Share

Kenikmatan Hanya Angan-Angan

Jika ini yang terjadi, maka tak ada bedanya dengan tidak melakukan apa-apa. Aku bertanya-tanya, apakah usaha yang telah kulakukan sia-sia? Terlebih lagi, aku telah terlanjur melangkah ke jalan yang penuh kegelapan. Aku akan banyak menghabiskan waktu dengan para perempuan baru, tidur dengan mereka, melakukan hal yang nikmat, tapi penuh kekosongan.

Sebentar, ada yang aneh denganku. Mengapa air mataku tak dapat dikeluarkan bahkan setelah mengetahui kabar bahwa ibuku telah tak lagi bernyawa? Hati hitamku terlampau jahat, menutupi segala rasa yang awalnya biasa-biasa saja.

Ada sebuah kelegaan yang terasa. Senangkah aku dengan kematian ibuku?

Setidaknya, aku telah berjuang sekuat tenaga, bahkan hingga mengabaikan setiap rasa lapar yang hadir.

“Saya turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, Adrian,” ucap Elaine yang tengah menikmati rokok dan kopi di sebelahku. “Apa kamu sangat terpukul?”

Tanpa berat hati, aku menatap wanita tersebut dan menggeleng pelan. “Gue sama sekali nggak merasa sedih atau ingin menangis. Sepertinya akal sehat gue udah nggak lagi sehat.”

Sambil membuang puntung rokok di asbak, Elaine tertawa bergelak. “Itu bagus. Kesedihan tidak ada gunanya. Semakin kamu memikirkannya, semakin kamu akan tenggelam ke dalamnya. Jadi, menurut saya, kamu justru manusia paling normal yang pernah saya temui.”

Dahiku mengernyit. Entah mengapa, meskipun tidak merasakan kesedihan sedikit pun atas kehilangan ibuku selama-lamanya, tetapi perkataan Elaine membuatku naik pitam. “Apa maksud lo?! Apa lo udah nggak punya hati?! Sakit jiwa! Elo bukan manusia, Elaine!”

“Sudahlah. Tidak perlu membahasnya terlalu jauh. Sekarang, kamu ikuti saya ke ruangan syuting.”

Dia benar-benar wanita tak berperasaan. Bahkan setelah mengetahui aku sedang ditimpa musibah, dia tetap memaksaku untuk syuting hari itu juga. Meski begitu, aku tidak dapat menolak. Entahlah, apakah aku akan bisa merasakan kenikmatan dalam kondisi meratapi seperti ini.

Sebuah ruangan yang dindingnya didominasi warna putih, lengkap dengan sofa, meja, dan satu ruangan lagi berisi ranjang cukup besar. Pencahayaan remang-remang, dilengkapi oleh lilin-lilin kecil yang diletakkan di lantai dengan masing-masing jarak satu meter.

Tim kameramen dan sutradara sepertinya telah standby sambil mengatur beberapa proyeksi layar dan alat-alat yang akan digunakan dalam syuting. Tidak lupa bahwa Siska telah siap sambil duduk di ranjang dengan pakaian yang sangat ketat. Tentu, itu membuat dua gundukan berharganya terlihat sangat besar.

Ya, aku sudah tahu itu karena pernah melihatnya dan masih ingin merasakan bagaimana sensasi jika aku benar-benar menggerayanginya.

“Adrian.”

Siska melambaikan tangan, memintaku menghampiri dirinya.

Dengan jantung yang semakin berdebar kencang, aku bergerak mendekatinya.

“Apa lo udah siap?” tanyanya dengan senyuman lebar. Itu terkesan seperti dirinya sangat antusias. Apakah sebenarnya dia menantikan hal ini?

Kuanggukkan kepala pelan dan menjawab sekenanya. “Iya, mungkin.”

“Kenapa mungkin?”

Aku tak langsung menjawab, tetapi Siska langsung meraih tanganku dan menariknya hingga aku terduduk di ranjang bersamanya.

“Lo udah harus siap. Walaupun kita nggak akan berdialog seperti pembuatan film pada umumnya, tapi lo harus siap mental dan fisik, Adrian.”

Tanganku Siska remat dan diselipkan di lengan sehingga tonjolan yang cukup besar itu dapat kurasakan jelas walau dengan sentuhan yang tidak besar. Sepertinya dia berusaha membuatku kepanasan sebelum syuting benar-benar dimulai. Aku tahu sekarang, dia memang perempuan licik yang mengaku virgin, tetapi sebenarnya, entahlah.

Dia terlihat sangat menikmati pekerjaan ini dan sama sekali belum pernah kulihat wajahnya menautkan sendu seperti yang aku lakukan.

“Adrian! Apa kamu sudah minum pil yang saya berikan?” Elaine menghampiri kami.

Aku sangat benci mengakuinya karena berpikir tidak membutuhkan pil-pil tersebut. Itu jelas akan menghilangkan kenikmatan yang seharusnya aku dapatkan dari pergolakan hasrat dengan Siska. Namun, sepertinya Elaine merupakan orang yang sangat teliti bahkan dengan hal sekecil apa pun.

“Ya, gue udah minum sebelum datang ke sini.”

“Baguslah kalau begitu. Kita akan mulai beberapa menit lagi. Kalian boleh pemanasan,” kata Elaine sambil mengedipkan sebelah mata padaku.

Orang-orang di tempat itu benar-benar aneh dan tak waras. Mereka sangat menantikan aku benar-benar melakukan pekerjaan ini.

“Kita akan disaksikan banyak mata, Adrian. Lo nggak akan bisa menikmatinya. Gue pun gitu,” ungkap Siska kemudian.

“Terserahlah. Hidup gue sebentar lagi akan hancur. Lagi pula, gue udah memutuskan untuk nggak tanggung-tanggung menghancurkannya. Lebih baik hancur dan terlihat menjijikkan sama sekali di mata orang lain.”

“Tapi, selain itu, akan banyak juga orang yang akan berterima kasih pada kita.”

“Ya, gue tahu.”

“Jadi, ayo, kita nikmati sebisa mungkin.” Kali ini, senyuman yang timbul di wajah Siska jauh lebih lebar dari sebelumnya.

Sedetik kemudian, dia menyentuh rahangku, mengelusnya perlahan.

Seperti yang dia katakan. Menikmati semuanya sebisa mungkin akan lebih baik. Meski penyesalan akan selalu ada.

My First Boyfriend menceritakan tentang kehidupan asmara yang dijalani oleh perempuan virgin. Dia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil. Hingga pada suatu hari, dia bertekad untuk memberikan mahkota berharganya untuk sang kekasih.

Maka, terjadilah apa yang telah ditetapkan pada hidup kami masing-masing. Hal yang terbilang sangat tabu, tetapi sangat manusiawi. Hal yang tergolong sangat terlarang, tetapi sangat dibutuhkan oleh setiap manusia demi kelangsungan sebuah kehidupan di dunia ini.

Aku berperan sebagai seorang pria yang telah memiliki pengalaman dalam menghancurkan keintiman seorang gadis. Dengan latar belakang sebagai lelaki yang sangat populer dan selalu diincar banyak perempuan, aku memilih Siska untuk dihancurkan kenikmatannya.

Semua terjadi begitu saja. Pil yang telah aku minum sepertinya bekerja dengan baik. Tiada hasrat pribadi yang diprioritaskan. Hanya saja, semua ini sangat kosong dan gelap. Aku seperti melakukannya dengan boneka, tiada merasa apa pun, tetapi jelas-jelas mesin persenjataan ini merespons dengan wajar.

Ini jauh lebih baik daripada melakukannya sendiri sambil menjongkok di kamar mandi.

Yang terjadi beberapa jam kemudian, tubuh kami telah tidak dihalangi oleh sehelai pun benang. Kulit putih mulus dan dua tonjolan itu tidak lagi membuatku merasa sepanas biasanya.

Hanya saja, ini terkesan sangat aneh. Bibir kami bersentuhan dan melakukan pergolakan dengan waktu yang cukup lama, tetapi aku tidak merasakan apa pun.

Napas Siska memburu hebat dan dia telah kehilangan kendali atas diri sendiri. Dia mungkin telah dapat mengabaikan semua orang yang menyaksikan kami di ruangan tersebut.

“Cut!”

Bukankah terasa sangat tidak nikmat? Kenikmatan yang dibayangkan semua orang menjadi seorang aktor film dewasa sama sekali tidak nyata adanya. Kenikmatan tidak dibatasi oleh apa pun, tetapi yang terjadi di sini, kata “cut” merupakan hal yang begitu aku benci.

“Adrian! Posisimu salah! Kalau kamu seperti itu, kamu akan membuat Siska terasa nyeri. Ulangi! Kalau kamu lupa dengan posisinya, kamu boleh melihat naskahnya lagi.”

Aku ingin berkata “persetan dengan posisi”. Kenikmatan hanya sebuah angan-angan.

Keringat telah berlomba keluar dari pori kulit Siska. Dia mendekatiku, menempelkan dua tonjolan besarnya di dada bidangku, kemudian berbisik tajam, “Ayo, kita lanjutkan. Setelah ini mungkin kita akan melakukannya di belakang layar.”

-II-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status