เข้าสู่ระบบLara menunggu Lioren dan Kael sambil melihat-lihat makanan yang ada di pesta ini. matanya berbinar saat melihat macaroon dan pudding custard di bagian dessert.
"Semuanya, terimakasih telah menghadiri pesta ini, " Paduka secara tiba-tiba berkata, "mungkin beberapa dari kalian heran, untuk apa pesta ini? Hari ini bukan ulang tahunku maupun permaisuri, " Paduka tersenyum, ada kebanggaan tercermin di senyumnya. Lara berpikir, setampan apa paduka saat muda, jika di usia tua pun beliau masih bisa memancarkan senyuman semenawan ini. "Aku secara personal mengadakan pesta ini untuk kesembuhan salah satu putri tercintaku yang seperti kalian tahu, ia mengalami koma beberapa waktu yang lalu." Lara tersentak kaget, jangan bilang dia... dia yang akan disoraki dengan gembira. Tidak, tolong, ia tidak butuh spotlight, dia hanya ingin hidup damai di kehidupan ini... "Semuanya tepuk tangan untuk putriku, Elara Sinclair!" Semua pasang mata, benar-benar semua orang di ruangan ini, melihat Lara yang sedang berdiri tempat disamping stand pudding curstard sambil bertepuk tangan. Beberapa ada yang tersenyum, beberapa ada yang heran. Mungkin baru kali ini mereka melihat sosok Elara Sinclair dengan jelas, setelah selama ini mereka hanya mendengar dari rumor saja. Lara yang bahkan di kehidupan sebelumnya sebagai Adelia pun tidak pernah mendapatkan perhatian sebesar ini, tidak sanggup menutupi kegugupannya. Dengan canggung ia tersenyum dan sedikit dadah-dadah lalu membungkuk sedikit. Dalam hati dia meruntuk kenapa tadi pake dadah-dadah segala ?! tapi ya mau bagaimana lagi. Sekarang Lara hanya bisa bernafas pelan dengan muka semerah tomat. Sekilas ia bisa melihat beberapa lady menutup mukanya dengan kipas. Mungkin mereka menertawainya ataupun sedikit menggosipkan apa yang tadi baru saja mereka lihat. Lara sadar betul bahwa responnya tadi tidak mencerminkan putri kerajaan yang sudah dididik dengan tata cara kerajaan seumur hidupnya. "Kemarilah nak," Panggil ayahnya, sang paduka. Dada Lara tiba-tiba sakit. Ada perih yang rasanya sulit dideskripsikan yang ia rasakan. Bukan, bukan sakit seperti sesak atau apa ... tapi seperti rasa yang ... kalau saja. kalau saja ayahku dulu bisa memanggilku selembut itu. Mungkin aku tidak akan berakhir di tempat yang tidak pernah aku kenali selama ini. Lara mengenyampingkan rasa sakitnya, lalu maju ke depan menghampiri ayahnya. Beliau memegang kedua tangan Lara, seolah tangannya itu terbuat dari es tipis yang sewaktu-waktu bisa meleleh hanya karena tangannya. "Terimakasih sudah bangun, nak. Mulai sekarang, hiduplah dengan baik." Dan Lara tidak sanggup menahan lelehan air matanya. Ia terisak pelan, membuat raut paduka sedikit panik. "Kenapa? apa ada yang sakit?" "Tidak, yang mulia..." "Syukurlah." Paduka menepuk kedua bahunya, seolah mengatakan 'berhentilah menangis, kau akan baik-baik saja selama ada ayah.' "Nikmatilah makananmu Elara." Lanjutnya, " Ayah tidak pernah tahu makanan favoritmu. Tapi Cornell bilang beberapa hari ini kau banyak makan macaroon dan meminta dibuatkan custard pudding." Lara hanya menangguk, tanpa menyadari semua orang di sekitar sana membeku. Sang paduka raja memanggil dirinya sendiri dengan sebutan ayah di depan umum. Selama ini, beliau selalu memarahi anak-anaknya yang memanggilnya ayah jika sedang di dalam suatu pertemuan atau di tempat yang ada banyak orang. Tapi untuk Lara, paduka berbeda. Jangan tanya siapa yang cemburu disini. Bukan hanya permaisuri, tapi Putra mahkota Luiz dan Putri Lioren pun merasakan cemburu. Selama ini mereka berdua yang lebih sering berada di samping ayahandanya, kenapa anak itu yang diistimewakan? Kael melihat mereka semua dari jauh. Matanya mengamati dibalik bingkai kacamata bulatnya. Ia menggoyang-goyangkan gelas wine yang ia pegang. 'Mata mereka semua seperti ingin membunuh putri elara, ' batinnya, 'Padahal tidak usah dibunuh pun ia akan mati sebentar lagi, gadis yang malang. 'Kael menyesap winenya perlahan dengan mata yang tidak lepas dari Elara yang terlihat aneh. Caranya menatap sang paduka terlihat seperti kagum, mendamba. Seolah sosok paduka yang ia tahu selama ini berbeda dengan yang gadis itu temui hari ini. 'Ah, mungkin hanya perasaanku saja,' Batin Kael menyangkal.Pria itu merasa kehadirannya sudah tidak diperlukan lagi di pesta ini. Oleh karena itu, ia pergi meninggalkan ballroom yang megah itu. Namun sosok Elara belum bisa hilang dari pikirannya. Ia masih penasaran, bagaimana orang dengan chakra selemah itu masih bisa hidup seolah ia tidak apa-apa?
Kalaupun gadis itu hanya berpura-pura sehat, rasanya tidak mungkin. Normalnya, manusia dengan chakra sekecil itu mau berdiripun tidak bisa.
Sesampainya Kael di rumahnya, ia langsung berlari ke perpustakaan milik ayahnya. Kael meyakinkan diri bahwa ia hanya penasaran. Penasaran akan bagaimana cara tubuh gadis itu bekerja. Dalam hatinya, Kael merasa sangat aneh. Ia tidak pernah seperduli ini pada manusia yang baru ia kenal tidak lebih dari sehari. Tapi bayangan sosok Elara Sinclair ini tidak bisa enyah begitu saja.
Mungkin ini hanya rasa peduli dan kasihan. Batin Kael.
Dan pria yang berpikir bahwa ini hanya peduli dan kasihan itu menghabiskan malamnya dengan tumpukan buku di perpustakaan.
Lara bangun dengan posisi tengkurap. Punggungnya sakit karena beberapa tusukan jarum dan rasanya ia terlalu lelah untuk sekedar menangis. Jadi begini rasanya jadi tokoh yang disiksa di sinetron-sinetron itu? pikirnya. Lara berpikir, bagaimana dulu Elara hidup ya... apakah ia akan menangis di pagi harinya, atau berakhir mengisolasi diri seperti yang selalu ia lakukan (sebagai Elara). kalau Lara ... ia marah. Ia tak terima diperlakukan seperti ini. Tapi jelas tidak mungkin untuk langsung mendatangi permaisuri dan menamparnya. Ya kalau begitu ceritanya hidupnya akan tamat dan novel ini akan berjalan sesuai alur lamanya. Tapi sekarang 'kan Adelia - yang ada di dalam tubuh Elara, ini sangat sekali ingin hidup. Adelia - yang mendeklarasikan dirinya sebagai Lara- ini hanya terdiam sambil menunggu obat yang akan di bawakan oleh Cornell. Punggungnya sakit, tentu saja. Tapi hatinya tidak sesedih itu untuk menangis. Entah karena ia sudah tahu bahwa ia akan disiksa cepat atau lambat, atau h
Lara ingat benar, saat ia menjadi Adel dulu, ia juga pernah merasa selelah ini. Bukan bukan karena pekerjaan atau pulang terlambat karena terjebak macet bukan. Tapi karena ia seharian menjadi bride's maid pada acara nikahan kakak tirinya. Adel yang introvert, yang perlu ber'gua' selama sehari penuh setelah 6 hari kerja itu benar-benar merasa energinya habis terkuras. Mirip seperti sekarang ini. Sepulangnya ia dari pesta -yang kata paduka itu kecil- ia langsung merebahkan diri di kasur besarnya. Lara menghela nafas dalam-dalam, memejamkan matanya. Mengingatkan dirinya kalau ini baru hari pertama kehidupan resminya sebagai putri Elara Sinclair. Lara meringis membayangkan bagaimana nasib ia di hari-hari selanjutnya. Baru saja ia memejamkan matanya, suara ketukan pintu terdengar. "Putri, yang mulia permaisuri ingin berkunjung." sialan. runtuknya dalam hati. Rasa-rasanya Lara ingin mengunci pintu kamarnya, menyumpal telinganya, tidak peduli siapa yang berdiri di depan pint
Lara menunggu Lioren dan Kael sambil melihat-lihat makanan yang ada di pesta ini. matanya berbinar saat melihat macaroon dan pudding custard di bagian dessert. "Semuanya, terimakasih telah menghadiri pesta ini, " Paduka secara tiba-tiba berkata, "mungkin beberapa dari kalian heran, untuk apa pesta ini? Hari ini bukan ulang tahunku maupun permaisuri, " Paduka tersenyum, ada kebanggaan tercermin di senyumnya. Lara berpikir, setampan apa paduka saat muda, jika di usia tua pun beliau masih bisa memancarkan senyuman semenawan ini. "Aku secara personal mengadakan pesta ini untuk kesembuhan salah satu putri tercintaku yang seperti kalian tahu, ia mengalami koma beberapa waktu yang lalu." Lara tersentak kaget, jangan bilang dia... dia yang akan disoraki dengan gembira. Tidak, tolong, ia tidak butuh spotlight, dia hanya ingin hidup damai di kehidupan ini... "Semuanya tepuk tangan untuk putriku, Elara Sinclair!" Semua pasang mata, benar-benar semua orang di ruangan ini, melihat Lara yang
Namanya Arkael. Bangsawan negeri Etheria dan juga calon penerus penyihir utama kerajaan ini. Badannya cukup proposional. Tinggi dengan short torso, bagian atas badannya terlihat pendek karena kakinya sangat panjang. Kulitnya putih, mungkin lebih putih dari Elara. Rambut hitam legam senada dengan matanya. Ia memakai kacamata bulat, sekilas mengingatkan Elara pada tokoh Harry Potter tapi versi Asia timur. Wajahnya kecil jika dibandingkan dengan bahunya yang lebar. Ah, melihat dia mengingatkannya pada karakter manhwa yang dulu sering ia baca. Secara keseluruhan pria itu menarik.Tapi Lara tahu benar, Arkael tidak akan bisa ditakdirkan dengan Elara.Tapi sekarang Elara bukan Elara yang sesungguhnya.Tatapan mereka bertemu. Lara gugup dan berusaha mengedarkan pandangannya ke arah lain, berusaha menghindar dari tatapan pria itu.“Lara, kau tahu, pria itu yang memakai jas hitam itu,” sahut Lioren, merujuk pada Arkael, “Gosipnya ia berhasil melewati ujian internal para penyihir istana, loh!”
Lara memilih gaun berwarna Hijau lembut dengan renda yang menjulang ke lantai. Ia benar-benar membongkar isi lemari Elara. Dan gaun yang satu ini adalah gaun yang paling mending diantara gaun yang lain. Lara membolak-balikkan badannya di depan cermin, memastikan dandannya sudah pantas dan cantik. Ia ingin terlihat segar dan hidup dihadapan permaisuri iblis itu. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang kau benci hidup sehat dan bahagia, bukan? Cornell menyematkan jepit terakhir di kepala Lara. Dalam hati ia sangat bahagia melihat Tuannya hari ini. Putri Lara terlihat lebih 'hidup' dari sebelumnya. Meskipun banyak sekali ingatannya yang hilang, tapi melihatnya sehat dan bahagia seperti ini sudah terasa seperti anugrah untuk Cornell. "Oke Cornell, aku siap! " Seru Lara pada Cornell, lebih ke dirinya sendiri. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa hari ini ia akan baik-baik saja. Cornell mengangguk lalu mempersilahkan Tuannya untuk berjalan terlebih dulu. ****Muka mereka
Cecilia- ibunya Elara-, memeluk Lara erat-erat. Wanita paruh baya itu sekuat tenaga berusaha menutup kedua telinga malaikat kecilnya supaya tidak mendengar hal-hal menyakitkan yang diucapkan sang permaisuri padanya. "Cecilia, kau mungkin paling dicintai. Kau mungkin cinta pertama beliau atau apalah itu. Tapi kau harus ingat," permaisuri mengangkat dagu Cecilia dengan kipasnya. Lara melihatnya, ia tidak mengerti sepenuhnya tapi ia paham bahwa permaisuri ini bukan orang baik. "Aku bisa saja membunuhmu, atau putri kecilmu ini selama sang raja tidak ada." Cecilia ketakutan, Lara bisa merasakan ibunya bergetar saking takutnya. "Jadi, ikuti kataku. Tolak jika Paduka memberimu hadiah atau penjaga baru. Aku benci melihatmu diperlakukan istimewa seperti itu." Puas melihat ketakutan Cecilia, Permaisuri duduk, meminum tehnya dan bergumam, "Lagipula apa yang ia cari darimu ya? Aku lebih muda, cantik, dan keluargaku juga menpunyai pengaruh besar untuk raja. Sedangkan kau? kau hanya anak angkat d







