LOGINElara memejamkan matanya, pasrah pada nasibnya. Para pria bertopeng itu semakin mendekat, pisau-pisau mereka berkilauan di bawah cahaya rembulan yang masuk melalui celah-celah dinding gubuknya. Ia tahu, inilah akhir dari perjalanannya. Ia gagal melindungi artefak itu, ia gagal melindungi Lembah Sunyi, dan ia gagal membalas dendam atas kematian ayahnya.
Namun, sebelum para pria bertopeng itu sempat menyentuhnya, terdengar suara teriakan yang memekakkan telinga. Para pria bertopeng itu berhenti, menoleh ke arah suara itu. Dari balik pepohonan, muncul sesosok pria yang berlari dengan kecepatan tinggi. Pria itu mengenakan pakaian serba hitam dan memegang pedang yang berkilauan. "Valerian!" seru Elara, matanya membulat karena terkejut. Valerian adalah sahabatnya sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, bermain bersama, dan belajar bersama. Mereka saling percaya dan saling menyayangi seperti saudara kandung. Namun, Elara tidak pernah menyangka bahwa Valerian akan muncul di sini, di saat-saat terakhir hidupnya. "Elara!" seru Valerian, suaranya penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi di sini?" Valerian menerjang para pria bertopeng itu dengan pedangnya. Para pria bertopeng itu terkejut dan berusaha melawan, tetapi Valerian terlalu kuat untuk mereka. Dengan gerakan cepat dan lincah, Valerian berhasil melumpuhkan para pria bertopeng itu satu per satu. Lilith menyaksikan kejadian itu dengan tatapan marah. "Valerian!" serunya. "Apa yang kau lakukan? Kau seharusnya berada di pihak kami!" Valerian mengabaikan Lilith dan berlari ke arah Elara, berlutut di sampingnya. "Elara, kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Ia memeriksa luka-luka Elara dengan cermat. Elara menatap Valerian dengan tatapan bingung. "Valerian, apa yang terjadi? Mengapa kau membantu mereka?" tanyanya. Valerian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Elara," jawabnya. "Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sini." "Tapi, Lilith bilang kau adalah bagian dari mereka," ucap Elara, suaranya bergetar. "Dia bilang kau adalah bagian dari Penyembah Kegelapan." Valerian terdiam sejenak. Kemudian, ia menghela napas panjang. "Itu benar, Elara," ucapnya. "Aku memang pernah menjadi bagian dari Penyembah Kegelapan. Tapi, aku sudah keluar dari sana sejak lama. Aku tidak ingin ada hubungannya lagi dengan mereka." Elara terkejut mendengar pengakuan Valerian. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia merasa dikhianati oleh orang yang paling ia percayai. "Mengapa, Valerian?" tanya Elara, air mata mulai mengalir di pipinya. "Mengapa kau melakukan ini padaku?" Valerian menatap Elara dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku melakukan ini karena aku mencintaimu, Elara," ucapnya. "Aku tahu, ini mungkin sulit untuk kau percaya. Tapi, itu adalah kebenaran." "Aku bergabung dengan Penyembah Kegelapan karena aku ingin melindungimu," lanjut Valerian. "Aku tahu bahwa mereka mengincar artefak itu, dan aku ingin memastikan bahwa kau aman." "Tapi, dengan bergabung dengan mereka, kau justru membahayakan diriku," balas Elara dengan nada marah. "Kau tahu bahwa aku tidak akan pernah setuju dengan apa yang mereka lakukan." "Aku tahu," ucap Valerian. "Tapi, aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan. Aku merasa tidak berdaya. Aku merasa tidak mampu melindungimu." Elara terdiam sejenak. Ia mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dengar. Ia tidak tahu apakah ia harus mempercayai Valerian atau tidak. "Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan," ucap Elara akhirnya. "Aku butuh waktu untuk memikirkannya." "Aku mengerti," ucap Valerian. "Aku akan memberikanmu waktu sebanyak yang kau butuhkan. Tapi, aku mohon, percayalah padaku. Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu." Tiba-tiba, Lilith berteriak dengan marah. "Valerian! Apa yang kau lakukan? Cepat bunuh dia!" Valerian mengabaikan Lilith dan membantu Elara berdiri. "Kita harus pergi dari sini," ucapnya. "Ini terlalu berbahaya." "Ke mana kita akan pergi?" tanya Elara. "Aku tahu tempat yang aman," jawab Valerian. "Ikut aku." Valerian memegang tangan Elara dan berlari bersamanya ke dalam hutan. Mereka berlari sejauh mungkin, berusaha menjauh dari Lilith dan para pengikutnya. Saat mereka berlari, Elara terus memikirkan tentang apa yang baru saja terjadi. Ia tidak tahu apakah ia harus mempercayai Valerian atau tidak. Ia merasa bingung, marah, dan sedih pada saat yang bersamaan. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," gumam Elara pada dirinya sendiri. "Aku merasa seperti aku sedang bermimpi buruk." Valerian mendengar gumaman Elara dan menggenggam tangannya lebih erat. "Aku tahu ini sulit untukmu, Elara," ucapnya. "Tapi, aku janji, aku akan menjelaskan semuanya padamu. Aku akan membuktikan padamu bahwa kau bisa mempercayaiku. Aku akan membawamu ke tempat yang aman, di mana kita bisa bicara dengan tenang." Elara menatap Valerian, mencoba mencari kebenaran di matanya. Ia melihat penyesalan, cinta, dan tekad. Tapi, ia juga melihat sesuatu yang lain: ketakutan. Ketakutan yang sama yang ia rasakan sendiri. "Baiklah," ucap Elara akhirnya, suaranya pelan. "Aku akan ikut denganmu. Tapi, aku bersumpah, jika kau berbohong padaku, aku tidak akan ragu untuk membunuhmu." Valerian mengangguk. "Aku mengerti," ucapnya. "Aku tidak akan mengecewakanmu." Mereka terus berlari, menyusuri jalan setapak yang tersembunyi di dalam hutan. Mereka tidak tahu ke mana mereka akan pergi, atau apa yang akan mereka temukan di sana. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka harus terus berlari, menjauh dari bahaya yang mengintai di belakang mereka. Saat mereka berlari, Elara merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasakan kehadiran kekuatan magis yang kuat di sekitarnya. Kekuatan itu terasa familiar, tetapi juga berbeda dari apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya. "Apa itu?" tanya Elara, berhenti tiba-tiba. Valerian berhenti dan menatap Elara dengan tatapan bingung. "Apa yang kau rasakan?" tanyanya. "Aku merasakan kekuatan magis yang kuat," jawab Elara. "Aku tidak tahu apa itu, tapi itu membuatku merasa tidak nyaman." Valerian terdiam sejenak. Kemudian, ia menghela napas panjang. "Aku tahu apa itu," ucapnya. "Itu adalah Jantung Kegelapan." Elara terkejut mendengar nama itu. Jantung Kegelapan adalah artefak kuno yang sangat kuat, yang konon memiliki kekuatan untuk menghancurkan dunia. Klan Elara telah menjaga Jantung Kegelapan selama berabad-abad, mencegahnya jatuh ke tangan yang salah. "Apa yang terjadi?" tanya Elara. "Mengapa Jantung Kegelapan ada di sini?" "Aku tidak tahu," jawab Valerian. "Tapi, aku punya firasat buruk tentang ini." Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh yang keras dari arah depan mereka. Pohon-pohon berguncang dengan hebat, dan tanah bergetar di bawah kaki mereka. "Apa itu?" tanya Elara, ketakutan. Valerian menatap Elara dengan tatapan serius. "Aku tidak tahu," ucapnya. "Tapi, aku rasa kita akan segera mengetahuinya."Elara melangkah dengan berat meninggalkan tubuh Valerian yang terbaring damai di lorong. Setiap langkahnya terasa seperti mengoyak hatinya, seperti mengkhianati janji untuk selalu bersama. Namun ia tahu, Valerian akan menginginkan ini. Valerian akan memintanya untuk tidak menyerah, untuk terus berjuang demi Lembah Sunyi. Ia harus melanjutkan, meskipun setiap sel dalam tubuhnya memberontak, memohon untuk tetap tinggal, untuk mendekap Valerian selamanya.Air mata terus mengalir di pipinya, membasahi jubahnya yang sudah kotor dan berlumuran darah. Ia genggam erat busurnya, seolah mencari kekuatan dari sentuhan kayu yang kasar. Busur itu adalah saksi bisu dari banyak petualangan mereka, dari latihan memanah di hutan hingga pertempuran sengit melawan monster. Busur itu adalah bagian dari dirinya, dan kini ia menggenggamnya erat, seolah menggenggam sisa-sisa Valerian yang masih bisa ia raih. Ia berjanji, ia tidak akan pernah melupakan cintanya.Namun, baru beberapa langkah Elara berjalan, i
Lorong itu terasa lebih dingin dari sebelumnya. Hawa kematian menyelimuti mereka, membuat bulu kuduk Elara dan Valerian meremang. Makhluk itu, dengan mata merah menyala, menatap mereka dengan penuh kebencian. "Kalian pikir bisa lolos begitu saja?" geram makhluk itu, suaranya serak dan mengancam. "Kuil ini akan menjadi kuburan kalian!" Makhluk itu melesat maju, pedangnya menebas dengan kecepatan kilat. Valerian dengan sigap menghadang serangan itu dengan pedangnya. Denting senjata beradu menggema di lorong sempit, menciptakan percikan api yang menari-nari dalam kegelapan. Elara, dengan cekatan, menarik busurnya dan membidik makhluk itu. Anak panah melesat dengan akurat, namun makhluk itu dengan mudah menepisnya dengan pedangnya. Pertempuran sengit pun tak terhindarkan. Valerian dan Elara bertarung dengan sekuat tenaga, namun makhluk itu terlalu kuat. Ia bergerak dengan lincah, serangannya brutal dan tanpa ampun. Valerian terhuyung mundur, merasakan sakit yang membakar di lengannya
"...Ujian yang kedua: Ujian Kesetiaan." Suara itu akhirnya menyelesaikan kalimatnya, menggema di seluruh ruangan. Elara dan Valerian saling pandang dengan cemas. Kesetiaan. Apa maksudnya? Siapa yang harus mereka setiai? Dan apa yang akan terjadi jika mereka gagal? "Kesetiaan?" tanya Valerian, mengerutkan kening. "Apa maksud dari semua ini?" "Aku tidak tahu," jawab Elara, menggigit bibirnya. "Tapi aku merasa ini ada hubungannya dengan masa lalu kita." "Di depan kalian, terdapat sebuah cermin," lanjut suara itu. "Cermin itu akan menunjukkan kepada kalian masa lalu kalian. Kalian akan melihat semua kesalahan dan kegagalan yang pernah kalian lakukan. Kalian akan melihat semua orang yang pernah kalian khianati. Jika kalian berhasil menerima masa lalu kalian dan tetap setia pada diri sendiri dan pada satu sama lain, maka kalian akan lulus ujian ini. Tetapi jika kalian gagal, maka kalian akan terjebak di dalam masa lalu kalian selamanya." Elara menelan ludah. Ia merasa takut dan gu
Valerian mendekat dan mengamati batu itu dengan seksama. Ia tidak melihat atau merasakan sesuatu yang istimewa, tetapi ia mempercayai intuisi Elara. Ia tahu bahwa Elara memiliki hubungan yang kuat dengan alam dan kekuatan magis di sekitarnya. "Baiklah," kata Valerian. "Mari kita coba. Apa yang harus kita lakukan?" Elara memejamkan matanya dan berkonsentrasi. Ia mencoba merasakan energi yang terpancar dari batu itu, dan mencoba memahami makna dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. Setelah beberapa saat, ia membuka matanya dan berkata, "Aku tahu. Kita harus menyentuh batu itu bersama-sama, dan mengucapkan mantra yang pernah diajarkan oleh ayahku." Valerian mengangguk setuju. Ia berdiri di samping Elara dan menyentuh batu itu dengan tangannya. Elara mulai mengucapkan mantra dalam bahasa kuno yang terdengar asing dan misterius. Suara Elara mengalun seperti melodi kuno, dipenuhi dengan kekuatan dan keajaiban. Setiap suku kata yang ia ucapkan seolah beresonansi dengan energi
Saat Valerian menyelesaikan kalimatnya, pepohonan di sekitar mereka mulai bergoyang dengan lebih hebat. Angin bertiup semakin kencang, membawa serta aroma belerang yang menyengat hidung. Langit semakin gelap, tertutup awan hitam pekat yang menggantung rendah. Kilatan petir sesekali menyambar, menerangi hutan dengan cahaya pucat yang menakutkan. Tiba-tiba, dari arah depan mereka, munculah sesosok makhluk yang sangat besar dan mengerikan. Makhluk itu memiliki tubuh seperti manusia, tetapi tingginya mencapai tiga meter. Kulitnya tampak seperti batu bara yang membara, memancarkan panas yang luar biasa. Matanya adalah dua lubang api yang menyala tanpa henti, dan dari mulutnya keluar asap tebal yang berbau busuk. Ia memiliki otot-otot yang besar dan kuat, dan di punggungnya tumbuh sayap bergerigi yang terbuat dari obsidian. Di tangannya, ia menggenggam sebuah palu godam yang terbuat dari logam hitam dan berhiaskan tengkorak manusia. "Makhluk itu..." Elara berbisik, suaranya tercekat di
Elara memejamkan matanya, pasrah pada nasibnya. Para pria bertopeng itu semakin mendekat, pisau-pisau mereka berkilauan di bawah cahaya rembulan yang masuk melalui celah-celah dinding gubuknya. Ia tahu, inilah akhir dari perjalanannya. Ia gagal melindungi artefak itu, ia gagal melindungi Lembah Sunyi, dan ia gagal membalas dendam atas kematian ayahnya. Namun, sebelum para pria bertopeng itu sempat menyentuhnya, terdengar suara teriakan yang memekakkan telinga. Para pria bertopeng itu berhenti, menoleh ke arah suara itu. Dari balik pepohonan, muncul sesosok pria yang berlari dengan kecepatan tinggi. Pria itu mengenakan pakaian serba hitam dan memegang pedang yang berkilauan. "Valerian!" seru Elara, matanya membulat karena terkejut. Valerian adalah sahabatnya sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, bermain bersama, dan belajar bersama. Mereka saling percaya dan saling menyayangi seperti saudara kandung. Namun, Elara tidak pernah menyangka bahwa Valerian akan muncul di sini, di saat-







