Share

Part 2 : Mengandalkan Diri Sendiri

Berhari-hari sejak hari itu, Elang lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang obat. Istana Damar Langit yang makmur, berlimpah dengan berbagai macam bahan herbal. Gusti Prabu telah memberinya izin menggunakan semua fasilitas yang ada untuk uji coba membuat ramuan mujarab.

Hanya berbekal buku pengobatan yang diwariskan dari sang Ayah yang telah tiada, Elang mendapatkan pengetahuan tentang berbagai jenis herbal, rimpang maupun jenis bunga tertentu yang mempunyai manfaat untuk perawatan kulit.

Aah, untung saja dia mempunyai seorang ayah yang bisa diandalkan.

“Baru kali ini aku serius membaca dan mempelajari kitab peninggalan ayah,” gumamnya lirih.

Ada sedikit penyesalan, karena buku itu biasanya dibiarkan sampai berdebu tanpa pernah dibuka. Elang terlalu sibuk membantu tabib senior yang selalu menyuruhnya melakukan ini dan itu.

“Aku selalu mengabaikanmu selama ini, sekarang aku mengandalkanmu. Tolong bantu aku selamat dari hukuman Gusti Prabu, ya,” keluhnya menyesal, berbicara sendiri di depan kitab pengobatan kuno peninggalan sang Ayah.

Di hadapannya sudah tersedia akar wangi, cendana, klabet, kenanga, dan kemenyan. Dia akan melumatkan bahan-bahan itu untuk uji coba yang ke sekian kali.

“Semoga kali ini berhasil.” Elang menghela napas panjang. Tak lupa memanjatkan doa sebelum memulai menumbuk bahan-bahan tersebut.

Dari buku peninggalan sang Ayah, dia mengetahui manfaat dari akar wangi yang bisa mempercepat hilangnya bekas luka. Elang sudah menyulingnya untuk mendapatkan minyak esensial dari akar wangi tersebut.

Cendana juga mempunyai khasiat membantu proses penyembuhan luka pada kulit. klabet juga demikian, dia mempunyai manfaat alami mencerahkan kulit dan menjadikannya awet muda. Kenanga dan kemenyan juga mempunyai fungsi yang bagus untuk kulit yaitu melembabkan dan membunuh kuman yang ada di dalam luka. Elang mendapatkan pengetahuan dari membaca buku peninggalan ayahnya tersebut.

Masing-masing bahan herbal itu tersedia di ruangan obat istana dalam keadaan kering. Elang akan menumbuknya satu persatu.

Elang mulai sibuk menumbuk bahan itu dengan harapan yang tinggi. Tak memedulikan waktu, padahal malam telah merangkak naik.

Di luar sana, angin berembus cukup kencang, membuat daun-daun berjatuhan seperti musim gugur. Ditambah dengan suara burung hantu yang sejak tadi menyapa indra dengar, menambah suasana malam makin mencekam.

Dia harus bekerja keras. Bagaimana pun semua penghuni di sudut istana ini sudah tahu dialah yang menjadi harapan kesembuhan bagi kecantikan Raden Ayu. Meski di sudut hatinya, dia juga bisa merasakan ada rencana jahat dibalik semua ini.

Namun, apa yang bisa diperbuatnya. Dia hanyalah rakyat kecil yang mungkin harus rela jika hanya dijadikan sebagai tumbal kepentingan dari ‘orang-orang besar’ di Istana.

Binar bahagia terpampang jelas di wajah Elang ketika berhasil menyelesaikan ramuan. Dia akan mencobanya terlebih dahulu pada wajah beberapa pelayan istana, seperti biasa untuk uji coba.

“Sekarang, saatnya tidur,” gumamnya begitu sampai di pondokan yang berada di kawasan ruang pengobatan istana. Kawasan yang hanya diperuntukkan sebagai tempat tinggal para tabib istana dan keluarganya.

***

Berita mengenai Elang Taraka yang didaulat oleh Gusti Prabu untuk membuat ramuan mujarab yang bisa menyembuhkan Raden Ayu Kenes Kirana telah tersebar di setiap sudut istana. Layaknya jamur di musim hujan, berita itu menjadi perbincangan para abdi dalem di sela mereka mengerjakan tugas masing-masing.

Bagi profesi Tabib Istana, diberi tugas untuk mengobati anggota inti raja adalah berkah sekaligus kutukan dalam waktu bersamaan.

Bisa menjadi berkah ketika Tabib itu berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Anggota kerajaan puas dengan pekerjaannya, maka tabib itu akan menerima penghargaan besar. Hadiah yang akan diberikan padanya tidak main-main.

Begitu juga sebaliknya, tugas ini akan menjadi kutukan, apabila Elang gagal melaksanakan tugas. Alih-alih akan mendapatkan penghargaan, bahkan dia akan mendapatkan hukuman berat.

Layak, kalau Elang kali ini bekerja sampai tak mengenal waktu. Semua demi nyawanya supaya tidak lepas dari tubuh di usianya yang masih begitu muda.

"Elang benar-benar beruntung, karena dia mendapatkan anugerah untuk menyembuhkan Raden Ayu Kenes Kirana," ujar Gentala Wisesa.

"Heh, itu bukan anugerah. Kamu pikir Elang itu mampu membuat ramuan itu? Dia belum punya pengalaman yang memadai." Agra menyahut dengan wajah tidak senang.

Keduanya adalah teman seangkatan dengan Elang Taraka. Mereka adalah asisten tabib senior di kawasan ruang pengobatan istana Damar Langit. Ada beberapa tabib senior yang masing-masing mempunyai asisten.

"Jangan-jangan kamu iri, kamu ingin posisi Elang, kan?" sahut Gentala Wisesa sambil menyeringai.

"Itu pendapatku, Elang ndak seharusnya mengemban tugas itu. Kenapa harus Elang?" balas Agra tidak senang karena dituduh iri dengan Elang.

"Sudahlah, sebaiknya kita membantu Elang."

"Membantu? Kamu ndak sadar telah membahayakan dirimu sendiri jika kita ikut terlibat?" tolak Agra kasar.

"Kamu ndak setia kawan, Agra." Gentala Wisesa segera meninggalkan Agra dengan kesal.

"Bukan tentang setia kawan atau tidak, Genta. Nyawa kita taruhannya, jika Elang salah obat. Kamu sudah siap digantung di alun-alun?" Agra berkata acuh tak acuh.

"Sembarangan, kamu jahat sekali mendoakan kejelekan untuk teman sendiri."

"Terserah kamu saja!" Agra bergeming di tempatnya.

Kini Asisten tabib muda itu melangkah menuju bilik tempat tinggal Elang Taraka di sudut istana.

Gentala Wisesa, biasa dipanggil dengan sebutan Gentala. Pemuda berjambang tipis, mata sipit dan wajah oriental turunan kakek neneknya.

Gentala merupakan orang terdekat dengan Elang di istana. Sikapnya yang baik hati, mudah bergaul membuat persahabatan keduanya bertahan lama hingga sekarang. Namun, ada yang menarik hati Gentala ketika Elang sibuk dengan racikannya. Dia berniat membantu sahabatnya itu.

"Lang, akhir-akhir ini kamu kurang beristirahat, mari kubantu!" ucap Gentala menawarkan bantuan.

Saat ini, Gentala bertugas menjadi Asisten Tabib untuk mengobati para Prajurit kerajaan. Sudah ada pembagian tugas, disesuaikan dengan keahlian dari masing-masing Tabib. Ada Tabib yang khusus untuk mengobati keluarga kerajaan, Tabib mengobati para Dayang juga Tabib yang khusus mengobati para Prajurit. Semuanya sudah ada bagian masing-masing.

"Genta, sebaiknya kamu jangan terlibat dalam masalah ini. Benar, apa yang dikatakan Agra. Kalau aku gagal dalam tugas ini, kamu akan terlibat jika ikut membantuku!" tegas Elang menolak tawaran dari teman dekatnya.

Gentala hanya tertawa kecil mendengar jawaban Elang. “Aku percaya dengan kemampuanmu, Lang. Jangan berprasangka buruk pada nasib baikmu ini!” hibur Gentala

"Entahlah, semuanya seperti mimpi. Tiba-tiba mendapatkan tugas yang tidak masuk akal.” Elang berkata lemah. Ingin sekali dia mengatakan bahwa ada seseorang yang mengincarnya, tapi … dia tidak mendapatkan cukup bukti. Jadi, lebih baik Elang diam saja.

Mata Gentala terus memperhatikan bahan-bahan herbal yang telah Elang siapkan di dekat lumpang.

Lalu dia meraihnya satu demi satu untuk mencium bau dari bahan-bahan herbal itu. Itulah keahlian Tabib dalam meramu obat. Hanya dengan mencium baunya dia akan mengenali manfaat dari bahan itu.

Sebuah keahlian yang harus terus diasah supaya hidung menjadi sensitif.

"Darimana kamu tahu kalau bahan-bahan ini memiliki manfaat untuk menyembuhkan penyakit kulit?" tanya Gentala heran.

"Ada bau khas yang telah kuhafal," Elang menjawab pelan. Sedikit berbohong, padahal dia hanya mengetahuinya dari membaca kitab pengobatan peninggalan ayahnya.

Gentala manggut-manggut mendengar penjelasan Elang.

"Aku ndak nyangka, kemampuanmu sudah meningkat cepat, Lang. Sementara aku masih tertinggal jauh. Kamu memang layak mendapatkan kepercayaan Gusti Prabu.” Gentala selalu saja mempunyai pandangan positif. Dia menganggap bahwa Elang telah mendapatkan berkah dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka.

"Jangan berlebihan. Kemampuanmu jauh lebih tinggi."

Elang tahu jika Gentala Wisesa sedang memujinya secara berlebihan. Padahal, asisten satu angkatannya itu pun punya kemampuan sepadan.

"Nggak juga." Gentala menjawab santai. Setelahnya dia celingukan. Gentala seperti sedang mencurigai sesuatu.

"Kamu kenapa?" tanya Elang dengan matanya yang mengikuti pergerakan Gentala.

"Ada yang bermaksud jelek padamu." Gentala berdiri, tanpa kata dia buru-buru pergi dan menjauh dari ruangan di mana Elang meracik ramuan.

Elang terpaku. Apakah Gentala pun mencurigai seseorang sama sepertinya?

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
taqiyyuut aja
wah siapa yg mau mencelakai elang
goodnovel comment avatar
Indah Syi
siapakah orang yg harus dicurigai itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status