Langit senja mulai meredupkan warnanya, dan kedai kopi yang mereka masuki semakin sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk di sudut-sudut ruangan, berbicara dengan suara pelan. Namun, bagi Rainer dan Elyse, dunia mereka seakan terhenti sejenak ketika pria bertubuh besar itu berbicara.
Pria itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Darvin, memiliki pandangan tajam yang membuat Rainer merasa waspada. Bahkan di tengah keraguan dan kebingungannya, Rainer tidak bisa menahan rasa penasaran. Siapa pria ini? Dan apa yang dia inginkan dengan menawarkan bantuan di dunia yang begitu rumit ini?
“Jadi, bagaimana?” Darvin melanjutkan, melihat ke arah mereka dengan senyum licik. “Apakah kalian berdua ingin mengetahui bagaimana cara mengakses kekuatan yang lebih besar, atau apakah kalian akan tetap berjalan di jalur yang penuh rintangan ini, tanpa arah dan tujuan?”
Rainer menatapnya dengan dingin. “Kekuatan besar… apa yang sebenarnya kamu tawarkan, Darvin?”
Darvin menyandarkan tubuhnya ke belakang, mempermainkan gelas minumannya. “Sihir bukanlah satu-satunya sumber kekuatan di dunia ini, Rainer. Kekuatan sejati berasal dari kontrol. Kontrol atas sistem. Aku tahu siapa yang memegang kekuasaan, siapa yang menarik tali di balik layar, dan siapa yang bisa kalian ajak bekerja sama.”
Elyse, yang sudah mulai merasa tidak nyaman dengan arah percakapan ini, bersuara. “Apa maksudmu dengan ‘bekerja sama’? Dan siapa yang akan kami hadapi dengan bantuanmu?”
Darvin menyeringai, menikmati ketegangan yang melingkupi meja mereka. “Kerajaan ini dikuasai oleh para bangsawan yang sudah lama menikmati posisi mereka. Mereka memandang orang-orang seperti kalian sebagai sampah. Tapi ada celah. Ada cara untuk mengakses kekuasaan. Dan aku bisa membantumu mendapatkan pengaruh, memanipulasi sistem agar kalian bisa berada di posisi yang kuat.”
Elyse menatap Darvin dengan curiga. “Tapi apa yang kau inginkan sebagai imbalan?”
Rainer menoleh ke Elyse, memberikan tanda agar ia tidak terburu-buru menyimpulkan. Mereka baru saja menemukan seorang yang tahu lebih banyak dari mereka, dan ini bisa jadi kesempatan untuk memulai langkah pertama mereka. Tetapi mereka harus berhati-hati. Dalam dunia yang penuh dengan intrik ini, satu langkah salah bisa berakibat fatal.
“Imbalan?” Darvin tertawa, kemudian menatap Rainer dengan mata penuh pengertian. “Imbalannya sederhana, anak muda. Aku hanya ingin kalian tahu satu hal—untuk menggulingkan sistem yang ada, kita membutuhkan lebih dari sekadar sihir. Kita butuh kontrol. Dan aku akan membantu kalian, asal kalian siap untuk mengambil risiko.”
Rainer merenung sejenak. Dunia ini bukan hanya tentang kecerdasan dan sihir. Di dunia yang dipenuhi dengan ketidakadilan ini, siapa yang bisa mengendalikan sistemlah yang akan bertahan hidup. Darvin bukan hanya seorang pemberi informasi; ia tahu permainan ini. Jika Rainer dan Elyse ingin bertahan hidup dan mengubah dunia, mereka harus belajar cara bermain.
“Baiklah,” kata Rainer, suara tegasnya menggema di kedai yang hening. “Apa yang harus kami lakukan?”
Darvin menyandarkan tubuhnya di kursi, merasa puas dengan keputusan mereka. “Pertama, kalian harus memahami posisi kalian di dunia ini. Kalian berdua bukan siapa-siapa—hanya orang biasa tanpa kekayaan, tanpa dukungan. Namun, kalian memiliki sesuatu yang lebih berharga daripada apa pun yang dimiliki oleh orang-orang di sekitar kalian: pengetahuan. Pengetahuan tentang sihir, taktik, dan cara merancang masa depan.”
Rainer menahan napas. Kalimat itu menggugahnya, namun ia tahu bahwa mereka harus melangkah hati-hati. Di dunia ini, pengetahuan dan kecerdasan memang bisa menjadi senjata yang kuat. Namun, itu juga bisa menjadi boomerang yang berbahaya jika digunakan dengan sembarangan.
“Kami mengerti,” kata Elyse, suaranya lebih tenang sekarang. “Tapi apa yang kamu inginkan sebagai imbalan untuk bantuanmu?”
Darvin kembali mengerutkan bibirnya dalam senyuman yang menakutkan. “Aku ingin kalian membantu aku menumbangkan beberapa kekuatan yang ada di kerajaan ini. Tidak ada yang bisa mengubah dunia tanpa mengalahkan para penguasa. Aku akan memberi kalian petunjuk, tetapi kalian harus melaksanakan rencanaku.”
Rainer memandang Darvin dengan seksama. Dia tahu betul bahwa membuat kesepakatan dengan orang seperti Darvin bisa berisiko. Namun, di sisi lain, mereka tidak punya banyak pilihan. Jika mereka ingin mencapai tujuan mereka, mereka harus mulai membentuk aliansi, bahkan dengan orang yang tidak sepenuhnya dapat mereka percayai.
“Baik,” kata Rainer akhirnya. “Tapi kita perlu lebih banyak informasi. Kita tidak bisa bergerak tanpa memahami apa yang akan kita hadapi.”
Darvin mengangguk, matanya berbinar. “Kalian akan mendapatkan informasi yang kalian butuhkan. Namun, kalian harus tahu bahwa dunia ini penuh dengan bahaya. Banyak orang yang akan mencoba menjatuhkan kalian, dan hanya mereka yang kuat dan pintar yang bisa bertahan.”
Setelah percakapan itu, mereka berpisah dari Darvin dan pergi ke penginapan terdekat. Malam sudah larut, dan kota ini terasa semakin gelap dengan suasana yang berat. Rainer dan Elyse duduk di kamar mereka, berpikir keras tentang apa yang telah mereka setujui.
Elyse memecah keheningan dengan suara pelan. “Apakah kita benar-benar harus bekerja sama dengan orang seperti itu? Apa dia benar-benar bisa dipercaya?”
Rainer menghela napas panjang. “Tidak ada yang bisa dipercaya sepenuhnya di dunia ini, Elyse. Tapi kita tidak bisa maju tanpa aliansi. Darvin mungkin tidak sepenuhnya jujur, tapi kita membutuhkan informasi. Kita akan mengontrol langkah-langkah kita dengan hati-hati. Jika kita bermain dengan benar, kita bisa memanfaatkan kesepakatannya tanpa menjadi bagian dari permainan kotor itu.”
Elyse mengangguk, meskipun ekspresinya masih ragu. “Aku berharap kita tidak membuat kesalahan besar.”
Rainer memandang keluar jendela, menatap langit yang mulai gelap. “Ini adalah langkah pertama. Kita harus terus maju, karena dunia ini tidak akan menunggu kita. Kita hanya punya satu kesempatan untuk mengubahnya.”
Keesokan harinya, Rainer dan Elyse mulai merencanakan langkah-langkah mereka. Mereka tahu bahwa mereka harus lebih berhati-hati dalam memilih siapa yang akan mereka percayai dan bagaimana mereka bergerak. Darvin hanyalah bagian kecil dari teka-teki besar yang harus mereka pecahkan.
Namun, yang terpenting adalah satu hal yang mereka sadari: mereka sudah terjerat dalam permainan kekuasaan ini, dan satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menguasai permainan itu.
Kilatan cahaya menyelimuti seluruh ruang dalam Menara Caelus. Cahaya dari Prisma Keempat memancar, menyatu dengan tiga fragmen sebelumnya yang telah Rainer kumpulkan. Suara bisikan kuno membahana, menyampaikan pesan yang tak dapat ditangkap oleh telinga biasa—melainkan oleh jiwa yang bersedia menerima kebenaran seutuhnya.Rainer berdiri di tengah pusaran cahaya itu, matanya terbuka lebar, menyerap seluruh memori dan kebenaran yang tersimpan selama ribuan tahun. Sosok Aeron, bayangan dari masa lalu, perlahan menghilang—senyumnya pudar, meninggalkan beban yang tak kasat mata.Elyse mendekat, wajahnya penuh kecemasan. “Apa yang kau lihat?”Rainer tidak langsung menjawab. Tangannya gemetar. Di matanya tergambar peperangan yang belum pernah diceritakan, pengkhianatan oleh mereka yang dicatat sebagai pahlawan, dan dunia yang dibentuk bukan dari harapan, melainkan dari ketakutan para pendiri.“Aku melihat... dunia yang kita kenal bukan hasil dari kebijaksanaan. Tapi hasil dari keputusan terb
Angin dingin dari utara membawa kabar buruk.Pagi itu, Rainer berdiri di atas puncak benteng pengamatan, memandangi pusaran cahaya yang membelah langit dari kejauhan. Fenomena itu muncul mendadak—tidak satu pun dari alat-alat sihir mereka bisa mendeteksi energi semacam itu sebelumnya. Tapi satu hal jelas: titik pusatnya adalah Menara Caelus, struktur kuno dari Zaman Awal yang selama ini hanya dianggap reruntuhan tak berfungsi.Kini, menara itu bersinar. Hidup kembali.“Menara keempat telah bangkit,” gumam Rainer.Di belakangnya, Elyse datang membawa gulungan tua yang diambil dari arsip Perpustakaan Tengah. “Ada yang menarik,” katanya sambil membuka gulungan di meja observasi. “Menurut peta zaman kuno, Menara Caelus bukan hanya tempat sihir—melainkan tempat penyimpanan memori dunia.”Rainer menoleh, alisnya terangkat. “Memori dunia?”Elyse mengangguk. “Sesuatu yang disebut ‘Rekam Astral’. Sebuah sistem penyimpanan sihir yang bisa merekam kejadian dan pengetahuan dari masa lalu. Jika be
Dunia berubah, tapi perubahan sejati tidak pernah datang tanpa konsekuensi.Sepekan setelah kepulangan Rainer dari Perpustakaan Tengah, gelombang informasi mulai merembes ke setiap pelosok kerajaan. Terjemahan parsial Simfoni Tertinggal telah disalin dan disebarkan ke berbagai sekolah sihir rakyat dan tempat-tempat belajar kecil yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota besar.Di awalnya, banyak yang menertawakan dokumen itu. Mereka menyebutnya propaganda seorang anak dari kasta rendah yang menginginkan kekuasaan melalui pengetahuan. Namun semakin banyak yang membaca, semakin banyak pula yang mulai bertanya-tanya.“Kalau sihir bukan bakat keturunan, mengapa kami tidak bisa mempelajarinya?”“Kenapa hanya keluarga bangsawan yang punya akses ke sekolah sihir tingkat tinggi?”Pertanyaan-pertanyaan itu menyebar lebih cepat daripada yang diperkirakan siapa pun.Dan dari balik dinding istana, para bangsawan mulai merasakan tekanan.Di ruang utama Dewan Tertinggi Bangsawan, sebuah pertemua
Hujan turun pelan di atas atap markas, membasahi kaca jendela tempat Rainer bersandar. Di tangan kirinya, liontin yang memuat tiga fragmen kini berpendar aneh—perpaduan antara cahaya dan kegelapan, seolah dua kekuatan bertentangan sedang saling menekan, mencari bentuk akhir dari sebuah kebenaran.Elyse melangkah masuk tanpa suara, membawa dua cangkir teh. Ia menyerahkan satu pada Rainer sebelum ikut bersandar di sisi jendela. Diam.“Apa kau pernah merasa,” kata Elyse akhirnya, “bahwa dunia ini... lebih tua dari yang kita tahu?”Rainer tersenyum kecil. “Tidak hanya lebih tua. Tapi juga lebih terluka.”Ia mengangkat liontin. “Setiap fragmen membawa ingatan. Yang pertama memberi petunjuk tentang asal usul sistem kasta. Yang kedua memperlihatkan eksperimen sihir terhadap manusia biasa. Tapi yang ketiga...”“...membawa kehampaan,” sambung Elyse pelan. “Aku merasakannya saat kita berada di altar itu.”“Dan lebih dari itu.” Rainer berbalik, berjalan ke meja penuh dokumen. Ia mengambil satu g
Langit malam menyelimuti dunia dengan kelam yang lebih pekat dari biasanya. Di luar ibu kota, jauh dari mata para penguasa dan rakyat biasa, Menara Bayangan berdiri di atas bukit batu yang tandus, dikelilingi reruntuhan peradaban lama yang telah lama dilupakan. Di dalam menara itu, sihir lama—sihir yang bahkan tidak dikenali oleh Akademi Sihir Pusat—masih hidup.Di tengah lingkaran sihir yang berpendar redup, pria berjubah ungu tua itu membuka matanya. Mereka bersinar hijau pucat, bukan karena sihir, tapi karena kekosongan yang menghuni raganya. Ia bukan lagi manusia biasa. Namanya telah lama dihapus dari sejarah, digantikan dengan satu julukan: Nihros, sang Pemelihara Kekosongan.“Fragmen ketiga telah terbangun,” gumam Nihros. Suaranya nyaris seperti bisikan di antara celah kenyataan. “Dan si bocah itu... mulai mengganggu alur.”Di sekelilingnya, entitas-entitas tak bernama—makhluk yang dulunya manusia, tapi telah dirusak oleh sihir gelap dari
Ruangan Majelis Tertinggi tidak seperti aula biasa di kerajaan—ia tidak hanya dibangun dari marmer dan batu mulia, tapi dari keheningan yang dalam dan rasa takut yang menggantung. Di tempat inilah hukum kerajaan diciptakan, strategi perang dirancang, dan takdir rakyat ditentukan.Pagi itu, ratusan kursi di tribun atas dipenuhi para bangsawan, penyihir agung, akademisi, dan bahkan utusan luar negeri. Mereka semua datang karena undangan langka: seseorang dari kalangan bawah, tanpa darah bangsawan, tanpa gelar, akan berbicara di hadapan Majelis.Rainer berdiri di tengah podium, mengenakan jubah hitam dengan garis emas yang dirancang Elyse dan para pendukungnya—sebuah simbol antara perlawanan dan martabat. Di belakangnya, Elyse berdiri tegak, mata tajamnya menyapu ruangan.Suara bel logam berdentang tiga kali, menandakan awal sesi. Di kursi utama, High Consul Avarel—pemimpin tertinggi Majelis—mengangguk ke arah Rainer.“Rainer dari distrik bawah, pemegang fra