Berhari-hari sejak hari itu, Elang lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang obat. Istana Damar Langit yang makmur, berlimpah dengan berbagai macam bahan herbal. Gusti Prabu telah memberinya izin menggunakan semua fasilitas yang ada untuk uji coba membuat ramuan mujarab.
Hanya berbekal buku pengobatan yang diwariskan dari sang Ayah yang telah tiada, Elang mendapatkan pengetahuan tentang berbagai jenis herbal, rimpang maupun jenis bunga tertentu yang mempunyai manfaat untuk perawatan kulit.Aah, untung saja dia mempunyai seorang ayah yang bisa diandalkan.“Baru kali ini aku serius membaca dan mempelajari kitab peninggalan ayah,” gumamnya lirih.Ada sedikit penyesalan, karena buku itu biasanya dibiarkan sampai berdebu tanpa pernah dibuka. Elang terlalu sibuk membantu tabib senior yang selalu menyuruhnya melakukan ini dan itu.“Aku selalu mengabaikanmu selama ini, sekarang aku mengandalkanmu. Tolong bantu aku selamat dari hukuman Gusti Prabu, ya,” keluhnya menyesal, berbicara sendiri di depan kitab pengobatan kuno peninggalan sang Ayah.Di hadapannya sudah tersedia akar wangi, cendana, klabet, kenanga, dan kemenyan. Dia akan melumatkan bahan-bahan itu untuk uji coba yang ke sekian kali.“Semoga kali ini berhasil.” Elang menghela napas panjang. Tak lupa memanjatkan doa sebelum memulai menumbuk bahan-bahan tersebut.Dari buku peninggalan sang Ayah, dia mengetahui manfaat dari akar wangi yang bisa mempercepat hilangnya bekas luka. Elang sudah menyulingnya untuk mendapatkan minyak esensial dari akar wangi tersebut.Cendana juga mempunyai khasiat membantu proses penyembuhan luka pada kulit. klabet juga demikian, dia mempunyai manfaat alami mencerahkan kulit dan menjadikannya awet muda. Kenanga dan kemenyan juga mempunyai fungsi yang bagus untuk kulit yaitu melembabkan dan membunuh kuman yang ada di dalam luka. Elang mendapatkan pengetahuan dari membaca buku peninggalan ayahnya tersebut.Masing-masing bahan herbal itu tersedia di ruangan obat istana dalam keadaan kering. Elang akan menumbuknya satu persatu.Elang mulai sibuk menumbuk bahan itu dengan harapan yang tinggi. Tak memedulikan waktu, padahal malam telah merangkak naik.Di luar sana, angin berembus cukup kencang, membuat daun-daun berjatuhan seperti musim gugur. Ditambah dengan suara burung hantu yang sejak tadi menyapa indra dengar, menambah suasana malam makin mencekam.Dia harus bekerja keras. Bagaimana pun semua penghuni di sudut istana ini sudah tahu dialah yang menjadi harapan kesembuhan bagi kecantikan Raden Ayu. Meski di sudut hatinya, dia juga bisa merasakan ada rencana jahat dibalik semua ini.Namun, apa yang bisa diperbuatnya. Dia hanyalah rakyat kecil yang mungkin harus rela jika hanya dijadikan sebagai tumbal kepentingan dari ‘orang-orang besar’ di Istana.Binar bahagia terpampang jelas di wajah Elang ketika berhasil menyelesaikan ramuan. Dia akan mencobanya terlebih dahulu pada wajah beberapa pelayan istana, seperti biasa untuk uji coba.“Sekarang, saatnya tidur,” gumamnya begitu sampai di pondokan yang berada di kawasan ruang pengobatan istana. Kawasan yang hanya diperuntukkan sebagai tempat tinggal para tabib istana dan keluarganya.***Berita mengenai Elang Taraka yang didaulat oleh Gusti Prabu untuk membuat ramuan mujarab yang bisa menyembuhkan Raden Ayu Kenes Kirana telah tersebar di setiap sudut istana. Layaknya jamur di musim hujan, berita itu menjadi perbincangan para abdi dalem di sela mereka mengerjakan tugas masing-masing.Bagi profesi Tabib Istana, diberi tugas untuk mengobati anggota inti raja adalah berkah sekaligus kutukan dalam waktu bersamaan.Bisa menjadi berkah ketika Tabib itu berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Anggota kerajaan puas dengan pekerjaannya, maka tabib itu akan menerima penghargaan besar. Hadiah yang akan diberikan padanya tidak main-main.Begitu juga sebaliknya, tugas ini akan menjadi kutukan, apabila Elang gagal melaksanakan tugas. Alih-alih akan mendapatkan penghargaan, bahkan dia akan mendapatkan hukuman berat.Layak, kalau Elang kali ini bekerja sampai tak mengenal waktu. Semua demi nyawanya supaya tidak lepas dari tubuh di usianya yang masih begitu muda."Elang benar-benar beruntung, karena dia mendapatkan anugerah untuk menyembuhkan Raden Ayu Kenes Kirana," ujar Gentala Wisesa."Heh, itu bukan anugerah. Kamu pikir Elang itu mampu membuat ramuan itu? Dia belum punya pengalaman yang memadai." Agra menyahut dengan wajah tidak senang.Keduanya adalah teman seangkatan dengan Elang Taraka. Mereka adalah asisten tabib senior di kawasan ruang pengobatan istana Damar Langit. Ada beberapa tabib senior yang masing-masing mempunyai asisten."Jangan-jangan kamu iri, kamu ingin posisi Elang, kan?" sahut Gentala Wisesa sambil menyeringai."Itu pendapatku, Elang ndak seharusnya mengemban tugas itu. Kenapa harus Elang?" balas Agra tidak senang karena dituduh iri dengan Elang."Sudahlah, sebaiknya kita membantu Elang.""Membantu? Kamu ndak sadar telah membahayakan dirimu sendiri jika kita ikut terlibat?" tolak Agra kasar."Kamu ndak setia kawan, Agra." Gentala Wisesa segera meninggalkan Agra dengan kesal."Bukan tentang setia kawan atau tidak, Genta. Nyawa kita taruhannya, jika Elang salah obat. Kamu sudah siap digantung di alun-alun?" Agra berkata acuh tak acuh."Sembarangan, kamu jahat sekali mendoakan kejelekan untuk teman sendiri.""Terserah kamu saja!" Agra bergeming di tempatnya.Kini Asisten tabib muda itu melangkah menuju bilik tempat tinggal Elang Taraka di sudut istana.Gentala Wisesa, biasa dipanggil dengan sebutan Gentala. Pemuda berjambang tipis, mata sipit dan wajah oriental turunan kakek neneknya.Gentala merupakan orang terdekat dengan Elang di istana. Sikapnya yang baik hati, mudah bergaul membuat persahabatan keduanya bertahan lama hingga sekarang. Namun, ada yang menarik hati Gentala ketika Elang sibuk dengan racikannya. Dia berniat membantu sahabatnya itu."Lang, akhir-akhir ini kamu kurang beristirahat, mari kubantu!" ucap Gentala menawarkan bantuan.Saat ini, Gentala bertugas menjadi Asisten Tabib untuk mengobati para Prajurit kerajaan. Sudah ada pembagian tugas, disesuaikan dengan keahlian dari masing-masing Tabib. Ada Tabib yang khusus untuk mengobati keluarga kerajaan, Tabib mengobati para Dayang juga Tabib yang khusus mengobati para Prajurit. Semuanya sudah ada bagian masing-masing."Genta, sebaiknya kamu jangan terlibat dalam masalah ini. Benar, apa yang dikatakan Agra. Kalau aku gagal dalam tugas ini, kamu akan terlibat jika ikut membantuku!" tegas Elang menolak tawaran dari teman dekatnya.Gentala hanya tertawa kecil mendengar jawaban Elang. “Aku percaya dengan kemampuanmu, Lang. Jangan berprasangka buruk pada nasib baikmu ini!” hibur Gentala"Entahlah, semuanya seperti mimpi. Tiba-tiba mendapatkan tugas yang tidak masuk akal.” Elang berkata lemah. Ingin sekali dia mengatakan bahwa ada seseorang yang mengincarnya, tapi … dia tidak mendapatkan cukup bukti. Jadi, lebih baik Elang diam saja.Mata Gentala terus memperhatikan bahan-bahan herbal yang telah Elang siapkan di dekat lumpang.Lalu dia meraihnya satu demi satu untuk mencium bau dari bahan-bahan herbal itu. Itulah keahlian Tabib dalam meramu obat. Hanya dengan mencium baunya dia akan mengenali manfaat dari bahan itu.Sebuah keahlian yang harus terus diasah supaya hidung menjadi sensitif."Darimana kamu tahu kalau bahan-bahan ini memiliki manfaat untuk menyembuhkan penyakit kulit?" tanya Gentala heran."Ada bau khas yang telah kuhafal," Elang menjawab pelan. Sedikit berbohong, padahal dia hanya mengetahuinya dari membaca kitab pengobatan peninggalan ayahnya.Gentala manggut-manggut mendengar penjelasan Elang."Aku ndak nyangka, kemampuanmu sudah meningkat cepat, Lang. Sementara aku masih tertinggal jauh. Kamu memang layak mendapatkan kepercayaan Gusti Prabu.” Gentala selalu saja mempunyai pandangan positif. Dia menganggap bahwa Elang telah mendapatkan berkah dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka."Jangan berlebihan. Kemampuanmu jauh lebih tinggi."Elang tahu jika Gentala Wisesa sedang memujinya secara berlebihan. Padahal, asisten satu angkatannya itu pun punya kemampuan sepadan."Nggak juga." Gentala menjawab santai. Setelahnya dia celingukan. Gentala seperti sedang mencurigai sesuatu."Kamu kenapa?" tanya Elang dengan matanya yang mengikuti pergerakan Gentala."Ada yang bermaksud jelek padamu." Gentala berdiri, tanpa kata dia buru-buru pergi dan menjauh dari ruangan di mana Elang meracik ramuan.Elang terpaku. Apakah Gentala pun mencurigai seseorang sama sepertinya?BersambungDi jalanan Kotaraja, tiga ekor kuda hitam berlari seperti kesetanan menuju arah istana. Penunggangnya tidak berpakaian sebagaimana umumnya penduduk Damar Langit yang sebagian besar telanjang dada. Tubuh tiga pria itu dibalut pakaian panjang serba hitam dengan tutup kepala hanya menampakkan mata mereka. Penampilan yang tidak biasa ini sejujurnya mengundang perhatian di sepanjang jalan. Alih-alih ada yang berani bertanya, mereka lebih memilih untuk menyingkir.Sejak Damar Langit dikuasai Bratasena, Kotaraja tak ubahnya menjadi kota seribu pertarungan. Ada begitu banyak pendekar berkeliaran. Centeng-centeng bayaran sang Raja baru, siap memenggal setiap kepala yang berani protes dengan kebijakan menyengsarakan rakyat. Penduduk dipaksa tunduk dengan segala cara. Para prajurit jaga di gerbang istana pun tak ada yang berani menghentikan ketika salah satu dari ketiganya mengeluarkan lempengan logam kuningan sebesar telapak tangan anak kecil berukir singa ketika mereka melintas. Itu tanda pen
“Apakah ada kabar dari tempat lain, kabar dari Pangeran Elang atau Pangeran Hadyan, Kangmas Arya Wursita?” Gusti Prabu Maheswara Kamandaka tengah berada di tenda bersama Arya Wursita dan Mahawira. “Mohon ampun, Gusti Prabu. Baru saja saya akan melaporkan.” Arya Wursita tersenyum lebar. Gusti Prabu menganggapnya sebagai pertanda baik. “Kalau begitu, aku siap mendengarnya, Kangmas Patih.” Arya Wursita berdiri tegak. Nyaris saja tak bisa menahan diri untuk tertawa lantang karena hatinya diliputi kebahagiaan, “sesuai dengan prediksi Gusti Pangeran Arya Elang Taraka, Bratasena sungguh memasang jebakan di tengah perjalanan. Pasukan yang dipimpin Gusti Pangeran Arya dicegat para begal dan pendekar dari lembah hitam di Hutan Larangan, Gusti Prabu.” Dengan dada yang dipenuhi ledakan kebahagiaan, Patih Arya Wursita melaporkan kejadian yang menimpa Elang dan pasukannya. Elang mengirimkan satu prajurit untuk menyampaikan kejadian Hutan Larangan pada Gusti Prabu.“Apakah semua baik-baik saja, K
Jatayu mengangkasa di ketinggian. Dari bawah, tubuh raksasanya tak tampak. Hanya seperti burung elang yang terbang di langit. Tenda-tenda sudah rampung didirikan. Elang Taraka pasti merasa puas melihat aktivitas para prajurit dari atas sana. Pasukan elitnya tengah sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Ada padang rumput luas yang dipilih untuk menempatkan kuda-kuda mereka. Gentala sudah bergabung dengan prajurit yang bertugas menjaga kuda-kuda perang di padang rumput tersebut. Pangeran Hadyan Ganendra sungguh membuktikan keseriusannya membantu Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Dia memberikan senjata, ransum dan kuda perang kualitas terbaik untuk perang ini. Jenis Kuda Bima yang diberikan Pangeran Hadyan didatangkan khusus dari pulau seberang lautan sebelah timur. Kuda jenis ini dipilih karena kekuatan fisiknya yang mampu bertahan di segala medan. Tidak diragukan lagi ketangguhannya. “Namaku Gentala. Mulai hari ini, Gusti Pangeran menugaskan aku untuk membantu kalian mengurus kuda,” t
Pemuda yang tengah terpuruk dalam penyesalan itu tak berani mengangkat wajah. Tatapannya tertunduk memanah tanah merah tempatnya bersimpuh di depan Elang Taraka. Bahu yang terus bergetar seakan mengisyaratkan penyesalan teramat dalam. “Andaikan dulu Raden Mas Bratasena tidak membutakan mata saya, saya tidak akan kehilangan sahabat terbaik seperti kalian berdua,” isaknya dengan suara parau. Agra membuang wajah. Sulit baginya untuk menerima permintaan maaf orang yang telah berkhianat. Terlebih, pengkhianatan Gentala tidak sederhana. Dia ikut andil dalam kejahatan si Pemberontak Bratasena. Situasinya tidak jauh berbeda dengan Elang Taraka. Pangeran muda itu diliputi kegamangan. Betapa kekecewaanya menggunung selepas mengetahui sahabat yang dipercaya ternyata serigala berbulu domba.Sekian waktu berlalu tanpa kata. Hanya keheningan yang merajai. Gentala melirik Elang yang masih membeku di tempatnya.“Gusti Pangeran, meski saya harus menebus dosa dengan menjadi budak Andika. Saya bersed
Selepas keluar dari Hutan Larangan, pasukan elit yang dipimpin oleh Elang Taraka melanjutkan perjalanan keluar masuk desa menuju Kotaraja. Perjalanan dengan pasukan besar yang terdiri dari kavaleri dan infanteri tentunya memakan lebih banyak waktu. Alih-alih mempercepat, di sebuah tanah lapang yang luas mereka malah membentangkan tenda untuk istirahat. “Gusti Pangeran, bukankah ini akan menghabiskan terlalu banyak waktu?” Agra bertanya selepas usai mendirikan tenda untuk istirahat Kenes Kirana.“Kita akan menghadapi perang habis-habisan dengan Bratasena, Agra. Berperang dengan fisik kelelahan setelah perjalanan panjang tidak menguntungkan kita. Kami sudah memperhitungkan semua ini.” Merpati putih baru saja mengirimkan pesan. Pasukan Tumenggung Mahawira juga melakukan hal yang sama. Hanya Pangeran Hadyan yang berjalan lebih cepat. Agra manggut-manggut. Keberadaannya di tempat ini nantinya tidak terjun langsung dalam pertempuran. Sesuai keahliannya, Agra dan Mbok Sumi bertugas di tend
Balairung Istana Damar Langit diliputi kesunyian beberapa saat lamanya. Jajaran pejabat istana tak ada yang berani mengangkat wajah. Jangankan bicara, mereka bahkan tidak berani mengeluarkan suara napas. Pedang yang terhunus di tangan Bratasena mengucurkan darah. Di tengah ruangan, tergeletak jasad prajurit telik sandi dengan leher digorok. Nasib sial yang menimpa prajurit malang itu terjadi sesaat setelah dia menyampaikan informasi kejadian di Hutan Larangan. Begal dan pendekar dari lembah hitam yang diberi tugas menghadang pasukan Maheswara Kamandaka telah kocar-kacir.“Aku tidak suka mendengar berita buruk. Kalian semua harus tahu itu!” Suara Bratasena menggelegar. Dadanya naik turun penuh gejolak kemarahan. Dia mempunyai harapan besar akan kemenangan garnisun yang mencegat di Hutan Larangan tersebut. Gerombolan begal yang dikenal bengis dan kejam itu diharapkan mampu memadamkan api pemberontakan Maheswara Kamandaka. Alih-alih berhasil meraih kemenangan, sebaliknya mereka justru d
Angin berderu serupa tornado bergulung menerbangkan dedaunan kering. Pusaran itu terus bergerak seakan membentuk ruang untuk arena pertarungan tiga sosok yang ada di dalam sana. Tubuh-tubuh linglung yang sebelumnya terjebak dalam dunia mimpi perlahan mulai terbangun, dipaksa menyaksikan pertarungan yang akan terjadi.Maharesi Acarya berdiri dengan tenang di pinggir. Sementara Elang dan Toh Geni berhadapan layaknya pertemuan dua musuh bebuyutan.“Katakan padaku, apa alasanmu membunuh orang tuaku, Toh Geni?” Suara Elang terdengar tenang, kendati mengandung kemarahan yang begitu dalam. Toh Geni hanya menyeringai. Tak berniat memberi jawaban.“Kau berniat membunuhku, maka lakukan saja jika engkau mempunyai kemampuan!”Elang menyipitkan mata. Dua tangannya terkepal. Kemarahan makin berkobar, merasa diremehkan. “Maka akan aku penuhi keinginanmu.” Elang mulai menyerang. Tiap gerakannya menuju titik-titik mematikan lawan. Tak berniat memberi ampunan. Pria di depannya itu yang telah membuatny
Hiruk pikuk pertempuran seketika menghilang. Hutan yang diliputi peperangan berubah hening seakan tak berpenghuni. Desau angin bahkan tak berani menunjukkan dirinya dikuasai ketakutan. Bukan hanya hewan-hewan penghuni Wono Daksino saja yang terpengaruh dengan suara seruling. Manusia yang mendengar alunan magis itu juga menjadi linglung. Seakan terenggut kesadarannya, mereka terjerembab di dalam mimpi buruk. Peniup seruling berperan sebagai penguasa mimpi bisa sesuka hati mempermainkan siapapun yang terjebak di dalamnya. Waktu seakan berhenti berputar. Tak ada yang bergerak, hanyut dalam halusinasi. Hanya tiga orang yang bisa keluar dari kebekuan sang Waktu.“Kita berjumpa lagi, Teman.” Jiwa semua orang telah dibelenggu di alam mimpi, ketika pria tua itu berhenti meniup seruling. Dengan wajah tanpa dosa, dia menyapa Maharesi Acarya Adiwilaga. Senyuman menghias di bibir keriputnya.“Setelah tujuh belas tahun berpisah, akhirnya kita bereuni kembali, Acarya. Harusnya, pertemuan kita akan
Para begal dan pendekar dari lembah hitam telah siaga melakukan penyerangan begitu Elang dan pasukannya melewati hutan. Kejutan yang disiapkan Bratasena ini tidak main-main. Para begal dipersenjatai militer lengkap siap tempur. Dengan kekejaman alami yang telah mendarah daging dalam naluri penjahat, mereka tidak bisa dihadapi prajurit sembarangan. Ditambah lagi dengan kekuatan dari para pendekar lembah hitam, menjadikan kesombongan mereka terbang ke awang-awang.“Akhirnya tamu istimewa kita telah tiba, Teman-teman. Mari kita sambut dengan hidangan pembuka. Ha-ha-ha….” Gemuruh sorak-sorai seketika meramaikan hutan yang mencekam. Dari balik pepohonan hutan, sosok hitam bermunculan. Berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang yang menghadang pasukan yang dipimpin Elang.“Mana Maheswara Kamandaka?! Kalau kamu sujud di bawah kakiku sekarang juga, aku pasti akan mengurungkan niat untuk membantai prajuritmu!” Seorang pria dengan mata sebelah kanannya ditutupi potongan kulit binatang berwarn