Share

TEKAD DI ATAS DENDAM

Panca mengembus napas agak panjang, lalu mulai menjawab. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, jika aku punya misi dari guruku di tempat ini. Lagipula, diminta sekalipun. Seorang pendekar tidak akan lari dari masalah, terlebih jika harus membuat orang lain memikulnya."

"Aku tidak menyangka, kakekmu akan mengambil masalah ini hanya untuk menyelamatkanku. Dia melayangkan nyawa para bawahan Wardana kemarin hanya agar tidak ada yang buka mulut sehingga aku bisa terbebas. Sayangnya ada seorang yang melihatnya dan membeberkannya pada orang-orang di sekte. Maafkan aku," lanjut Panca.

Hanum yang mendengarnya lekas sedikit membulatkan mata. Dia kemudian langsung mengingat kembali dan membayangkan apa yang terjadi pagi tadi. Dia tidak begitu mengerti, karena tiba-tiba saja orang-orang sekte datang dan membuat onar. Bukan hanya di rumahnya saja, melainkan juga kepada para warga di sekitar rumah.

Tanpa penjelasan, Hanum dan Yati langsung dibawa oleh sekelompok orang sekte secara paksa. Sementara kakeknya berusaha untuk melawan orang-orang sekte yang menghadangnya. Meski kakek Hur merupakan praktisi kanuragan yang eksistensinya cukup mumpuni. Namun, di hadapan banyak lawan, tentu membuatnya keteteran menghadapinya. Ditambah juga usianya yang sudah senja, menunjukkan tubuhnya yang tidak lagi gesit seperti di masa muda.

Para warga yang ada di situ juga tidak dapat berbuat banyak. Karena yang akan mereka hadapi adalah orang dari sekte besar. Belum lagi mereka tidak begitu bagus dalam menempuh kanuragan, tentu saja hanya dengan satu gerakan dari lawan, sudah tidak bisa menyerang kembali.

Hal itu membuat Hanum hanya bisa memberontak sebelum dirinya bersama Yati benar-benar dibawa oleh orang-orang sekte Jalak Hitam. Dan itu juga yang membuat Hanum terpikir kakeknya di sepanjang perjalanan.

"Kisanak? Apa karena itu, pagi tadi orang-orang sekte mendatangi rumah kami?"

"Demikian seperti itu yang aku dengar dari beberapa warga. Pagi tadi mereka mengumpulkan masa di arena bundar dekat pasar dan mengumumkan tentang aku. Kemungkinan mereka akan membentuk tim pembunuh untuk memburuku. Mereka juga mengeksekusi kakekmu di sana."

Pernyataan itu pun membuat Hanum terkejut lagi.

"Kakekku? Kisanak melihatnya? Apa yang mereka lakukan pada kakekku?"

"Hum. Aku tidak ingin menghancurkan perasaanmu dengan menjawab hal itu."

"Katakan saja kisanak. Aku ingin mendengarnya."

Panca mengingatkan, karena tahu jika dia mejawab, sudah pasti akan membuat Hanum merasa sedih. Namun, dengan wajah yakin Hanum meminta Panca untuk menceritakan. Hal itu membuat Panca mau tidak mau harus mengatakan yang dilakukan orang-orang sekte pada kakek Hur di depan banyaknya warga pagi tadi.

"Biadab!"

Dengan keras Hanum memaki, seiring wajahnya yang cantik itu memerah beraut marah. Dia tahu, bahwa orang-orang sekte tidak akan membiarkan kakeknya begitu saja. Namun, dia tidak sampai terpikir jika mereka akan melakukan hal keji seperti apa yang dilihat dan diceritakan Panca sebelumnya.

Hanum mengepal tanganya kuat-kuat, sampai sorotan mata Panca mendapati gemetar pada kedua lengan Hanum. Tatapan Hanum terlihat berapi-api, menyadarkan Panca bagaimana situasinya.

"Kisanak?"

Hanum kemudian menoleh ke arah Panca. Tidak seperti yang ada di pikiran Panca, di mana Hanum akan sangat sedih. Sorotan mata Hanum saat itu malah menggambarkan raut tegar pada wajahnya.

"Apakah kisanak seorang pendekar yang sangat kuat?"

Mendengar pertanyaan tersebut. Panca dibuat sedikit tidak mengerti dan seketika menunjukkan dahinya yang mengerut.

"Ada apa dengan itu?"

Hanum pun segera berdiri, diiringi wajah Panca yang perlahan mendongak. Dia kemudian berlutut sambil berucap, "Guru! Jadikan aku muridmu!"

Ucapan tersebut terdengar yakin, yang langsung membuat Panca sedikit mengangkat dua keningnya.

"Tunggu. Apa yang sedang kau lakukan?" celetuk Panca.

"Aku tahu, ini begitu tiba-tiba," Hanum memotong, "... tapi aku mohon kepada kisanak. Jadikan aku muridmu!"

Panca yang mendengarnya hanya bisa tertegun. Tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Namun, sebagai pendekar, Panca langsung mengendalikan dirinya dan mencoba bersikap tenang.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu harus menjawab apa."

"Kisanak, aku mohon!" Hanum masih berusaha. Dia tidak peduli sedang berlutut di depan siapa.

Panca pun terdiam sejenak. Kemudian mulai membuka suara.

"Apa ini untuk membalaskan dendam kakekmu?"

Panca langsung menebak atas sebab Hanum yang begitu tiba-tiba. Kemudian mendengar ucapan Panca, Hanum agak tertegun. Dia pun sesaat memejam matanya, berusaha meyakinkan dirinya.

"Benar! Tolong ajari aku menjadi pendekar," balas Hanum, seiring menundukkan kepalanya. "Aku akan melakukan apa pun untuk kisanak. Apa pun itu!

"Tidak."

Jawaban Panca itu pun langsung membuat Hanum mengangkat wajahnya dan membulatkan mata. Namun, Hanum tidak ingin menyerah. Dia lantas menundukkan kepala kembali, kemudian menunjukkan kesungguhannya kepada Panca, yang membuatnya mengeluarkan pernyataan yang cukup di luar dugaan.

"Kisanak! Aku mohon! Ajari aku. Aku tidak punya apapun untuk kuberikan. Bahkan jika harus membayar dengan tubuhku, aku tidak akan keberatan."

Mendengarnya, jelas saja Panca sebagai seorang lelaki menjadi sangat terkejut, hingga tampak matanya melebar. Sama sekali tidak pernah terpikir jika wanita di depan yang belum lama dia temui itu sangat berani mengatakan hal ekstrim seperti demikian, hanya karena ingin berguru ilmu kanuragan.

"Tidak perlu," jawab Panca. Dia terlihat tenang sambil menyimpul tangan di atas dada. "Jangan sia-siakan harga dirimu atas apapun. Kesucian seorang wanita hanyalah milik seorang pria yang ada di dalam ikatan resmi pernikahan. Kau tidak bisa mempermainkannya seperti ini."

Panca menasehatinya. Hal tersebut sontak semakin mematangkan niat Hanum untuk menimba ilmu pada Panca. Menurutnya, Panca merupakan pria yang langka.

"Baiklah. Aku akan mengajarimu. Tapi sebelumnya aku memperingatkanmu, bahwa setiap keputusan selalu ada konsekuensinya."

"Tidak masalah! Aku sudah siap dengan apapun."

"Hm. Keyakinan yang cukup baik," balas Panca. "Malam hampir larut. Besok aku akan turun gunung. Mencari beberapa obat untuk Yati. Kalian tetap di sini sampai aku kembali."

"Hm. Baiklah, Guru."

KRUKRUK

Seiring Hanum menyanggupi ucapan Panca. Tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari arah perutnya.

Hal itu sontak membuat Hanum mengangkat kedua keningnya. Sementara Panca hanya tersenyum tipis sambil sedikit menggeleng.

"Sebentar. Seharusnya itu sudah matang."

Setelah mengucapkan hal tersebut. Panca segera bangkit dari duduknya dan sedikit mendekat ke perapian.

Sesaat Hanum memperhatikan Panca yang tengah menyerong kayu-kayu yang tengah dilahap api itu. Membuat Hanum penasaran, apa yang tengah dilakukan Panca saat ini.

Sementara Panca. Setelah menepikan kayu-kayu yang termakan api, dia lekas membaluti kedua tangannya dengan cahaya aura birunya yang terdapat tipis-tipis percikan petir.

"Apa yang guru lakukan?" tanya Hanum.

Panca tidak menjawab. Dua tangan yang telah dibaluti eksistensi kekuatan itu segera digunakannya untuk mengangkat segumpal tanah liat berukuran bola sepak. Karena sebelumnya gumpal tanah liat itu berada di antara api yang berkobar merah. Oleh karenanya terlihat asapnya mengepul ketika disodorkan di hadapan Hanum.

"Untuk apa ini guru?" tanya Hanum lagi.

Panca tanpa menjawab, langsung menghantam gumpalan tanah liat itu dengan tangan yang masih dibaluti eksistensi kekuatan. Dan dalam sekejap, gumpalan tanah tersebut tercecer berkeping-keping dan meperlihatkan isi di dalam gumpalan tanah liat tersebut.

Di dalamnya ada beberapa lembar daun teratai yang tampaknya membungkus sesuatu. Dari aroma yang menyebar kala itu, Hanum sudah bisa mengetahui apa yang ingin ditunjukkan oleh Panca.

"Apa ini daging belibis panggang?"

Panca pun hanya tersenyum. Segera dia membuka lembar demi lembar daun teratai itu, sehingga menampakkan kulit kecoklatan dari seekor daging belibis panggang tersebut, walau hanya samar-samar karena pencahayaannya hanya mengandalkan sorotan perapian. Hanum yang menyaksikannya pun langsung merasa berselera.

Kemudian Panca sejenak beranjak dari duduk dan melangkah ke sebuah batu besar setinggi paha, yang ternyata Panca mengambil beberapa lembar daun teratai lain dan segera kembali ke tempatnya tadi.

"Makanlah."

Begitu santai Panca mengambil daging belibis tersebut yang kemudian diletakkan di atas beberapa lapis lembar daun teratai. Setelahnya, belibis panggang yang dia sajikan itu lekas disodorkan kepada Hanum.

"Bagaimana dengan Guru?" tanya Hanum.

"Makan. Aku sudah tadi. Hati-hati, panas. Aku akan segera tidur. Setelah makan, istirahatlah."

Setelah mengatakan hal tersebut. Panca pun bangkit dan lalu mengambil langkah menjauh dari perapian. Dia lantas melompat ke udara, menaiki batu yang cukup tinggi dan berbaring di atas batu itu.

"Guru? Sedari awal bertemu, aku tidak tahu nama guru. Apakah aku boleh bertanya, siapa nama guru?"

"Namaku Panca." Panca dengan santai menjawab, seiring matanya terpejam. Tubuhnya saat itu telentang, sedang dua telapak tangan dijadikan bantal kepala.

"Sudahlah. Makan saja." Kemudian dia meminta Hanum segera makan, yang sontak dilaksanakan oleh Hanum. Tidak ada perbincangan lagi setelah itu.

***

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hanum yang sudah makan kenyang semalam, tampak tidur dengan tenang.

Namun ketika dia bangung dan langsung mencari keberadaan Panca di sekitar goa. Dia sama sekali tidak mendapati Panca di sana.

Dia pun teringat bahwa Panca semalam mengatakan akan turun gunung untuk mencari beberapa obat. Barulah dia dengan cepat kembali masuk ke dalam goa dan duduk di sisi Yati yang belum juga tersadar.

"Yati? Apa sebenarnya yang terjadi padamu?"

Hanum memasang raut sedih. Dia tidak tahu apa yang dilakukan dua bejad itu kepada Yati setelah dia pingsan hari kemarin.

"Katakan kepada kakak. Katakan kepada kakak apa yang mereka lakukan kepadamu? Kakak akan membalasnya. Kakak janji!"

Meski Hanum tahu Yati tidak mendengarnya. Hanum terus berbicara, sembari menggenggam tangan adiknya itu.

...

Sementara di sisi lain. Panca yang kepalanya tertutup tudung berwarna coklat selaras baju, terlihat berjalan dengan pedang guntur naga langit yang bertengger menyerong di punggungnya.

Sesaat ketika berjalan. Tiba-tiba saja satu orang berbadan tinggi kekar berdiri di tengah jalan, yang membuat Panca perlahan menghentikan langkahnya. Bewok dan kumisnya yang tebal, menampilkan kesangaran pada wajah orang kekar itu. Orang tersebut dengan angkuh mengangkat kapak besarnya dan ditenggerkan di atas bahu kanannya.

"Apa kau yang bernama Panca?" tanyanya bernada sok, sambil mengarahkan telunjuk pada Panca.

"Siapa?" Panca hanya dengan tenang bertanya balik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status