Home / Romansa / Eleanor / 23-Pertemuan Teman Lama

Share

23-Pertemuan Teman Lama

Author: yuvitalya
last update Last Updated: 2021-07-26 13:35:44

Elena berjalan keluar rumah, keningnya berkerut ketika melihat Alva yang membukakan pintu mobil untuknya. Tak ada niat untuk dirinya mengajak Alva ke acara reuni sekolah. Tapi kenapa dia sudah siap saja di sana?

“Kamu mau berangkat bareng Alva El?” suara mamanya membuat Elena sontak menoleh ke belakang.

“Iya tan aku akan menemaninya,” seru Alva dengan cengiran khasnya. Baru saja akan menjawab tapi Alva mendahuluinya. Elena memutar bola matanya malas, bagaimana jadinya kalau ia mengajak Alva. Apa yang harus ia katakan kalau teman-temannya bertanya siapa dia.

Elena pun berjalan mendekat ke arah Alva yang begitu percaya dirinya di sana.

“Aku mau datang ke acara reuni Va, kamu tunggu saja di sini ya,” kata Elena.

“Aku akan menemanimu,” jawab Alva dengan tangan yang mempersilahkan Elena memasuki mobilnya. Malas berdebat, Elena pun hanya menurut saja. Ia masuk dan membiarkan Alva menutup pintu itu untuknya.

Kursi kemudi mulai terisi, Alva memakai seat belt nya begitu pun Elena. Mata Elena baru menyadari sesuatu. Alva tidak mengenakan pakaian kemarin. Apa dia membawa pakaian ganti? Hari ini Alva mengenakan kemeja putih polos dengan bagian tangan yang di gulung dipadukan dengan celana jeans abu-abu. Kemeja yang dimasukan pun terlihat cukup formal namun tetap santai karena kancing atas kemeja itu Alva tak kaitkan.

“Apa kamu bawa baju ganti?” Alva menoleh seraya tersenyum, ia pun mulai menghidupkan mesin mobilnya.

“Ya, pakaian baru yang tidak terpakai kemarin. Berguna juga aku menyimpannya di mobil,” jawabnya. Elena mengangguk masih dengan memperhatikan Alva.

“Kenapa? Ku rasa tak saltum juga kan?” Elena mengerjap dan menolehkan pandangannya ke arah lain.

“Ya, lumayan,” respon Elena dengan tangan yang mengusap tengkuknya karena merasa malu sendiri telah memperhatikan Alva begitu lama. Apa dirinya terpesona dengan penampilan Alva yang simple namun tetap berkelas.

***

Pertemuan kembali bersama teman lama selalu memberikan reaksi yang berbeda pada setiap momen bahkan setiap orangnya. Ada rasa senang yang Elena rasakan tapi tak begitu kentara. Teman yang bisa dikatakan dekat dengan dirinya dulu, kini berjarak seiring berjalannya waktu dan saat ini Elena belum bertemu dengannya. Apa pertemuan kali ini akan sama seperti beberapa tahun sebelumnya. Tapi rasanya saat ini cukup berbeda. Pada acara beberapa tahun lalu tak begitu banyak yang memperhatikan kedatangannya, tapi saat ini banyak yang melirik ke arahnya. Apa karena keberadaan seseorang yang bersamanya saat ini.

Elena memperhatikan beberapa pasang mata yang terlihat terang-terangan tertuju ke arahnya dan rupanya benar. Mereka melihat seseorang yang berada di samping Elena. Alva yang terlihat begitu santai di acara orang lain. Apakah tidak ada kegugupan sama sekali dalam diri seorang Alva  atau setidaknya enggan masuk dan bergabung. Tingkat kepercayaan diri Alva memang perlu di acungi jempol dalam hal ini. Tidak, bukannya Alva memanglah seperti itu, selalu percaya diri dalam hal apapun dan dimanapun.

“Apa kamu cukup populer dulu? Mereka melihat ke arahmu sejak kita masuk,” bisik Alva tepat di telinga kiri Elena.

“Ini karena keberadaan kamu Alva,” jawab Elena yang sontak membuat Alva menoleh ke arahnya.

“Benarkah?” tanya Alva seraya mengerutkan kening.

Tak lama seseorang melambaikan tangannya ke arah Elena. Elena pun mengajak Alva untuk menghampiri sekumpulan orang yang berdiri di dekat meja bundar berisi makanan manis dan terlihat menggiurkan. Penataan yang sangat cantik, membuat acara pertemuan ini semakin nyaman untuk dikunjungi.

Seperti biasa saling bertegur sapa pun dilakukan. Banyak perubahan yang Elena lihat, beberapa di antara mereka sudah datang bersama anak mereka masing-masing, bersama pasangannya dan beberapa pula ada yang masih lajang, seperti dirinya. Tapi mungkin bedanya Elena mengajak Alva untuk kali ini.

“El siapa dia?” seorang teman bernama Sera berbisik pada Elena.

“Sepertinya aku tak asing dengan seseorang yang berada di sampingmu ini,” ucap yang satunya lagi, teman sekelas Elena dulu.

Elena yang mendengar itu pun tersenyum. “Oh dia tem-“

“Salam kenal, saya Alva,” potong Alva dengan tangan yang terangkat menggamit pinggang Elena. Mata Elena terbelalak, tubuhnya merespon kaku.

Beberapa pasang mata itu tertuju pada gamitan Alva, sepertinya mereka mengerti dengan gestur tubuh yang di perlihatkan Alva.

“Akhirnya kamu bawa pacarmu juga, setelah sekian lama selalu datang sendiri hm,” goda Poni dengan kerlingan matanya. Mata Elena mengerjap ia pun melirik Alva yang tersenyum ke arah teman-temannya.

“Eh Alva buk-“

“Lain kali beritahu aku kalau ada acara, akan aku temani kemana pun pacarku pergi,” tutur Alva yang kembali memotong ucapan Elena dan semakin membulatkan mata Elena.

Tanpa rasa bersalahnya, Alva begitu sempurna memainkan perannya sesuatu yang tak pernah Elena duga sebelumnya. Alva mengaku sebagai kekasihnya. Apa-apaan Alva ini akan aku beri pelajaran kamu nanti, gerutu Elena.

Sangat berbeda Elena rasakan, ia merasa lebih banyak yang menyapanya atau bisa lebih tepat dibilang berbasa-basi menyapanya terlebih teman-teman perempuannya yang lebih sering melirik Alva ketika mendekat dan mengajak berbincang singkat. Ini rasanya seperti Elena yang menemani Alva bukannya sebaliknya.

Tak dapat dipungkiri mungkin banyak dari mereka yang tertarik pada laki-laki satu ini karena memang Elena sendiri pun sempat terpesona dengan penampilannya, terlebih lagi memang Alva sudah memiliki wajah yang tampan. Jadi bagaimanapun pakaiannya ia selalu terlihat menarik.

Cukup lama Elena berada di sana tapi ia tak mengikuti acara sampai akhir karena merasa lelah. Alva yang lebih dulu mengajak Elena untuk beringsut dari tempat acara, karena ia menyadari Elena yang terlihat kelelahan dan sudah mulai bosan. Sama halnya ketika berangkat tadi, Alva kembali membukakan pintu mobil untuk Elena.

“Jangan berlebihan Alva, aku bisa buka pintu sendiri,” kata Elena seraya masuk ke dalam mobil Alva. Senyum Alva berikan untuk menanggapi gerutuan Elena. Alva memutari mobil lalu masuk kebagian kemudi. Ia melajukan mobilnya keluar dari parkiran tempat acara berlangsung tadi.

Getaran ponsel terdengar, Elena menoleh karena Alva mengabaikan ponselnya begitu saja. Padahal suara itu sudah beberapa kali terdengar. Apa sulit meraihnya karena sedang mengemudi.

“Mau aku bantu ambilkan ponselmu?” tanya Elena kemudian karena sedikit risih dengan suara panggilan itu.

“Gak perlu, bukan hal penting,” jawab Alva begitu saja.

“Tapi panggilan itu muncul beberapa kali Alva, bagaimana kalau itu hal penting? Kamu gak mau periksa dulu?” tanya Elena lagi karena Alva terlihat begitu tak peduli.

“Ada yang lebih penting sekarang.” Alva menoleh ke arah Elena dan memperlihatkan ekspresi memelasnya. “Aku lapar,” tambah Alva.

Mata Elena mengerjap, ia pun terkekeh. Keterlaluan sekali dirinya yang lupa mengajak Alva memakan sesuatu yang berat, karena sejak tadi hanya cemilan kecil yang Alva makan di tempat acara. Elena mengarahkan Alva ke suatu tempat makan tak jauh dari sana.

***

Sesuai yang Elena bilang kemarin pada Mei, ia akan kembali setelah acara selesai dan benar saja Alva dan Elena baru tiba di apartemen malam harinya. Seperti malam kemarin, Alva tidur di ruang studio dan Elena menempati kamar utama. Elena istirahat lebih dulu sedangkan Alva terlarut dalam permainan musiknya hingga menjelang pagi.

Pagi sekali Elena kembali bangun mengingat hari ini ia harus kembali beraktivitas menjemput pekerjaannya. Mei sempat mengabarinya kalau ada proyek baru dan perlu melakukan meeting pagi ini. Elena kembali turun untuk menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya dan Alva yang sepertinya masih terjaga karena pintu ruang studio Alva yang masih tertutup rapat. Namun tebakannya salah, Alva sudah bergulat dengan alat-alat dapur di sana.

“Pagi,” sapa Alva pada Elena yang kedatangannya Alva sadari.

“Ya, pagi,” respon Elena seraya mendekat kearah Alva yang sedang memasak.

“Tunggu di sana, sebentar lagi makanan siap,” ucap Alva yang meminta Elena menunggunya di meja makan.

Elena tak mengikuti perintah Alva, ia berjalan mendekat ke arah kompor dimana Alva sedang menyiapkan sesuatu. Ia memilih membantu Alva menyusun makanan itu di atas piring.

“Biar aku selesaikan hm,” ucap Alva ketika Elena bergabung.

Elena menggeleng. “Seharusnya wanita yang melakukan ini bukan?” tanya Elena yang sempat menoleh ke arah Alva sejenak. Alva tersenyum, terdiam  melihat Elena yang membantunya. Mendengar Elena mengucapkan hal itu membuat pikiran Alva melayang kemana-mana.

“Tidak ada salahnya kalau laki-laki juga melakukannya bukan?” balas Alva masih memperhatikan Elena yang menuangkan masakan itu ke atas piring.

“Ya, kamu adalah salah satu laki-laki hebat yang pintar memasak. Pasanganmu kelak pasti bangga,” kata Elena dengan memicingkan matanya di akhir, setelah itu membawa dua piring yang sudah siap tadi ke arah meja makan. Alva menggigit bibir bawahnya, ia merasa ucapan Elena memiliki arti yang cukup dalam.

“Apa laki-laki sepertiku adalah tipemu juga?” tanya Alva membuat Elena yang sedang menuangkan air terkejut. Elena tidak menimpali, ia memilih menyelesaikan pekerjaannya. Namun berbeda dengan Alva yang semakin penasaran, tatapan terus tertuju pada Elena yang sudah bersemu merah sejak tadi.

Acara makan pagi yang sunyi, Alva sadari mungkin karena perbincangan beberapa saat lalu membuat Elena begitu terlihat canggung.

“Aku antar kamu ke butik,” ucap Alva ditengah kesunyian.

“Tidak perlu Va, aku sudah memesan taksi online,” timpal Elena.

“Batalkan, aku yang akan mengantarmu ke butik,” kukuh Alva yang kini bangkit lalu berjalan menaiki tangga. Hembusan nafas pelan Elena lakukan, padahal dirinya sedang menghindar karena pertanyaan Alva tadi yang membuatnya canggung. Sampai Elena berbohong, karena sebenarnya ia belum memesan taksi online.

***

Tak cukup mengantarkannya saja, Alva ikut masuk ke dalam butik dengan alasan ingin bertemu dengan Mei. Elena biarkan itu, karena tak mungkin kan ia larang Alva. Dirinya hanya pekerja di sini tak ada kuasa melakukan hal itu. 

Keduanya mulai masuk, namun baru beberapa langkah kembali terhenti karena keberadaan seseorang di sofa sana.

Nyonya Rosie, batin Elena.

Rosie manatap Elena dan Alva bergantian. Elena menunduk memberikan salam, sedangkan Alva memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Kamu berhasil membuat jadwal kemarin berantakan, Alva Melviano,” tutur Rosie cukup mengejutkan Elena yang kini sontak menoleh pada Alva. Alva telah berbohong padanya, bukannya Alva mengatakan tak ada agenda pekerjaan untuk hari kemarin.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Eleanor   103-Bersama

    “Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b

  • Eleanor   102-Serius

    Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg

  • Eleanor   101-Eleanor

    Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara

  • Eleanor   100-Restu Rosie

    Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”

  • Eleanor   99-Rasa Nyaman

    Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork

  • Eleanor   98-Jangan Pergi

    Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status