Share

Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat
Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat
Author: Ummu Nadin

Part 1 : Elang Taraka

“Buka pintu! Ada titah dari Gusti Prabu.”

Sebuah suara berirama tenor terdengar dari balik pintu. Disusul dengan suara gedoran pintu yang terdengar riuh mengganggu ketenangan malam.

Seorang pemuda yang tengah bercakap ringan dengan sang Ibu, terpaksa menjeda perbincangan.

“Siapa yang datang malam-malam begini, Le?” Dahi wanita tua itu mengernyit menampilkan kerutan yang begitu kentara.

“Sepertinya prajurit pengawal Gusti Prabu, Mbok.” Anak muda itu berkata ragu, tak yakin.

Ada apa Gusti Prabu memanggilnya malam-malam begini?

“Gu-gusti Prabu? Ke-kenapa Gu-gusti Prabu memanggilmu, Le? Apa kamu melakukan kesalahan?” tanya Mbok Sumi dengan wajah pias, seakan darahnya berhenti mengalir.

“Aku juga ndak tahu, Mbok. Aku ndak melakukan kesalahan apa-apa.” Tak hanya Mbok Sumi yang ketakutan, tubuh Elang sampai bergetar saat menjawab pertanyaan simboknya.

Kenapa Gusti Prabu memanggil rakyat jelata sepertinya? Elang mulai mengingat semua yang dilakukannya dari pagi hingga malam ini. Mungkinkah salah satu perbuatannya menyinggung seseorang?

“Cepat buka pintu! Jangan membuat titah Gusti Prabu menunggu terlalu lama!” Suara tenor itu kembali terdengar melerai lamunan Elang.

Tergopoh-gopoh, Mbok Sumi segera bangkit menuju pintu biliknya. Disusul Elang di belakangnya.

Krriieettt.

Begitu pintu terbuka, sosok Prajurit istana berdiri dengan gagah berani di depan pintu. Tanpa seulas senyum, seorang prajurit mulai mengatakan maksud dan tujuannya.

"Kami diperintahkan Gusti Prabu untuk menjemput Elang ke Balairung Istana." Prajurit itu berkata dengan tegas.

Mbok Sumi masih berdiri mematung di tempatnya. Antara sadar dan tidak, dia mendengarkan titah Baginda yang disampaikan oleh prajurit yang ada di depannya itu.

"B-baik, saya akan memanggil Elang," jawab Mbok Sumi.

Sepasang Prajurit itu mengangguk serentak. Mereka menunggu dengan acuh tak acuh. Begitu mereka melihat Elang telah bersiap, keduanya segera mengiring Elang berjalan menuju Balairung Istana.

“Paman Prajurit, kenapa Gusti Prabu menurunkan titah padaku? Apa yang terjadi?” tanya Elang takut-takut. Dua prajurit pengawal Gusti Prabu itu seusia dengan ayahnya, jadi Elang memanggilnya paman.

“Kami juga ndak tahu. Mana mungkin kami berani bertanya pada Gusti Prabu. Huh!” dengkus salah satu prajurit itu dengan wajah tak bersahabat.

Elang hanya bisa menelan air ludah yang tiba-tiba terasa pahit dibuatnya. Hidup menjadi abdi dalem di Damar Langit ternyata tak seindah harapan. Semua orang bersikap waspada dan egois. Demi keselamatan pribadi, mereka acuh tak acuh dengan keselamatan orang lain.

“Kalau kamu ndak berbuat kesalahan, kamu tidak perlu takut, Elang!” Prajurit yang satunya bicara lebih ramah.

“Aah, terima kasih, Paman.” Sudut bibir Elang melengkung tipis pada prajurit yang bersikap ramah padanya tersebut.

Tak banyak bicara, mereka berjalan terburu-buru menuju Balairung Istana.

Malam menyebarkan kegelapan. Hanya cahaya obor yang menyala di setiap sudut koridor menuju Balairung. Hati Elang Taraka mendadak takut, entah kenapa ucapan biyungnya yang dulu pernah memperingatkan untuk mempertimbangkan kembali keputusannya untuk menjadi asisten tabib di Istana, kembali terngiang di indra dengar.

“Apa jangan-jangan, ada keluarga Istana yang tidak puas dengan ramuan yang aku buat?” gumamnya pelan.

"Aah, Simbok memang benar, menjadi Tabib Istana resikonya sangat besar," lanjutnya.

Elang nampak gusar. Jelas sekali raut wajahnya nampak ketakutan membayangkan jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi nantinya.

Sesampainya di hadapan Gusti Prabu, Elang menunduk tak berani mengangkat wajah.

“Ampun beribu ampun, Gusti Prabu. Abdi dalem datang menghadap.”

Pemuda itu menangkupkan kedua tangan di dada. Memberikan penghormatan pada Gusti Prabu Maheswara Kamandaka, pemilik tahta tertinggi di seantero Damar Langit.

"Benar kamu yang bernama Elang?" Dengan penuh wibawa Gusti Prabu bertanya memastikan pada pemuda itu. Tatapan sang Prabu menyelidik, ragu. Mungkinkah, seorang pemuda yang masih berusia belum genap dua puluh tahun ini mempunyai kemampuan mumpuni?

Apakah Raden Mas Bratasena tidak salah merekomendasikan orang?

Dahi Gusti Prabu berkerut dalam.

"Benar, Gusti Prabu. Saya Elang Taraka."

Elang berusaha menormalkan detak jantungnya. Ini kali pertama pemuda itu dipanggil Gusti Prabu. Perasaannya campur aduk, antara bingung dan takut.

Suasana istana sangat hening. Membuat perasaan takut di benak Elang makin membesar.

"Aku perintahkan, Kamu buatkan ramuan untuk membersihkan wajah Raden Ayu Kenes Kirana, putriku. Apa Kamu sanggup?"

Begitu ucapan Gusti Prabu jatuh, Elang terkejut setengah mati.

‘Ke-kenapa Gusti Prabu membuat titah seperti ini? Aku hanya seorang asisten tabib. Ilmu pengobatan aku masih minim. Bukankah ada tabib senior yang lebih mumpuni di istana?’ Dalam hati, Elang bertanya-tanya.

Jujur, Elang tak tahu harus bagaimana. Menolak titah Gusti Prabu adalah sebuah kejahatan. Namun, dia juga tak cukup percaya diri dengan kemampuannya.

“Romo Prabu, apa benar pemuda itu mempunyai kemampuan mumpuni dalam hal pengobatan?” Suara lembut mendayu-dayu menyapa indra dengar Elang Taraka. Reflek, asisten tabib itu mengangkat wajah. Tanpa sadar, tatapannya bersilang pandang dengan seorang gadis belia yang wajahnya ditutupi cadar tipis dari bahan sutera.

“Raden Mas Bratasena yang merekomendasikannya, Raden Ayu. Katanya, pemuda yang bernama Elang Taraka ini mempunyai potensi bagus dalam ilmu pengobatan.” Gusti Prabu menatap teduh putrinya yang saat ini sedang resah dengan penyakit di kulit wajahnya.

Sekali lagi, Kenes Kirana melirik Elang yang belum sempat membuang pandang.

'Kenapa Gusti Putri memakai cadar? Separah apa rusak kulit wajahnya?’ batinnya.

Padahal beberapa pekan yang lalu, Elang sempat melihat Kenes Kirana dari kejauhan, wajahnya masih cantik tiada bandingannya.

"Bagaimana, Elang. Kamu sanggup?" Gusti Prabu Maheswara Kamandaka kembali bersuara.

Spontan, Elang Taraka menoleh pada Raja Damar Langit yang makmur sentosa. Kepalanya masih belum bisa menemukan alasan, kenapa Raden Mas Bratasena merekomendasikan dirinya untuk menyembuhkan Raden Ayu?

Darimana Raden Mas Bratasena mengetahui dirinya. Elang masih berpikir. Namun, sang Prabu sudah menunggu keputusannya. Sebenarnya, jawabannya sudah dipastikan. Siapa yang berani menolak titah Raja?

Tidak ada.

Bisa atau tidak, Elang tetap harus menjawab iya. jika menolak dia akan mendapatkan hukuman. jika gagal menjalankan perintah dia juga akan mendapatkan hukuman. mau maju atau mundur hasilnya tetap akan sama.

Menjadi rakyat jelata sepertinya, hanya dijadikan sebagai tumbal keserakahan dari seseorang yang berniat buruk untuk Damar Langit.

“Sendiko dawuh, Gusti Prabu. Hamba akan mencobanya.”

“Elang Taraka, jangan sampai melakukan kesalahan. hukumannya sangat berat kalau kamu teledor?” sebuah suara angkuh terdengar menyapa elang.

"Inggeh. Hamba akan berusaha, Gusti Prabu." Akhirnya ia dengan lantang bisa menyanggupi pertanyaan dari rajanya.

"Kalau begitu, lakukan sekarang juga! Kamu tidak punya banyak waktu!"

"Siap, Gusti Prabu! Saya mohon diri."

Gusti Prabu mengulas senyum.

Elang melirik Kenes dengan ekor matanya sebelum dia melangkah pergi.

Ada beribu tanya berkelindan dalam benaknya. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba dia didaulat untuk membuatkan ramuan obat untuk sang Putri.

“Kenapa harus aku?” lirihnya yang hanya bisa didengarkannya sendiri.

Di sepanjang perjalanan menuju bilik, Elang tidak berhenti memikirkan alasan dibalik tugas berat ini.

"Elang, ada apa? Kenapa Gusti Prabu memanggilmu, Le?" Mbok Sumi memecah lamunan Elang.

"Ndak papa, Mbok. Barusan Gusti Prabu memberi perintah membuat ramuan obat untuk menyembuhkan Raden Ayu," jawabnya.

"A-apa? Ke-kenapa harus kamu? Kamu ini hanya seorang asisten tabib. Harusnya tabib senior saja yang boleh melakukan pengobatan untuk keluarga kerajaan.” Mbok Sumi tak kalah kaget. Sebagaimana Elang, wanita paruh baya itu juga merasa titah Gusti Prabu kali ini tidak masuk akal.

“Aku juga ndak tahu, Mbok. Kalau sudah begini, memangnya kita bisa apa? Kalau menolak, kita bisa mendapatkan hukuman. Kalau menerima, aku ndak cukup percaya diri dengan kemampuanku.” Elang menghempaskan bokongnya di dipan kayu dengan gusar.

Mbok Sumi diam saja. Apa yang diucapkan putranya memang benar adanya.

***

Raden Ayu Kenes Kirana berjalan tergesa-gesa menghadap Gusti Prabu. Sepasang selop hitam berhiaskan sulaman benang emas ditambah manik-manik yang berkilauan terlihat begitu indah menghias sepasang kaki jenjangnya yang berwarna putih susu.

Kebaya yang terbuat dari bahan beludru berwarna hijau giok berhiaskan sulaman berbentuk tanaman padi dari benang emas, begitu kontras dengan kulitnya yang seputih pualam. Sungguh, dia memang sangat layak menjadi dambaan para Pangeran.

Sayangnya, wajahnya sekarang harus tertutup cadar sutera tipis. Ada jerawat meradang yang mengganggu kecantikan Raden Ayu.

Raden Ayu Kenes Kirana melangkah dengan terburu-buru.

Ketika hampir sampai di Balairung Istana, langkahnya terpaksa terhenti. Ada yang menarik perhatian sang Putri.

Seorang pria berpakaian sederhana yang semalam dipanggil Gusti Prabu baru saja keluar dari Balairung. Sepertinya, sepagi ini ayahnya telah membuat pemuda ini tak bisa menjalani hidup dengan tenang.

“Kamu yang bernama Elang Taraka?” Raden Ayu memutuskan untuk menyapa. Nasib kesembuhan wajahnya sedang dipertaruhkan dengan kemampuan pemuda di hadapannya ini.

Mata mereka sempat saling bertaut. Namun, dengan sekejap berpaling. Pemuda gagah itu tidak berani berlama-lama menatap sang Putri.

“Be-benar, Gusti Putri.”

Pemuda itu menunduk hormat, diam di tempatnya. Menunggu titah dari gadis itu.

Kenes membuang napas kasar. “Seberapa yakin kamu bisa menyembuhkan wajahku, Elang?”

Nama Elang Taraka tidak pernah masuk dalam jajaran tabib ternama di Istana. Kenapa Raden Mas Bratasena merekomendasikan untuk menyembuhkan wajahnya? Raden Ayu juga bertanya-tanya.

“Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat ramuan mujarab, Gusti Putri.” Meski tak yakin, Elang tidak akan menjatuhkan harga dirinya dengan mengatakan dia tidak bisa. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, maju mundur sama saja. Mau tidak mau, dia harus mengandalkan diri sendiri untuk menyelamatkan nyawanya.

Sang Putri cantik nan menawan itu melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada pemuda tadi untuk segera pergi. Lalu, dia melanjutkan langkah menuju Balairung Istana. Dimana ayahandanya duduk di atas singgasana.

"Romo, aku sedang berada dalam dilema besar," lapor sang Putri dengan wajah penuh kesedihan.

"Ada apa, Kenes?"

“Aku tidak yakin dengan kemampuan tabib bernama Elang Taraka itu, Romo,” cicitnya.

Raden Ayu kemudian bercerita dengan berapi-api tentang keraguannya pada pemuda bernama Elang Taraka.

Gusti Prabu hanya bisa menghela napas panjang.

“Aku juga tidak tahu harus bagaimana, Kenes. Ramuan semua tabib senior di istana tidak manjur. Kamu sudah mencoba semua resep dari mereka, bukan? Alih-alih sembuh, malah makin parah seperti ini.” Gusti Prabu juga sudah pusing tujuh keliling dengan persoalan ini. Tidak punya pilihan lain kecuali menerima saran dari Raden Mas Bratasena, sang Tumenggung.

"Bagaimana kalau kali ini juga gagal lagi, Romo? Apa Romo rela jika berita ini akan tersebar di seantero negeri, bahwa putri Gusti Prabu Maheswara Kamandaka buruk rupa karena wajahnya rusak?" tanya Raden Ayu dengan wajahnya yang ditekuk. Sementara kedua tangannya dia lipat di depan.

“Elang tidak akan sembarangan. Aku akan memberi hukuman berat jika dia melakukan mal praktik pada putriku!”

“Tapi dia bukan tabib senior, Romo!”

Raden Ayu Kenes Kirana tetap saja meragukan kemampuan Elang.

"Ada apa ini?" Permaisuri datang tergopoh-gopoh mendengar perdebatan ayah dan anak itu.

Wajah Kenes yang tadi bermuram durja, seketika berseri-seri melihat kedatangan Ibunda Ratu. Dia sangat berharap, Permaisuri bisa membujuk Gusti Prabu untuk bersedia memenuhi keinginannya.

"Ibunda, tolong bujuk Romo untuk tidak sembarangan mendaulat tabib yunior untuk mengobati wajahku. Takutnya, malah jadi mal praktik," rajuknya lagi.

Gusti Ratu hanya bisa menepuk-nepuk punggung putrinya, membujuknya untuk sedikit bersabar.

"Ibunda setuju dengan Romo, Kenes." Ucapan Gusti Ratu ini seperti suara petir di siang bolong. Kenes Kirana sampai tersentak mendengarnya.

"A-APA?"

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
taqiyyuut aja
wah elang mau naik jabatan atau d jebak ni
goodnovel comment avatar
Indah Syi
Awal yg menakhutskhan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status