Perjalanan yang cukup melelahkan. Alva duduk di sofa ruang tamu seraya memainkan ponselnya. Elena masuk lebih dulu untuk membersihkan diri sedangkan Naura sedang menerima tamu di teras depan. Lelah dengan layar ponsel, Alva pun mengedarkan pandangannya memperhatikan detail ruang tamu yang tertata rapi. Tak begitu banyak dekorasi tapi tetap nyaman dan cantik. Rupanya ada ruang kecil yang tak jauh dari ruangan tersebut. Sebuah mesin Jahit Alva lihat dari arah luar dan sepertinya itu adalah ruang kerja yang selalu dipakai mamanya Elena untuk menjahit. Profesi yang diketahui Alva dari cerita pendek Mei kala itu, ketika Elena belum lama bekerja di butik Mei.
“Maaf buat kamu menunggu,” suara itu membuat Alva menoleh. Elena datang dengan pakaian tidurnya yang terlihat nyaman. Sebuah handuk yang melingkar di kepala Elena menarik fokus Alva, rupanya Elena baru saja selesai keramas.
“Gak masalah,” jawab Alva seraya memperlihatkan senyum lebarnya.
“Mm kamu mau mandi?” tanya Elena yang sempat bingung untuk menawarkan hal ini.
“Boleh, mandi bareng?” tanya Alva mengundang tatapan tajam Elena. Senyum lebar kembali Alva berikan, gemas Alva melihat Elena yang menatap tajam ke arahnya tapi dengan pipi yang bersemu merah.
Elena melirik keberadaan Naura yang masih mengobrol dengan tamu di teras, ia khawatir Naura menangkap ucapan Alva yang sembarangan tadi.
“Jadi gimana? Mau mandi bareng?” tanya Alva lagi membuat Elena semakin geram.
“Alva jangan bercanda ya, sana kamu mandi dulu biar segeran,” ketus Elena dengan pandangan yang ia alihkan ke arah lain karena kesal dengan Alva yang terus saja memperlihatkan ekspresi menyebalkannya. Terlepas dari hal apapun sepertinya Alva memanglah orang yang menyebalkan.
Alva terkekeh, ia pun mengikuti Elena yang memberi tahunya dimana kamar mandi berada. Tak lupa handuk yang juga Elena berikan pada Alva.
“Tidak ada laki-laki di sini jadi aku harus meminta mama untuk carikan baju yang bisa kamu pakai malam ini,” tutur Elena ketika sudah sampai di dekat pintu kamar mandi. Hal yang juga sudah Alva ketahui, bahwa ayah Elena sudah meninggal. Sesuatu yang juga Alva ketahui ketika Mei bercerita padanya kala itu.
“Baiklah sayang,” respon Alva menimbulkan decakan Elena sebelum meninggalkannya di sana. Alva terkekeh, ia pun mulai memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Alva belum keluar dari kamar mandi, Naura sudah selesai menerima tamu. Kini ia sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam. Tak lama Elena pun bergabung untuk membantu mamanya memasak.
“Biar mama sayang, kamu istirahat saja hm,” ucap Naura ketika melihat Elena mulai memegang pisau untuk memotong beberapa bumbu dapur.
“Gak apa-apa Ma,” jawab Elena yang meneruskan kegiatannya. Deheman pun terdengar, Naura mendekat pada Elena dan mulai menanyakan sesuatu.
“Siapa dia?” tanya Naura yang baru berani bertanya lebih karena kebetulan Alva masih berada di kamar mandi.
“Dia.. temanku ma,” jawab Elena tak memuaskan Naura. Pasalnya Naura menginginkan Elena menjawab dengan lebih spesifik.
“Hanya teman?” tanya Naura lagi memastikan.
“Iya Ma,” jawaban cepat pun kembali Elena berikan. Naura mengangguk tapi kembali dengan pertanyaan yang mengarah pada laki-laki muda itu.
“Mama rasa namaya tak asing, apa kamu pernah menceritakan sesuatu pada Mama?” gerakan tangan Elena melambat, ia teringat sesuatu. Dirinya pernah menceritakan Alva pada Naura saat dirinya pulang beberapa minggu lalu.
“Hm, Alva keponakan Nyonya Mei. Bosku Ma,” jawab Elena sejujurnya. Naura pun sedikit membelalakan matanya setelah mendengar kembali pernyataan itu padahal ia sempat mendengarnya. Tapi saat ini berbeda, laki-laki itu berada di sini dan mengantarkan putrinya pulang. Bagaimana pun hal ini menjadi tanda tanya besar untuknya.
Pintu kamar mandi mulai terbuka, Elena dan Naura menoleh. Tapi Elena langsung kembali berbalik karena melihat Alva yang bertelanjang dada. Naura tersenyum melihat reaksi putrinya.
“Bajunya tadi Mama sudah simpan di kamar kamu ya El, antar Alva kasihan dia kedinginan,” seru Naura pada Elena yang masih menyibukkan dirinya dengan memotong cabai.
“I..iya Ma.” Elena mulai berbalik untuk mengantarkan Alva kekamarnya. Pintu kamar Elena buka, ia pun masuk. Sungguh terkejut dirinya ketika mendapatkan Alva yang berdiri tepat di belakangnya.
Berbeda dengan Elena, Alva terlihat sangat santai. Ia mengedarkan pandangannya dan memperhatikan seisi kamar Elena.
“Ini bajunya, celananya pendek. Apa tidak masalah?” tanya Elena pada Alva yang kini berjalan ke arah sisi ranjang dan sedang melihat beberapa foto yang menggantung di sana. Elena menggaruk tengkuknya malu, melihat Alva yang memperhatikan fotonya dengan seksama. Biarlah Elena tak peduli, ia pun segera keluar kamar dan menutupnya membiarkan Alva mengganti pakaiannya di sana.
Beberapa menit setelah Elena keluar dan menutup pintu, Alva masih betah memperhatikan foto-foto Elena. Terlihat lucu dan menggemaskan. Rupanya gadis ini tak malu bergaya konyol seperti ini.
***
Perbincangan sederhana menjadi teman kegiatan makan malam ini. Pertanyaan perihal kegiatan, lingkungan, keadaan yang ditanyakan Naura pada Elena yang duduk di sampingnya. Sedangkan Alva masih betah menikmati makan malam seraya mendengarkan setiap untaian kalimat yang dilontarkan kedua wanita yang berada di hadapannya ini. Hal sederhana yang luar biasa telah Alva tangkap dari keluarga kecil ini. Ketulusan yang terpancar dari seorang Naura membuat Alva sedikit iri. Tapi hal itu Alva singkirkan, bersyukur ia dapat berada di tempat ia bisa merasakan keluarga yang sebenarnya walaupun tak ada seorang ayah yang berada di sampingnya.
“Ikannya masih banyak, jangan lupa habiskan ya,” suara Naura menyadarkan Alva.
“Baik tan, jangan khawatir,” balas Alva yang mengundang kekehan Naura sedangkan Elena memutar bola matanya malas.
“Oh ya, Elena bilang dia tinggal di apartemenmu,” ucapan Naura membuat gerak tangan Alva terhenti. Rupanya hal itu sudah diketahui Naura, ia melirik Elena. Apakah dia selalu menceritakan dirinya di belakang? Alva tersenyum senang.
“Kamu membiarkan Elena menempatinya dengan cuma-cuma. Tante benar-benar berterima kasih,” tambah Elena. Alva tersenyum seraya membalas tatapan mata Naura padanya.
“Tante tak perlu khawatir, aku juga akan memastikan keadaan Elena selalu baik-baik saja. Lokasi apartemenku aman untuk ditinggali,” tutur Alva. Naura mengangguk, lalu mengusap punggung tangan Elena.
“Lalu, kamu tinggal dimana Alva? Apa rumahmu jaraknya cukup jauh dengan apartemen yang ditempati Elena?” pertanyaan yang mengejutkan keduanya. Alva dan Elena saling lirik, bersyukur Naura tak begitu memperhatikan karena sedang menyiapkan suapan makannya.
“Aku tinggal di-“
“Alva tinggal bersama orang tuanya, rumahnya cukup jauh dari apartemen.” Elena memotong ucapan Alva, ia khawatir Alva akan mengatakan yang sebenarnya tentang kondisinya saat ini. Dimana Alva yang mulai tinggal di apartemen bersama Elena.
Bukan tak ingin memberi tahu Naura. Tapi Elena sungguh takut Naura akan marah padanya, mengingat Alva dan dirinya adalah orang asing tak ada ikatan darah apapun. Memang sebenarnya hal itu tak baik dilakukan, tapi Elena berjanji akan memikirkan hal ini lagi dan ia akan mencari cara agar tak tinggal satu atap dengan Alva.
Acara makan itu selesai, kini ketiganya sedang berada di ruang keluarga. Elena merasa geraknya terbatas karena keberadaan Alva di sana. Padahal Alva sendiri terlihat biasa saja dan begitu santai. Bahkan sesekali ia kembali mengajak Naura berbincang.
“Malam ini kamu tidur bersama Mama El, biar Alva tidur di kamarmu,” kata Naura.
“Kalau begitu aku siapkan dulu.”
“Tidak perlu, aku bisa tidur di sofa biar Elena tidur di kamarnya pasti Elena sangat merindukan suasana kamarnya,” tutur Alva.
“Badanmu bisa sakit kalau tidur di sofa,” ucap Naura yang tak setuju.
“Aku sudah biasa tidur di sofa, tante tak perlu khawatir.” Alva mengatakan itu seraya melirik Elena. Sungguh Elena merasa tersindir. Ia mengerti akhir-akhir ini Alba harus tidur di sofa ketika di apartemen karena kamarnya Elena tempati.
“Kamu bisa tidur di kamarku,” ucap Elena seraya melirik Alva kesal. Senyum miring Alva berikan, rupanya candaannya itu berhasil membuat Elena kesal padanya. Lucu sekali, batin Alva.
***
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al