“Hai, Shanum.” Caroline melepas tautan tangannya pada Damar dan menyapa anak tirinya itu.
“Hai, Bunda.” Bocah kecil tersebut tersenyum kearah istri pertama ayahnya.“Besok kamu mulai sekolah. Mau?” tawar Damar dengan lembut, mengambil hati putrinya.“Mau, mau, mau, aku mau sekolah!” girang Shanum lagi sambil mengangkat kedua tangannya.“Ok. Besok ayah antarkan ke sekolah,” ucap Damar lagi sambil tersenyum. Dia emmasang wajah ramah pada Shanum kali ini.Diana kemudian memprotes. “Pak, siapa yang akan menunggu Shanum nanti? Aku masih seperti ini,” keluhnya.“Kenapa harus bingung, Diana? Kami bisa mempekerjakan seorang pengasuh,” usul Caroline dengan tersenyum ke arah calon madunya itu.Diana menggeleng ke arah dua pasangan suami istri ini. ”Tidak perlu, Mbak. Tidak usah berlebihan seperti itu,” elaknya.“Kalau kamu tidak mau memakai pengasuh, biarkan mama saja yang menunggu Shanum.” Mama Mayang menawarkan diri. Beliau mengelus rambut Shanum dengan lembu“Bu, apa kita jadi mengunjungi ayah?” tanya Shanum saat melihat ibunya sedang sibuk di dapur sambil menyiapkan makanan yang diminta oleh Damar adi melalui sambungan telepon.Diana hanya bisa terdiam. Sebenarnya dia enggan bertemu dengan lelaki yang telah memberinya satu anak tersebut karena pertengkaran mereka tadi pagi.“Bu, kok diam aja?”Lagi dan lagi, Shanum membuyarkan lamunannya. Sembari tersenyum dan memasukkan makanan ke dalam sebuah kotak makan khusus berwarna ungu tua, Diana menjawab pertanyaan sang putri.“Ibu tidak ikut saja. Kamu pergi berdua saja sama Oma, ya?” pinta wanita tersebut dengan lembut. Dia sudah tidak mau lagi bertemu dengan lelaki yang sangat egois itu.“Tapi tadi aAah minta supaya ibu datang, loh.”“Ibu ada urusan sebentar, Nak,” bohongnya.“Urusan apa memangnya?” Seperti biasa, anak itu akan bertanya dari pucuk sampai ke akar sebelum mendapatkan jawaban yang pasti.Setelah
“Maafkan aku yang tidak bisa berada di dekat kalian saat kalian membutuhkan ku. Aku benar-benar menyesal. Tolong beri aku kesempatan,” ucap Damar terenyuh. Diana membungkamnya dengan kata-kata menyakitkan.“Dan saat dia sudah besar, kamu meminta kami untuk kembali dan hidup bersama istrimu? Apa kamu tidak pernah berpikir, bagaimana pandangan orang-orang terhadapku? Terlebih pandangan dari Bu Helen saat aku harus menjadi orang ketiga dalam berumah tangga anaknya? Kamu tidak berpikir sampai ke situ, ha?” Diana membentak dengan air mata yang terus luruh.Air mata kian menetes dan menjadi seksi bagaimana perjuangan hidup Diana yang tidak main-main. Sudut bibirnya yang mungil tersebut melengkung, membentuk senyuman dengan sorot mata yang dingin. Bahkan, ucapan Diana tidak ada ramah ramahnya sama sekali.“Pergilah. Karena apa pun yang aku ceritakan pasti tidak akan pernah membuatmu sadar dan bisa merasakan bagaimana menjadi kami dulunya." Diana kemudian beranjak dari sana
“Katakan, ada hubungan apa kamu dengan Maxim?” tanya Damar menyelidik. Meski kejadian tersebut sudah berlalu 6 tahun lebih dan juga Max telah menikah dengan orang lain, tetapi rasa cemburu itu tetap saja ada di dalam hatinya.Bahkan, Damar juga ingin tahu bagaimana masa lalu yang terjadi di antara kakak ipar nya dan juga Diana.“Aku tidak Mempunyai hubungan apapun dengannya. Kenapa kamu tidak percaya denganku?” Diana mengokohkan tongkat pada kedua ketiaknya. Berusaha pergi dari sana namun pria berbadan tegap tersebut selalu saja menghalangi.Damar kemudian berkata lagi, “Karena dia mengatakan jika dia menyukaimu dulu!” terangnya.“Dulu? Itu sudah sangat lama. Kalo memang Maxim menyukaiku, memangnya apa urusannya dengan ku? Itu hak asasi dia, yang bebas menyukai siapapun sesuai keinginannya. Kenapa kamu harus repot repot memikirkan hal itu, Pak Damar?” tanya Diana lagi.Damar merasa tidak terima. “Jelas ada urusannya. Karena saat
Diana kemudian menoleh tanpa suara. Kenapa pria yang berada di hadapannya ini masih mengingat masa lalu?“Tidak pernah,” elaknya.Jangan-jangan, Damar sadar akan kepergiannya dulu? Batin Diana menerka.“Kamu yakin?”“Ya.” Diana menjawab dengan singkat.“Aku tahu kamu berbohong. Karena kamu tak mau menatapku saat bicara. Jadi, kamulah Diana yang kabur saat aku dan Carol berkunjung ke sana.” tutur Damar lagi.Diam. Diana masih mengingat semua itu dengan jelas. Bagaikan slide foto yang melintas di kepalanya.“Kenapa diam? Jadi waktu itu, kamu tahu jika aku datang?” ulang Damar berkata pelan. Dari hati ke hati, namun tetap saja menyakitkan.“Ya, tapi ... Tidak perlu membahasnya lagi,” balas Diana final.“Tentu saja aku akan membahasnya. Jika kamu tidak menghindar dari ku, saat itu juga aku akan bertanggung jawab padamu!”“Semuanya sudah terlambat, Pak. Kita hanya sepenggal kisah masa lalu,” jawab Diana sendu.“Maaf. Aku tahu kesalahanku tidak
“Kenapa kamu tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan istrimu, Pak? Hanya dengan berduaan seperti ini di kamar saja pasti sudah membuat hati yang terluka. Apa Anda tidak pernah memahami perasaan seorang wanita? Aku kira Anda sudah berpengalaman dalam hal ini. Ternyata aku salah, Anda sangat egois!” tegas Diana lagi. Dia melirik Damar penuh arti. Menyelami bola mata hitam pekat dan memberi lelaki itu pengertian.“Egois dalam hal apa? Aku memintamu tinggal bersama karena permintaan dari istriku. Bahkan, dia memintamu untuk menjadi istri kedua ku.” Mata sipit nya itu tampak seperti bulan sabit. Damar meyakinkan jika semua akan baik-baik saja.“Kalau Anda seseorang yang ber perasaan, tentu saja tidak kamu menerima hal tersebut. Poligami, mana ada wanita yang rela di duakan? Dan hanya wanita gila yang mau menjadi istri kedua! Meski hartamu sangat banyak, jangan serakah! Karena aku tak akan pernah silau!” tukas Diana lagi meninggi.“Aku tidak mungkin melepaskanmu, Diana,” uc
“Hai, Shanum.” Caroline melepas tautan tangannya pada Damar dan menyapa anak tirinya itu.“Hai, Bunda.” Bocah kecil tersebut tersenyum kearah istri pertama ayahnya.“Besok kamu mulai sekolah. Mau?” tawar Damar dengan lembut, mengambil hati putrinya.“Mau, mau, mau, aku mau sekolah!” girang Shanum lagi sambil mengangkat kedua tangannya.“Ok. Besok ayah antarkan ke sekolah,” ucap Damar lagi sambil tersenyum. Dia emmasang wajah ramah pada Shanum kali ini.Diana kemudian memprotes. “Pak, siapa yang akan menunggu Shanum nanti? Aku masih seperti ini,” keluhnya.“Kenapa harus bingung, Diana? Kami bisa mempekerjakan seorang pengasuh,” usul Caroline dengan tersenyum ke arah calon madunya itu.Diana menggeleng ke arah dua pasangan suami istri ini. ”Tidak perlu, Mbak. Tidak usah berlebihan seperti itu,” elaknya.“Kalau kamu tidak mau memakai pengasuh, biarkan mama saja yang menunggu Shanum.” Mama Mayang menawarkan diri. Beliau mengelus rambut Shanum dengan lembu