Malam berlalu. Azan shubuh berkumandang. Berseru agar orang-orang yang masih terlelap lekas bangun untuk menunaikan kewajiban. Mengajak untuk bergegas menyambut kemenangan.
“Mas ....” Raisa yang sudah siap dengan pakaian salatnya menggoyang pelan tubuh Kun. Namun, beberapa kali Raisa mencoba membangunkan suaminya, pria itu hanya bergumam tidak jelas sembari merapatkan selimut. Setiap hari Raisa harus membangunkan Kun untuk shalat subuh, tak jarang Kun malah mengumpatnya karena kesal.
Raisa menghela napas pelan. Ia turun dari ranjang, melangkah menuju sajadah yang sudah terhampar. Melakukan salat sunah Fajar. Setelah itu barulah ia akan mencoba membangunkan Kun lagi.
Beberapa menit berlalu. Salat sunnah Fajar telah selesai Raisa kerjakan. Perempuan itu kembali untuk membangunkan Kun yang masih bergelung di bawah selimut hangatnya. Sebenarnya ada sedikit perasaan takut untuk membangunkan Kun, takut jika dia membentaknya lagi seperti tempo hari. N
Betapa kagumnya Sanjaya pada Raisa yang setiap pagi selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Pasti itu turunan dari Widia. Namun, akhir-akhir ini Sanjaya merasakan ada yang aneh pada perempuan yang telah menjadi menantunya itu. Meskipun Raisa memang jarang berbicara dengannya, tapi jelas sekali dari matanya tergambar kesedihan. Ada apa? Apa sedang terjadi sesuatu dengannya dan Kun? “Raisa ....” Raisa sedikit terkejut mendengar suara Sanjaya yang tidak diketahui sejak kapan berada di belakangnya. Sontak dia menoleh menuju sumber suara, menghentikan pekerjaan mencuci piringnya. “Iya, Pa?” tanya Raisa pada laki-laki yang berdiri dengan bantuan kurk. “Em, Kun ke mana?” Sebenarnya Sanjaya sudah tahu Kun sedang mengantar Delila pulang. Delila mendapatkan alasan pas untuk berhenti menjadi caregiver-nya, karena sedang masa pemulihan serta memerlukan istirahat cukup. Apalagi, katanya rumah tangga perempuan itu sedang mengalami masalah. “Mengan
Kun benar-benar kelimpungan saat akan mengambil berkas penting di dalam tasnya tapi tidak menemukannya. Bagaimana bisa ia sampai lupa untuk memasukkan berkas itu?Hari ini adalah Raker (Rapat Kerja) Kepala Desa, Camat, serta BPD (Badan Permusyawatan Daerah) sekabupaten. Dan berkas itu adalah syarat wajib yang harus di bawa olehnya. Acara akan dimulai beberapa menit lagi, tidak mungkin Kun harus pulang untuk mengambilnya.Kun menyugar rambutnya kasar. Satu-satunya jalan adalah meminta orang rumahnya untuk mengantarkan berkas itu, meski ia tahu berkas itu tetap akan terlambat sampai padanya.Kun mencoba menghubungi Raisa, tapi berkali-kali tidak diangkat oleh perempuan itu. Membuatnya mengumpat berkali-kali dalam hati.“Ayolah! Di mana kamu, Raisa?” gumamnya dengan gigi geraham bergemertuk. Mencoba kembali menghubungi nomor Raisa. Akan tetapi panggilannya hanya berakhir begitu saja sebagaimana sebelumnya.“Pak, acara akan segera
"Mas, kamu nginap di sini, kan?" tanya Delila.Semburat jingga sudah mulai menjalar di kaki langit ufuk barat. Delila sejak tadi menelepon Kun agar mengunjungi dirinya di rumah barunya. Perempuan itu lagi-lagi berkata bahwa dia sangat takut sendirian di sana.Kun menghela napas panjang mendengar pertanyaan Delila. Apa boleh buat? Terpaksa dia harus menginap lagi bersama Delila. Mengesampingkan keiinginannya untuk pulang ke rumah asalnya. Bukan untuk menemui Raisa, tapi takut diomeli oleh sang papa, Sanjaya."Ya." Kun menjawab malas. Lalu merogoh ponsel di sakunya dan mulai mencari sebuah kontak.Ketika kontak tersebut ketemu, dengan hati merutuk, Kun segera memanggilnya."Halo, Tuan," sapa seorang laki-laki di seberang sana."Kamu masih ingin bekerja denganku, hah?" umpat Kun."Maksudnya, Tuan?""Kenapa belum juga dapat pembantu yang saya perintahkan!" pekik Kun.Sudah tiga hari Kun memerintahkan anak buahnya untuk
Raisa masuk ke kamarnya. Wanita itu tersenyum lembut pada Kun yang tengah bergoler dengan mata terpatri pada layar ponsel di tangan. Sekilas Kun melirik Raisa, tanpa membalas senyuman.Mendapati Kun semakin bersikap dingin, Raisa menelan ludah. Lalu perlahan menghampiri sang suami."Mas mau langsung tidur atau mau aku pijitin?" tanya Raisa."Tidak perlu," jawab Kun tanpa melihat sang istri.Lagi, Raisa menyunggingkan senyum lembut meski sadar perhatiannya tidak akan mendapat balasan apa-apa selain tatapan dingin.Sudah pukul sepuluh malam, Raisa harus segera tidur. Atau dirinya akan kesiangan. Besok pagi-pagi dia harus memasak untuk sarapan dan bekal Kun. Bi Imas sedang pulang kampung karena anaknya sedang sakit.Raisa merebahkan tubuh di samping Kun, berjarak dua jengkal. Dada itu kembali berdebar. Rasa di mana hati Raisa direngkuh nyenyat saat menyadari bahwa dirinya dan Kun seperti orang asing. Bukan seperti sepasang suami istri.
"Pa, Kun tidak bohong, Pa," elak Kun sambil mengibaskan tangan di udara."Kamu pikir aku bodoh, hah? Aku tahu dari ayahmu kalau kamu tidak menginap di sana!" bentak Sanjaya dengan bibir gemetar menahan amarah.Kun terdiam begitu mendengar kalimat Sanjaya. Benar, dirinya tidak menginap di rumah ayahnya di kampung. Akan tetapi, dia menghabiskan malam di rumah Delila, sang istri siri.Sementara, di tempatnya berdiri, Raisa kembali harus menahan perih. Pikiran-pikiran negatif perlahan tumbuh berjejal memenuhi kepala."Pa, maaf. Kun memang tidak menginap di rumah Ayah. Kun menginap di rumah teman," ucap Kun pelan.Belum sempat Sanjaya mengeluarkan suara lagi, terdengar seseorang melangkah mendekati keduanya. Raisa tersenyum sambil menimang sebuah paper bag berisi bekal Kun yang sudah disiapkannya."Mas, kamu lupa membawa bekal." Raisa berkata lembut dan menyerahkan bekal di tangannya.Kun berusaha tersenyum pada Raisa, lalu m
"Kamu hamil?" tanya Sanjaya dengan gurat semringah. Senyumnya terkembang lebar.Mendapatkan tebakan sang mertua Raisa buru-buru membulatkan mata. Ini adalah kekeliruan. Raisa seketika merasa dilema. Bingung hendak menjelaskan apa. Semua jawaban akan membuat Sanjaya kecewa.Tidak mungkin Raisa mengiyakan pertanyaan Sanjaya, tapi dia juga tak mungkin mengatakan pada sang mertua jika dirinya mengidap penyakit itu.Raisa membeku dengan pikiran berkecamuk ketika sebuah notifikasi berbunyi. Ojek online pesanannya sudah berada di depan."Pa, aku pamit. Sudah ditunggu sama ojeknya," ucap Raisa sambil mendekat dengan mengukurkan tangan."Kamu naik ojek?" Sanjaya menaikkan alis."Iya, Pa."Pria setengah baya itu berdecak. "Seharusnya kamu diantar oleh Kun!""Tidak apa-apa, Pa. Kalau begitu aku berangkat," ujar Raisa lalu berderap pergi."Hati-hati!" Sanjaya mengingatkan.Sambil melangkah, Raisa menoleh dengan senyum tersung
"Assalamualikum." Raisa berderap menuju sang bapak dengan senyum lembut. "Waalaikum salam. Ada apa, Nduk? Apa yang terjadi?" tanya Sulaiman dengan wajah heran bercampur cemas. Raisa mengernyit melihat Sulaiman. Duh, Bapak pasti khawatir karena Raisa ke rumah sendirian, batin Raisa. Raisa kembali tersenyum. Wajahnya semringah, menunjukkan bahwa tidak ada yang terjadi dengan rumah tangganya. "Raisa kebetulan ke kantor desa antar hape Mas Kun, Pak. Jadi, ya mampir ke sini," jelas Raisa. Sulaiman akhirnya bisa tersenyum. Lalu mengajak Raisa masuk. Rasa damai seketika membasuh hati Raisa. Penat dan letih dengan kehidupan rumah tangganya, seketika lindap. Seandainya bisa, Raisa ingin kembali ke masa di mana dirinya masih lajang, ingin berlama-lama menikmati aroma ketenangan ini. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada kecewa. Tidak ada ... Kun. "Nesha sama Zidan di mana, Pak?" Raisa bertanya sambil berjalan. Matanya mengedar p
Raisa buru-buru bersiap ketika dikabarkan bahwa Kun berada di rumah sakit. Pria itu mengalami kecelakaan Subuh tadi."Ada apa, Raisa?" tanya Sulaiman. Pria itu menghampiri Raisa saat mendengar suara Raisa berbicara dengan suara panik."Aku harus pulang, Pak. Mas Kun kecelakaan," ucap Raisa dengan air muka cemas.Sulaiman terkejut begitu mendengar penuturan anaknya. Cemas juga menggantungi wajah lelaki setengah baya itu."Kecelakaan? Kenapa bisa?" tanya Sulaiman.Raisa menggeleng. Tidak tahu. Bi Imas tidak menceritakan apa-apa. Yang perempuan itu katakan bahwa Kun sedang tidak sadarkan diri hingga saat ini."Raisa pamit, Pak. Assalamualikum," ucap Raisa sambil mengulurkan tangan."Waalaikum salam. Hati-hati, Nduk."Raisa menunggu ojek online yang dipesannya. Syukurlah dia dengan cepat mendapatkan ojek di hari yang masih pagi ini.Tak lama kemudian, ojek yang dipesan datang. Segera Raisa meminta sang driver agar mema