LOGINLara ingat benar, saat ia menjadi Adel dulu, ia juga pernah merasa selelah ini.
Bukan bukan karena pekerjaan atau pulang terlambat karena terjebak macet bukan. Tapi karena ia seharian menjadi bride's maid pada acara nikahan kakak tirinya. Adel yang introvert, yang perlu ber'gua' selama sehari penuh setelah 6 hari kerja itu benar-benar merasa energinya habis terkuras. Mirip seperti sekarang ini. Sepulangnya ia dari pesta -yang kata paduka itu kecil- ia langsung merebahkan diri di kasur besarnya. Lara menghela nafas dalam-dalam, memejamkan matanya. Mengingatkan dirinya kalau ini baru hari pertama kehidupan resminya sebagai putri Elara Sinclair. Lara meringis membayangkan bagaimana nasib ia di hari-hari selanjutnya. Baru saja ia memejamkan matanya, suara ketukan pintu terdengar. "Putri, yang mulia permaisuri ingin berkunjung." sialan. runtuknya dalam hati. Rasa-rasanya Lara ingin mengunci pintu kamarnya, menyumpal telinganya, tidak peduli siapa yang berdiri di depan pintu kamarnya. Ia hanya ingin tidur sekarang! Tapi Lara tidak mau mati terlalu awal dalam cerita ini. Tidak lucu jika sang permaisuri malah naik pitam dan membunuhnya karena ia membangkang bukan? Dengan langkah gontai, lara membuka pintu kamarnya. Sang permaisuri dengan rambut pirang dan mata selegam malam berjalan masuk. Dagunya sedikit terangkat, dan beliaupun langsung duduk di kursi tanpa menunggu Lara mempersilahkannya. Dasar nenek lampir, makinya dalam hati. Tenang lara, senyum. Senyum karirnya keluarin ayo! perintahnya dalam hati. Tapi baru saja ia ingin tersenyum, tiba-tiba saja Lara merasakan nafasnya sesak bukan main. Dadanya sakit, sakit sekali. "Hah, kau malah berakting lagi." Sahut sang permaisuri. Lara yang masih berusaha menangkap oksigen dengan paru-parunya merasakan lututnya melemas. Ia jatuh berlutut, kepalanya mulai berkunang-kunang. Ini, apakah ia akan mati sekarang? batinnya. sesak, tolong aku. Lara berusaha berteriak, tapi tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. "Tuan Putri!" Cornell panik, ia berangsut mendekati Tuannya tapi pelayan sang permaisuri menahannya. "Aku bahkan belum menyentuhnya sama sekali, tapi dia sudah kesulitan nafas seperti ikan terdampar di daratan." Sahut permaisuri, ada nada senang di dalamnya, "Biarkan dia seperti ini dulu, setengah menit tidak akan membuatnya mati, bukan?" tanyanya retoris. Tidak ada satupun pelayan yang berani menjawabnya. Mereka tahu betul bahwa sang putri bisa saja mati saat ini. Tapi mereka tidak mau melawan permaisuri. Lara sudah kebas, ia sudah tidak bisa merasakan apapun. Dalam hatinya ia sangat yakin kalau dia akan mati saat ini juga. mati lagi. Bibirnya sudah membiru, tapi beberapa detik sebelum Lara memejamkan mata, ia merasakan tangan Cornell yang kasar itu memegang kepala dan menahan bahunya. "Minum ini putri, tolong." Entah bagaimana atau apa yang ia minum saat ini, tapi Lara bisa merasakan tubuhnya menghangat dan nafasnya kembali lagi perlahan. Tangannya mencengkram Cornell dan menangis terisak. Benar-benar menangis, meraung. Permaisuri di hadapannya malah tertawa terbahak-bahak, " Sebegitu takutnya kamu padaku, hm tuan putri?" Wanita paruh baya yang luar biasa anggun itu melipat kakinya. Tangannya menyentuh dagunya, membuat pose berpikir, "Aku cukup terhibur, tapi rasanya aku kurang puas." Permaisuri mendekat dan menjambak rambut Lara. Lara memekik tertahan, "Lihat aku." Bukannya tatapan ketakutan yang ia dapatkan, tapi malah tatapan marah. Alis permaisuri terangkat, tidak pernah seumur hidupnya ia mendapatkan tatapan seperti itu. Bahkan dari Luiz dan Lioren, anak-anak kandungnya sekalipun. Maka wanita paruh baya itupun mempererat jambakannya, "Apa? kau mau melawanku? Gadis tak tahu diri." Permaisuri menghempaskan rambut Lara sekaligus hingga gadis itu tersungkur. "Melihatku saja kau sampai sesak nafas, bagaimana bisa kau melawanku? harusnya kau bersyukur aku membiarkanmu bernafas lebih lama dari ibumu." "Anak bajingan." DEG. Lara bergetar mendengarnya. Tangannya mulai tremor, punggungnya terasa dingin dan ia mulai berkeringat dingin. Lara melihat kedua tangannya yang bergetar. Kenapa? kenapa lagi dengan tubuh ini? batinnya berteriak bingung. Dan ia teringat bahwa frasa 'anak bajingan' pernah ia dengar sebelumnya, di mimpi tentang memori Elara. Lara berusaha mengepalkan tangannya yang bergetar. "Sudah puas, yang mulia? silahkan pergi." Ujar Lara disela-sela nafasnya yang lemah. Baik Cornell maupun pelayan sang permaisuri yang ia tak tahu namanya itu melotot kaget. Sama-sekali tidak menyangka bahwa sang putri masih sanggup melawan padahal tadi ia nyaris mati. "KAU!" Tangan permaisuri sudah melayang, Lara memejamkan matanya bersiap mendapatkan tamparan, namun tidak ada. Ia membuka tangannya dan melihat sang pelayan menahan tangan permaisuri. "Jangan yang mulia, luka itu akan terlihat. Bisa jadi besok paduka mengunjungi putri dan itu akan menjadi masalah besar." Ujar sang pelayan tenang. Seolah ia sudah sangat-sangat terbiasa dengan tindakan permaisuri yang seperti itu. "Ck, " permaisuri berdecak kesal, "Mana jarumku? " "Yang mulia, paduka masih ada di ista-" "Aku tak peduli, cepat berikan padaku! " Lara membelalakkan matanya, Cornell hanya diam, matanya sudah berkaca-kaca. Disinilah neraka awal dimulai ***Lara bangun dengan posisi tengkurap. Punggungnya sakit karena beberapa tusukan jarum dan rasanya ia terlalu lelah untuk sekedar menangis. Jadi begini rasanya jadi tokoh yang disiksa di sinetron-sinetron itu? pikirnya. Lara berpikir, bagaimana dulu Elara hidup ya... apakah ia akan menangis di pagi harinya, atau berakhir mengisolasi diri seperti yang selalu ia lakukan (sebagai Elara). kalau Lara ... ia marah. Ia tak terima diperlakukan seperti ini. Tapi jelas tidak mungkin untuk langsung mendatangi permaisuri dan menamparnya. Ya kalau begitu ceritanya hidupnya akan tamat dan novel ini akan berjalan sesuai alur lamanya. Tapi sekarang 'kan Adelia - yang ada di dalam tubuh Elara, ini sangat sekali ingin hidup. Adelia - yang mendeklarasikan dirinya sebagai Lara- ini hanya terdiam sambil menunggu obat yang akan di bawakan oleh Cornell. Punggungnya sakit, tentu saja. Tapi hatinya tidak sesedih itu untuk menangis. Entah karena ia sudah tahu bahwa ia akan disiksa cepat atau lambat, atau h
Lara ingat benar, saat ia menjadi Adel dulu, ia juga pernah merasa selelah ini. Bukan bukan karena pekerjaan atau pulang terlambat karena terjebak macet bukan. Tapi karena ia seharian menjadi bride's maid pada acara nikahan kakak tirinya. Adel yang introvert, yang perlu ber'gua' selama sehari penuh setelah 6 hari kerja itu benar-benar merasa energinya habis terkuras. Mirip seperti sekarang ini. Sepulangnya ia dari pesta -yang kata paduka itu kecil- ia langsung merebahkan diri di kasur besarnya. Lara menghela nafas dalam-dalam, memejamkan matanya. Mengingatkan dirinya kalau ini baru hari pertama kehidupan resminya sebagai putri Elara Sinclair. Lara meringis membayangkan bagaimana nasib ia di hari-hari selanjutnya. Baru saja ia memejamkan matanya, suara ketukan pintu terdengar. "Putri, yang mulia permaisuri ingin berkunjung." sialan. runtuknya dalam hati. Rasa-rasanya Lara ingin mengunci pintu kamarnya, menyumpal telinganya, tidak peduli siapa yang berdiri di depan pint
Lara menunggu Lioren dan Kael sambil melihat-lihat makanan yang ada di pesta ini. matanya berbinar saat melihat macaroon dan pudding custard di bagian dessert. "Semuanya, terimakasih telah menghadiri pesta ini, " Paduka secara tiba-tiba berkata, "mungkin beberapa dari kalian heran, untuk apa pesta ini? Hari ini bukan ulang tahunku maupun permaisuri, " Paduka tersenyum, ada kebanggaan tercermin di senyumnya. Lara berpikir, setampan apa paduka saat muda, jika di usia tua pun beliau masih bisa memancarkan senyuman semenawan ini. "Aku secara personal mengadakan pesta ini untuk kesembuhan salah satu putri tercintaku yang seperti kalian tahu, ia mengalami koma beberapa waktu yang lalu." Lara tersentak kaget, jangan bilang dia... dia yang akan disoraki dengan gembira. Tidak, tolong, ia tidak butuh spotlight, dia hanya ingin hidup damai di kehidupan ini... "Semuanya tepuk tangan untuk putriku, Elara Sinclair!" Semua pasang mata, benar-benar semua orang di ruangan ini, melihat Lara yang
Namanya Arkael. Bangsawan negeri Etheria dan juga calon penerus penyihir utama kerajaan ini. Badannya cukup proposional. Tinggi dengan short torso, bagian atas badannya terlihat pendek karena kakinya sangat panjang. Kulitnya putih, mungkin lebih putih dari Elara. Rambut hitam legam senada dengan matanya. Ia memakai kacamata bulat, sekilas mengingatkan Elara pada tokoh Harry Potter tapi versi Asia timur. Wajahnya kecil jika dibandingkan dengan bahunya yang lebar. Ah, melihat dia mengingatkannya pada karakter manhwa yang dulu sering ia baca. Secara keseluruhan pria itu menarik.Tapi Lara tahu benar, Arkael tidak akan bisa ditakdirkan dengan Elara.Tapi sekarang Elara bukan Elara yang sesungguhnya.Tatapan mereka bertemu. Lara gugup dan berusaha mengedarkan pandangannya ke arah lain, berusaha menghindar dari tatapan pria itu.“Lara, kau tahu, pria itu yang memakai jas hitam itu,” sahut Lioren, merujuk pada Arkael, “Gosipnya ia berhasil melewati ujian internal para penyihir istana, loh!”
Lara memilih gaun berwarna Hijau lembut dengan renda yang menjulang ke lantai. Ia benar-benar membongkar isi lemari Elara. Dan gaun yang satu ini adalah gaun yang paling mending diantara gaun yang lain. Lara membolak-balikkan badannya di depan cermin, memastikan dandannya sudah pantas dan cantik. Ia ingin terlihat segar dan hidup dihadapan permaisuri iblis itu. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang kau benci hidup sehat dan bahagia, bukan? Cornell menyematkan jepit terakhir di kepala Lara. Dalam hati ia sangat bahagia melihat Tuannya hari ini. Putri Lara terlihat lebih 'hidup' dari sebelumnya. Meskipun banyak sekali ingatannya yang hilang, tapi melihatnya sehat dan bahagia seperti ini sudah terasa seperti anugrah untuk Cornell. "Oke Cornell, aku siap! " Seru Lara pada Cornell, lebih ke dirinya sendiri. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa hari ini ia akan baik-baik saja. Cornell mengangguk lalu mempersilahkan Tuannya untuk berjalan terlebih dulu. ****Muka mereka
Cecilia- ibunya Elara-, memeluk Lara erat-erat. Wanita paruh baya itu sekuat tenaga berusaha menutup kedua telinga malaikat kecilnya supaya tidak mendengar hal-hal menyakitkan yang diucapkan sang permaisuri padanya. "Cecilia, kau mungkin paling dicintai. Kau mungkin cinta pertama beliau atau apalah itu. Tapi kau harus ingat," permaisuri mengangkat dagu Cecilia dengan kipasnya. Lara melihatnya, ia tidak mengerti sepenuhnya tapi ia paham bahwa permaisuri ini bukan orang baik. "Aku bisa saja membunuhmu, atau putri kecilmu ini selama sang raja tidak ada." Cecilia ketakutan, Lara bisa merasakan ibunya bergetar saking takutnya. "Jadi, ikuti kataku. Tolak jika Paduka memberimu hadiah atau penjaga baru. Aku benci melihatmu diperlakukan istimewa seperti itu." Puas melihat ketakutan Cecilia, Permaisuri duduk, meminum tehnya dan bergumam, "Lagipula apa yang ia cari darimu ya? Aku lebih muda, cantik, dan keluargaku juga menpunyai pengaruh besar untuk raja. Sedangkan kau? kau hanya anak angkat d







