rasanya ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak." Rangga masih sulit percaya. "Kenapa… Kenapa kalian melakukan ini untukku?" Sari mendekat dan menepuk bahunya pelan. "Kau sudah menyelamatkanku. Dan setelah tahu kisah hidupmu, kami merasa kau pantas mendapatkan kesempatan lebih baik. Kami ingin membantu." Rangga terdiam, matanya sedikit berkaca-kaca. Tidak pernah dalam hidupnya ia membayangkan ada orang asing yang mau melakukan sesuatu sebesar ini untuknya dan adik-adiknya. Alex menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Rangga dalam-dalam. "Kau bisa tetap bekerja di sini. Aku akan mencari posisi yang lebih baik untukmu nanti. Tapi yang jelas, kau tak perlu lagi khawatir tentang adik-adikmu." Rangga menundukkan kepala, mencoba menenangkan emosinya. Setelah beberapa detik, ia mengangkat wajah dan menatap Alex serta Sari dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih… Saya benar-benar tidak tahu harus berkata apa." Sari tersenyum, sementara Alex hanya mengangguk pelan. Hidup Rangga di kota ini baru saja berubah dan ia tahu, ini baru permulaan.Rangga menutup teleponnya, wajahnya langsung berubah serius. "Ada apa?" tanya Tasya, melihat perubahan ekspresi Rangga. Rangga berdiri dari kursinya, mengencangkan jaketnya dan menatap Tasya dengan dingin. "Aku harus kembali ke kota. Ini perintah langsung dari ayahmu." Tasya terdiam. "Lalu, bagaimana denganku?" "Kau tetap di sini. Aku sudah mengatur pengawalanmu. Tidak akan ada yang bisa menyentuhmu." Tasya mendengus, menatapnya dengan ekspresi tidak senang. "Jadi, kau pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?" Rangga menghela napas. Ia tidak bisa menjelaskan lebih jauh, terutama tentang urusan bisnis kotor yang melibatkan ayah Tasya. "Ini urusan penting, Tasya." "Semuanya selalu penting bagimu, kecuali aku." Kata-kata Tasya membuat Rangga terdiam sesaat. Namun, ia tidak bisa terjebak dalam emosi ini. "Aku akan kembali setelah urusanku selesai," kata Rangga akhirnya. "Percayalah, kau tetap aman." Tanpa menunggu jawaban Tasya, Rangga berbalik dan melangkah pergi. Di dalam hati
Di sebuah rumah mewah di pinggiran kota, Beno duduk di sebuah ruangan ber-AC dengan aroma kopi yang masih mengepul. Di hadapannya, seorang pria berjas putih dengan tato burung gagak di lehernya menatap tajam. Pria itu adalah Bayu, pemimpin Geng Gagak Putih. Bayu melemparkan sebuah amplop tebal ke atas meja. "Kerja bagus, Beno. Klien kita puas." Beno mengambil amplop itu dengan tenang, tapi pikirannya masih waspada. Geng Gagak Putih berbeda dari geng lain. Mereka tidak memiliki banyak anggota, tapi uang mereka mengalir deras. Tidak seperti Singa Emas yang fokus pada perdagangan senjata dan bisnis ilegal lainnya, Gagak Putih adalah otak di balik peredaran narkoba kelas atas. Bayu mengisap cerutunya sebelum berkata, "Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu." Beno menaikkan alisnya. "Apa itu?" Bayu bersandar ke kursinya. "Kau masih sering berhubungan dengan Rangga, bukan?" Beno tersentak, tapi ia segera menyembunyikan ekspresi terkejutnya. "Tentu, dia teman lamaku." Bayu menye
Setelah beberapa menit berjalan menjauh dari desa, Rangga membawa Tasya ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Ia memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sebelum akhirnya berhenti dan menatap Tasya serius. "Apa yang sebenarnya terjadi, Rangga?" Tasya bertanya dengan kesal. Rangga menarik napas dalam. "Ada seseorang yang mengawasi kita. Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya." Tasya mengernyit. "Mengawasi kita? Tapi ini hanya penelitian biasa!" Rangga tidak menjawab. Naluri pengawalnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba, suara dering ponsel berbunyi. Nomor tidak dikenal. Rangga segera mengangkatnya. "Rangga," suara berat di seberang terdengar. "Siapa ini?" "Aku Anton. Aku orang kepercayaan Tuan Alex yang ditugaskan mengawasi kalian di Bali." Mata Rangga menyipit. "Kenapa aku tidak diberitahu sebelumnya?" "Karena ini perintah langsung dari Tuan Alex," jawab Anton tenang. "Kau mungkin pengawal pribadi Tasya, tapi aku harus memastikan bahwa kau tidak mel
Pagi itu, Rangga baru saja selesai berolahraga di halaman belakang rumah Alex ketika Tasya tiba-tiba menghampirinya. "Rangga, aku ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar Tasya sambil menyilangkan tangannya di dada. Rangga menghentikan gerakannya, mengusap keringat di lehernya dengan handuk kecil. "Apa itu, Nona?" Tasya mengerucutkan bibirnya, tampak tidak suka dipanggil begitu. "Jangan panggil aku Nona, itu terdengar kaku. Panggil saja Tasya." Rangga sedikit tersenyum. "Baiklah, Tasya. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" Tasya menarik napas dalam. "Tugas studiku." "Tugas studi?" "Ya. Untuk mata kuliahku, aku harus melakukan penelitian budaya langsung. Dan kali ini aku mendapat tugas ke Bali untuk mengamati keberagaman budaya di sana." Rangga mengangkat alis. "Bali?" Tasya mengangguk. "Ya. Dan ayah sudah menunjukmu sebagai pendampingku selama di sana." Rangga terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Alex akan mempercayakan tugas sebesar ini kepadanya. "Jadi... aku harus ikut d
Di sudut lain kota, Beno duduk santai di sebuah rumah sederhana yang tampak kumuh. Matanya tajam, tak lagi terlihat seperti mahasiswa ceroboh dan periang seperti yang Rangga kenal. Di hadapannya, tiga pria dengan tatapan penuh hormat menunggu instruksi. Salah satu dari mereka menyerahkan sebuah tas hitam kepada Beno. “Semua barangnya sudah siap, Bos.” Beno membuka tas itu, mengecek bungkusan-bungkusan plastik kecil berisi serbuk putih. Ia menyentuhnya sedikit, lalu mengangguk puas. “Bagus.” Ia menutup tas itu dan menyerahkannya kepada pria di sampingnya. “Sebarkan sesuai rencana. Jangan tinggalkan jejak.” Pria itu mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Beno menghela napas, lalu bersandar di kursinya. Siapa sangka, mahasiswa yang selama ini dianggap culun itu justru menjadi bagian dari jaringan peredaran narkoba di kota ini? Seorang pria lain, yang tampaknya lebih senior, mendekat dan berbicara dengan suara pelan. “Bagaimana dengan Rangga? Apa dia masih mencurigai sesuatu?” Beno menye
Sebuah mobil mewah meluncur memasuki halaman luas rumah Tuan Alex. Malam itu, suasana terasa lebih hidup dari biasanya. Para penjaga berdiri lebih waspada, sementara Sari tampak sibuk mengatur sesuatu di dalam rumah. Di teras, Alex berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya, menunggu dengan ekspresi datar seperti biasa. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, ada sedikit perubahan dalam sorot matanya. Rangga, yang baru saja kembali dari tugas bersama Rio, berdiri tak jauh dari sana. Ia melihat bagaimana pria itu, yang biasanya dingin dan tanpa ekspresi, kini tampak sedikit lebih… manusiawi. Pintu mobil terbuka, dan seorang wanita muda melangkah keluar dengan anggun. Tasya, putri semata wayang Alex dan Sari, akhirnya pulang setelah sekian lama berkuliah di luar negeri. Rambut panjangnya tergerai, matanya tajam seperti ayahnya, tetapi ada kelembutan di sana, warisan dari ibunya. Ia mengenakan setelan kasual yang tetap terlihat berkelas, dengan tas selempang kecil menggantun
Di sudut sebuah kampung di tengah kota, suasana malam terasa tenang. Lampu-lampu jalanan redup, hanya menyisakan remang-remang di gang sempit yang dipenuhi tembok dengan coretan liar. Seorang pria berjaket hitam, dengan topi menutupi sebagian wajahnya, berdiri di sudut gang. Tangannya bermain-main dengan sebuah bungkus kecil berisi bubuk putih. Dari kejauhan, seorang pemuda berkacamata dengan jaket hoodie mendekat dengan langkah santai. "Kau tepat waktu," suara pria berjaket hitam terdengar dalam nada rendah. Pemuda berkacamata itu menyeringai. "Kau pikir aku mahasiswa yang suka telat?" Pria itu terdiam, lalu menyerahkan bungkusan kecil. "Barangnya murni, tidak ada campuran. Seperti biasa, bayar di muka." Pemuda berkacamata itu mengeluarkan sejumlah uang tunai dari sakunya dan menyerahkannya. Setelah memastikan uangnya sesuai, pria berjaket hitam mengangguk. "Bagus. Kau selalu jadi pelanggan yang rapi." Pemuda berkacamata itu tersenyum kecil, lalu menyimpan bungkusan kecil itu
Empat bulan telah berlalu sejak Rangga pertama kali menginjakkan kaki di dunia kejahatan ini. Kini, ia bukan lagi anak desa yang kebingungan di kota besar—ia telah menjadi ketua kelompok di bawah komando Tuan Alex, berdampingan dengan Rio.Semua tugas yang diberikan kepadanya selalu diselesaikan dengan sempurna. Entah itu pengiriman senjata, transaksi narkoba, atau menyingkirkan musuh, Rangga selalu memastikan bahwa tidak ada kesalahan yang dibuat.Namun, semakin tinggi posisinya, semakin besar pula ancaman yang datang.MISI DI PERBATASAN KOTAMalam itu, Rangga dan Rio memimpin kelompoknya untuk mengamankan pengiriman senjata ke luar kota. Mereka bertemu dengan pemasok di sebuah gudang tua di pinggiran kota.Semua berjalan lancar—koper berisi uang telah diserahkan, dan peti-peti senjata mulai dipindahkan ke truk.Namun, sesuatu terasa janggal.Rio, yang berdiri di sampingnya, berbisik, "Ada yang tidak beres. Aku merasa kita diawasi."Rangga mengamati sekeliling dengan tatapan tajam. S
Pagi itu, Rangga bangun lebih awal dari biasanya. Meski tubuhnya masih terasa nyeri akibat pertarungan semalam, ia memaksakan diri untuk bangkit dan bersiap.Saat ia turun ke ruang makan, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada beberapa pelayan yang berlalu lalang, sementara Alex belum terlihat.Namun, Sari sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya. Saat melihat Rangga, ia tersenyum tipis."Bagaimana lukamu?" tanyanya."Sudah lebih baik, Bu.. maksud saya, Sari," jawab Rangga dengan sedikit canggung.Sari mengangguk dan mendorong satu piring roti panggang ke arahnya. "Makanlah. Kau akan butuh energi untuk hari ini."Rangga tak menolak. Ia duduk dan mulai makan dalam diam, merasa bahwa Sari ingin mengatakan sesuatu.Benar saja, setelah beberapa saat, wanita itu membuka suara. "Aku tidak tahu apakah aku seharusnya mengatakan ini… tapi kau mengingatkanku pada anakku."Rangga terkejut. "Anakmu?"Sari mengangguk, matanya menerawang. "Ya. Dia seumuran den