“Ayo turun!” ajak Damar lagi. Namun, Diana hanya melirik tanpa suara.
“Atau aku mau naiki?” kekeh Sang Dosen yang disambut pelototan dari Diana.“Oke, oke! Jangan menatapku seperti itu. Kamu terlalu menakutkan,” imbuh Damar lagi tertawa konyol.Mobil yang dikendarai oleh Damar dan Diana sampai di sebuah rumah 2 lantai dengan halaman yang cukup luas. Pilar pilar tinggi yang kokoh menyangga bagian atapnya.“Nah, itu Bunda dan Ayah sudah datang,” girang Bu Maya memberitahu Shanum dengan heboh.Di depan rumah sana, Mama Maya, Carol dan Shanum tampak antusias menunggu kedatangan Diana.Dapat terlihat dari senyum di wajah wanita tua tersebut manakala Damar menggendong Diana dan mendudukkan wanita tersebut ke atas kursi roda; yang telah disediakan di samping mereka bertiga.Dengan wajah pucat, Mama Maya berjalan ke arah Diana. Melihat kecantikan dan wajah polos wanita yang berada di atas kursi roda, Mama Maya merasa sangat terpukau.Apalagi saat mendengar j“Kalau sampai Damar dan juga wanita itu memiliki anak lagi, pasti kamu tidak akan di pedulikan!” desis Helen semakin emosi. Carol menyangkal. Meski dirinya tidak pernah dicintai oleh Damar, tetapi wanita itu tahu betul bagaimana sikap suaminya selama ini. “Mas Damar bukan lelaki seperti itu. Aku yakin dia bisa adil dalam membagi waktu!” yakin nya pada diri sendiri. “Itu hanya pemikiran mu saja, Carol! Tetapi sejatinya menurut logika, tentu lelaki itu akan berubah. Apalagi di antara kamu dengannya tidak memiliki anak. Sementara dengan wanita itu, dia memiliki dua keturunan.” “Mana yang akan di pedulikan? Tentu saja mereka, anak kandung suamimu sendiri! Bukan kamu! Buka matamu lebar-lebar untuk melihat keadaan yang pernah ada di sekitar kita. Jangan jadi wanita bodoh!” terang Helen mencoba meruntuhkan ke keras kepalaan sang anak bungsu. Sementara Max hanya terdiam saat mama dan juga adiknya saling beradu mulut. Sete
Atmosfer panas semakin terasa di ruangan ini. Mama Helen membuang napasnya dengan kasar. Dadanya sangat sakit saat mendengar keputusan putrinya yang dianggap semena-mena.“Baiklah kalau begitu, kamu bukan anak mama lagi. Hiduplah sesuai keinginanmu dan jangan pernah kembali pada keluarga kami! Mama benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang ada di kepalamu!” umpat Helen dengan nada tinggi.Dia sudah tak tahan lagi. Bahkan, air mata menetes mendengar putri semata wayangnya harus diduakan demi sebuah keturunan. Sakit, mana ada ibu yang mau melihat putrinya seperti itu?“Sekali lagi aku minta maaf, Ma,” ucap Caroline dengan sungguh-sungguh sambil membungkuk kan tubuh. Dia merasa sangat bersalah, namun juga tak bisa berbuat banyak. Penyakit itu tak bisa membuatnya memiliki keturunan.“Sampai kapan pun, mama tidak akan pernah memaafkanmu. Camkan itu!” desis Helen dengan debaran dada tak menentu."Ma, tolong jangan seperti ini. Sampai kapan
Hati ibu mana yang tak terluka jika anaknya akan dipoligami? Semua ibu akan marah jika di dalam posisi Helen.Poligami itu hal yang berat dan tak akan pernah adil dalam hal apa pun. Ia yakin, Carol tak akan sanggup menjalaninya.Damar ikut meninggikan intonasi. Tapi tetap dengan rasa hormat. “Tolong jangan mengatakan anakku sebagai anak haram, Ma! Lagian, kami udah sepakat dan setuju. Kami gak akan mundur!!”“Kenapa tidak boleh? Bukannya gadis kecil itu tidak bernasab padamu? Kamu tidak wajib memberinya nafkah menurut aturan agama kita! Sudahlah, Mar! Ceraikan Carol kalau kamu emang mau nikah lagi! Gak usah bawa dalil kalau lelaki bebas nikah sebanyak empat kali! Gak, mama gak akan rela Carol dimadu sama kamu!” ujar Helen menerangkan.“Ini bukan soal agama atau apa pun. Ini hanyalah sebuah bentuk tanggung jawab!” ujar Damar membela Shanum dan juga Diana.“Tanggung jawab katamu? Tanggung jawab dengan kamu melukai hati putriku seperti ini? Apa kamu tidak pernah ber
Maya memperhatikan gerak-gerik Helen. Dia tersenyum penuh kemenangan. “Baru kali ini aku bisa membalas perkataan besanku yang dulunya mengatakan Damar tidak subur. Rasakan kali ini dengan kenyataannya.” batinnya.“Ma, sudahlah tenang dulu.” Caroline kemudian meminta asisten rumah tangga yang baru saja menyajikan minuman juga makanan di atas meja supaya mengajak Shanum pergi dulu dari sini.Pembahasan ini tentu saja akan sangat panjang. Dan ini di luar kendalinya.“Tenang bagaimana? Apa kamu tahu hal ini?” kejar Helen kepada sang anak.Carol mengangguk. “Iya, aku tahu sejak dulu.”“Ya Tuhan! Damar! Tolong jelaskan semua ini! Kamu sudah pernah menikah sebelumnya? Kamu ... Kamu punya anak haram!” bentak Helen meninggikan intonasi suaranya.“Belum. Tapi jangan sebut Shanum anak haram, Ma! Dia anak yang suci.” Damar menjawab secara singkat. Padahal dia ingin memberitahukan hal ini nanti nanti saat semuanya sudah berhasil dikendalikan.“Jika begini caranya, mu
“Bu, apa kita jadi mengunjungi ayah?” tanya Shanum saat melihat ibunya sedang sibuk di dapur sambil menyiapkan makanan yang diminta oleh Damar adi melalui sambungan telepon.Diana hanya bisa terdiam. Sebenarnya dia enggan bertemu dengan lelaki yang telah memberinya satu anak tersebut karena pertengkaran mereka tadi pagi.“Bu, kok diam aja?”Lagi dan lagi, Shanum membuyarkan lamunannya. Sembari tersenyum dan memasukkan makanan ke dalam sebuah kotak makan khusus berwarna ungu tua, Diana menjawab pertanyaan sang putri.“Ibu tidak ikut saja. Kamu pergi berdua saja sama Oma, ya?” pinta wanita tersebut dengan lembut. Dia sudah tidak mau lagi bertemu dengan lelaki yang sangat egois itu.“Tapi tadi aAah minta supaya ibu datang, loh.”“Ibu ada urusan sebentar, Nak,” bohongnya.“Urusan apa memangnya?” Seperti biasa, anak itu akan bertanya dari pucuk sampai ke akar sebelum mendapatkan jawaban yang pasti.Setelah
“Maafkan aku yang tidak bisa berada di dekat kalian saat kalian membutuhkan ku. Aku benar-benar menyesal. Tolong beri aku kesempatan,” ucap Damar terenyuh. Diana membungkamnya dengan kata-kata menyakitkan.“Dan saat dia sudah besar, kamu meminta kami untuk kembali dan hidup bersama istrimu? Apa kamu tidak pernah berpikir, bagaimana pandangan orang-orang terhadapku? Terlebih pandangan dari Bu Helen saat aku harus menjadi orang ketiga dalam berumah tangga anaknya? Kamu tidak berpikir sampai ke situ, ha?” Diana membentak dengan air mata yang terus luruh.Air mata kian menetes dan menjadi seksi bagaimana perjuangan hidup Diana yang tidak main-main. Sudut bibirnya yang mungil tersebut melengkung, membentuk senyuman dengan sorot mata yang dingin. Bahkan, ucapan Diana tidak ada ramah ramahnya sama sekali.“Pergilah. Karena apa pun yang aku ceritakan pasti tidak akan pernah membuatmu sadar dan bisa merasakan bagaimana menjadi kami dulunya." Diana kemudian beranjak dari sana