“Buka pintu! Ada titah dari Gusti Prabu.”
Sebuah suara berirama tenor terdengar dari balik pintu. Disusul dengan suara gedoran pintu yang terdengar riuh mengganggu ketenangan malam.Seorang pemuda yang tengah bercakap ringan dengan sang Ibu, terpaksa menjeda perbincangan.“Siapa yang datang malam-malam begini, Le?” Dahi wanita tua itu mengernyit menampilkan kerutan yang begitu kentara.“Sepertinya prajurit pengawal Gusti Prabu, Mbok.” Anak muda itu berkata ragu, tak yakin.Ada apa Gusti Prabu memanggilnya malam-malam begini?“Gu-gusti Prabu? Ke-kenapa Gu-gusti Prabu memanggilmu, Le? Apa kamu melakukan kesalahan?” tanya Mbok Sumi dengan wajah pias, seakan darahnya berhenti mengalir.“Aku juga ndak tahu, Mbok. Aku ndak melakukan kesalahan apa-apa.” Tak hanya Mbok Sumi yang ketakutan, tubuh Elang sampai bergetar saat menjawab pertanyaan simboknya.Kenapa Gusti Prabu memanggil rakyat jelata sepertinya? Elang mulai mengingat semua yang dilakukannya dari pagi hingga malam ini. Mungkinkah salah satu perbuatannya menyinggung seseorang?“Cepat buka pintu! Jangan membuat titah Gusti Prabu menunggu terlalu lama!” Suara tenor itu kembali terdengar melerai lamunan Elang.Tergopoh-gopoh, Mbok Sumi segera bangkit menuju pintu biliknya. Disusul Elang di belakangnya.Krriieettt.Begitu pintu terbuka, sosok Prajurit istana berdiri dengan gagah berani di depan pintu. Tanpa seulas senyum, seorang prajurit mulai mengatakan maksud dan tujuannya."Kami diperintahkan Gusti Prabu untuk menjemput Elang ke Balairung Istana." Prajurit itu berkata dengan tegas.Mbok Sumi masih berdiri mematung di tempatnya. Antara sadar dan tidak, dia mendengarkan titah Baginda yang disampaikan oleh prajurit yang ada di depannya itu."B-baik, saya akan memanggil Elang," jawab Mbok Sumi.Sepasang Prajurit itu mengangguk serentak. Mereka menunggu dengan acuh tak acuh. Begitu mereka melihat Elang telah bersiap, keduanya segera mengiring Elang berjalan menuju Balairung Istana.“Paman Prajurit, kenapa Gusti Prabu menurunkan titah padaku? Apa yang terjadi?” tanya Elang takut-takut. Dua prajurit pengawal Gusti Prabu itu seusia dengan ayahnya, jadi Elang memanggilnya paman.“Kami juga ndak tahu. Mana mungkin kami berani bertanya pada Gusti Prabu. Huh!” dengkus salah satu prajurit itu dengan wajah tak bersahabat.Elang hanya bisa menelan air ludah yang tiba-tiba terasa pahit dibuatnya. Hidup menjadi abdi dalem di Damar Langit ternyata tak seindah harapan. Semua orang bersikap waspada dan egois. Demi keselamatan pribadi, mereka acuh tak acuh dengan keselamatan orang lain.“Kalau kamu ndak berbuat kesalahan, kamu tidak perlu takut, Elang!” Prajurit yang satunya bicara lebih ramah.“Aah, terima kasih, Paman.” Sudut bibir Elang melengkung tipis pada prajurit yang bersikap ramah padanya tersebut.Tak banyak bicara, mereka berjalan terburu-buru menuju Balairung Istana.Malam menyebarkan kegelapan. Hanya cahaya obor yang menyala di setiap sudut koridor menuju Balairung. Hati Elang Taraka mendadak takut, entah kenapa ucapan biyungnya yang dulu pernah memperingatkan untuk mempertimbangkan kembali keputusannya untuk menjadi asisten tabib di Istana, kembali terngiang di indra dengar.“Apa jangan-jangan, ada keluarga Istana yang tidak puas dengan ramuan yang aku buat?” gumamnya pelan."Aah, Simbok memang benar, menjadi Tabib Istana resikonya sangat besar," lanjutnya.Elang nampak gusar. Jelas sekali raut wajahnya nampak ketakutan membayangkan jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi nantinya.Sesampainya di hadapan Gusti Prabu, Elang menunduk tak berani mengangkat wajah.“Ampun beribu ampun, Gusti Prabu. Abdi dalem datang menghadap.”Pemuda itu menangkupkan kedua tangan di dada. Memberikan penghormatan pada Gusti Prabu Maheswara Kamandaka, pemilik tahta tertinggi di seantero Damar Langit."Benar kamu yang bernama Elang?" Dengan penuh wibawa Gusti Prabu bertanya memastikan pada pemuda itu. Tatapan sang Prabu menyelidik, ragu. Mungkinkah, seorang pemuda yang masih berusia belum genap dua puluh tahun ini mempunyai kemampuan mumpuni?Apakah Raden Mas Bratasena tidak salah merekomendasikan orang?Dahi Gusti Prabu berkerut dalam."Benar, Gusti Prabu. Saya Elang Taraka."Elang berusaha menormalkan detak jantungnya. Ini kali pertama pemuda itu dipanggil Gusti Prabu. Perasaannya campur aduk, antara bingung dan takut.Suasana istana sangat hening. Membuat perasaan takut di benak Elang makin membesar."Aku perintahkan, Kamu buatkan ramuan untuk membersihkan wajah Raden Ayu Kenes Kirana, putriku. Apa Kamu sanggup?"Begitu ucapan Gusti Prabu jatuh, Elang terkejut setengah mati.‘Ke-kenapa Gusti Prabu membuat titah seperti ini? Aku hanya seorang asisten tabib. Ilmu pengobatan aku masih minim. Bukankah ada tabib senior yang lebih mumpuni di istana?’ Dalam hati, Elang bertanya-tanya.Jujur, Elang tak tahu harus bagaimana. Menolak titah Gusti Prabu adalah sebuah kejahatan. Namun, dia juga tak cukup percaya diri dengan kemampuannya.“Romo Prabu, apa benar pemuda itu mempunyai kemampuan mumpuni dalam hal pengobatan?” Suara lembut mendayu-dayu menyapa indra dengar Elang Taraka. Reflek, asisten tabib itu mengangkat wajah. Tanpa sadar, tatapannya bersilang pandang dengan seorang gadis belia yang wajahnya ditutupi cadar tipis dari bahan sutera.“Raden Mas Bratasena yang merekomendasikannya, Raden Ayu. Katanya, pemuda yang bernama Elang Taraka ini mempunyai potensi bagus dalam ilmu pengobatan.” Gusti Prabu menatap teduh putrinya yang saat ini sedang resah dengan penyakit di kulit wajahnya.Sekali lagi, Kenes Kirana melirik Elang yang belum sempat membuang pandang.'Kenapa Gusti Putri memakai cadar? Separah apa rusak kulit wajahnya?’ batinnya.Padahal beberapa pekan yang lalu, Elang sempat melihat Kenes Kirana dari kejauhan, wajahnya masih cantik tiada bandingannya."Bagaimana, Elang. Kamu sanggup?" Gusti Prabu Maheswara Kamandaka kembali bersuara.Spontan, Elang Taraka menoleh pada Raja Damar Langit yang makmur sentosa. Kepalanya masih belum bisa menemukan alasan, kenapa Raden Mas Bratasena merekomendasikan dirinya untuk menyembuhkan Raden Ayu?Darimana Raden Mas Bratasena mengetahui dirinya. Elang masih berpikir. Namun, sang Prabu sudah menunggu keputusannya. Sebenarnya, jawabannya sudah dipastikan. Siapa yang berani menolak titah Raja?Tidak ada.Bisa atau tidak, Elang tetap harus menjawab iya. jika menolak dia akan mendapatkan hukuman. jika gagal menjalankan perintah dia juga akan mendapatkan hukuman. mau maju atau mundur hasilnya tetap akan sama.Menjadi rakyat jelata sepertinya, hanya dijadikan sebagai tumbal keserakahan dari seseorang yang berniat buruk untuk Damar Langit.“Sendiko dawuh, Gusti Prabu. Hamba akan mencobanya.”“Elang Taraka, jangan sampai melakukan kesalahan. hukumannya sangat berat kalau kamu teledor?” sebuah suara angkuh terdengar menyapa elang."Inggeh. Hamba akan berusaha, Gusti Prabu." Akhirnya ia dengan lantang bisa menyanggupi pertanyaan dari rajanya."Kalau begitu, lakukan sekarang juga! Kamu tidak punya banyak waktu!""Siap, Gusti Prabu! Saya mohon diri."Gusti Prabu mengulas senyum.Elang melirik Kenes dengan ekor matanya sebelum dia melangkah pergi.Ada beribu tanya berkelindan dalam benaknya. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba dia didaulat untuk membuatkan ramuan obat untuk sang Putri.“Kenapa harus aku?” lirihnya yang hanya bisa didengarkannya sendiri.Di sepanjang perjalanan menuju bilik, Elang tidak berhenti memikirkan alasan dibalik tugas berat ini."Elang, ada apa? Kenapa Gusti Prabu memanggilmu, Le?" Mbok Sumi memecah lamunan Elang."Ndak papa, Mbok. Barusan Gusti Prabu memberi perintah membuat ramuan obat untuk menyembuhkan Raden Ayu," jawabnya."A-apa? Ke-kenapa harus kamu? Kamu ini hanya seorang asisten tabib. Harusnya tabib senior saja yang boleh melakukan pengobatan untuk keluarga kerajaan.” Mbok Sumi tak kalah kaget. Sebagaimana Elang, wanita paruh baya itu juga merasa titah Gusti Prabu kali ini tidak masuk akal.“Aku juga ndak tahu, Mbok. Kalau sudah begini, memangnya kita bisa apa? Kalau menolak, kita bisa mendapatkan hukuman. Kalau menerima, aku ndak cukup percaya diri dengan kemampuanku.” Elang menghempaskan bokongnya di dipan kayu dengan gusar.Mbok Sumi diam saja. Apa yang diucapkan putranya memang benar adanya.***Raden Ayu Kenes Kirana berjalan tergesa-gesa menghadap Gusti Prabu. Sepasang selop hitam berhiaskan sulaman benang emas ditambah manik-manik yang berkilauan terlihat begitu indah menghias sepasang kaki jenjangnya yang berwarna putih susu.Kebaya yang terbuat dari bahan beludru berwarna hijau giok berhiaskan sulaman berbentuk tanaman padi dari benang emas, begitu kontras dengan kulitnya yang seputih pualam. Sungguh, dia memang sangat layak menjadi dambaan para Pangeran.Sayangnya, wajahnya sekarang harus tertutup cadar sutera tipis. Ada jerawat meradang yang mengganggu kecantikan Raden Ayu.Raden Ayu Kenes Kirana melangkah dengan terburu-buru.Ketika hampir sampai di Balairung Istana, langkahnya terpaksa terhenti. Ada yang menarik perhatian sang Putri.Seorang pria berpakaian sederhana yang semalam dipanggil Gusti Prabu baru saja keluar dari Balairung. Sepertinya, sepagi ini ayahnya telah membuat pemuda ini tak bisa menjalani hidup dengan tenang.“Kamu yang bernama Elang Taraka?” Raden Ayu memutuskan untuk menyapa. Nasib kesembuhan wajahnya sedang dipertaruhkan dengan kemampuan pemuda di hadapannya ini.Mata mereka sempat saling bertaut. Namun, dengan sekejap berpaling. Pemuda gagah itu tidak berani berlama-lama menatap sang Putri.“Be-benar, Gusti Putri.”Pemuda itu menunduk hormat, diam di tempatnya. Menunggu titah dari gadis itu.Kenes membuang napas kasar. “Seberapa yakin kamu bisa menyembuhkan wajahku, Elang?”Nama Elang Taraka tidak pernah masuk dalam jajaran tabib ternama di Istana. Kenapa Raden Mas Bratasena merekomendasikan untuk menyembuhkan wajahnya? Raden Ayu juga bertanya-tanya.“Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat ramuan mujarab, Gusti Putri.” Meski tak yakin, Elang tidak akan menjatuhkan harga dirinya dengan mengatakan dia tidak bisa. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, maju mundur sama saja. Mau tidak mau, dia harus mengandalkan diri sendiri untuk menyelamatkan nyawanya.Sang Putri cantik nan menawan itu melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada pemuda tadi untuk segera pergi. Lalu, dia melanjutkan langkah menuju Balairung Istana. Dimana ayahandanya duduk di atas singgasana."Romo, aku sedang berada dalam dilema besar," lapor sang Putri dengan wajah penuh kesedihan."Ada apa, Kenes?"“Aku tidak yakin dengan kemampuan tabib bernama Elang Taraka itu, Romo,” cicitnya.Raden Ayu kemudian bercerita dengan berapi-api tentang keraguannya pada pemuda bernama Elang Taraka.Gusti Prabu hanya bisa menghela napas panjang.“Aku juga tidak tahu harus bagaimana, Kenes. Ramuan semua tabib senior di istana tidak manjur. Kamu sudah mencoba semua resep dari mereka, bukan? Alih-alih sembuh, malah makin parah seperti ini.” Gusti Prabu juga sudah pusing tujuh keliling dengan persoalan ini. Tidak punya pilihan lain kecuali menerima saran dari Raden Mas Bratasena, sang Tumenggung."Bagaimana kalau kali ini juga gagal lagi, Romo? Apa Romo rela jika berita ini akan tersebar di seantero negeri, bahwa putri Gusti Prabu Maheswara Kamandaka buruk rupa karena wajahnya rusak?" tanya Raden Ayu dengan wajahnya yang ditekuk. Sementara kedua tangannya dia lipat di depan.“Elang tidak akan sembarangan. Aku akan memberi hukuman berat jika dia melakukan mal praktik pada putriku!”“Tapi dia bukan tabib senior, Romo!”Raden Ayu Kenes Kirana tetap saja meragukan kemampuan Elang."Ada apa ini?" Permaisuri datang tergopoh-gopoh mendengar perdebatan ayah dan anak itu.Wajah Kenes yang tadi bermuram durja, seketika berseri-seri melihat kedatangan Ibunda Ratu. Dia sangat berharap, Permaisuri bisa membujuk Gusti Prabu untuk bersedia memenuhi keinginannya."Ibunda, tolong bujuk Romo untuk tidak sembarangan mendaulat tabib yunior untuk mengobati wajahku. Takutnya, malah jadi mal praktik," rajuknya lagi.Gusti Ratu hanya bisa menepuk-nepuk punggung putrinya, membujuknya untuk sedikit bersabar."Ibunda setuju dengan Romo, Kenes." Ucapan Gusti Ratu ini seperti suara petir di siang bolong. Kenes Kirana sampai tersentak mendengarnya."A-APA?"BersambungDi jalanan Kotaraja, tiga ekor kuda hitam berlari seperti kesetanan menuju arah istana. Penunggangnya tidak berpakaian sebagaimana umumnya penduduk Damar Langit yang sebagian besar telanjang dada. Tubuh tiga pria itu dibalut pakaian panjang serba hitam dengan tutup kepala hanya menampakkan mata mereka. Penampilan yang tidak biasa ini sejujurnya mengundang perhatian di sepanjang jalan. Alih-alih ada yang berani bertanya, mereka lebih memilih untuk menyingkir.Sejak Damar Langit dikuasai Bratasena, Kotaraja tak ubahnya menjadi kota seribu pertarungan. Ada begitu banyak pendekar berkeliaran. Centeng-centeng bayaran sang Raja baru, siap memenggal setiap kepala yang berani protes dengan kebijakan menyengsarakan rakyat. Penduduk dipaksa tunduk dengan segala cara. Para prajurit jaga di gerbang istana pun tak ada yang berani menghentikan ketika salah satu dari ketiganya mengeluarkan lempengan logam kuningan sebesar telapak tangan anak kecil berukir singa ketika mereka melintas. Itu tanda pen
“Apakah ada kabar dari tempat lain, kabar dari Pangeran Elang atau Pangeran Hadyan, Kangmas Arya Wursita?” Gusti Prabu Maheswara Kamandaka tengah berada di tenda bersama Arya Wursita dan Mahawira. “Mohon ampun, Gusti Prabu. Baru saja saya akan melaporkan.” Arya Wursita tersenyum lebar. Gusti Prabu menganggapnya sebagai pertanda baik. “Kalau begitu, aku siap mendengarnya, Kangmas Patih.” Arya Wursita berdiri tegak. Nyaris saja tak bisa menahan diri untuk tertawa lantang karena hatinya diliputi kebahagiaan, “sesuai dengan prediksi Gusti Pangeran Arya Elang Taraka, Bratasena sungguh memasang jebakan di tengah perjalanan. Pasukan yang dipimpin Gusti Pangeran Arya dicegat para begal dan pendekar dari lembah hitam di Hutan Larangan, Gusti Prabu.” Dengan dada yang dipenuhi ledakan kebahagiaan, Patih Arya Wursita melaporkan kejadian yang menimpa Elang dan pasukannya. Elang mengirimkan satu prajurit untuk menyampaikan kejadian Hutan Larangan pada Gusti Prabu.“Apakah semua baik-baik saja, K
Jatayu mengangkasa di ketinggian. Dari bawah, tubuh raksasanya tak tampak. Hanya seperti burung elang yang terbang di langit. Tenda-tenda sudah rampung didirikan. Elang Taraka pasti merasa puas melihat aktivitas para prajurit dari atas sana. Pasukan elitnya tengah sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Ada padang rumput luas yang dipilih untuk menempatkan kuda-kuda mereka. Gentala sudah bergabung dengan prajurit yang bertugas menjaga kuda-kuda perang di padang rumput tersebut. Pangeran Hadyan Ganendra sungguh membuktikan keseriusannya membantu Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Dia memberikan senjata, ransum dan kuda perang kualitas terbaik untuk perang ini. Jenis Kuda Bima yang diberikan Pangeran Hadyan didatangkan khusus dari pulau seberang lautan sebelah timur. Kuda jenis ini dipilih karena kekuatan fisiknya yang mampu bertahan di segala medan. Tidak diragukan lagi ketangguhannya. “Namaku Gentala. Mulai hari ini, Gusti Pangeran menugaskan aku untuk membantu kalian mengurus kuda,” t
Pemuda yang tengah terpuruk dalam penyesalan itu tak berani mengangkat wajah. Tatapannya tertunduk memanah tanah merah tempatnya bersimpuh di depan Elang Taraka. Bahu yang terus bergetar seakan mengisyaratkan penyesalan teramat dalam. “Andaikan dulu Raden Mas Bratasena tidak membutakan mata saya, saya tidak akan kehilangan sahabat terbaik seperti kalian berdua,” isaknya dengan suara parau. Agra membuang wajah. Sulit baginya untuk menerima permintaan maaf orang yang telah berkhianat. Terlebih, pengkhianatan Gentala tidak sederhana. Dia ikut andil dalam kejahatan si Pemberontak Bratasena. Situasinya tidak jauh berbeda dengan Elang Taraka. Pangeran muda itu diliputi kegamangan. Betapa kekecewaanya menggunung selepas mengetahui sahabat yang dipercaya ternyata serigala berbulu domba.Sekian waktu berlalu tanpa kata. Hanya keheningan yang merajai. Gentala melirik Elang yang masih membeku di tempatnya.“Gusti Pangeran, meski saya harus menebus dosa dengan menjadi budak Andika. Saya bersed
Selepas keluar dari Hutan Larangan, pasukan elit yang dipimpin oleh Elang Taraka melanjutkan perjalanan keluar masuk desa menuju Kotaraja. Perjalanan dengan pasukan besar yang terdiri dari kavaleri dan infanteri tentunya memakan lebih banyak waktu. Alih-alih mempercepat, di sebuah tanah lapang yang luas mereka malah membentangkan tenda untuk istirahat. “Gusti Pangeran, bukankah ini akan menghabiskan terlalu banyak waktu?” Agra bertanya selepas usai mendirikan tenda untuk istirahat Kenes Kirana.“Kita akan menghadapi perang habis-habisan dengan Bratasena, Agra. Berperang dengan fisik kelelahan setelah perjalanan panjang tidak menguntungkan kita. Kami sudah memperhitungkan semua ini.” Merpati putih baru saja mengirimkan pesan. Pasukan Tumenggung Mahawira juga melakukan hal yang sama. Hanya Pangeran Hadyan yang berjalan lebih cepat. Agra manggut-manggut. Keberadaannya di tempat ini nantinya tidak terjun langsung dalam pertempuran. Sesuai keahliannya, Agra dan Mbok Sumi bertugas di tend
Balairung Istana Damar Langit diliputi kesunyian beberapa saat lamanya. Jajaran pejabat istana tak ada yang berani mengangkat wajah. Jangankan bicara, mereka bahkan tidak berani mengeluarkan suara napas. Pedang yang terhunus di tangan Bratasena mengucurkan darah. Di tengah ruangan, tergeletak jasad prajurit telik sandi dengan leher digorok. Nasib sial yang menimpa prajurit malang itu terjadi sesaat setelah dia menyampaikan informasi kejadian di Hutan Larangan. Begal dan pendekar dari lembah hitam yang diberi tugas menghadang pasukan Maheswara Kamandaka telah kocar-kacir.“Aku tidak suka mendengar berita buruk. Kalian semua harus tahu itu!” Suara Bratasena menggelegar. Dadanya naik turun penuh gejolak kemarahan. Dia mempunyai harapan besar akan kemenangan garnisun yang mencegat di Hutan Larangan tersebut. Gerombolan begal yang dikenal bengis dan kejam itu diharapkan mampu memadamkan api pemberontakan Maheswara Kamandaka. Alih-alih berhasil meraih kemenangan, sebaliknya mereka justru d
Angin berderu serupa tornado bergulung menerbangkan dedaunan kering. Pusaran itu terus bergerak seakan membentuk ruang untuk arena pertarungan tiga sosok yang ada di dalam sana. Tubuh-tubuh linglung yang sebelumnya terjebak dalam dunia mimpi perlahan mulai terbangun, dipaksa menyaksikan pertarungan yang akan terjadi.Maharesi Acarya berdiri dengan tenang di pinggir. Sementara Elang dan Toh Geni berhadapan layaknya pertemuan dua musuh bebuyutan.“Katakan padaku, apa alasanmu membunuh orang tuaku, Toh Geni?” Suara Elang terdengar tenang, kendati mengandung kemarahan yang begitu dalam. Toh Geni hanya menyeringai. Tak berniat memberi jawaban.“Kau berniat membunuhku, maka lakukan saja jika engkau mempunyai kemampuan!”Elang menyipitkan mata. Dua tangannya terkepal. Kemarahan makin berkobar, merasa diremehkan. “Maka akan aku penuhi keinginanmu.” Elang mulai menyerang. Tiap gerakannya menuju titik-titik mematikan lawan. Tak berniat memberi ampunan. Pria di depannya itu yang telah membuatny
Hiruk pikuk pertempuran seketika menghilang. Hutan yang diliputi peperangan berubah hening seakan tak berpenghuni. Desau angin bahkan tak berani menunjukkan dirinya dikuasai ketakutan. Bukan hanya hewan-hewan penghuni Wono Daksino saja yang terpengaruh dengan suara seruling. Manusia yang mendengar alunan magis itu juga menjadi linglung. Seakan terenggut kesadarannya, mereka terjerembab di dalam mimpi buruk. Peniup seruling berperan sebagai penguasa mimpi bisa sesuka hati mempermainkan siapapun yang terjebak di dalamnya. Waktu seakan berhenti berputar. Tak ada yang bergerak, hanyut dalam halusinasi. Hanya tiga orang yang bisa keluar dari kebekuan sang Waktu.“Kita berjumpa lagi, Teman.” Jiwa semua orang telah dibelenggu di alam mimpi, ketika pria tua itu berhenti meniup seruling. Dengan wajah tanpa dosa, dia menyapa Maharesi Acarya Adiwilaga. Senyuman menghias di bibir keriputnya.“Setelah tujuh belas tahun berpisah, akhirnya kita bereuni kembali, Acarya. Harusnya, pertemuan kita akan
Para begal dan pendekar dari lembah hitam telah siaga melakukan penyerangan begitu Elang dan pasukannya melewati hutan. Kejutan yang disiapkan Bratasena ini tidak main-main. Para begal dipersenjatai militer lengkap siap tempur. Dengan kekejaman alami yang telah mendarah daging dalam naluri penjahat, mereka tidak bisa dihadapi prajurit sembarangan. Ditambah lagi dengan kekuatan dari para pendekar lembah hitam, menjadikan kesombongan mereka terbang ke awang-awang.“Akhirnya tamu istimewa kita telah tiba, Teman-teman. Mari kita sambut dengan hidangan pembuka. Ha-ha-ha….” Gemuruh sorak-sorai seketika meramaikan hutan yang mencekam. Dari balik pepohonan hutan, sosok hitam bermunculan. Berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang yang menghadang pasukan yang dipimpin Elang.“Mana Maheswara Kamandaka?! Kalau kamu sujud di bawah kakiku sekarang juga, aku pasti akan mengurungkan niat untuk membantai prajuritmu!” Seorang pria dengan mata sebelah kanannya ditutupi potongan kulit binatang berwarn