Share

Ujian Keberanian

last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-09 14:17:58

Valerian mendekat dan mengamati batu itu dengan seksama. Ia tidak melihat atau merasakan sesuatu yang istimewa, tetapi ia mempercayai intuisi Elara. Ia tahu bahwa Elara memiliki hubungan yang kuat dengan alam dan kekuatan magis di sekitarnya.

"Baiklah," kata Valerian. "Mari kita coba. Apa yang harus kita lakukan?"

Elara memejamkan matanya dan berkonsentrasi. Ia mencoba merasakan energi yang terpancar dari batu itu, dan mencoba memahami makna dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. Setelah beberapa saat, ia membuka matanya dan berkata, "Aku tahu. Kita harus menyentuh batu itu bersama-sama, dan mengucapkan mantra yang pernah diajarkan oleh ayahku."

Valerian mengangguk setuju. Ia berdiri di samping Elara dan menyentuh batu itu dengan tangannya. Elara mulai mengucapkan mantra dalam bahasa kuno yang terdengar asing dan misterius. Suara Elara mengalun seperti melodi kuno, dipenuhi dengan kekuatan dan keajaiban. Setiap suku kata yang ia ucapkan seolah beresonansi dengan energi alam di sekitarnya, menciptakan getaran yang halus namun kuat. Ada nada rendah yang dalam seperti gema dari gua-gua tersembunyi, dan nada tinggi yang jernih seperti suara lonceng perak yang berdering di hutan sunyi. Suara Elara bergema di sekitar mereka, membuat bulu kuduk Valerian meremang.

Saat Elara menyelesaikan mantranya, batu itu mulai bergetar. Simbol-simbol yang terukir di permukaannya mulai bersinar dengan cahaya keemasan yang terang. Cahaya itu semakin lama semakin kuat, hingga akhirnya menyilaukan mata mereka.

Tiba-tiba, batu itu bergeser dengan sendirinya, mengungkapkan sebuah jalan masuk yang tersembunyi di balik batu itu. Jalan masuk itu tampak gelap dan sempit, dan dari dalamnya keluar hawa dingin yang menusuk tulang.

"Kita berhasil!" seru Elara dengan nada gembira. "Ayo, Valerian! Kita harus masuk ke dalam!"

Valerian menelan ludah dan mengangguk. Ia merasa ragu dan takut, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak bisa mundur lagi. Mereka harus menghadapi apa pun yang ada di depan mereka, jika mereka ingin mengalahkan Utusan Bara dan menyelamatkan Lembah Sunyi.

Elara dan Valerian memasuki jalan masuk yang tersembunyi itu dengan hati-hati. Mereka berjalan menyusuri lorong yang sempit dan gelap, hanya diterangi oleh obor yang dibawa oleh Valerian. Dinding-dinding lorong itu terbuat dari batu yang kasar dan lembap, dan di beberapa tempat terdapat ukiran-ukiran aneh yang menyerupai wajah-wajah yang mengerikan.

Saat mereka berjalan semakin dalam, mereka mulai mendengar suara-suara aneh yang bergema di sekitar mereka. Suara-suara itu terdengar seperti bisikan-bisikan yang tidak jelas, atau seperti erangan kesakitan yang datang dari kejauhan.

"Apa itu?" tanya Valerian, suaranya bergetar.

"Aku tidak tahu," jawab Elara. "Tapi aku tidak suka suara-suara itu. Sepertinya kita tidak sendirian di sini."

Tiba-tiba, dari depan mereka, munculah sesosok makhluk yang mengerikan. Makhluk itu memiliki tubuh seperti manusia, tetapi kulitnya berwarna hijau pucat dan matanya merah menyala. Ia mengenakan pakaian compang-camping yang terbuat dari kain lusuh, dan di tangannya ia memegang sebuah pedang berkarat yang meneteskan cairan hijau.

"Siapa kau?" tanya Valerian, mengangkat pedangnya.

Makhluk itu tidak menjawab. Ia hanya meraung dengan suara yang mengerikan dan maju menyerang Elara dan Valerian dengan pedangnya.

Valerian dengan sigap menghadang serangan makhluk itu dengan pedangnya. Terjadilah pertempuran sengit antara kedua pendekar itu. Pedang mereka beradu dengan suara dentingan yang memekakkan telinga. Percikan api beterbangan di udara, menerangi wajah-wajah mereka yang tegang.

Elara tidak tinggal diam. Ia mengambil busur dan anak panahnya dan mulai menembaki makhluk itu. Anak panahnya melesat dengan tepat sasaran, tetapi makhluk itu seolah-olah tidak merasakan sakit. Anak panah itu hanya menembus tubuhnya dan tidak melukainya sama sekali. Cairan hijau yang menetes dari pedangnya seolah menyembuhkan luka itu dengan cepat.

Valerian kewalahan menghadapi serangan makhluk itu. Makhluk itu sangat kuat dan gesit, dan serangannya sangat mematikan hingga Valerian kesulitan menemukan celah untuk membalas. Ia hanya bisa bertahan, menghindari setiap tebasan pedang dengan susah payah.

"Kita harus mencari tahu cara mengalahkannya!" seru Elara, berusaha menembus pertahanan makhluk itu dengan anak panahnya. "Anak panahku tidak berpengaruh padanya!"

"Aku juga tidak tahu!" jawab Valerian, terengah-engah, sambil menangkis serangan makhluk itu. "Pedangku seolah menembus udara saat mengenainya! Makhluk ini tidak seperti apa pun yang pernah kuhadapi!"

Tiba-tiba, Elara teringat akan sebuah cerita yang pernah diceritakan oleh ayahnya tentang kuil ini. Ayahnya pernah mengatakan bahwa kuil ini dijaga oleh roh-roh yang terikat pada tempat ini. Roh-roh itu hanya bisa dikalahkan dengan cara tertentu.

"Aku tahu!" seru Elara. "Ayahku pernah mengatakan bahwa roh-roh penjaga kuil ini hanya bisa dikalahkan dengan menunjukkan keberanian dan keteguhan hati! Kita harus menunjukkan kepada mereka bahwa kita tidak takut, dan bahwa kita bersedia berkorban untuk melindungi Lembah Sunyi!"

Valerian menatap Elara dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya. "Bagaimana kita bisa menunjukkan keberanian dan keteguhan hati kepada makhluk ini?"

"Kita harus menghadapi rasa takut kita!" jawab Elara. "Kita harus menghadapi ujian yang diberikan oleh kuil ini! Hanya dengan begitu kita bisa mengalahkan roh penjaga ini dan melanjutkan perjalanan kita!"

Saat Elara mengucapkan kata-kata itu, lorong di depan mereka tiba-tiba berubah. Dinding-dinding lorong itu menghilang, dan mereka mendapati diri mereka berada di sebuah ruangan yang luas dan gelap. Di tengah ruangan itu, terdapat sebuah altar batu yang di atasnya terdapat sebuah cermin besar. Cermin itu memancarkan cahaya redup yang membuat ruangan itu tampak semakin menakutkan.

"Selamat datang, para pejuang," terdengar suara yang bergema di seluruh ruangan. Suara itu terdengar berat dan mengancam, membuat bulu kuduk Elara dan Valerian meremang. "Kalian telah berhasil melewati ujian pertama. Sekarang, kalian harus menghadapi ujian yang kedua..."

Suara itu menggantung di udara, membuat Elara dan Valerian semakin penasaran.

"Ujian yang kedua? Ujian apa?" tanya Valerian, menatap Elara dengan cemas.

"Aku tidak tahu," jawab Elara, menggelengkan kepalanya. "Tapi aku merasa ini akan menjadi ujian yang lebih sulit dari sebelumnya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Ujian Pengorbanan

    Lorong itu terasa lebih dingin dari sebelumnya. Hawa kematian menyelimuti mereka, membuat bulu kuduk Elara dan Valerian meremang. Makhluk itu, dengan mata merah menyala, menatap mereka dengan penuh kebencian. "Kalian pikir bisa lolos begitu saja?" geram makhluk itu, suaranya serak dan mengancam. "Kuil ini akan menjadi kuburan kalian!" Makhluk itu melesat maju, pedangnya menebas dengan kecepatan kilat. Valerian dengan sigap menghadang serangan itu dengan pedangnya. Denting senjata beradu menggema di lorong sempit, menciptakan percikan api yang menari-nari dalam kegelapan. Elara, dengan cekatan, menarik busurnya dan membidik makhluk itu. Anak panah melesat dengan akurat, namun makhluk itu dengan mudah menepisnya dengan pedangnya. Pertempuran sengit pun tak terhindarkan. Valerian dan Elara bertarung dengan sekuat tenaga, namun makhluk itu terlalu kuat. Ia bergerak dengan lincah, serangannya brutal dan tanpa ampun. Valerian terhuyung mundur, merasakan sakit yang membakar di lengannya

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Ujian Kesetiaan

    "...Ujian yang kedua: Ujian Kesetiaan." Suara itu akhirnya menyelesaikan kalimatnya, menggema di seluruh ruangan. Elara dan Valerian saling pandang dengan cemas. Kesetiaan. Apa maksudnya? Siapa yang harus mereka setiai? Dan apa yang akan terjadi jika mereka gagal? "Kesetiaan?" tanya Valerian, mengerutkan kening. "Apa maksud dari semua ini?" "Aku tidak tahu," jawab Elara, menggigit bibirnya. "Tapi aku merasa ini ada hubungannya dengan masa lalu kita." "Di depan kalian, terdapat sebuah cermin," lanjut suara itu. "Cermin itu akan menunjukkan kepada kalian masa lalu kalian. Kalian akan melihat semua kesalahan dan kegagalan yang pernah kalian lakukan. Kalian akan melihat semua orang yang pernah kalian khianati. Jika kalian berhasil menerima masa lalu kalian dan tetap setia pada diri sendiri dan pada satu sama lain, maka kalian akan lulus ujian ini. Tetapi jika kalian gagal, maka kalian akan terjebak di dalam masa lalu kalian selamanya." Elara menelan ludah. Ia merasa takut dan gu

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Ujian Keberanian

    Valerian mendekat dan mengamati batu itu dengan seksama. Ia tidak melihat atau merasakan sesuatu yang istimewa, tetapi ia mempercayai intuisi Elara. Ia tahu bahwa Elara memiliki hubungan yang kuat dengan alam dan kekuatan magis di sekitarnya. "Baiklah," kata Valerian. "Mari kita coba. Apa yang harus kita lakukan?" Elara memejamkan matanya dan berkonsentrasi. Ia mencoba merasakan energi yang terpancar dari batu itu, dan mencoba memahami makna dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. Setelah beberapa saat, ia membuka matanya dan berkata, "Aku tahu. Kita harus menyentuh batu itu bersama-sama, dan mengucapkan mantra yang pernah diajarkan oleh ayahku." Valerian mengangguk setuju. Ia berdiri di samping Elara dan menyentuh batu itu dengan tangannya. Elara mulai mengucapkan mantra dalam bahasa kuno yang terdengar asing dan misterius. Suara Elara mengalun seperti melodi kuno, dipenuhi dengan kekuatan dan keajaiban. Setiap suku kata yang ia ucapkan seolah beresonansi dengan energi

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Kuil yang hilang

    Saat Valerian menyelesaikan kalimatnya, pepohonan di sekitar mereka mulai bergoyang dengan lebih hebat. Angin bertiup semakin kencang, membawa serta aroma belerang yang menyengat hidung. Langit semakin gelap, tertutup awan hitam pekat yang menggantung rendah. Kilatan petir sesekali menyambar, menerangi hutan dengan cahaya pucat yang menakutkan. Tiba-tiba, dari arah depan mereka, munculah sesosok makhluk yang sangat besar dan mengerikan. Makhluk itu memiliki tubuh seperti manusia, tetapi tingginya mencapai tiga meter. Kulitnya tampak seperti batu bara yang membara, memancarkan panas yang luar biasa. Matanya adalah dua lubang api yang menyala tanpa henti, dan dari mulutnya keluar asap tebal yang berbau busuk. Ia memiliki otot-otot yang besar dan kuat, dan di punggungnya tumbuh sayap bergerigi yang terbuat dari obsidian. Di tangannya, ia menggenggam sebuah palu godam yang terbuat dari logam hitam dan berhiaskan tengkorak manusia. "Makhluk itu..." Elara berbisik, suaranya tercekat di

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Bayangan Masa Lalu

    Elara memejamkan matanya, pasrah pada nasibnya. Para pria bertopeng itu semakin mendekat, pisau-pisau mereka berkilauan di bawah cahaya rembulan yang masuk melalui celah-celah dinding gubuknya. Ia tahu, inilah akhir dari perjalanannya. Ia gagal melindungi artefak itu, ia gagal melindungi Lembah Sunyi, dan ia gagal membalas dendam atas kematian ayahnya. Namun, sebelum para pria bertopeng itu sempat menyentuhnya, terdengar suara teriakan yang memekakkan telinga. Para pria bertopeng itu berhenti, menoleh ke arah suara itu. Dari balik pepohonan, muncul sesosok pria yang berlari dengan kecepatan tinggi. Pria itu mengenakan pakaian serba hitam dan memegang pedang yang berkilauan. "Valerian!" seru Elara, matanya membulat karena terkejut. Valerian adalah sahabatnya sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, bermain bersama, dan belajar bersama. Mereka saling percaya dan saling menyayangi seperti saudara kandung. Namun, Elara tidak pernah menyangka bahwa Valerian akan muncul di sini, di saat-

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Warisan dan Pengkhianatan

    Elara tertegun, menyaksikan makhluk mengerikan itu mengamuk di hadapannya. Pria bertopeng, yang tadinya tampak begitu mengancam, kini tampak ciut dan ketakutan. Makhluk itu, dengan raungan memekakkan telinga, menerjang pria bertopeng itu, mencabik-cabik jubah hitamnya dengan cakar-cakar tajamnya. "Apa... apa itu?" bisik Elara, matanya membulat karena terkejut. Makhluk itu terlalu fokus pada pria bertopeng untuk memperhatikannya. Elara, dengan hati-hati, mundur selangkah demi selangkah, berusaha menjauh dari pertempuran yang mengerikan itu. Ia tahu bahwa meskipun makhluk itu membantunya saat ini, makhluk itu tetaplah ancaman yang sangat besar. "Aku harus pergi dari sini," gumamnya pada dirinya sendiri. "Ini terlalu berbahaya." Namun, sebelum ia sempat melarikan diri, pria bertopeng itu berhasil melepaskan diri dari cengkeraman makhluk itu. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan bom asap ke tanah. Asap tebal langsung mengepul, menutupi seluruh area. "Sial!" umpat Elara. Ia terba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status