Share

3 - Sylvia Malore

Kampus tempat Edy mengajar tutup pukul sebelas malam. Meski begitu, kegiatan belajar mengajar dalam lingkup formal berakhir sejak pukul sembilan. Itu artinya dia seharusnya sudah berada di rumah paling lambat pukul sepuluh, mengingat butuh waktu tiga puluh menit untuk mencapai rumah kami dari kampusnya ditambah tiga puluh menit kelonggaran lainnya seperti misalnya menuntun motor karena kehabisan bensin atau ban motor meletus. Tapi Edy tidak pernah berada di rumah sebelum pukul enam pagi. Lagipula sistem libur kampus tempat Edy mengajar dan kampusku sangat berbeda. Aku sedang liburan. Tapi Edy masih terus datang ke kampus untuk mengajar.

Persetan dengannya.

Mungkin saja dia meringkuk di balik selimut yang sama tempat Ibu Yuda juga meringkuk.

Jadi aku memanfaatkan malam-malamku sebaik-baiknya. Apalagi di masa liburan semester genap seperti ini. Libur kami lumayan lama. Pada bulan Mei semua nilai sudah keluar dan diunggah ke sistem informasi kampus oleh masing-masing dosen penanggung jawab mata kuliah. Sejak bulan itu kami akan libur dan libur dan terus libur sampai akhir Agustus atau awal September. Tapi aku tidak pernah benar-benar libur. Aku selalu membaca, menghitung, dan menggambar untuk memuaskan hasrat belajarku. Ini mengingatkanku pada Sumur Mimir, tempat Odin menaruh mata yang dia congkel sebagai bayaran yang diminta Mimir jika Odin ingin minum dari sumur itu. Sumur Mimir adalah sumber pengetahuan yang membuat orang yang meminumnya akan menjadi bijaksana. Sekarang aku jadi kepingin mencicipi air dari Sumur Mimir dan mencaritahu apakah pengetahuan tentang arsitektur dunia dan matematika juga melimpah di sana.

Aku menaruh pensil untuk menandai Part Three Shapes di dalam buku The Joy of X yang ditulis oleh Steven Strogatz lalu menghubungi Tino sambil memperhitungkan rencana untuk hari esok. Menyingkirkan efek mabuk kira-kira membutuhkan waktu semalaman ditambah sepanjang pagi. Itu artinya aku tetap punya prospek siang yang menyenangkan. Siangnya aku bisa merampungkan The Joy of X. Itu akan memakan waktu sampai malam. Bagus. Rencana yang sempurna.

Victor tak akan ikut jika Jake tak ikut. Jake tak akan ikut kecuali Junko ikut. Dan Junko tak akan ikut serta tanpa kehadiran teman-teman ceweknya. Aku sudah mencoba menghubungi Jake dan Victor tapi ternyata Jake sedang sibuk dengan urusan sebagai-ahli-waris-keluarga-Johnson-aku-harus-menangani-ini-dan-itu-dan-segalanya. Dan Yuda... Tentu saja aku tidak menghubunginya, tapi Gerald melakukannya dan dia bilang Yuda sedang berada di Singaraja sehingga tidak bisa ikut. Jadi aku hanya berangkat dengan Tino dan Gerald.

Kali ini pesta besar diadakan oleh sebuah klub yang terletak di daerah Uluwatu. Selain fakta bahwa jenis pesta itu adalah pesta outdoor yang sisi terluarnya bersinggungan dengan pesisir, aku sangat menyukai pesta ini karena Yuda tidak bisa hadir malam ini. Aku membayangkan berguling-guling di pasir pantai pada malam hari sampai kemeja hitam floralku agak basah ditemani dengan debur ombak dari laut pasang. Papan peringatan mungkin akan ditancapkan ke atas pasir pantai, di titik terjauh ombak melahap daratan. Tapi aku lebih tertarik pada pasir itu sendiri daripada lautannya. Jadi papan peringatan itu tidak cukup berguna bagiku. Bagiku.

Hal ketiga yang membuat mood-ku belingsatan ceria malam ini adalah bikini. Apa? Ya, betul. Bikini. Tidak ada yang lebih vulgar dibandingkan pesta pantai, di mana akan ada banyak sekali daging-daging empuk berkulit cokelat karamel yang berkeliaran di sepanjang pantai. Hanya dua atau tiga helai kain yang menutupi bagian paling intim pada tubuh mereka.

Seandainya Junko hadir di sini dan menerapkan dress code pesta ini… Oh, Tuhan, dia pasti akan jadi ratu lebah di sini. Tapi aturan pertama dalam persahabatan adalah jangan memikirkan pacar sahabatmu. Itu terkait Jake. Dan terkait Junko: jangan memikirkan bokong cewek yang kau anggap sebagai adikmu sendiri.

Itu adil. Aku langsung berhenti memikirkan Junko setibanya di parkiran. Aku, Tino, dan Gerald menumpang mobil teman kakaknya Tino. Tapi setelah memasuki ruang klub, kakak Tino dan temannya itu memisahkan diri dari kami. Dan Tino tahu aturan paling mudah dalam berpesta adalah open table untuk mendapatkan teman dansa. Dia segera menerapkan aturan itu bersama Gerald sementara aku berjalan lurus menuju pintu di seberang ruangan. Dari tengah ruangan yang hanya disinari oleh lampu LED RGB mencolok yang kerap kali membuat mataku sakit, aku dapat melihatnya dari sekat-sekat pintu kaca.

Turunan landai yang membawa langkahku menuju hamparan pasir yang berwarna seperti gandum. Speaker yang memutarkan lagu-lagu pesta berdiri di sebelah kanan pintu, di pinggir panggung kayu pendek. Sorot-sorot lampu yang dinamis bergantian menerangi panggung. Orang-orang berdansa dengan gila di sana. Tidak ada yang terlalu vulgar. Tapi Jake pasti akan muntah melihat tontonan seintim itu.

Aku membelok ke kiri. Bukan panggung tujuanku.

Pesta ini tak pelak lagi adalah sebuah ajang unjuk payudara dan bokong. Sepanjang mata memandang, tidak ada wanita yang bergerak dalam sebuah garis lurus tak kasatmata. Jika pun ada, mereka akan melanggar garis lurus itu karena kibasan bokong dan rambut mereka luar biasa berlebihan. Aku mengusap wajah dan menjilati bibirk di balik tanganku. May, aku akan bersenang-senang. Dengan aturan yang biasanya: tidak akan melibatkan roman.

Tidak seperti dugaanku, papan peringatan tidak dipasang di mana-mana karena meskipun ombak sedang pasang di bulan Juni, ombak di sini menurut mereka cukup aman untuk diselami. Dan dari sepenglihatanku memang aman. Kakiku langsung bergetar naik-turun mengentak-entak tanah. Tadinya aku tidak dahaga soal laut, tetapi setelah melihat tidak ada halangan yang memisahkanku dari laut, aku jadi merasa dipanggil untuk menyelam ke dalam sana.

Langit terlalu hitam dan bulan yang kemarin purnama terlalu putih. Sulur awan setipis serabut permen arum manis menjalar dari satu bintang ke bintang lain. Aku mencecap aroma pasir basah dan pelepah daun kelapa. Angin yang berembus sedikit berat, sarat oleh butiran pasir.

Sebuah tangan menepuk bahuku dan meremasnya. Aku menoleh jemari gemuk berkuku bersih dengan kutikula yang tebal dan sedikit mengelupas. Gerald meniupkan napas dari bibir bawahnya yang terdorong maju. "Jake tidak akan menyukainya." Dagunya bergerak ke arah panggung. Aku mengangguk setuju. "Menurutmu apa yang harus kau lakukan dengan…" Mata bulat besar di dalam rongga yang kelihatannya kekecilan itu berbinar-binar. Gigi gingsul Gerald tampak berantakan ketika bibirnya ternganga. "…Laut?"

"Tadi aku berpikir untuk…"

"Menungganginya?"

Jake akan tertawa mendengar lelucon vulgar seperti itu, tapi kemudian dia akan merengut dan mengerutkan hidungnya. Dia jijik pada dirinya sendiri yang menyukai lelucon semacam itu. Aku mengangguk dan menaik-turunkan alisku. "Aku memikirkan cewek."

Kalau Victor berada di sini, dia akan menjawab, "Aku kasihan pada cewek-cewek yang sedang kau pikirkan. Kau, kan, mesum." Tapi ini adalah Gerald. Dan dia menjawab, "Benar. Aku selalu memikirkan cewek."

Kami sepakat untuk turun dari selasar belakang klub, menelusuri turunan berlantai paving block yang terselimuti pasir pantai. Gerald pendek tapi berotot. Rambutnya dicat higlight. Dia merendahkan suaranya di tengah hiruk pikuk pesta padaku. Aku berjuang keras untuk mendengarnya. "Aku bakal kelihatan seksi kalau bajuku terciprat ombak," katanya. Gerald mengenakan kaus putih tipis dan celana bermuda army.

Yang tidak kami sepakati adalah sesampainya di tengah-tengah jarak antara selasar dan pesisir, Gerald berseru dengan suara melengking sebelum berlari dengan dada terbusung dan jemari tangan ditegakkan. Ketika aku sadar apa yang akan dilakukannya, Gerald telah menceburkan diri ke laut dengan pakaian lengkap. Kecuali sandal, yang ingat dia copot di luar pasir basah.

Aku mendesah. Sial. Aku baru ingat kalau kami menumpang mobil orang. Tidakkah Gerald berpikir soal baju ganti dan kenyataan bahwa kami berhasil kemari atas kemurahan hati teman kakaknya Tino? Kursi mobil akan basah kecuali dia telanjang di dalam mobil.

Aku menyusulnya dengan langkah lambat-lambat. Gerald dan seorang cewek bule sedang berenang dengan gerakan yang kuasumsikan mirip dua rantai DNA yang saling berpilin dalam bentuk double-helix.

Sandal gunungku menampar pasir yang jauh dari garis ombak. Aku kepingin terjun ke sana dan mengajak Gerald berlomba di dekat tepian. Aku kepingin menggelepar seperti ikan nyasar di pasir basah dan membaluti tubuh kerempengku dengan pasir kering. Aku akan jadi adonan manusia katsu yang lezat.

Tapi mendadak aku merasa kedinginan. Sebagai remaja berumur delapan belas tahun yang sangat menggemari rokok dan sedikit menggemari alkohol, aku termasuk cowok yang sering kedinginan. Katakanlah aku dan Gerald memutuskan untuk pulang naik taksi atau kami akan menginap di rumah cewek yang kami dapatkan malam ini... Tetap saja. Aku tidak tahan pada rasa bekunya.

Aku melangkah mundur dan mundur dan mundur sampai seseorang mencengkeram siku kiriku.

"Is that ostrich egg yours?" Dia memiliki dagu yang menonjol seperti animasi Hercules. Dan hidungnya sepanjang paruh pelikan. Itulah yang dapat kulihat di balik rimba hitam rambutnya yang tebal dan berbelahan samping kiri. Rambut itu menggembung dengan cara yang indah. Sewaktu dia menoleh, aku melihat garis-garis tajam yang membentuk elemen-elemen di wajahnya menjadi struktur yang sangat tegas. Garis di antara dua sisi hidungnya, di bawah bibirnya, di dahinya, di bawah tulang matanya. Mata itu menatapku sebagaimana belati menyayat daging kambing.

"Referring to that guy..." Aku menunjuk Gerald dengan tangan satunya yang tidak dicengkram. "Yes. He's my bud."

"Is that guy Indonesian? I could speak Indonesian."

"Tentu saja."

Keterkejutan membara di wajahnya, tapi dia tidak ambil pusing. Dia mengangkat bahunya. "Mereka bakal lama," putusnya.

Apakah sepanjang jalan menuju pantai dari selasar tadi aku menemukan gadis lain yang menutup rapat-rapat badannya? Tidak. Kurasa hanya gadis ini yang kepikiran menghadiri pesta pantai dengan sweter cokelat muda bermotif argyle dan celana jeans ketat pendek.

Melihat cara Gerald dan wanita itu berdansa, aku juga berpikiran sama. "Dan dia? Temanmu?" Merujuk pada cewek yang diajak Gerald berdansa.

Gadis di sebelahku memutar bola matanya sambil berbalik. Aku punya firasat dia ingin aku mengikutinya. Maka aku mengikutinya.

"Sepupuku." Dia menjawab disertai napas panjang yang penuh tenaga. Tiba-tiba dia berhenti. Aku nyaris menubruk punggung tegaknya. Dia hanya lebih pendek sekitar dua senti dariku. Atau mungkin aku yang lebih pendek dua senti darinya. Sulit menentukan tinggi tubuh orang saat mereka berdiri di atas kelabilan pasir pantai. "Kau bukan orang Indonesia." Sebelum aku sempat menjawab, dia bersedekap memandangiku dan menambahkan, "Walau Bahasa Indonesiamu lancar sekali."

"Aku punya KTP." Aku mengangguk. "Kau kelihatan seperti orang Amerika Latin."

"Ayahku orang Chili. Pernahkah kau mendengar mitos bahwa anak perempuan akan menyerupai wajah ayahnya?"

Kalau menyisir silsilah keluargaku, Edy sangat mirip mamaku yang merupakan orang Indonesia keturunan China, minus wajah besarnya yang lebih mirip seperti wajah Papa. Aku kebalikannya. Wajahku mungil seperti milik Mama sementara semua fiturnya begitu mirip Papa. Dan papaku orang yang tampan. Maka aku terlahir sebagai anak laki-laki yang supertampan. Cuma bermasalah dengan massa tulang yang kecil. Dan seharusnya sebagai keturunan orang Belanda, aku setinggi Max.

Aku menggeleng. "Kau bicara seperti orang Batak."

Gadis itu tertawa. "Ibuku orang Batak. Bisakah kau, Tuan Stereotip, memperkenalkan dirimu? Ini giliranmu. Karena kau sepertinya sudah tahu banyak soal aku."

"Thomas Dustin. Papaku orang Belanda dan mamaku orang Indonesia keturunan China."

"Wow." Gadis itu menjulurkan lehernya ke arahku, memandangiku dari jarak sekitar sepuluh senti jauhnya sehingga bau lautan di sekitar kami mengendap di bawah bau segar lemon dan violetnya. Bernapas mungkin baginya adalah bagaimana menghasilkan melodi yang ritmik dan cantik karena dia melakukannya dengan perlahan-lahan dan penuh pertimbangan. "Aku Sylvia Malore." Aku pernah dengar seseorang bernama Malory dan Malorie, tapi baru pernah dengar yang satu ini. Aku menjabat tangannya.

Kesepakatan tersirat di antara kami sehingga kaki-kaki kami yang sama panjangnya melangkah kembali menuju selasar belakang klub. Setelah melewati pintu, Sylvia memimpinku ke bar sepanjang empat meter di sebelah kiri pintu. Bibirnya sudah terbuka, nyaris menyebutkan merk anggur yang dia suka, tetapi aku menyuruhnya menunggu sebentar lalu pergi ke arah meja Tino dan memintanya menuangkan dua gelas untukku dan Sylvia. Kemudian aku membawa dua gelas itu kembali ke bar dan memberi Sylvia segelas sementara milikku kutaruh di atas meja.

Kuangkat alisku di depan wajahnya dan Sylvia perlahan-lahan menyeringai. "Jadi kau menginap di sini?" Tanyaku.

Sylvia memegang gelas bertangkai itu di depan dadanya sementara tangannya yang lain jatuh tepat di tengah-tengah tubuhnya, melalui bagian di antara kedua kakinya yang terbuka di kaki besi kursi bundar. "Aku lahir dan tumbuh di sini. Tapi ayahku memintaku pindah ke Chili sebelum bulan Desember tahun ini. Saat ini aku tinggal di vila. Kau tahu? Padahal aku ingin sekali merayakan malam tahun baru di Bali."

Rencana tahun baru sama kosongnya seperti celengan logamku di rumah. Aku membelinya hanya untuk mengeruk lagi uang-uang yang telah kumasukkan demi keperluan-keperluan sepele seperti membeli topi obralan atau memesan piza. "Kau tinggal di Uluwatu?"

Sylvia mengangguk. "Dengan Janet." Dagunya bergerak ke arah sepupunya yang berdansa dengan temanku di pantai. "Aku akan berangkat ke Chili bulan November nanti. Kau tinggal di mana?"

"Kuta."

"Berapa jauh dari sini?" Sylvia mengambil gelas anggurku dan menyodorkannya ke dadaku. Bibir kananku menjorok ke atas dan aku menerima gelas sambil meliriknya. Jemari kami bersentuhan. Aku tahu Sylvia sengaja berlama-lama menaruh jemarinya di gelasku. Tatapanku berpindah cepat ke bibir tebalnya yang mengingatkanku pada kursi La-Z-Boy yang bisa membuatku betah bermalas-malasan seharian di sana. Ketika tatapanku sampai di matanya lagi, Sylvia telah menarik jemarinya dan berusaha menahan senyumannya.

"Kira-kira dua puluh lima kilometer. Aku tinggal bersama kakak laki-lakiku yang tidak pernah pulang saat malam hari."

Tawanya berurai dengan indah. Seandainya air mancur terdiri dari berlian, ketika semburan ke atasnya kembali turun lagi, bunyinya pasti akan seberisik tawa Sylvia. "Aku hanya melakukannya dengan pria bule karena berdasarkan pengalamanku, orang-orang Indonesia mengutamakan adanya sebuah komitmen. Dan aku tidak ingin terlibat dalam sebuah komitmen untuk saat ini."

Aku tersenyum miring dan sedikit mencebik. Bukannya aku sok suci atau apa, tapi dia kelihatan seperti seorang gadis yang berprinsip kuat. Dan seseorang seperti itu seharusnya tidak melanggar prinsipnya sendiri. Tapi aku merasakan desakan yang kuat untuk segera menandaskan isi gelasku sampai alkohol ini terasa membakar tenggorokanku dan lalu bangkit untuk menunduk dan menyusurkan ujung hidungku di pipinya. Sambil mendengus, aku menatap lurus ke dalam matanya dan bertanya, "Apa aku tampak seperti seseorang yang peduli dengan sebuah komitmen?"

.

Untuk mencapai vila putih tempatnya menginap, kami harus menempuh perjalanan sekitar setengah kilometer dengan berjalan kaki. Aku mengirim pesan pada Tino, menyuruhnya untuk pulang tanpaku. Firasatku mengatakan aku benar-benar akan pulang bersama Gerald besok pagi. Kami akan meniduri dua sepupu di bawah satu atap yang sama. Aku tidak ingin membayangkan bercinta dengan seorang cewek saat temanku kuliahku ada dalam radius kurang dari sepuluh meter. Kuharap dia pulang lebih malam dari pesta.

Vila tepi pantai yang bersih dan indah. Mereka membangun dinding kaca yang tinggi menghadap pantai. Seperti dugaanku, Sylvia menolak untuk menunjukkan kamarnya setelah kami sampai. Teknik tarik-ulur. Dia mengambil dua gelas bertangkai di dapur putihnya dan mengajakku duduk di teras belakang berlantai parket. Sedikit mengingatkanku pada teras lantai dua di rumah Gesa.

Aku mengeluarkan kotak rokok dan melemparkannya ke atas meja kayu bundar yang rendah. Mereka mengadaptasi desain scandinavian dan diperkuat oleh aksen natural. Aku setengah berharap menemukan perapian dengan kepala rusa yang dibuat dari pecahan kayu yang direkatkan dengan lem, tapi tentu saja tidak ada.

Dari balik tali asap yang membumbung naik, aku mendapati Sylvia memperhatikanku. Senyum tipis terpampang di bibirnya. "Kau bukan perokok?" Tanyaku sambil mengangguk padanya.

Sylvia menggeleng dan meraup kotak rokokku lalu membolak-baliknya. "Nikotin, kafein, dan alkohol adalah beberapa hal yang kuhindari."

Aku menunjuknya sambil menyeringai. "Sebenarnya."

"Ya." Dia menaruh jeda yang cukup panjang sementara aku merentangkan satu tangan di sepanjang sofa anyaman rotannya dan mengamatinya sambil mengisap rokokku dalam-dalam. "Karena biasanya aku menemukan cowok di luar pesta jadi aku tidak memerlukan ketiga hal tersebut."

"Kecuali aku?" Tanyaku sembari mengangkat kedua alisku.

Sylvia mengangkat bahu dan mengembalikan kotak rokokku ke meja. "Cowok di pesta tidak pandai menebak kewarganegaraan ayah dan ibuku." Serius? Gara-gara itu? Andai saja mendapatkan Gesa semudah itu. Dia pasti sudah kucium sejak aku menebak kewarganegaraan Max. "Tapi kau tidak perlu GR aku minum alkohol demi dirimu."

Aku tertawa. "Dan itu membuatku semakin GR."

Sylvia kemudian bangkit dari kursinya dan melenggang ke kursiku, yang berada di seberangnya. Dia mengenyakkan punggungnya di lenganku yang terbentang dan menyusurkan bantalan telunjuknya di garis rahangku. "Katakan padaku." May tak pernah menyentuhku secara sensual seperti ini. Dia tidak pernah berusaha memancing nafsuku. Mata cokelat tua Sylvia sedang membakar letupan hormon testosteronku. "Jika cewek lain mendatangimu seperti caraku mendatangimu, akankah kau tetap lebih memilihnya dibandingkan ratusan cewek berbikini di pantai itu?"

Dahinya tampak sekuat rahangnya. Aku mengisap rokokku dalam-dalam sebelum membuangnya ke dekat kakiku dan menginjaknya dengan sandalku sampai retih apinya padam. Tone cokelat kulit Sylvia mengingatkanku pada Junko dan otomatis pada cara Junko memperkenalkanku pada kakaknya. Sylvia tidak tersenyum. Aku ingin melihat senyum Gesa di bibirnya. Kekanakan dan ceria. Jantungku berdebar. Tatapan Sylvia menikam leherku dan sebelum dia sempat menyusurkan jemarinya menuruni dadaku, aku sudah lebih dulu menciumnya.

Bagaimana rasanya menemani Gesa membaca Euler sepanjang hari? Merebahkan kepalanya di dada atau pahaku. Menikmati wangi tubuhnya yang senantiasa kuterka-terka, yang hampir selalu kupikirkan saat sedang mandi. Aku meremas seluruh tubuh Sylvia yang mudah kujangkau tanpa gerakan kikuk. Dan tiba saat dia lumpuh dalam ciuman dan sentuhanku, aku mengangkat tubuhnya menuju pintu teras. Sylvia melingkarkan tangannya di leherku dan membisikkan letak kamarnya.

Berapa banyak buku yang Gesa baca? Rak buku di ruang nonton lantai dua tidak mungkin dibangun atas inisiatif Junko. Apalagi bacaan seperti The Divine Matrix.

Tubuh kami bertautan di atas kasur putihnya. Pintu kamar telah kututup dengan telapak kaki dan Sylvia menguncinya. Gerald tak akan melakukan ketaksengajaan membuka pintu kamar ini dan melihatku sedang telanjang bersama seorang gadis. Tepat saat Sylvia menyentuh selangkanganku, aku menarik wajahku dan menatapnya tanpa ekspresi apa pun.

"Kau punya KTP. Tunjukkan padaku, Sylvia."

Dia masih terlena dengan cumbuanku. Sylvia tidak mengerti bahwa aku serius. Telunjuknya kembali naik dan meremas bahuku. "Kau tidak kekar, Thomas. Tapi bahumu terasa pas di tanganku."

"KTPmu."

Sylvia mendengus, tidak peduli. "Kau tidak percaya ayahku orang Chili? Atau ibuku orang Batak?"

"Aku harus melihat KTPmu."

Barulah Sylvia sadar aku tidak sedang memainkan permainan tarik-ulur dengannya. Aku berlutut dan menatapnya dari atas. Sylvia mundur dan menumpu tubuhnya dengan siku. "Apa kau semacam detektif atau intel?"

"Lebih cepat kau lakukan lebih baik." Sylvia melirik selangkanganku. Masih stabil. Tiba-tiba matanya disusupi kegelisahan. Sylvia meneguk ludahnya dan membuka mulutnya, tetapi aku menyela. "Aku tidak peduli pada uangmu. Aku hanya ingin melihat KTPmu."

"Kau bisa saja membunuhku." Aku menggeleng. Dia takut-takut menghela dirinya untuk duduk. "Kau mau apa dengan KTPku?"

"Bukti apa pun yang bisa memperlihatkan statusmu. Aku hanya harus melihat statusmu."

"Statusku?" Matanya memicing. Aku mengangguk. "Seperti misalnya menikah atau masih single?" Aku kembali mengangguk. "Ya ampun, Thomas. Aku baru saja lulus sekolah bulan Mei lalu."

"Bisakah aku melihat KTPmu?"

"Apa kau semacam orang yang obsesi atau…"

Aku turun dari kasur dan merapikan kancing celanaku lalu memasangkan kembali kancing kemejaku. Sylvia tampak panik. Tapi dia salah jika mengira aku akan memaksanya untuk mengeluarkan dompetnya. Sedikit pun aku tidak tertarik dengan hartanya walau dia menginap di vila yang elit seperti ini. Aku melangkah mengarungi kamar yang luas menuju pintu. Seketika Sylvia memekik. "Dompetku ada di sana." Aku berbalik dan mengangkat alisku. Dia menggerakkan dagunya ke sebelah kiri kasur, ke arah walk-in closet.

"Kau yang menunjukkannya padaku."

Sylvia menurut sementara aku tetap di tempatku. Dia menghampiriku dengan sebuah kartu di tangannya dan menunjukkannya padaku. Itu KTP dan tertulis di sana sebaris dengan Status Perkawinan: BELUM KAWIN.

Aku mengembuskan napas lega dan langsung memeluknya. Gadis itu terpekik. Ketika melepaskan pelukanku, dia ingin mengatakan sesuatu tapi aku langsung membungkamnya dengan ciuman lapar.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Little Cojong
Tindakan Thomas di masa ini dipengaruhi oleh masa lalunya, masuk akal. Caranya menggoda seorang perempuan juga tidak dilakukan dengan berlebihan.
goodnovel comment avatar
puspa maharani
W tertarik sama perkenalan tokoh baru Sylvia Malore ini karena lu gambarkan dengan tampilan yang mantap
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status