Share

7 - Mengunjungi Jotunheim

Pesan dari Amelia Hyunji masuk pukul delapan pagi, dua hari setelah aku berunding dengan Max, saat aku sedang belanja keperluan mandi di minimarket. Restoran yang dia pesan terletak di dekat kampus Udayana Sudirman. Dia memintaku, jika tidak keberatan, untuk hadir pukul sepuluh pagi dengan rekanku pada hari Sabtu. Aku meminta tanggapan Max untuk kesediaannya menghadiri meeting pertama kami. Max menawar paling lambat hanya sampai pukul satu siang untuk hari Sabtu, dan kalau bersikeras pukul sepuluh pagi sampai waktu yang tidak ditentukan, harinya harus dipindah antara Kamis dan Minggu.

Kami bertiga sepakat Minggu pagi. Sekarang masih hari Rabu. Aku mencuci sepatu (kalau kutaruh di penatu, robeknya bakal bertambah lebar) selama tiga puluh menit, membuat uitsmijter dan makan sendirian sampai pukul sepuluh pagi.

Dulu, sebelum Mama memutuskan untuk menemani Papa tinggal di Belanda lebih lama, kami menempati rumah satu lantai berhalaman luas yang memiliki paviliun dua lantai. Kami menaruh meja makan rendah seperti milik orang Jepang di lantai dua yang tak beratap dan seringkali menikmati makan malam bersama di sana. Kami melakukan estafet untuk memindahkan makanan dari dapur dalam rumah ke paviliun. Aku akan berdiri di pertengahan jalan batu di halaman rumah dan menunggu makanan dioperkan Papa, lalu aku mengopernya pada Edy di dasar tangga yang akan membawa makanan itu ke lantai dua.

Dia begitu kuat. Dia tidak banyak bicara tapi selalu menggendongku di bahunya. Dia menemaniku makan di lantai dua paviliun saat aku terbangun kelaparan pukul sebelas malam. Dia menepuk bokongku sampai aku ketiduran di atas kasurnya.

Dia juga yang memaksaku untuk berkhianat.

Aku mencuci piring dan segera saja berharap ada jasa cuci piring yang bersedia datang untuk menyingkirkan kotoran dari: satu gelas, satu sendok, dan satu piring. Edy berada di yang pintunya selalu ditutup sampai mendekati jam kerjanya. Kalau dia keluar dari kamarnya, aku akan masuk ke kamarku. Kami menghindari obrolan, rasanya lebih adil dan nyaman.

Sampai sekarang dia tidak mengatakan apa pun tentang Amelia Hyunji dan aku juga tidak bertanya. Aku mematikan TV dan masuk ke kamar meski Edy belum keluar dari kamarnya, duduk di meja gambar kaca yang kupesan dari toko furnitur dan seni di Seminyak. Bacaanku habis. Aku bisa saja membaca ulang buku-buku yang kuletakkan dalam nakas, tapi merasa seharusnya aku mengerahkan waktu itu untuk membaca buku-buku baru. Seandainya saja aku berada di tempat yang memiliki banyak buku… Seperti, misalnya, rumah Gesa-

Pergilah ke perpusda, Thomas.

May, perpusda tidak memiliki The Divine Matrix.

Minta pada Junko, bukan Gesa.

Itu benar. Dan May, aku tidak berkhianat. Tapi aku benar-benar harus pergi ke rumah Junko sekarang karena pameran obral buku belum akan buka sampai buku-buku bekas atau reject terkumpul setinggi tembok Asgard dan sepadat struktur berlian. Musim pameran buku adalah bulan Juli sampai Agustus, saat murid-murid kembali ke sekolah, atau menjelang akhir tahun.

Sebentar lagi bulan Juli.

Kau tidak muncul sesering ini biasanya.

Kau mulai bertingkah tidak biasa.

Aku digerayangi kecurigaan. Seketika berdiri untuk menghampiri nakas dan meraup handphone. Ada tujuh belas panggilan tak terjawab dari Sylvia sejak pukul delapan pagi. Dia mengirim pesan di seluruh media sosial dan juga email-ku. Tapi Sylvia Malore bisa menunggu karena… Mungkin saja May tidak lagi melakukannya.

Kau menuduhku.

Mungkin saja May memutuskan untuk berhenti.

May itu aku.

Telepon tersambung. Mamalah yang mengangkatnya. Suaranya mirip Cardi B, menyambutku dengan riang dan penuh gaya. Bahasa Belandanya beraksen Indonesia. Aku kini menjadi sangat merindukannya. Kami membicarakan tentang rencana kepindahanku ke Belanda, kapan pun aku siap, mereka akan mengatur agar rumah Opa dan Oma muat untukku. Tapi aku tidak mau pergi ke sana sebelum merasa siap.

Inilah bagian yang paling kutunggu setelah mengungkapkan kerinduanku pada Mama. "Teman gadisku masih sering mengunjungimu, Ma?" tanyaku dalam bahasa Indonesia.

Awalnya Mama mencoba menjawab dalam bahasa Belanda, tapi setelah mendapatkan banyak pembenahan gramatika dariku, Mama akhirnya lebih memilih kembali pada bahasa ibunya. "Masih. Baru sekitar empat hari lalu dia membawakanku cetakan waffle dari Brussel. Dia berharap kami bisa membuat waffle dan sirop maple bersama saat salju pertama turun di Eropa. Dia akan naik kereta api untuk sampai ke Lissebersama pacarnya."

Kaulah yang telah mengkhianatiku.

Tak akan, kalau kau tak memulainya.

Rahangku mengatup dengan keras sampai aku bisa merasakan pipiku berdenyut. "Pacar," ucapku dengan gigi tertutup rapat.

"Pria Belgia keturunan Italia. Alisnya bagus, Thomas. Kita pernah membicarakan tentang jembatan Ampera yang lurus dan tegas. Nah, seperti itulah alisnya. Dan wajahnya? Kau tahu? Kau pasti akan setuju kalau kukatakan dia mirip anak ayam paling kuning dalam sebuah kandang, yang artinya paling lucu dan manis. Dan, Thomas, walau manis, dia punya berewok!"

Ah, itukah alasanmu, May? Kau berpaling dariku demi jenggot?

Berewok, Thomas. Demi Tuhan, memangnya kenapa?

Karena aku tidak memiliki bakal jenggot atau apa pun. Aku tak akan peduli lagi apa katamu. Kau meninggalkanku. Aku akan mencari Gesa. Dan kau akan menyesal telah meninggalkanku.

Gesa? Bukankah itu hanya alasanmu? Kau pandai sekali berkilah.

Aku meraih hoodie hitam dari gantungan di belakang pintu dan kembali pada handphone yang kuletakkan di atas nakas. "Seleranya selalu bagus," kataku pada Mama.

Kau bilang saat salju pertama turun di Eropa, huh? Kau akan mendapatkan waffle-mu, May. Kau akan dapatkan aku di balik pintu rumah papaku saat itu.

"Aku setuju."

"Ma, aku harus meminjam buku di rumah temanku. Bulan depan kirimi aku uang, oke? Akan ada pameran obral buku. Aku mau belanja buku-buku penting."

"Kau selalu lebih mementingkan buku di atas segalanya."

"Semua orang punya tempat pelariannya masing-masing."

.

Gerbang menganga lebar. Aku memarkir motor di garasi rumah Gesa. Sebuah mobil melintas di depan rumahnya dan memutuskan untuk berhenti. Aku terdiam di tangga teras ketika menyadari itu Chevroletnya Junko. Kaca jendela penumpang diturunkan. Suara Junko berteriak memanggil namaku. Aku berlari ke pintu penumpang di depan dan mengangkat daguku padanya. "Kau pikir kau mau ke mana? Aku mau pinjam buku."

"Buku-buku itu punya sertifikat kepemilikan," dia memutar bola mata. "Dan kau akan menemukan nama Bree di atasnya. Omong-omong tolong tutup gerbangnya, oke? Aku tadi lupa. Kalau kau mau pinjam buku, urusanmu dengan Bree. Dia ada di kamarnya. Kalau tirainya diturunkan, ketuk pintunya dengan keras. Kalau tirainya tidak diturunkan, aku takutnya dia sedang telanjang…" Junko terdiam sesaat. "Lebih baik kau gunakan telepon rumah yang terletak di atas meja kecil depan dinding kamar Max. Gunakan telepon itu untuk menghubungi Bree dan tanyakan, apakah dia sedang telanjang atau tidak."

"Aku bahkan tidak tahu yang mana kamar Max." Ada tiga kamar di lantai satu. Satu adalah kamar Sandra. Satu pintu di dekat dinding tangga, satu lagi di belakang sofa ruang tengah.

"Kalau begitu, temukan saja teleponnya di lantai satu. Dan jangan mencuri apa pun di rumahku. Apalagi kakakku." Junko meniupkan sebuah kecupan. Aku sedang bertanya-tanya apakah aku perlu tersinggung atau tidak.

"Kau mau ke mana?"

"Keliling Bali. Aku dan Rain memutuskan untuk bekerja sama membangun sebuah butik. Jadi kami harus melakukan riset besar-besaran mengunjungi butik di seluruh Bali. Jangan ajak aku bicara lama-lama di atas jalan, Tom. Dah!"

Maka aku menuruti perintahnya. Gerbang sudah. Sekarang gagang telepon menempel di telingaku. Ada buku telepon kecil di atas meja. Dan di halaman ketiganya tertulis jelas dalam huruf kapital tebal HANDPHONE BREE - 0831xxxxxxxx.

Ke mana perginya Max? Apa di dalam rumah berlantai dua yang punya lima kamar dan tiga teras ini hanya ada Gesa saja? Sepertinya kenyataan itu tidak baik untukku. Bagi dahiku yang kini merasa panas tak terkendali sementara tanganku yang menggenggam telepon membeku. Kami akan berduaan saja.

"Berandalan. Aku sudah pakai baju. Apa maumu? Kau mau keliling Bali sudah kuizinkan, Penguasa Bedak."

"Atas izinmu, dia sudah berangkat."

Hening. Setelah tiga detik, "Ada tamu? Sebentar. Aku akan pergi ke bawah."

"Ini Thomas. Kalau kau sudah pakai baju, bolehkah aku naik ke atas?" Betapa menyenangkannya ada cewek yang selalu telanjang di rumahnya.

"Oh, Thomas!" Dia berseru. Benar-benar berseru. Lalu tertawa. "Aku agak bermusuhan dengan kain, jadi… Baiklah. Kita harus membuatkanmu minuman terlebih dahulu di dapur. Setelah itu kita akan naik ke lantai dua." Sambungan terputus. Aku menaruh gagang telepon kembali dan menutup buku telepon bertuliskan make ur contacts stay longer dalam tinta emas di sampul berwarna putih gadingnya.

Pintu kamar Max terbuka. Pada saat rumah ini benar-benar sepi pengunjung, aku melihat sisi lain yang benar-benar berbeda. Mereka yang kelihatannya selalu keren ternyata hanyalah manusia biasa. Selimut Batman belum dilipat padahal ini sudah hampir pukul dua belas siang. Di atasnya ada kaus berwarna abu-abu yang lecek. Di bawah selimut yang setengah menggantung dari kasur itu, di atas lantai, sebuah botol soda tanpa tutup tergeletak miring tak berdaya. Untungnya botol itu sudah kosong. Laptop silver diletakkan secara serampangan di atas bantal.

Debum kaki terdengar di tangga, aku bergerak menjauhi pintu kamar Max ke arah sofa yang… Sepertinya baru saja menangani sebuah jamuan kecil. Tray kayu bulat besar dibanjiri cairan berwarna cokelat susu. Dua cangkir kosong menganga di atasnya, seperti mulut yang kehausan. Bunga seruni yang belum diganti mulai kelihatan layu dan aku merasa takjub—wow, ternyata itu bunga sungguhan.

"Hi!" sapa Gesa. Berdiri tegak di jalan menuju dapur seorang perempuan jangkung yang ternyata sangat malas memakai pakaian. Dia sepertinya hanya asal-asalan menempelkan karung goni di badan langsingnya. Dan memutuskan paduan terbaik untuk karung goni itu adalah celana tenis wanita yang warnanya seperti baguette. "Selamat datang di… Eh," dia melirik ke sekitar dan agaknya merasa terkejut. "Ada yang menyentuh mesinku." Matanya seketika mendelik. Gesa berlari menghampiri mesin espresso yang memendarkan lampu biru pada kolom digitalnya.

Bahunya seketika melunglai. Tangannya terentang di dekat kolom digital biru yang menunjukkan angka suhu sementara tangan satunya lagi berkacak pinggang. "Dasar para Raksasa! Seharusnya mereka tinggal di Jotunheim! Ini Asgardku!"

"Kabar baik!" Aku memekik. Dia menoleh ketika aku menunjuk seluruh lantai di rumahnya. "Tidak ada kotoran hewan yang harus ditutupi alang-alang di sini."

"Terimakasih, Tuhan. Kau memberikan hati yang murni pada keluargaku."

"Kita akan membersihkannya?"

"Kita?" Gesa melangkah sampai perut ratanya membentur tepian meja keramik. "Mamaku tidak bakal membiarkan telingaku tetap dua kalau seorang tamu ikut bersih-bersih di rumahnya."

"Nah," aku melesat ke dalam dapurnya dan mencari-cari kain lap, yang kutemukan banyak sekali bergelantungan di dalam lemari dinding. Aku melirik Gesa dan menunjuk koleksi lap itu dengan rahangku. "Tolong, dong. Aku tidak sampai."

Agaknya dia berusaha menahan senyum sambil menyilangkan tangannya di bawah tempat payudara seharusnya berada. "Bilang dulu kau mau apa."

"Karena aku selalu kepingin memiliki adik semanis Junko… Kini aku bagian dari keluarga Edrei!"

"Edrei itu nama ayahku."

Lalu kenapa Sandra sudi menamai tempat bisnisnya Edrei Beauty?

"Keluarga Sandra," ralatku.

Dia menimbang-nimbang. "Kedengaran lebih benar."

Jadi kami membagi tugas. Karena Gesa ternyata menyarankan orang lain tidak menyentuh mesinnya, apalagi tanpa sepengetahuan atau pengawasannya, aku mendapat bagian membersihkan area ruang tengah lantai satu sementara dia mensterilkan kandang piringnya sampai kembali seperti sebuah dapur. Dan itu tugas berat karena dia harus menyusun ulang saucer dan cangkir di atas mesin espresso-nya, mengembalikan stoples bahan-bahan dapur sesuai urutan yang benar, mencuci peralatan makan—hal yang paling kubenci adalah mencuci sesuatu, termasuk diriku sendiri—mengumpulkan sampah dalam keranjang sampah beralaskan kantung plastik, mengosongkan sampah itu ke tong sampah besar di depan rumah, mengelap noda (yang jumlahnya berlimpah) di semua permukaan meja di dapur, dan akhirnya mengepel seluruh lantai.

Setelah selesai, kami melemparkan bokong ke atas sofa bersama-sama. Melihat leher dan dahinya mengilap karena keringat dari jarak tidak mungkin lebih dari lima puluh sentimeter seperti ini menimbulkan kesan intim. Kepalanya dan kepalaku tergeletak tak berdaya di atas sandaran sofa. Aku sudah sejak tadi memandanginya. Lehernya bergulir sehingga wajahnya yang tadi menghadap langit-langit putih kini menghadapku. Bibir tebalnya kelihatan seksi luar biasa hari ini. Kebetulan sekali bibir itu terbuka. Aku menelan ludah. Dia kembali menghadap langit-langit dan matanya perlahan terpejam.

Lalu dia tertawa. Aku terbius tawanya. Kami terbahak-bahak sambil memukuli sofa. "Keluargaku mengerjaiku."

"Aku punya sayap malaikat di punggungku." 

Begitu tawa kami reda, dia menghela napas sangat dalam. "Kau tahu? Tidak ada satu pun dari keluargaku yang memanggilku Gesa."

"Apa artinya Bree—nama panggilan mereka untukmu?"

Di puncak sofanya, Gesa kembali tertawa. "Kau berpikir mereka yang memilihkan nama panggilan itu untukku." Aku mengangguk. Dia tidak melihatku, tapi pasti merasakannya karena dia melanjutkan, "Padahal tidak. Aku bisa mengucapkan huruf R dengan jelas sejak umur empat tahun. Saat itulah mereka memintaku mengeja namaku sendiri. Ge-sa Ed-ree. Tapi aku mengucapkannya begini." Punggungnya tegak dan kini tubuhnya dihadapkan padaku. Kedua telapak tangannya terarah lurus dan digerakkannya berpindah-pindah dari kiri ke kanan sesuai irama ejaannya. "Ge-sa Ei-Bree."

"Kenapa kau melakukan itu? Edree dan Eibree adalah dua kata yang sama sekali berbeda."

"Kenapa aku melakukan itu bagaimana aku tahu? Mereka bilang cara membacanya adalah Ei-Bree. Dan aku mengulanginya. Mereka malah menertawaiku. Katanya yang benar adalah Ed-Ree. Dan aku bilang mereka bohong. Tadi mereka bilang Ei-Bree bukan Ed-Ree."

Bersikeras sekali. Bagaimana wujud gadis berusia empat tahun yang menuduh keluarganya salah padahal jelas-jelas dialah yang salah mendengar ejaan namanya sendiri? Aku akan sangat bersenang hati jika dia memberiku album yang memuat foto-foto kecilnya.

Kau menyukainya, Thomas. Berengsek.

Hari ini kau diam, Pengkhianat. Nikmatilah pacar berewokmu itu.

Kau yang memulainya…

Diam.

"Tibalah waktunya! Coffee time!" Gesa mendorong tubuhnya dari kursi dan berdiri. Aku ikut berdiri. "Apa permintaanmu?"

"Es boleh?"

"Es?" Gesa menelengkan kepalanya. "Seperti es krim?" Dia berpikir sejenak. Saat dia berbicara, kami mengatakannya serempak. "Ide bagus."

Tapi aku lalu menjelaskan. "Sebenarnya maksudku minuman dingin. Misalnya moccachino ice."

"Kita buat keduanya. Aku punya gelatin dan freezer di kulkasku lumayan bagus."

Tadinya kupikir aku akan berperan sebagai penonton seperti ketika dia membuatkanku moccachino. Tapi ternyata aku harus membuat whipped cream sementara dia membuat moccachino. Kaleng whipped cream di kulkasnya kosong. Waktu tombol ditekan, terciprat gas dan sisa-sisa whipped cream. Keadaan kaleng itu menyedihkan. Jadi aku mengolah adonan whipped cream berdasarkan resepnya. Katanya, "Kita butuh SP, tapi karena ternyata aku juga tidak punya SP keparat, ya sudah persetan. Kita kini hanya mengandalkan kepercayaan diriku yang tinggi."

"Kau sebenarnya bisa membuat es krim atau tidak?"

"Aku lupa aku bisa membuat es krim atau tidak," katanya sambil mengeluarkan mixer dari lemari dinding di atas bak cuci piring. "Kita akan menggunakan mixer untuk mencampur adonannya supaya lebih lembut karena tidak ada SP. Entah berfungsi atau tidak. Aku tidak mengambil jasa boga selama sekolah, jadi kalau tidak dicoba, kita tidak akan pernah tahu."

Dia pun mencampurkan moccachino ke dalam whipped cream buatan dan menyerang adonan es krim itu dengan mixer. "Sepertinya kau tidak bisa menggunakan mixer," kataku.

"Benar. Mamalah yang menggunakan mixer."

Akhirnya kami pasrah. Dapur yang sempat rapi dan layak huni kini berubah jadi ladang noda berwarna cokelat yang menciprati barang-barang di dekat meja bar dan meja keramik. Adonan yang tadi memenuhi setengah baskom kini hanya tersisa seperempat bagian baskom. Dia menertawai kekonyolannya sendiri dan memintaku sebaik mungkin merahasiakan kiamat kecil di dapurnya hari ini.

Sampai akhirnya kami meletakkan adonan es krim—yang kuragukan layak dikonsumsi—ke dalam kontainer plastik dan memasukkannya ke dalam freezer.

"Berapa jam?" tanyaku.

Dia mengangkat pergelangan tangannya yang dilapisi bekas arloji. "Arlojiku di kamar rupanya. Pukul berapa ini?"

Aku mengeluarkan handphone. "Satu lebih empat puluh tiga."

"Nah. Kita coba periksa pukul empat lebih empat puluh tiga."

Kami merapikan kembali dapurnya dan akhirnya naik ke lantai dua. "Apa yang kau butuhkan?" tanyanya di ruang tangga.

"Buku. Aku kemari untuk membaca buku. Dan ternyata..." Aku merasa lelah. Di puncak tangga, aku bersandar pada dinding kamar mandi dan bernapas pendek-pendek. Bukan karena mendaki tangga yang tak seberapa tinggi ini aku kelelahan tapi pasti karena bersih-bersih dan berdiri terus-menerus selama beberapa puluh menit di dapurnya. Gesa menoleh ke belakang dan tertawa.

"Sebentar," kataku. "Terakhir kali aku berolahraga, bumi ini masih diselimuti batu pijar yang sebutannya adalah Zaman Hadean."

"Terakhir kali aku berolahraga, langit masih dikuasai oleh Pterosaurus."

"Kalau begitu aku kalah. Setidaknya kau olahraga sekitar tujuh puluh enam juta tahun lalu."

"Benar. Mau kugendong?"

"Kemarilah." Aku merentangkan tangan.

"Dasar Bayi Moccachino." Tapi dia menurutiku. Membungkuk dan mengayunkan tangannya ke belakang di depanku, bersiap menangkap tubuhku.

Aku tertawa, menepuk-nepuk punggungnya, dan menjauhkan punggungku dari dinding kamar mandi, tapi tidak naik ke punggungnya, malah memutar ke hadapannya. "Jadi kau serius soal menganggapku adik manismu?"

Karena rasanya sungguh tidak benar. Bukan dekat seperti itu yang kumau.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status