Share

2. REUNI

Sinar jingga menyorot sebuah cangkir putih yang isinya telah tandas diminum. Menandakan matahari akan tiba di peraduannya, tergantikan oleh sang malam. Dua orang sahabat yang sedari tadi asyik bercakap kini sama-sama saling bungkam. Bukan karena kehabisan topik pembicaraan. Namun, keduanya larut akan keindahan pemandangan senja yang terlihat di kejuhan sana.

“Jadi, kamu bakalan menetap di Indonesia ya? Dimana kamu mau melamar kerja?” pertanyaan Livya mengawali percakapan lagi.

“Seriously kamu nanyain ke aku tentang lamaran kerja?” ujar Naras sambil tertawa sombong.

“Ck, iya deh. Seorang Narasya Zhalea sang konsultan psikolog terkenal dunia ngga kenal apa itu susahnya melamar kerja. Aku ganti pertanyaannya kalau gitu, dimana kamu direkrut kerja ibu konsultan?” Livya bertanya ulang dengan nada kesal.

“Sebenarnya aku punya rencana mau buat klinik sendiri Liv, tapi itu semua butuh waktu dan proses yang ngga sebentar. Jadi, aku putuskan buat ambil tawaran rekrut konsultan sementara di Perusahaan Grahayasa. Kebetulan perusahaan mereka baru berdiri dan butuh banget seorang konsultan buat nyeleksi para pegawai barunya gitu,” jelas Naras.

“Perusahaan Grahayasa? Kayak pernah baca di postingan grup angkatan. Itu yang punya masih temen kita loh, tapi aku lupa siapa,” tanggap Livya sambil mengingat-ingat sesuatu.

“Iyakah? Aku belum lihat detail data perusahaanya sih. yang nawarin aku juga bukan CEO-nya langsung. Entar deh aku baca,” kata Naras.

“Kenapa di Grahayasa? Maksudku banyak perusahaan yang udah berdiri lama dan bagus merekrutmu juga tapi kamu malah pilih perusahaan yang baru berdiri,” komentar Livya.

“Karena cuma di sana yang nawarin pekerjaan sementara. Perusahaan lain maunya ngrekrut aku jadi konsultan tetap. Sedangkan kamu tahu aku mau buat klinik,” jelas Naras.

“Iya sih bener. Btw, pas banget kamu pulang ke Indonesia ada undangan reuni angkatan SMA nih besok sore jam empat. Pokoknya harus dateng nanti barengan aku,” ucap Livya sambil memperlihatkan undangan digital yang ada di handphonenya.

Raut Naras berubah dengan cepat ketika Livya memberitahu tentang acara reuni angkatan SMA. Apalagi ketika ia tahu undangan itu untuk satu angkatan baik cewek maupun cowok. Yang berarti kemungkinan peluang bertemu dengan dia semakin besar.

“Kayaknya... aku ngga bisa ikut deh Liv...”

“Ngga bisa! Kamu harus ikutan. Setelah lulus SMA kamu ngga pernah ikut reuni soalnya. Ada aja alasan kamu tuh. Kali ini aja ya, please temenin aku. Anggap aja kamu ikutan reuni sebagai bayaran aku udah jemput kamu hari ini,” tutur Livya yang memotong kalimat Naras.

“Ngga bisa Liv, aku...”

“Kamu ngga mau ketemu Arta kan?” potong Livya telak.

Naras terdiam di tempatnya. Mendengar namanya saja membuat gadis itu sedikit ketakutan. Dengan cepat Naras mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Berusaha menutupi sorot matanya yang memancar luka.

“Sejak kamu nangis ke aku sambil maki-maki Arta tanpa mau jelasin apa yang terjadi diantara kalian sepuluh tahun yang lalu, aku tahu kamu terluka banget. Dan waktu itu aku nahan diri buat ngga maksain kamu untuk cerita ke aku. Oke fine, aku pikir itu masalah sepele yang ngga terlalu penting sampai aku sebagai sahabatmu ngga kamu ceritain. Tapi ini udah bertahun-tahun, Nar. Kamu masih ngga mau ketemu Arta itu berarti masalah yang serius bukan?” tanya Livya mendesak Naras.

Rasa sesak di dalam dada Naras kembali terasa. Ia tidak tahu bagaimana menanggapi semua kata-kata Livya. Setelah meyakinkan dirinya, Naras kembali menatap Livya dengan tenang.

“Sorry, Liv. Aku masih belum siap untuk cerita ke kamu. Yang bisa aku kasih tau untuk sekarang ini adalah pernyataan kamu benar. Aku terluka bahkan sampai saat ini masih. Dan masalahku dengan dia bukan hal yang penting untuk dibahas saat ini,” jawab Naras.

Livya menatap mata sahabatnya yang sayu. Dia baru menyadari betapa tidak baik memaksakan Naras untuk menceritakan hal yang menyakitkan di pertemuan mereka ini.

“Oke, aku minta maaf juga Nar. Ngga seharusnya aku bilang gitu ke kamu. Tapi buat info kamu aja kalau Arta lima tahun terakhir mungkin ngga ikut reunian. Di tiga tahun pertamanya saat aku masih ikut ngga pernah lihat dia. Dan dua tahun terakhir ini aku ngga sempet ikutan karena sibuk, tapi aku lihat foto yang di grup angkatan ngga ada dia juga. Gini aja deh mikirnya Nar, kalau kamu ikutan reuni ngga niat untuk ketemu Arta, InsyaAllah ngga bakal ketemu. Lagian kamu ngga kangen apa sama temen-temen lain? Mereka sering nanyain kamu loh. Susah banget hubungi kamu sejak pergi ke Inggris katanya, terus aku bilang aja sih ‘dasarnya orang udah terkenal sampai dikejar-kejar wartawan pasti lupa sama keadaan pas masih susah sama kita-kita’ gitu,” ungkap Livya tanpa beban.

“Ih, kok kamu malah bilang gitu sih?” protes Naras tak terima.

“Salah kamu sendiri ngga mau ikut grup angkatan terus cuma mau komunikasi sama aku aja. Udah sebel banget tahu kalau mereka nanya-nanya ke aku mulu,” keluh Livya.

“Yaudah deh biar impas besok aku ikut reuni,” putus Naras pada akhirnya.

“Serius loh ya, besok bareng aku pokoknya!” tekan Livya.

“Iya deh. Oh ya gimana kabar temen-temen sekarang?”

Sisa waktu sore hari itu mereka habiskan kembali dengan menceritakan beberapa kehidupan yang saat ini dijalani teman-teman dekat mereka dulu di pesantren. Sampai waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, barulah Livya mengantar Naras ke rumahnya. Mereka sempat terdiam cukup lama ketika mobil yang milik Livya tiba di jalanan depan rumah Naras.

“Cepet banget deh waktu berlalu. Apa kamu ngga bisa nginep aja di tempatku Liv? Kita begadang sampai pagi nonton gitu atau ngapain seperti dulu,” keluhan Naras memecah keheningan di atara mereka berdua.

“Kamu pikir aku masih single? Suami sama anak-anakku udah nunggu di rumah Nar. Kamu sih ngga ada mikirin gitu,” sindir Livya.

“Haish, ngga usah mulai bahas lagi. Udahlah aku turun dulu kalau gitu. Kamu hati-hati ya di jalan,” tutur Naras sambil turun dari mobil.

Ketika tangan Naras akan menutup pintu mobil kembali, tiba-tiba Livya menahannya.

“Nar. Sejujurnya aku tahu banyak. Entah semuanya benar atau ngga tapi setidaknya aku tahu banyak tentang kamu dan Arta. Tapi selama ini aku pura-pura untuk ngga tahu apapun. Karena aku masih nungguin cerita dari kamu. Aku... cuma mau ingetin kamu Nar. Kamu boleh pakai topeng pura-pura kuat di depan publik. Tapi jangan begitu ke aku. Aku mau kamu jadi dirimu sendiri yang apa adanya sama aku baik seperti dulu sampai selamanya. Kamu punya aku sebagai sahabatmu, Nar. Dan hal itu ngga akan pernah berubah sampai kapanpun, aku berusaha selalu ada dan ngertiin kamu.”

Setelah menyampaikan perkataannya, Livya mendorong pelan tubuh Naras kemudian menutup pintu mobil dan mulai mengendarainya kembali. Ia pergi meninggalkan Naras yang mematung. Kalimat panjang dari Livya menjadi penutup dari pertemuan mereka berdua hari itu.

***

“Masih jetlag ngga?” tanya Livya.

Naras menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum sinis sambil bersedekap menatap Livya. Sedangkan yang ditatap merasa bingung.

“Apaan sih, kok ekspresinya gitu?” Livya  protes.

“Lagi-lagi kamu tanya ke aku pertanyaan yang jawabannya kamu sendiri udah tahu. Aku kan udah bia-”

“Biasa  naik pesawat, yang sehari bisa pindah ke tiga benua sekaligus,” potong Livya dengan nada malas.

“Nah itu tahu,” ujar Naras sombong.

“Haish, sejak ke luar negeri jadi sombong banget. Kalau jalan sok bergaya kayak di atas karpet merah, suka bual kesuksesan, bicara sama orang sok lembut padahal aslinya bar-bar,” gerutu Livya lirih, namun terdengar oleh Naras.

“Heh, ngomong apa barusan? Minta ditampol ya kamu, Liv. Iri bilang bosku,” ungkap Naras sarkas.

“Idih siapa yang iri, huh? Tuh kan aslinya emang bar-bar.”

Naras memilih untuk diam tak menjawab perkataan Livya. Tangannya mengambil handphone dari tas kemudian memutar playlist yang berisi lagu-lagu favorite mereka dulu. Sedangkan Livya fokus menyetir kembali. Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju sebuah restoran dimana reuni diadakan. Sekitar lima belas menit kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Mereka berdua langsung turun dan berjalan menuju kerumunan teman-teman SMA mereka yang berada di dalam restoran.

“Assalamu’alaikum...”

Ucapan salam dari sepasang sahabat itu seketika membuat suasana yang tadinya berisik jadi hening. Semua pasang mata tertuju pada sesosok Naras yang malah dengan santainya duduk di salah satu kursi kosong dan mengambil minuman. Ia sama sekali tidak sadar jika kehadirannya menjadi pusat perhatian di situ.

“Haus banget. Sekarang Jogja walaupun udah sore temperature suhu masih tinggi ya?” tanya Naras yang kemudian menyadari keheningan di sekitarnya.

“Eh? Kok... pada diem?” gumam Naras lirih.

“Ini aku Naras. Masa pada lupa sih?” lanjut gadis itu dengan nada mengeluh.

“YA ALLAH, NARASYA!”

Suasana kembali heboh dan berisik. Teman-teman SMA Naras banyak yang mengerubungi gadis itu untuk menyapa dan berbicara. Ada juga teman-teman yang dulu sempat dekat dengannya langsung memeluk dan menangis haru karena akhirnya bertemu Naras setelah sekian lama berpisah.

“Lama banget ngga ketemu kamu hilang dimana selama ini, Nar?” tanya Kinar, salah satu teman dekat Naras dulu.

“Di belahan dunia lain, Kin. Hahaha,” gurau Naras.

Obrolan pun kembali mengalir setelah teman-teman Naras puas menanyakan kabar gadis itu. Seperti kebanyakan kaum perempuan, topik yang dibahas selalu berentetan seolah tak ada habisnya. Apalagi semua teman Naras sudah menjadi ibu muda. Gosip adalah kegiatan rutin yang tidak bisa dilewatkan jika ada acara kumpul-kumpul seperti ini.

Livya melihat Naras yang tampak berseri-seri di tengah perkumpulan obrolan itu. Setelah meyakinkan dirinya bahwa sang sahabat sudah bisa menyesuaikan diri, ia pamit kepada untuk ke kamar mandi.

“Nar, aku ke kamar mandi dulu bentar ya?” ujar Livya.

“Oh, oke Liv,” sahut Naras cepat kemudian langsung menyambung topik obrolan.

Beberapa saat kemudian ketika Livya sudah benar-benar tak terlihat, Rita yang duduk di samping Naras mengajak Naras untuk ngobrol berdua bersamanya. Mereka menuju taman kecil dan duduk di bangku depan air mancur.

“ Kedatanganmu benar-benar surprise ya,” ungkap Rita memulai pembicaraan.

Mendengar hal itu, Naras tertawa lirih dan mengambil nafas dalam. Ia menatap pancuran di depannya nampak begitu menenangkan.

“Livya maksa aku buat datang. Awalnya aku nolak tapi karena udah lama juga aku ngga ketemu kalian-kalian kupikir ngga ada salahnya buat ngelepas rindu. Ternyata menyenangkan juga bisa ngobrol bareng kalian lagi. Setidaknya kehadiranku di reuni kali ini juga buat klarifikasi ke kalian dan membuktikan bahwa aku bukanlah kacang yang lupa kulitnya,” jelas Naras sambil tersenyum.

Rita menepuk-nepuk bahu Naras pelan. Ia merasa sangat bersalah kepada Naras karena menjadi bagian dari mereka yang mengatakan bahwa Naras sudah melupakan teman-teman seperjuangan ketika di pesantren.

“Maafin kita-kita ya Nar udah ngomongin kamu kayak gitu di belakang,” sesal Rita.

“Eh, ngga apa-apa kali. Aku juga salah selama ini seperti menjauh dari kalian, jadi wajar aja kalau pikiran kalian tentang aku jadi begitu,” ucap Naras dengan tulus.

“Yah, pokoknya bersyukur banget tahun ini semuanya bisa hadir lengkap,” gumam Rita.

“Lengkap? Jadi, semua satu angkatan ada di sini?” tanya Naras ragu.

“Ya, cuma kamu sama Arta aja yang ngga pernah datang. Eh, tahun ini  kalian malah barengan hadir. Sebelumnya Arta ngabarin kalau dia lagi ada kerjaan di Jogja dan bisa ikut reuni  jadi kami ngga begitu kaget. Restoran ini dia yang nyewa full buat acara kita hari ini. Jadi yang biasanya reuni bayar sendiri-sendiri kali ini gratis. Nah, kalau kehadiranmu itu benar-benar ngga terduga banget. Diantara kami memang tau gosipnya kamu balik ke Indonesia, tapi soal datang ke reuni kayak mustahil aja gitu,” cerita Rita dengan antusias.

Tubuh Naras menegang setelah mencerna cerita singkat dari Rita. Ia sama sekali tak menduga kalau apa yang ia khawatirkan benar-benar bisa terjadi. Namun dengan pandainya Naras menutupi perasaannya dan berusaha untuk tetap tenang.

“Oh ya? Tapi aku sama sekali tidak melihat dia daritadi,” ungkap Naras.

“Memang belum datang, Nar. Katanya masih ada kerjaan yang harus diselesaikan jadi datengnya nelat gitu,” jawab Rita.

Ucapan Rita membuat hati Naras merasa lega sedikit. Ternyata waktu telah beranjak malam. Adzan maghrib dekat mushola sudah terdengar. Memanggil para hamba untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah.

“Udah adzan tuh, balik ke temen-temen yuk kita siap-siap shalat maghrib!” ajak Rita.

“Aku baru halangan, kamu duluan aja deh, aku masih mau di sini,” ujar Naras.

“Oke deh, duluan ya!” pamit Rita.

Naras sudah memastikan Rita tidak terlihat lagi. Ia segera memutuskan untuk pergi dari restoran ini sebelum benar-benar bertemu dengan Arta. Namun, sayangnya takdir berkehendak lain. Ketika Naras baru saja melewati area parkir restoran, suara bariton laki-laki yang tidak ingin ia dengar menyapanya kembali setelah bertahun-tahun.

“Assalamu’alaikum... Ara? Akhirnya kita bisa bertemu ya, gimana kabar kamu?”

Sungguh kabar yang begitu buruk. Batin Naras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status