LOGINMargarethe tetap duduk beberapa detik setelah suara pintu Leonhardt menghilang. Cangkir kopinya sudah mendingin di tangannya. Aroma pahit masih naik tipis, bercampur dengan sisa bawang tumis dan sesuatu yang lebih sulit dijelaskan—ketegangan yang tak sempat menguap. Di seberangnya, kursi Friedrich kosong. Kursi Leonhardt juga. Dua kursi itu kini hanya benda mati. Tapi bagi Margarethe, keduanya terasa seperti pernyataan: tidak ada yang benar-benar duduk di meja ini tanpa membawa niat. Ia menyesap kopi sekali lagi. Hambar. Adelheid menggeser kursinya, duduk kembali, lalu menatap piring sarapan yang kini ditinggalkan begitu saja. “Hubungan ayah–anak paling hangat yang pernah kulihat,” gumamnya. “Nyaris seperti duel kehormatan tanpa pedang.” Margarethe meneguk kopi. Panasnya menyentuh bibir, pahitnya turun perlahan. Ia tak langsung menjawab. Adelheid melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Dia menatap putranya seperti sedang menilai prajurit yang gagal… dan Leonhardt menat
Berlin, malam itu.Langit tak berbintang. Di dalam mobil yang melaju pelan menyusuri jalan-jalan tua distrik barat, Leonhardt duduk sendirian di kursi belakang. Hujan membasahi kaca jendela, menciptakan pola-pola tak beraturan—seperti pikirannya yang tak berhenti memutar kemungkinan. Di tangannya: sebuah kompas usang. Cangkangnya berkarat. Jarumnya sesekali tersendat, seolah ragu menunjuk arah. Warna tembaganya telah pudar, dan di bagian belakangnya terukir samar sebuah lambang tua—nyaris tak terbaca oleh mata yang tak tahu harus mencari apa. Leonhardt memandanginya lama. Diam. Hingga suara kota memudar, dan waktu—perlahan—retak di hadapannya. …kembali ke medan perang. ***** Jerman. Tahun-tahun terakhir perang. Ledakan telah lama reda, tapi tanah masih hangus. Asap menari di udara seperti bayangan yang menolak pergi. Kota-kota runtuh menjadi puing, dan desa-desa kecil lenyap bahkan dari ingatan peta. Di antara lumpur dan reruntuhan, Leonhardt—saat itu hanya seo
Hujan tipis mengguyur pelabuhan tua—tempat yang telah lama ditinggalkan kapal niaga dan kenangan. Bau asin laut bercampur karat besi menusuk hidung, seperti ingatan yang ditolak waktu. Di antara kontainer berlumut dan rantai jangkar yang menghitam, seorang pria berdiri sendirian. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin malam, tubuhnya sedikit membungkuk—bukan karena usia semata, melainkan karena beban yang terlalu lama ia simpan. Leonhardt muncul dari kegelapan tanpa suara. Sepatu botnya melintasi genangan air tanpa menimbulkan riak berarti, seolah malam itu sendiri enggan mencatat kehadirannya. Ia tidak membawa catatan. Tidak pula senjata. Hanya tatapan dingin yang telah terlalu lama terbiasa memikul rahasia. Informan itu menoleh perlahan. Matanya menyipit, lalu mengendur—seperti seseorang yang akhirnya melihat akhir dari penantian yang terlalu panjang. “Aku tahu kau akan datang,” gumamnya. Suaranya serak, seperti engsel pintu yang nyaris lapuk oleh karat. “Orang
Friedrich bangkit lebih dulu, diikuti oleh Silke. Kursi mereka bergeser serempak—bunyi kayu dan marmer yang terdengar seperti penutup babak. Sebelum benar-benar melangkah pergi, Silke sempat menoleh. Senyum tipis melintas di wajahnya saat pandangannya berhenti pada Margarethe—jenis senyum yang biasa mendahului interogasi, bukan perpisahan. “Senang makan malam bersama, Frau von Richter.” Lalu mereka menghilang di balik lorong. Ruangan tersisa dalam keadaan yang aneh: terlalu sunyi untuk disebut damai, terlalu rapi untuk disebut kosong. Seperti museum keheningan—penuh kristal, cahaya hangat, dan rahasia yang dipajang tanpa label. Leonhardt masih duduk kaku. Posturnya tegap, tapi ada sesuatu yang terlambat disadari di wajahnya—seperti seseorang yang baru paham bahwa “makan malam keluarga” ternyata melibatkan lebih banyak agen intelijen daripada garpu. Margarethe perlahan menoleh. Tatapannya tajam. Presisi. Bukan marah—lebih seperti pisau bedah yang memilih titik
Beberapa menit kemudian, mereka menuruni tangga batu yang dingin. Adelheid berjalan ringan tapi waspada—seperti balerina yang siap menendang jika ada meja terbalik. Margarethe lebih kaku; langkahnya anggun tapi tidak nyaman, seperti seorang aktris veteran yang terlalu sadar kamera. Mereka memasuki ruang makan utama. Meja panjang bergaya kekaisaran terbentang, lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat ke piring porselen dan perak yang ditata dengan presisi militer. Friedrich duduk di kepala meja, menyesap anggur merah tua. Leonhardt duduk di sampingnya. Bahunya tegap, posturnya lurus. Tapi dari cara tangannya menggenggam gelas, terlihat jelas: pria itu tidak setenang kelihatannya. Ia hanya melirik sekilas saat dua wanita itu masuk. Tak ada senyum. Tak ada sapaan. Hanya… kesadaran. Pelayan menarik kursi untuk Margarethe—tepat di sebelah Leonhardt. Margarethe sempat mematung. Ia menatap kursi itu seolah benda tersebut punya sejarah kriminal pribadi denga
Sore itu, langit menggantung kelabu di atas rumah keluarga von Richter. Rintik hujan pertama jatuh perlahan—seperti bisikan dari awan yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada cahaya. Di halaman belakang, Margarethe dan Adelheid jongkok di dekat semak mawar. Tanah basah melekat di jemari mereka, daun gugur berserakan di sekitar—entah apa yang sebenarnya sedang mereka cari. “Aku yakin tadi dia lari ke arah sini,” gumam Adelheid sambil menyingkap roknya yang sudah kotor tanah, sama sekali tak peduli soal sopan santun. “Seekor tupai, Adelheid. Bukan buronan negara,” sahut Margarethe datar, meski sudut bibirnya bergerak tipis. Ia menunjuk ke sela pot besar. “Dan kenapa pula kau memberinya nama?” “Karena dia lari seperti aku waktu kecil,” jawab Adelheid ringan. “Lincah. Sedikit kurang ajar.” Margarethe menghela napas pelan. “Tentu saja. Tupai malang itu pasti trauma sekarang.” Hujan turun lebih deras. Tanah menggelap, lengket. Gaun Margarethe menempel di tubuhnya, syal







