Share

Kuil yang hilang

last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-09 13:40:31

Saat Valerian menyelesaikan kalimatnya, pepohonan di sekitar mereka mulai bergoyang dengan lebih hebat. Angin bertiup semakin kencang, membawa serta aroma belerang yang menyengat hidung. Langit semakin gelap, tertutup awan hitam pekat yang menggantung rendah. Kilatan petir sesekali menyambar, menerangi hutan dengan cahaya pucat yang menakutkan.

Tiba-tiba, dari arah depan mereka, munculah sesosok makhluk yang sangat besar dan mengerikan. Makhluk itu memiliki tubuh seperti manusia, tetapi tingginya mencapai tiga meter. Kulitnya tampak seperti batu bara yang membara, memancarkan panas yang luar biasa. Matanya adalah dua lubang api yang menyala tanpa henti, dan dari mulutnya keluar asap tebal yang berbau busuk. Ia memiliki otot-otot yang besar dan kuat, dan di punggungnya tumbuh sayap bergerigi yang terbuat dari obsidian. Di tangannya, ia menggenggam sebuah palu godam yang terbuat dari logam hitam dan berhiaskan tengkorak manusia.

"Makhluk itu..." Elara berbisik, suaranya tercekat di tenggorokan. Ketakutan yang luar biasa mencengkeramnya, membuatnya sulit bernapas. Ia merasakan hawa panas yang membakar kulitnya, bahkan dari jarak yang cukup jauh.

"Itu adalah Utusan Bara," sahut Valerian dengan nada ngeri. Ia menggenggam erat pedangnya, bersiap menghadapi pertempuran yang mungkin menjadi pertempuran terakhir mereka. "Makhluk yang diciptakan langsung dari Jantung Kegelapan untuk menghancurkan mereka yang menentangnya. Kekuatannya tak terbayangkan."

Utusan Bara itu meraung dengan suara yang membuat tulang bergetar, membuat tanah bergetar di bawah kaki mereka. Raungannya menggema di seluruh hutan, membuat binatang-binatang buas lari ketakutan. Ia mengayunkan palu godamnya, menciptakan gelombang kejut yang merobohkan pepohonan di sekitarnya. Pohon-pohon besar tumbang dengan suara gemuruh, menghancurkan semak-semak dan bebatuan di bawahnya.

"Kita harus lari!" seru Elara, menarik tangan Valerian. "Kita tidak bisa melawan makhluk seperti itu. Kita akan mati!"

Valerian mengangguk setuju. Mereka berdua berlari secepat mungkin, berusaha menjauh dari Utusan Bara. Mereka berlari menyusuri hutan yang semakin gelap dan berbahaya, menghindari rintangan dan jebakan yang mungkin ada di hadapan mereka. Mereka melompat melewati akar-akar pohon yang menjulang tinggi, menghindari bebatuan yang tajam, dan menerobos semak-semak berduri.

Utusan Bara itu mengejar mereka dengan kecepatan yang luar biasa. Ia terbang rendah di atas pepohonan, menghancurkan segala sesuatu yang menghalangi jalannya. Palu godamnya terus mengayun, menghancurkan hutan di belakang mereka. Api berkobar di mana-mana, mengubah hutan menjadi lautan api.

"Kita tidak bisa lari darinya!" seru Valerian, melihat ke belakang. Keringat membasahi wajahnya, dan napasnya tersengal-sengal. "Dia terlalu cepat! Dan terlalu kuat! Kita harus melakukan sesuatu, atau kita akan terbakar hidup-hidup!"

Elara berpikir keras. Otaknya berputar mencari cara untuk menghentikan Utusan Bara. Ia harus menemukan cara untuk melindungi diri mereka sendiri dan Lembah Sunyi dari kehancuran. Tiba-tiba, ia teringat akan sebuah legenda kuno yang pernah diceritakan oleh ayahnya.

"Aku tahu!" seru Elara. Ia berhenti berlari, membuat Valerian ikut berhenti. "Ada sebuah artefak kuno yang bisa melemahkan makhluk seperti dia. Artefak itu tersembunyi di dalam kuil yang hilang di tengah hutan."

"Kuil yang hilang?" tanya Valerian dengan nada ragu. Ia menatap Elara dengan tatapan tidak percaya. "Apakah itu benar-benar ada? Aku belum pernah mendengarnya. Itu hanya cerita rakyat, Elara!"

"Itu adalah legenda," jawab Elara dengan nada mendesak. "Tapi aku yakin itu benar. Ayahku pernah mengatakan bahwa kuil itu dijaga oleh kekuatan magis yang sangat kuat. Hanya orang yang memiliki hati yang murni yang bisa masuk ke dalamnya, dan hanya mereka yang berani menghadapi ujian terberat yang bisa mendapatkan artefak itu. Kita tidak punya pilihan lain, Valerian! Ini satu-satunya harapan kita!"

Valerian terdiam sejenak, menimbang-nimbang kata-kata Elara. Ia melihat tekad yang membara di mata Elara, dan ia tahu bahwa ia tidak bisa menolaknya. Ia juga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Jika mereka terus berlari, mereka pasti akan tertangkap dan dibunuh oleh Utusan Bara.

"Baiklah," ucap Valerian akhirnya, menghela napas panjang. "Kita akan pergi ke kuil yang hilang. Tapi kita harus berhati-hati, Elara. Jika legenda itu benar, maka kuil itu pasti dipenuhi dengan bahaya dan jebakan. Kita harus siap menghadapi apa pun yang ada di depan kita."

Elara mengangguk setuju. Mereka berbelok arah dan berlari menuju kuil yang hilang. Mereka berlari dengan sekuat tenaga, menghindari serangan Utusan Bara yang semakin gencar. Mereka berlari melewati hutan yang terbakar, melompati kobaran api, dan menghindari reruntuhan pohon yang tumbang.

Setelah berlari cukup jauh, mereka akhirnya tiba di sebuah tempat yang aneh. Pepohonan di sekitar mereka tampak layu dan mati. Tanah di bawah kaki mereka terasa panas dan berpasir. Udara terasa dingin dan menyesakkan. Di tengah tempat itu, terdapat sebuah reruntuhan bangunan yang tertutup lumut dan tanaman merambat. Batu-batunya tampak hitam dan hangus, seolah-olah pernah dilalap api yang dahsyat.

"Ini dia," ucap Elara, menunjuk ke reruntuhan bangunan itu. "Ini adalah kuil yang hilang."

Valerian menatap reruntuhan bangunan itu dengan tatapan ragu. Ia merasakan aura yang kuat dan menakutkan yang terpancar dari tempat itu. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, dan ia mendengar bisikan-bisikan aneh yang seolah-olah memanggil namanya.

"Apakah kau yakin?" tanyanya kepada Elara, suaranya bergetar. "Tempat ini tampak sangat berbahaya. Aku merasakan kekuatan jahat yang sangat besar di sini. Aku tidak suka perasaan ini, Elara."

"Aku yakin," jawab Elara dengan nada mantap. Ia mencoba menyembunyikan rasa takutnya, tetapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia juga merasakan aura yang menakutkan itu, dan ia juga mendengar bisikan-bisikan aneh itu. Tetapi ia tahu bahwa mereka harus masuk ke dalam kuil itu, jika mereka ingin mengalahkan Utusan Bara dan menyelamatkan Lembah Sunyi.

Elara berpikir sejenak. Ia melihat sekeliling, mencari petunjuk. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah batu besar yang terletak di dekat pintu masuk utama. Batu itu tampak berbeda dari batu-batu lainnya. Batu itu memiliki ukiran yang aneh dan misterius.

"Lihat itu!" seru Elara, menunjuk ke batu itu. "Aku merasa batu itu adalah kuncinya!" seru Elara, menunjuk ke batu besar yang terletak di dekat pintu masuk utama. Batu itu tampak berbeda dari batu-batu lainnya. Batu itu memiliki ukiran yang aneh dan misterius. Simbol-simbol itu seolah-olah berdenyut dengan energi yang lembut, namun kuat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Ujian Pengorbanan

    Lorong itu terasa lebih dingin dari sebelumnya. Hawa kematian menyelimuti mereka, membuat bulu kuduk Elara dan Valerian meremang. Makhluk itu, dengan mata merah menyala, menatap mereka dengan penuh kebencian. "Kalian pikir bisa lolos begitu saja?" geram makhluk itu, suaranya serak dan mengancam. "Kuil ini akan menjadi kuburan kalian!" Makhluk itu melesat maju, pedangnya menebas dengan kecepatan kilat. Valerian dengan sigap menghadang serangan itu dengan pedangnya. Denting senjata beradu menggema di lorong sempit, menciptakan percikan api yang menari-nari dalam kegelapan. Elara, dengan cekatan, menarik busurnya dan membidik makhluk itu. Anak panah melesat dengan akurat, namun makhluk itu dengan mudah menepisnya dengan pedangnya. Pertempuran sengit pun tak terhindarkan. Valerian dan Elara bertarung dengan sekuat tenaga, namun makhluk itu terlalu kuat. Ia bergerak dengan lincah, serangannya brutal dan tanpa ampun. Valerian terhuyung mundur, merasakan sakit yang membakar di lengannya

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Ujian Kesetiaan

    "...Ujian yang kedua: Ujian Kesetiaan." Suara itu akhirnya menyelesaikan kalimatnya, menggema di seluruh ruangan. Elara dan Valerian saling pandang dengan cemas. Kesetiaan. Apa maksudnya? Siapa yang harus mereka setiai? Dan apa yang akan terjadi jika mereka gagal? "Kesetiaan?" tanya Valerian, mengerutkan kening. "Apa maksud dari semua ini?" "Aku tidak tahu," jawab Elara, menggigit bibirnya. "Tapi aku merasa ini ada hubungannya dengan masa lalu kita." "Di depan kalian, terdapat sebuah cermin," lanjut suara itu. "Cermin itu akan menunjukkan kepada kalian masa lalu kalian. Kalian akan melihat semua kesalahan dan kegagalan yang pernah kalian lakukan. Kalian akan melihat semua orang yang pernah kalian khianati. Jika kalian berhasil menerima masa lalu kalian dan tetap setia pada diri sendiri dan pada satu sama lain, maka kalian akan lulus ujian ini. Tetapi jika kalian gagal, maka kalian akan terjebak di dalam masa lalu kalian selamanya." Elara menelan ludah. Ia merasa takut dan gu

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Ujian Keberanian

    Valerian mendekat dan mengamati batu itu dengan seksama. Ia tidak melihat atau merasakan sesuatu yang istimewa, tetapi ia mempercayai intuisi Elara. Ia tahu bahwa Elara memiliki hubungan yang kuat dengan alam dan kekuatan magis di sekitarnya. "Baiklah," kata Valerian. "Mari kita coba. Apa yang harus kita lakukan?" Elara memejamkan matanya dan berkonsentrasi. Ia mencoba merasakan energi yang terpancar dari batu itu, dan mencoba memahami makna dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. Setelah beberapa saat, ia membuka matanya dan berkata, "Aku tahu. Kita harus menyentuh batu itu bersama-sama, dan mengucapkan mantra yang pernah diajarkan oleh ayahku." Valerian mengangguk setuju. Ia berdiri di samping Elara dan menyentuh batu itu dengan tangannya. Elara mulai mengucapkan mantra dalam bahasa kuno yang terdengar asing dan misterius. Suara Elara mengalun seperti melodi kuno, dipenuhi dengan kekuatan dan keajaiban. Setiap suku kata yang ia ucapkan seolah beresonansi dengan energi

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Kuil yang hilang

    Saat Valerian menyelesaikan kalimatnya, pepohonan di sekitar mereka mulai bergoyang dengan lebih hebat. Angin bertiup semakin kencang, membawa serta aroma belerang yang menyengat hidung. Langit semakin gelap, tertutup awan hitam pekat yang menggantung rendah. Kilatan petir sesekali menyambar, menerangi hutan dengan cahaya pucat yang menakutkan. Tiba-tiba, dari arah depan mereka, munculah sesosok makhluk yang sangat besar dan mengerikan. Makhluk itu memiliki tubuh seperti manusia, tetapi tingginya mencapai tiga meter. Kulitnya tampak seperti batu bara yang membara, memancarkan panas yang luar biasa. Matanya adalah dua lubang api yang menyala tanpa henti, dan dari mulutnya keluar asap tebal yang berbau busuk. Ia memiliki otot-otot yang besar dan kuat, dan di punggungnya tumbuh sayap bergerigi yang terbuat dari obsidian. Di tangannya, ia menggenggam sebuah palu godam yang terbuat dari logam hitam dan berhiaskan tengkorak manusia. "Makhluk itu..." Elara berbisik, suaranya tercekat di

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Bayangan Masa Lalu

    Elara memejamkan matanya, pasrah pada nasibnya. Para pria bertopeng itu semakin mendekat, pisau-pisau mereka berkilauan di bawah cahaya rembulan yang masuk melalui celah-celah dinding gubuknya. Ia tahu, inilah akhir dari perjalanannya. Ia gagal melindungi artefak itu, ia gagal melindungi Lembah Sunyi, dan ia gagal membalas dendam atas kematian ayahnya. Namun, sebelum para pria bertopeng itu sempat menyentuhnya, terdengar suara teriakan yang memekakkan telinga. Para pria bertopeng itu berhenti, menoleh ke arah suara itu. Dari balik pepohonan, muncul sesosok pria yang berlari dengan kecepatan tinggi. Pria itu mengenakan pakaian serba hitam dan memegang pedang yang berkilauan. "Valerian!" seru Elara, matanya membulat karena terkejut. Valerian adalah sahabatnya sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, bermain bersama, dan belajar bersama. Mereka saling percaya dan saling menyayangi seperti saudara kandung. Namun, Elara tidak pernah menyangka bahwa Valerian akan muncul di sini, di saat-

  • Elara: Penjaga Lembah Sunyi   Warisan dan Pengkhianatan

    Elara tertegun, menyaksikan makhluk mengerikan itu mengamuk di hadapannya. Pria bertopeng, yang tadinya tampak begitu mengancam, kini tampak ciut dan ketakutan. Makhluk itu, dengan raungan memekakkan telinga, menerjang pria bertopeng itu, mencabik-cabik jubah hitamnya dengan cakar-cakar tajamnya. "Apa... apa itu?" bisik Elara, matanya membulat karena terkejut. Makhluk itu terlalu fokus pada pria bertopeng untuk memperhatikannya. Elara, dengan hati-hati, mundur selangkah demi selangkah, berusaha menjauh dari pertempuran yang mengerikan itu. Ia tahu bahwa meskipun makhluk itu membantunya saat ini, makhluk itu tetaplah ancaman yang sangat besar. "Aku harus pergi dari sini," gumamnya pada dirinya sendiri. "Ini terlalu berbahaya." Namun, sebelum ia sempat melarikan diri, pria bertopeng itu berhasil melepaskan diri dari cengkeraman makhluk itu. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan bom asap ke tanah. Asap tebal langsung mengepul, menutupi seluruh area. "Sial!" umpat Elara. Ia terba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status