Share

KEMARAHAN PANCA

Dia pun teringat satu kejadian yang sama, di mana dia pernah dipojokkan seperti ini oleh seseorang hingga merenggut keperawanannya. Rasa traumanya langsung meluap tak terbendung. Sayangnya dia hanya bisa menangis dengan suara yang tersumbat gulungan kain.

Sesaat, sang kusir yang tengah mengendalikan kuda itu pun merasa kereta sedikit bergoyang, seiring suara jeritan wanita tertahan dari dalam.

...

NGIHIHIK

Tidak lama. Tiba-tiba saja perjalanan mereka terhenti. Seseorang penunggang kuda menghalangi jalan mereka.

"Siapa kau?" tandas rekan yang berada paling depan.

Sementara itu, Budu menyembulkan kepalanya dari jendela, yang tatapannya langsung tersorot pada si penunggang kuda. Menyadari hal tersebut kurang baik, Budu turun dari kereta sambil memperbaiki posisi pakaian bawahnya yang terbuka. Rasik juga ikut turun, berlagak sama seperti Budu yang merapikan pakaian bawah.

Seorang penunggang kuda itu bukan lain adalah Panca. Tanpa banyak bacot Panca melompat dari kudanya dan terbang di udara, yang kemudian beberapa kali mengayungkan pedang Guntur Naga Langitnya.

"Tebasan kemarahan guntur!"

Pada waktu yang bersamaan. Beberapa kilatan cahaya biru melintang berbalut percikan petir, melesat ke arah rombongan, yang sontak membuat ledakan hebat seiring terpentalnya orang-orang sekte tersebut.

Namun, Budu dan Rasik memahami situasi, yang sontak membuat mereka segera menggunakan teknik tameng cahaya merah, sehingga terhalang dari serangan telak Panca tadi.

Sekejap berlalu. Dari balik kepulan debu yang tercipta, muncul Budu dan Rasik melesat ke arah Panca yang masih berada di udara. Tak bisa dielakkan, pertukaran serangan pedang pun terjadi.

Ayunan gabungan pedang telak Budu dan Rasik membuat Panca terhempas ke bawah setelah mencoba menangkisnya.

"Bajingan! Siapa kau?" Budu menandas, sesaat sebelumnya mereka jatuh dan berpijak di tanah.

Panca tidak menggubris. Dia langsung berlari dan mengambil serangan kembali, yang membuat pertarungan terjadi. Dengan kemampuannya, Panca begitu gagah memainkan pedang. Menghindar, memutar tubuh, menangkis serangan, dan membalikkan serangan dengan raut yang tenang.

TINGTING TING TINGTINGTING

Suara aduan pedang terdengar memantul di udara, seiring percikan api terlihat jelas. Dua pendekar tingkat delapan sayap menunjukkan kapabilitas mereka dalam memainkan pedang berikut serangannya.

Saat ini Panca sama sekali tidak menahan diri. Dia bahkan segera menunjukkan eksistensi Pedang Guntur Naga Langitnya, yang sontak menampakkan percikan petir di setiap ayunan pedang tersebut. Hal itu lantas membuat Budu dan Rasik terlihat cukup kesusahan menahan gempuran pedang Panca.

Tidak sampai di situ. Panca juga mengerahkan setiap anggota tubuhnya untuk menyerang. Satu kali mengayun pedang, satu kali melakukan serangan kaki. Dua kali mengayun pedang, satu kali bogem kiri dihantamkan. Hal itu dilakukan secara teracak pada dua orang, sehingga lawan tidak dapat membaca teknik yang dipakainya.

Dan benar saja. Tidak berlangsung lama. Panca sangat mendominasi pertarungan yang membuat dua pendekar delapan sayap itu tersudut. Mereka terhempas jauh bersamaan setelah menerima serangan beruntun dari Panca dan terluka cukup parah setelahnya.

Budu mendapat sayatan agak dalam di pipi kiri, yang membuat darah mengucur melumuri wajah kirinya dengan rasa perih yang lumayan merepotkan. Tidak beda dengan Rasik yang juga mendapatkan sayatan agak panjang di bagian dadanya dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.

"Keparat! Katakan apa maksudmu menyerang kami!" tandas Budu.

Panca tidak menjawab. Sikapnya begitu dingin, memperlihatkan aura menindas yang cukup membuat nyali kedua pendekar delapan sayap itu menyusut seketika.

Menyadari orang di depan adalah monster. Budu melempar tatapan ya ke arah Rasik. Keduanya sontak satu kali mengangguk ke bawah, memperlihatkan ada sesuatu yang mereka rencanakan.

Melihatnya, Panca cukup penasaran apa yang bisa mereka lakukan setelah ini. Dia pun langsung mengambil langkah berlari dan hendak melangsungkan serangan kembali.

Sementara itu, Budu dan Rasik dengan cepat mengalirkan tenaga dalam mereka pada pedang dan langsung membuat pedang mereka merembeskan cahaya aura merah. Mereka pun secara beriringan mengayunkan pedang dan sontak menghempaskan cahaya kekuatan pedang ke arah Panca.

Panca pun tanpa ragu mengayunkan pedangnya, untuk mematahkan serangan. Ketika Panca berhasil menghancurkan serangan, terlihat Rasik hanya sendirian di depannya. Hal itu sontak membuat Panca sedikit terkejut, yang ternyata, Budu sudah berada di belakangnya dan tinggal melangsungkan serangannya saja.

Panca dengan cepat merespons. Sebelum itu dia mengibaskan bilah pedangnya untuk melancarkan serangan Tebasan Gutur Menyilang ke arah Rasik, agar Rasik teralihkan. Lalu dia berputar tubuh untuk meladeni Budu yang tengah berada sedikit di atasnya.

TINGGGG

Sontak saja, suara bentrokan pedang melengking dan menciptakan angin yang terhempas begitu hebat hingga menggoyangkan semak-semak serta dedaunan pohon di sekitar. Bahkan saking hebatnya tekanan serangan Budu, sampai membuat tanah di sekitar pijakan Panca menjadi retak sedikit.

Sejenak lalu Budu langsung menarik tekanan pedangnya dan mudur jauh dari Panca dengan satu kali melakukan salto di udara.

Lantas ketika cepat kakinya berpijak di tanah. Dia langsung melompat kembali ke udara. Di sisi lain juga, Rasik melakukan hal yang sama. Gerakan ayunan pedang mereka saat itu begitu serasi, menyadari Panca bahwa mereka akan melakukan kombo serangan.

"Tebasan pedang darah kemarahan!"

Dan benar saja. Tidak dapat dielakkan bahwa Panca akan menerima serangan bertubi-tubi dari dua pendekar delapan sayap itu. Serangan Budu dan Rasik saat itu lebih agresif dari yang sebelumnya, sehingga membuat Panca langsung menciptakan tameng lingkaran guntur untuk mempertahankan eksistensinya.

BUMBUMBUM

Dalam sekejap bentrokan kekuatan terdengar yang sampai membuat debu-debu menyebar ke berbagai arah. Sayangnya, ketika sesaat serangan bertubi-tubi tadi tidak diterima Panca lagi dan debu yang menyebar telah menipis. Eksistensi kekuatan Budu dan Rasik sudah tidak dirasakan oleh Panca. Hal itu membuat Panca sadar bahwa mereka berdua telah melarikan diri.

Lalu ketika suasana menjadi sedikit tenang. Panca menyapu tatapannya pada mayat-mayat orang sekte Jalak Hitam yang bergelimpangan.

Kuda yang menarik kereta Yati dan Hanum saat itu tidak berada di sana. Sehingga segera Panca mencarinya, yang tidak lama kuda tersebut dia dapatkan di pinggir jurang sekitar tempat itu.

Lalu setelahnya, Panca langsung memeriksa keadaan di dalam. Namun, baru saja Panca membuka pintu kayu bagian belakang kereta. Dia dikejutkan dengan kondisi seorang wanita di sisi kanan yang pakaian bawahnya setengah terbuka. Hal itu membuatnya langsung berbalik badan untuk mengalihkan tatapannya dari pemandangan yang tidak seharusnya dia lihat.

"Pecundang! Dasar bajingaaaan!" maki Panca kepada dua orang yang baru saja dia hadapi.

Dia marah besar sampai mengeluarkan aura penindasannya yang tak terbendung. Yang pada akhirnya, aura tersebut berhasil menggoyangkan dedaunan di sekitar. Bukan hanya itu. Burung-burung kecil yang berkumpul di pepohonan sekitar situ juga langsung terbang berhamburan.

***

Malam tiba. Di dalam sebuah goa, Panca menyalakan api yang saat itu memperlihatkan jelas corak batu dinding goa.

Di sisi lain, Hanum tersadar dengan kepala yang sedikit pusing. Dia menoleh ke samping, yang terdapat Yati tengah terbaring tak sadarkan diri.

"Yati?" celetuk Hanum.

"Kau sudah bangun?"

Suara seorang pria membuat Hanum langsung memalingkan tatapannya. Dan terlihat tidak jauh keberadaan seseorang tengah membelakanginya, yang bukan lain adalah Panca.

"Kau di sini?" tanya Hanum.

"Maafkan aku datang terlambat. Maafkan aku juga sudah menyebabkan hal ini terjadi. Seharusnya aku tidak membunuh Wardana saat itu," ujar Panca.

Hanum pun menggeleng pelan. "Tidak. Ini bukan salahmu. Mereka yang sering mengganggu kami dan para warga desa Jalung. Sudah sepantasnya mereka mendapatkan ini. Aku yang seharusnya meminta maaf. Setelah ini, pasti kau akan menjadi buronan orang-orang Jalak Hitam."

Mendengarnya, Panca kemudian sedikit mengerut dahinya. "Apa maksudmu? Apakah mereka memang sering membuat hal yang tidak baik?"

Padahal Panca tahu, jika orang-orang Jalak Hitam bukanlah kelompok yang baik. Namun, di sini dia ingin mengulik informasi dari Hanum.

"Karena mereka menduduki tiga keluarga teratas. Mereka melakukan hal semena-mena kepada warga desa Jalung. Pajak tanah kami dinaikturunkan seenak jidat. Belum lagi pemerasan terhadap para pedagang di pasar desa. Ini tidak terjadi di desa Jalung saja, melainkan desa-desa yang ada dalam naungan kota Parang."

"Begitu ya?" Panca menanggapi dengan tenang.

"Seperti itulah," balas Hanum. "Memangnya kisanak berasal dari mana? Wajahnya tampak asing."

"Aku tinggal di Gunung Blikar. Datang untuk sebuah misi dari guruku."

"Gunung Blikar di selatan daratan Bulubalang?"

"Hm."

"Apa di sana terdapat perkampungan seperti desa Jalung? Pasti di sana lebih damai ya?"

Panca menyunggingkan sedikit senyum, karena memang di sana hanya terdapat bebatuan dan rerumputan liar saja. Sebagaimana hutan rimba. Panca hidup di puncak gunung hanya berteman dengan beberapa binatang buas yang sudah dia jinakkan sendiri. Sejak usia sepuluh tahun Panca hidup bersama gurunya dan sangat penasaran degan dunia luar. Hanya sesekali dia turun gunung, sekadar membeli keperluan, sebab jarak yang akan ditempuh Panca sangatlah jauh, meskipun dia menggunakan tunggangan yang juga merupakan teman baiknya, berupa siluman macan hitam taring sebelah.

"Hm, tidak demikian. Saat usiaku sepuluh tahun, sebuah tragedi menimpa keluargaku. Aku diselamatkan oleh guruku dan dibawa ke Gunung Blikar. Dan semenjak itulah aku memulai hidup hanya dengan guruku di sana," jelas Panca.

"Ah. Begitu rupanya. Pantas saja tidak ada ketakutan dalam tatapan kisanak ketika menghadapi Wardana dan antek-anteknya. Pasti kisanak memiliki guru yang sangat baik sekaligus kuat," balas Hanum.

Panca tidak bersuara. Matanya tersorot lurus ke arah perapian.

"Sebelumnya aku ingin berterima kasih pada kisanak. Untuk kedua kalinya, kisanak telah menyelamatkanku."

"Ibuku seorang wanita. Aku sangat benci mereka yang merendahkan atau bahkan mempermainkan wanita," ujar Panca.

"Hati kisanak begitu tulus. Mengingatkanku kepada kakek dan almarhum ayahku," balas Hanum.

Ucapan itu lekas sejenak membuat Panca tertegun. Sesaat dia menatap wajah Hanum, yang keningnya agak turun.

"Ah? Apakah aku membuatmu sedih?" tanya Panca. "Jika seperti itu, aku minta maaf."

Mendengarnya, Hanum hanya tersenyum tipis.

"Um tidak. Tidak apa-apa," ucap Hanum, tenang. Hanum langsung melempar wajahnya ke kiri, menatap paras tampan Panca yang tersorot oleh pancaran cahaya api.

"Tidak sama sekali," lanjutnya.

Sesaat kedua mata itu saling bertemu, lalu secara bersamaan mereka lekas memalingkannya.

"Bagaimana kisanak bisa tahu kami dibawa oleh orang-orang Jalak Hitam itu? Dan bukankah kakekku menyuruh kisanak untuk pergi sejauh-jauhnya dari sini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status