Elena berjalan keluar rumah, keningnya berkerut ketika melihat Alva yang membukakan pintu mobil untuknya. Tak ada niat untuk dirinya mengajak Alva ke acara reuni sekolah. Tapi kenapa dia sudah siap saja di sana?
“Kamu mau berangkat bareng Alva El?” suara mamanya membuat Elena sontak menoleh ke belakang.
“Iya tan aku akan menemaninya,” seru Alva dengan cengiran khasnya. Baru saja akan menjawab tapi Alva mendahuluinya. Elena memutar bola matanya malas, bagaimana jadinya kalau ia mengajak Alva. Apa yang harus ia katakan kalau teman-temannya bertanya siapa dia.
Elena pun berjalan mendekat ke arah Alva yang begitu percaya dirinya di sana.
“Aku mau datang ke acara reuni Va, kamu tunggu saja di sini ya,” kata Elena.
“Aku akan menemanimu,” jawab Alva dengan tangan yang mempersilahkan Elena memasuki mobilnya. Malas berdebat, Elena pun hanya menurut saja. Ia masuk dan membiarkan Alva menutup pintu itu untuknya.
Kursi kemudi mulai terisi, Alva memakai seat belt nya begitu pun Elena. Mata Elena baru menyadari sesuatu. Alva tidak mengenakan pakaian kemarin. Apa dia membawa pakaian ganti? Hari ini Alva mengenakan kemeja putih polos dengan bagian tangan yang di gulung dipadukan dengan celana jeans abu-abu. Kemeja yang dimasukan pun terlihat cukup formal namun tetap santai karena kancing atas kemeja itu Alva tak kaitkan.
“Apa kamu bawa baju ganti?” Alva menoleh seraya tersenyum, ia pun mulai menghidupkan mesin mobilnya.
“Ya, pakaian baru yang tidak terpakai kemarin. Berguna juga aku menyimpannya di mobil,” jawabnya. Elena mengangguk masih dengan memperhatikan Alva.
“Kenapa? Ku rasa tak saltum juga kan?” Elena mengerjap dan menolehkan pandangannya ke arah lain.
“Ya, lumayan,” respon Elena dengan tangan yang mengusap tengkuknya karena merasa malu sendiri telah memperhatikan Alva begitu lama. Apa dirinya terpesona dengan penampilan Alva yang simple namun tetap berkelas.
***
Pertemuan kembali bersama teman lama selalu memberikan reaksi yang berbeda pada setiap momen bahkan setiap orangnya. Ada rasa senang yang Elena rasakan tapi tak begitu kentara. Teman yang bisa dikatakan dekat dengan dirinya dulu, kini berjarak seiring berjalannya waktu dan saat ini Elena belum bertemu dengannya. Apa pertemuan kali ini akan sama seperti beberapa tahun sebelumnya. Tapi rasanya saat ini cukup berbeda. Pada acara beberapa tahun lalu tak begitu banyak yang memperhatikan kedatangannya, tapi saat ini banyak yang melirik ke arahnya. Apa karena keberadaan seseorang yang bersamanya saat ini.
Elena memperhatikan beberapa pasang mata yang terlihat terang-terangan tertuju ke arahnya dan rupanya benar. Mereka melihat seseorang yang berada di samping Elena. Alva yang terlihat begitu santai di acara orang lain. Apakah tidak ada kegugupan sama sekali dalam diri seorang Alva atau setidaknya enggan masuk dan bergabung. Tingkat kepercayaan diri Alva memang perlu di acungi jempol dalam hal ini. Tidak, bukannya Alva memanglah seperti itu, selalu percaya diri dalam hal apapun dan dimanapun.
“Apa kamu cukup populer dulu? Mereka melihat ke arahmu sejak kita masuk,” bisik Alva tepat di telinga kiri Elena.
“Ini karena keberadaan kamu Alva,” jawab Elena yang sontak membuat Alva menoleh ke arahnya.
“Benarkah?” tanya Alva seraya mengerutkan kening.
Tak lama seseorang melambaikan tangannya ke arah Elena. Elena pun mengajak Alva untuk menghampiri sekumpulan orang yang berdiri di dekat meja bundar berisi makanan manis dan terlihat menggiurkan. Penataan yang sangat cantik, membuat acara pertemuan ini semakin nyaman untuk dikunjungi.
Seperti biasa saling bertegur sapa pun dilakukan. Banyak perubahan yang Elena lihat, beberapa di antara mereka sudah datang bersama anak mereka masing-masing, bersama pasangannya dan beberapa pula ada yang masih lajang, seperti dirinya. Tapi mungkin bedanya Elena mengajak Alva untuk kali ini.
“El siapa dia?” seorang teman bernama Sera berbisik pada Elena.
“Sepertinya aku tak asing dengan seseorang yang berada di sampingmu ini,” ucap yang satunya lagi, teman sekelas Elena dulu.
Elena yang mendengar itu pun tersenyum. “Oh dia tem-“
“Salam kenal, saya Alva,” potong Alva dengan tangan yang terangkat menggamit pinggang Elena. Mata Elena terbelalak, tubuhnya merespon kaku.
Beberapa pasang mata itu tertuju pada gamitan Alva, sepertinya mereka mengerti dengan gestur tubuh yang di perlihatkan Alva.
“Akhirnya kamu bawa pacarmu juga, setelah sekian lama selalu datang sendiri hm,” goda Poni dengan kerlingan matanya. Mata Elena mengerjap ia pun melirik Alva yang tersenyum ke arah teman-temannya.
“Eh Alva buk-“
“Lain kali beritahu aku kalau ada acara, akan aku temani kemana pun pacarku pergi,” tutur Alva yang kembali memotong ucapan Elena dan semakin membulatkan mata Elena.
Tanpa rasa bersalahnya, Alva begitu sempurna memainkan perannya sesuatu yang tak pernah Elena duga sebelumnya. Alva mengaku sebagai kekasihnya. Apa-apaan Alva ini akan aku beri pelajaran kamu nanti, gerutu Elena.
Sangat berbeda Elena rasakan, ia merasa lebih banyak yang menyapanya atau bisa lebih tepat dibilang berbasa-basi menyapanya terlebih teman-teman perempuannya yang lebih sering melirik Alva ketika mendekat dan mengajak berbincang singkat. Ini rasanya seperti Elena yang menemani Alva bukannya sebaliknya.
Tak dapat dipungkiri mungkin banyak dari mereka yang tertarik pada laki-laki satu ini karena memang Elena sendiri pun sempat terpesona dengan penampilannya, terlebih lagi memang Alva sudah memiliki wajah yang tampan. Jadi bagaimanapun pakaiannya ia selalu terlihat menarik.
Cukup lama Elena berada di sana tapi ia tak mengikuti acara sampai akhir karena merasa lelah. Alva yang lebih dulu mengajak Elena untuk beringsut dari tempat acara, karena ia menyadari Elena yang terlihat kelelahan dan sudah mulai bosan. Sama halnya ketika berangkat tadi, Alva kembali membukakan pintu mobil untuk Elena.
“Jangan berlebihan Alva, aku bisa buka pintu sendiri,” kata Elena seraya masuk ke dalam mobil Alva. Senyum Alva berikan untuk menanggapi gerutuan Elena. Alva memutari mobil lalu masuk kebagian kemudi. Ia melajukan mobilnya keluar dari parkiran tempat acara berlangsung tadi.
Getaran ponsel terdengar, Elena menoleh karena Alva mengabaikan ponselnya begitu saja. Padahal suara itu sudah beberapa kali terdengar. Apa sulit meraihnya karena sedang mengemudi.
“Mau aku bantu ambilkan ponselmu?” tanya Elena kemudian karena sedikit risih dengan suara panggilan itu.
“Gak perlu, bukan hal penting,” jawab Alva begitu saja.
“Tapi panggilan itu muncul beberapa kali Alva, bagaimana kalau itu hal penting? Kamu gak mau periksa dulu?” tanya Elena lagi karena Alva terlihat begitu tak peduli.
“Ada yang lebih penting sekarang.” Alva menoleh ke arah Elena dan memperlihatkan ekspresi memelasnya. “Aku lapar,” tambah Alva.
Mata Elena mengerjap, ia pun terkekeh. Keterlaluan sekali dirinya yang lupa mengajak Alva memakan sesuatu yang berat, karena sejak tadi hanya cemilan kecil yang Alva makan di tempat acara. Elena mengarahkan Alva ke suatu tempat makan tak jauh dari sana.
***
Sesuai yang Elena bilang kemarin pada Mei, ia akan kembali setelah acara selesai dan benar saja Alva dan Elena baru tiba di apartemen malam harinya. Seperti malam kemarin, Alva tidur di ruang studio dan Elena menempati kamar utama. Elena istirahat lebih dulu sedangkan Alva terlarut dalam permainan musiknya hingga menjelang pagi.
Pagi sekali Elena kembali bangun mengingat hari ini ia harus kembali beraktivitas menjemput pekerjaannya. Mei sempat mengabarinya kalau ada proyek baru dan perlu melakukan meeting pagi ini. Elena kembali turun untuk menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya dan Alva yang sepertinya masih terjaga karena pintu ruang studio Alva yang masih tertutup rapat. Namun tebakannya salah, Alva sudah bergulat dengan alat-alat dapur di sana.
“Pagi,” sapa Alva pada Elena yang kedatangannya Alva sadari.
“Ya, pagi,” respon Elena seraya mendekat kearah Alva yang sedang memasak.
“Tunggu di sana, sebentar lagi makanan siap,” ucap Alva yang meminta Elena menunggunya di meja makan.
Elena tak mengikuti perintah Alva, ia berjalan mendekat ke arah kompor dimana Alva sedang menyiapkan sesuatu. Ia memilih membantu Alva menyusun makanan itu di atas piring.
“Biar aku selesaikan hm,” ucap Alva ketika Elena bergabung.
Elena menggeleng. “Seharusnya wanita yang melakukan ini bukan?” tanya Elena yang sempat menoleh ke arah Alva sejenak. Alva tersenyum, terdiam melihat Elena yang membantunya. Mendengar Elena mengucapkan hal itu membuat pikiran Alva melayang kemana-mana.
“Tidak ada salahnya kalau laki-laki juga melakukannya bukan?” balas Alva masih memperhatikan Elena yang menuangkan masakan itu ke atas piring.
“Ya, kamu adalah salah satu laki-laki hebat yang pintar memasak. Pasanganmu kelak pasti bangga,” kata Elena dengan memicingkan matanya di akhir, setelah itu membawa dua piring yang sudah siap tadi ke arah meja makan. Alva menggigit bibir bawahnya, ia merasa ucapan Elena memiliki arti yang cukup dalam.
“Apa laki-laki sepertiku adalah tipemu juga?” tanya Alva membuat Elena yang sedang menuangkan air terkejut. Elena tidak menimpali, ia memilih menyelesaikan pekerjaannya. Namun berbeda dengan Alva yang semakin penasaran, tatapan terus tertuju pada Elena yang sudah bersemu merah sejak tadi.
Acara makan pagi yang sunyi, Alva sadari mungkin karena perbincangan beberapa saat lalu membuat Elena begitu terlihat canggung.
“Aku antar kamu ke butik,” ucap Alva ditengah kesunyian.
“Tidak perlu Va, aku sudah memesan taksi online,” timpal Elena.
“Batalkan, aku yang akan mengantarmu ke butik,” kukuh Alva yang kini bangkit lalu berjalan menaiki tangga. Hembusan nafas pelan Elena lakukan, padahal dirinya sedang menghindar karena pertanyaan Alva tadi yang membuatnya canggung. Sampai Elena berbohong, karena sebenarnya ia belum memesan taksi online.
***
Tak cukup mengantarkannya saja, Alva ikut masuk ke dalam butik dengan alasan ingin bertemu dengan Mei. Elena biarkan itu, karena tak mungkin kan ia larang Alva. Dirinya hanya pekerja di sini tak ada kuasa melakukan hal itu.
Keduanya mulai masuk, namun baru beberapa langkah kembali terhenti karena keberadaan seseorang di sofa sana.
Nyonya Rosie, batin Elena.
Rosie manatap Elena dan Alva bergantian. Elena menunduk memberikan salam, sedangkan Alva memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Kamu berhasil membuat jadwal kemarin berantakan, Alva Melviano,” tutur Rosie cukup mengejutkan Elena yang kini sontak menoleh pada Alva. Alva telah berbohong padanya, bukannya Alva mengatakan tak ada agenda pekerjaan untuk hari kemarin.
***
Sudah lima menit Rosie menatap putranya yang sedang duduk santai tak mengeluarkan suara apapun. Saat kedatangannya ke butik Meisie, Rosie langsung meminta Alva untuk mengikutinya menuju butik miliknya. Disinilah mereka sekarang, di ruang kerja Rosie. Namun semenjak bertemu pagi ini, Alva belum juga berbicara padanya bahkan sekedar sapaan hai pun tak ada. Perdebatan dua hari lalu masih membekas sampai sekarang, beberapa hari ini pula Rosie tak mendapatkan Alva berada di rumah. Di tambah kemarin, Alva yang begitu saja pergi meninggalkan pekerjaannya hanya untuk mengantar Elena pulang sungguh membuat Rosie tersulut emosi. Reno sang manager Alva menjadi sasaran kemarahannya kemarin. “Apa kamu tahu kesalahanmu apa?” tanya Rosie akhirnya mengawali pembicaraan. “Meninggalkan pekerjaan tanpa kabar,” jawab Alva tanpa ragu. Namun tak sedikit pun Alva menoleh, ia masih fokus pada benda pipih berwarna hitam yang ada pada genggamannya. “Apa pekerjaanmu kemarin memai
“Mama kenapa gak ada kabarin aku?” tanya Elena pada Naura yang duduk di sampingnya.“Sengaja,” jawab Naura singkat dengan senyuman di akhirnya.Alva yang sedang menyetir melirik Naura dan Elena lewat kaca spion depan. Ketiganya kini berada di perjalanan menuju apartemen yang ditempati Elena alias apartemen milik Alva.Setelah mendapat panggilan dari Naura 30 menit lalu, Elena langsung meluncur di temani Alva menuju stasiun dimana Naura berada. Elena sempat tak enak hati meminta izin pada Mei, namun respon Mei yang tak mempermasalahkan itu membuat Elena lega. Malah Mei meminta Elena untuk mempertemukan Naura dengannya.Elena sempat menolak ketika Alva menawarkan diri untuk menemaninya, namun bukan Alva namanya yang menyerah begitu saja. Ia tak menghiraukan penolakan Elena dan tetap menemani Elena menjemput Naura di stasiun.“Kita mau langsung ke apartemen aja?” tanya Alva yang kembali melirik kaca spion untuk meli
Butik Mei kembali menjadi tujuan Alva. Sesuai apa yang ia katakan tadi bahwa dirinya akan mengantar Elena dan Naura ke apartemen. Pekerjaannya yang belum stabil akibat ulah kemarin menjadikan Alva merecoki keseharian Elena, hal itu menjadi pelarian yang menyenangkan juga pikirnya. Mobil hitam Alva kini sudah kembali terparkir tepat di depan butik Meisie. Ia keluar dari mobil dan melirik dua papan nama yang ada di depan sana. Dua butik yang bersebelahan namun menjual koleksi yang berbeda. Alva memalingkan wajahnya dari toko Rosie, ia pun mulai melangkah menaiki tangga demi tangga yang ada di bagian depan. “Alva,” suara berat menjadikan langkahnya tiba-tiba terhenti. “Apa malam ini kamu bisa menyempatkan waktu untuk pulang?” Alva mulai berbalik ke arah seseorang yang sedang mengajaknya bicara. Matanya menangkap sosok Roy yang sedang berdiri di ambang pintu butik Rosie. Senyum tipis Roy berikan, ia pun melangkah mendekati Alva. Tepukan pelan sampai di pu
Langkah kaki terdengar, Alva mengangkat kepalanya melihat ke arah tangga. Ia tersenyum pada Elena dan Naura yang baru saja menuruni tangga. Alva menyadari pandangan Naura yang tertuju pada hidangan yang sudah ia sediakan di atas meja.“Kamu masak semua ini?” tanya Naura yang begitu tercengang dengan semua makanan yang sudah tersedia di atas meja makan. Anggukan dan ulasan senyum Alva berikan. Ia pun menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Naura duduk.“Silahkan menikmati hidangannya tan,” ucap Alva yang mulai ikut bergabung dengan menduduki salah satu kursi makan yang ada di hadapan Elena. Kebetulan Elena duduk tepat di samping Naura.“Ini adalah keahlian lain Alva ma, memasak,” ucap Elena yang lagi-lagi membuat Alva sendiri tertegun. Ia merasa hari ini Elena lebih banyak memberikan pujian dan mengatakan hal-hal baik tentangnya. Diam-diam Alva tersenyum.“Mmmm,” gumaman Naura terdengar, Alva menoleh dan
Kakinya kembali melangkah menuju taman belakang ketika melihat gelagat kedua orang itu akan keluar dari balik pembatas ruangan. Alva langsung mendudukan bokongnya di kursi yang ada di samping Felicia. Untungnya Felicia tak begitu memperhatikan Alva yang kembali dengan terburu-buru, membuat Alva tak perlu mendapat pertanyaan lebih akan hal itu. Tak lama Roy dan Rosie bergabung. Pandangan mereka langsung tertuju pada keberadaan Alva yang kini menoleh ke arah mereka. “Sejak kapan kamu datang?” tanya Rosie yang tersenyum ke arah Alva dan mulai duduk di kursi yang berseberangan dengan Alva. “Belum lama,” jawab Alva dengan ekspresi datarnya. Roy yang masih berdiri pun ikut tersenyum dan mulai bergabung menduduki kursi yang ada di hadapan putrinya. “Terima kasih sudah menyempatkan waktumu untuk datang,” ungkap Roy yang masih tersenyum ke arah putranya. “Papa, seharusnya aku yang mengatakan itu,” seru Felic. Roy terkekeh ia pun mempersilahkan putrinya
Ting Tong! Ting Tong! Bel salah satu apartemen di tekan beberapa kali. Jari itu terus menekan tombol kecil itu sampai pintu apartemen terbuka dan menampilkan seseorang yang mendengus kesal karena risih dengan suara bel yang terus saja berbunyi.“Lo Va, gila lo gak sabar banget,” ucap sang pribumi. Alva langsung masuk tanpa di minta. Ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa dengan kepala yang ia hadapkan ke langit-langit ruangan. Matanya mulai terpejam dengan kening yang berkerut, sungguh ia sedang merasakan sakit pada kepalanya.“Udah berapa purnama lo gak kesini? Dan sekarang masuk gitu aja tanpa di minta. Gak sopan lo,” gerutuan kembali terdengar dari sang pribumi.“Malam ini gue numpang tidur di sini Rick,” ucap Alva. Ya, pribumi itu bernama Erick, teman yang paling dekat dengannya. Kata sahabat juga mungkin bisa tersemat dalam hubungan pertemanan mereka.“Tumbenan, apartemen lo kemana? Di jual?” t
Lembaran itu menjadi perhatian Mei saat ini. Ia menyunggingkan senyumnya dan melirik seseorang yang terlihat tegang duduk pada satu kursi lainnya.“Aku….” Mei menggantungkan ucapannya membuat perasaan Elena semakin tak karuan karena khawatir dengan apa yang akan menjadi pendapat Mei terhadap karyanya itu.“Seperti biasa.” Tambahan kalimat itu membuat Elena bingung. Seperti biasa apa yang dimaksud Mei. Apakah karyanya terlalu biasa dan tak berbeda dengan karya-karya sebelumnya atau hal lain.“Seperti biasa aku sangat menyukai rancanganmu.” Kalimat lengkap itu sungguh melegakan perasaan Elena. Sejak tadi pundaknya tak merosot sama sekali, namun kini Elena dapat melemaskannya dengan perasaan tenang.“Namun ada hal kecil yang ingin aku ganti, hanya sedikit tak banyak,” ucap Mei yang membuat Elena langsung bertanya apa yang ingin Mei tambahkan. Tak apa Mei ingin menambahkan yang terpenting Mei menyukai ran
“Jadi benar model pendatang baru itu pacar lo?” tanya Erick pada Alva yang sedang mengganti pakaian bagian atasnya di area walk in closet yang ada di kamarnya.Alva tak menjawab ia hanya sibuk dengan aktivitasnya yang ia lakukan dengan cepat karena tak ingin membuat Elena menunggu lama di bawah. Beberapa menit lalu Alva mendengar suara Erick yang mengatakan kata pacar ia pun segera keluar kamar dan benar saja Elena sudah bertemu Erick di bawah sana.Alva langsung menuruni tangga dengan derap langkah yang terdengar membuat Erick dan Elena menoleh ke arahnya. Ia menyapa Erick dan memperkenalkan temannya itu pada Elena. Erick memicingkan mata padanya lalu memperhatikan Elena, ia pun menarik Erick untuk mengikutinya ke lantai atas karena dirinya ingin berganti baju sebelum acara makan malam dimulai.Alva tak membiarkan Erick menunggu di bawah bersama Elena karena ia mengenal seorang Erick yang berani menggoda wanita sekali pun ia tak mengenalnya. Memang