Share

Video Raisa

Dengan jantung kebat-kebit Raisa meraih ponsel Kun. Betapa terkejutnya, saat layar ponsel menyala dan mendapati sebuah video dirinya dengan Pras.

Itu adalah videonya dengan Pras saat duduk di dekat kantin rumah sakit. Dari mana Kun mendapatkannya? Batin Raisa bertanya-tanya. Namun, itu hanya video percakapan biasa. Raisa tidak melakukan apa-apa dengan Pras. Apa hanya karena itu Kun cemburu?

“Apa ini, Mas?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Raisa. 

Mata elang Kun menohok tajam Raisa, hingga membuatnya terlihat ciut.

“Kamu keluar untuk menemui laki-laki itu, kan?” Kun menatap Raisa penuh selidik.

“Mas ... dia cuma tukang ojek online.” Raisa menjelaskan, karena memang tidak ada apa-apa dengannya dan Pras. Tetap mengatur volume suara agar tidak pecah.

“Ojek online?” Kun tertawa kecil, sinis. “Kamu liat video satunya. Jangan bodohi aku. Aku bukan anak kecil lagi, Raisa.”

Raisa terkesiap. Lekas menggeser video sebelumnya, lalu memutarnya. Di situ terekam dari jauh saat Pras mencekal tangan Raisa ketika menolak untuk menaiki ojek Pras. Siapa yang merekamnya? Kenapa ada yang tega melakukannya? Benak Raisa kembali dijubeli seabrek pertanyaan. Menduga-duga. 

Dilihat dari video, perekam video tersebut berada di samping rumah. Jelas sekali bahwa video itu direkam oleh orang dalam, tapi siapa?

Di rumah ini hanya ada tiga orang saat Raisa hendak pergi. Apa mungkin Delila? Raisa segera menyingkirkan pikiran tak berdasar tersebut, meskipun selama ini perempuan itulah yang selalu bersikap dingin pada Raisa.

“Mas ... aku tidak punya hubungan apa-apa dengan dia.”

“Tenang, Raisa. Sekalipun kamu punya hubungan dengannya, aku tidak marah, kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau.”

Jantung Raisa terasa terhimpit saat mendengar kalimat Kun.

“Mas, kenapa kamu bilang seperti itu? Mas, maafkan aku,” ucap Raisa dengan wajah memelas. Meraih tangan Kun dan menggenggamnya.

“Dengar! Kamu memang cantik, tapi sayang kamu tidak bisa memuaskanku di atas ranjang.”

“Mas ....” Suara Raisa serak.

“Apa?”

“Apa karena itu kamu berubah seperti ini, Mas?”

“Salah satu tujuan berumah tangga adalah menyalurkan kebutuhan biologis, Raisa! Dan kamu ... aku salah menikahi kamu.”

Deg! Raisa tersentak. Jantungnya terasa remuk terhantam godam. Matanya yang sejak tadi mengembun, kini mulai digenangi air bening. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh laki-laki yang belum genap satu bulan menjadi suaminya.

“Sudahlah jangan cengeng!”

Kun beranjak meninggalkan Raisa yang sedang menangis. Raisa, perempuan itu terduduk sambil terisak. Benaknya tidak pernah berpikir rumah tangganya yang masih hijau akan mengalami guncangan seberat ini. Kun, laki-laki yang warga desa mengenalnya dengan keramahan dan kedermawanannya ternyata memiliki sisi lain yang sangat kontras.

Ah, bukankah Kun bersikap seperti itu disebabkan oleh dirinya yang tidak bisa memuaskan suami. Raisa menyeka matanya yang basah, segera bangkit dan melangkah. Raisa harus menjadi wanita yang tegar. Harus sabar. Harus segera sembuh, agar bisa menjadi istri yang bisa bisa menunaikan kewajibannya pada suami. Jangan sampai sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi dalam rumah tangganya.

Raisa menaiki tangga. Ketika menjejaki lantai dua, ekor matanya menangkap kepulan asap rokok dari balkon. Raisa menatap sekilas, lalu memalingkan wajah saat Kun menatapnya.

“Raisa!” seru Kun. Raisa yang sudah ingin melangkah, menjeda, menoleh. Kun memberi kode dengan kepalanya agar Raisa menghampiri dirinya. Ada yang perlu dibicarakan.

“Iya, Mas?” tanya Raisa gugup sambil meremas-remas jemarinya.

“Jangan sampai Papa tahu tentang masalah kita.” Kun berkata pelan. Kemudian menghisap dalam-dalam benda kecil yang terselip di antara jemarinya.

“Iya,” jawab Raisa pendek. “Maafkan aku, Mas ....”

Kun mendesah pelan. “Kamu sudah berkali-kali meminta maaf, Raisa. Sudahlah, aku sudah memaafkanmu.”

“Terima kasih, Mas ....”

Detik berikutnya Raisa berbalik badan dan melangkah menuju kamar. Kun menatap wanitanya hingga hilang dibalik pintu.

“Benar kata pepatah, tidak ada manusia yang sempurna,” gumam Kun.

Kun merutuki dirinya karena telah menikahi Raisa yang ternyata dibalik kecantikannya memiliki kekurangan. Ah, sungguh bod*h karena bersikap gegabah! Kini, Kun malah terjebak dalam permainannya sendiri. Dia tidak berani menceraikan Raisa. Karena jika sampai itu terjadi, Sanjaya tidak akan segan-segan mengusirnya dan akan mencoret dirinya dari daftar penerima harta warisan Sanjaya. Terlepas dari itu, Kun benar-benar sangat menyayangi papanya tersebut, dia sudah berjanji akan membahagiakan Sanjaya.

Bukan hanya Sanjaya yang akan mengusirnya, tapi juga ayah angkat Kun. Jika sampai Kun dan Raisa berpisah, H. Yusuf—ayah angkatnya—juga tidak akan segan-segan menendangnya dari rumahnya. Sebab hal itu akan membuat nama baik keluarga H. Yusuf tercoreng. Bagi H. Yusuf tidak ada yang lebih penting dari pada harta dan popularitas.

Kun mendengkus memikirkan hal pelik itu. Menyugar rambutnya kasar. Kun tersadar dari lamunannya saat dering ponselnya berbunyi. Gegas pria tampan itu mengangkatnya.

“Halo, bagaimana?”

“Sip, Pak. Rumahnya sudah beres. Sudah siap ditempati.”

“Bagus.”

Kun mematikan sambungan telepon. Melempar pelan ponselnya kembali ke atas meja. Satu masalah sudah akan selesai. Rumah untuk Delila sudah siap dihuni. Perempuan itu sudah membuat Kun kerepotan. Apalagi saat mengancam akan memberitahukan kepada Sanjaya tentang hubungan gelapnya dengan dirinya. Benar-benar menyebalkan!

Kun benar-benar kehabisan akal saat Delila tidak mau disogok untuk menggugurkan kandungan yang menjadi bukti kuat hubungannya dengan dirinya. Bagaimana kalau melenyapkan Delila? Ah, Kun segera mengusir pikiran itu. Kun memang jahat, tapi dia bukan pembunuh.

Kun meraih kembali ponselnya yang tergeletak di atas meja. Membuka aplikasi W******p untuk mengirimi Delila pesan.

[Kamu sudah bisa pindah]

Tidak butuh waktu lama. Notifikasi pesan berbunyi.

[Bagaimana dengan Pak Sanjaya, Mas?]

[Raisa yang akan mengurusnya]

Stroke Sanjaya memang tidak begitu parah, hanya satu kaki. Masih bisa berjalan meski harus dengan bantuan kurk. Raisa bisa menggantikan Delila mengurus Sanjaya.

[Lalu, kapan kita akan melangsungkan pernikahan?]

Kun tercenung setelah membaca pesan Delila. Benar-benar posisi yang sulit. Urusannya dengan Delila bahkan lebih rumit dibanding dengan Raisa. Pria itu mengusap wajah gusar.

[Nanti kita bicarakan lagi. Sekarang kamu pikirkan alasan yang pas untuk minta izin berhenti dari sini.]

[Tapi, kamu tidak bohong, kan, Mas, akan menikahiku?]

Kun mengembuskan napas kasar. 

[Iya. Iya]

***

“Non, biar saya saja.” Bi Imas menghampiri Raisa yang sedang menyapu lantai. Rasa tidak enak kembali menyergap dada Bi Imas, meskipun pemandangan seperti itu telah biasa sejak Raisa tinggal di rumah itu.

Raisa mengentikan aktifitasnya sebentar, menegakkan badan lalu tersenyum. “Ah, Bibi. Tidak apa, Bi.”

“Tapi ini pekerjaan saya, Non.”

“Aku sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah, Bi. Lagian, saya bosan kalau tidak mengerjakan apa-apa.” Raisa melanjutkan pekerjaannya yang belum rampung.

Bi Imas masih mematung sambil menatap Raisa dengan takjub. Benar-benar perempuan rendah hati, batinnya. Suara dari penggorengan membuatnya terbangun dari lamunan, lekas perempuan paruh baya itu berbalik badan dan memagaduk-ndaduk isi kuali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status