Dalam sepuluh menit berikutnya, mereka tiba di sebuah night club terbesar di Honolulu. Setidaknya begitu yang dikatakan Hale. Setelah memarkir, mereka semuanya turun dari motor, termasuk Esme.
Jika mau jujur, rasa antusiasme Esme sudah meletup-letup di dalam dadanya karena akhirnya dia bisa datang ke kelab malam bersama pemuda sebayanya. Rasa tidak nyamannya terhadap Brandon seketika dia lenyapkan dari benaknya.
Dengan berpasang-pasangan, mereka memasuki night club itu. Musik berdentum-dentum menyambut kedatangan mereka. Dan karena malam ini malam spesial yang digelar oleh night club itu, semua pengunjung diharuskan membayar biaya masuk.
Hale dan Catherine menuju kasir dan dapat Esme lihat bahwa Catherine-lah yang mengeluarkan sejumlah uang dan membayar biaya masuk mereka semua.
"Mau minum apa?" tanya Hale pada Catherine, juga yang lainnya saat mereka sudah mendapatkan tempat di sofa melingkar.
Mereka semua duduk berpasang-pasangan. Sudah tentu Esme dipasangkan dengan Brandon.
Mereka semua memesan. Selesai memesan, Esme tak bisa berpaling lagi dari tingkah laku Catherine yang terlihat sangat mesra dengan Hale. Ditatapnya tajam sepupunya itu, meminta penjelasan, singkat sekalipun. Tapi Catherine sepertinya tidak menggubris tatapan Esme. Hanya senyum penuh arti yang dilayangkannya pada Esme.
Kemudian untuk menggoda Esme, sepupunya itu semakin sengaja bergelanyut mesra dalam pelukan Hale. Bahkan sebelah tangannya mengelus dada bidang Hale tanpa henti, dengan tatapan penuh senyum yang terarah pada Esme.
Kesal akan tingkah Catherine, Esme akhirnya membuang tatapannya dari Catherine. Pikirannya kini melayang pada bulan-bulan sebelumnya saat mereka merencanakan pelarian ini.
Esme seperti baru tersadar bahwa selama ini dia sudah disetir Catherine dengan mudahnya. Masih segar dalam ingatannya bagaimana Catherine selalu mengajak Esme melarikan diri dari rumah.
"Memangnya kau tidak bosan hanya di rumah saja, hidup dalam pengawasan ayahmu, dan segala yang ingin kau lakukan harus mendapat persetujuan ayahmu?"
"Hidup ini cuma sekali, Esme! Jika masa mudamu terlewatkan, kau takkan bisa mengulangnya lagi. Jika kau tidak berani mengambil resiko, hidupmu akan berakhir seperti yang ayahmu gariskan. Dalam beberapa tahun ke depan, kau pastilah akan dinikahkan dengan pria pilihan ayahmu. Dan siapa yang tau pria seperti apa? Masih bagus jika seperti ayahmu yang tampan, ramah, dan penyayang. Tapi jika dia tua, pendek, berperut buncit dengan kumis melenting konyol di atas bibirnya yang bau rokok bercampur bawang, apa kau mau?"
"Look at you! Aku yakin kau bahkan belum pernah berciuman! Dan kau sudah hampir 20 tahun. Mau sampai kapan kau hidup dikurung?"
Semua itu adalah hal-hal yang diucapkan Catherine saat membujuknya agar mengikuti rencananya melarikan diri dari rumah dan bersembunyi di Hawaii.
Yeah, Hawaii. Esme sering heran, kenapa harus Hawaii? Jika hanya karena pantai, banyak negara lain yang mempunyai pantai nan indah.
"Ini masalah iklim dan cuaca, Little Girl. Hawaii beriklim hangat, cuaca dan udaranya pun hangat. Di sana kita pasti akan merasakan kenyamanan yang tidak bisa kita dapatkan selama di tempat kita ini."
Mexico juga cukup hangat, pikir Esme pada waktu itu. Namun tidak dia suarakan. Dan sekarang dia baru memahami, kenapa Catherine memilih Hawaii. Semua karena Hale.
Setelah menghabiskan minumnya, Catherine menarik Hale ke lantai dansa. Di sana dia meliuk-liuk sensual. Sesekali dia melompat dengan kepala menggeleng-geleng tak karuan. Tangannya terangkat dan dia terlihat senang sekali. Catherine merupakan perwujudan dari kata cantik, bebas, dan liar.
Esme memperhatikan tawa lepas Catherine pada Hale dan dia merasa iri pada semua itu. Akankah dia bisa selepas Catherine, menikmati setiap hal dalam hidup tanpa banyak mempertimbangkan segala tetek bengek yang ada?
"C'mon, let's dance!" ajak Brandon. Sebelah tangannya terulur pada Esme.
"No, I can't dance," tolak Esme.
"Masa sih? C'mon! Hanya gerakkan saja tubuhmu semaumu!" bujuk Brandon lagi.
Esme akhirnya menyerah dan dia mengikuti Brandon ke dance floor.
Pada awalnya, Esme hanya melihat saja Brandon yang mulai bergoyang. Tak lama kemudian, dia mulai lupa akan kakinya yang masih sedikit sakit. Tubuhnya mulai merespon pada ritme musik yang mengiringi mereka.
Emse menggeleng-gelengkan kepalanya, mengikuti tingkah Catherine. Esme juga mengangkat kedua tangannya. Esme meliukkan tubuhnya. Perasaan lepas dan bebas mulai melingkupinya. Dia mulai menyatu dengan musik dan tubuhnya melompat-lompat mengikuti irama house music yang berdentum-dentum.
Entah berapa lama Esme membebaskan dirinya sendiri untuk menari. Saat musik berubah pelan, Esme terkesiap karena tangan Brandon sudah merengkuh pinggangnya dan tubuh tegap pemuda itu sudah hampir menempel dengan tubuhnya.
"Ak- aku sudahan jogetnya, ya. Capek!" Esme berpura-pura. Dia hanya berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan lengan Brandon di pinggulnya.
"Oh, ayolah! Kenapa kau berhenti sekarang? This is the best part." Brandon menatap kepergian Esme dengan kesal. Dia membuang pandangannya ke sekelilingnya dan menemukan tatapan Hale padanya. Temannya itu menaikkan kedua alisnya seraya menunjuk Catherine yang sudah berada dalam pelukannya.
Hale mengejeknya. Brandon tahu itu sehingga dia bertambah kesal. Pemuda itu memutuskan untuk mengejar Esme. Gadis itu sudah berada di dekat toilet saat Brandon berhasil menggapainya.
"Aww! Kenapa kau ini?" Esme terkejut dan merasakan sakit saat Brandon menarik lengannya dengan kasar.
"Kau yang kenapa? Ini saatnya kita berdansa. Kenapa kau malah mau kabur?" desisnya di depan wajah Esme. Kedua tangannya menangkup wajah Esme dan membuat wanita itu menengadah menatapnya.
"Dance with me!" perintahnya dalam desisan.
"Aku tak mau!" jawab Esme dengan suara seperti tercekik.
Detik itu juga tubuh Esme didorong hingga ke tembok dan bibir Brandon mengejar sekujur wajahnya dengan membabi buta. Esme yang merasakan wajahnya lengket terkena liur pria itu semakin meronta dari ciuman paksa Brandon. Setelahnya, bibir itu mulai mengejar lehernya.
Esme mendorong kuat tubuh Brandon, tapi tidak ada hasilnya. Pria itu mengerahkan tenaganya dengan maksimal untuk menghukum Esme. Bahkan kedua tangan Esme mulai ditahan Brandon di samping tubuhnya.
Esme mulai ketakutan. Apalagi tidak banyak pengunjung yang melewati tempat Brandon menyerangnya. Hanya beberapa saja, itu pun tak ada yang memedulikannya. Mungkin dia dan Brandon terlihat sebagai sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Hingar bingar musik sudah menelan suara teriakannya.
Dan saat tangan Brandon mulai menjelajah tubuhnya, dan mulai menangkup sebelah dadanya, Esme mulai menangis. Dia tidak menginginkan ini, tapi kenapa pria di depannya ini, yang baru dikenalnya memaksakannya untuk menerima ciumannya?
Detik itu juga, perasaan menyesal menyelimutinya. Dia menyesal telah meninggalkan rumah ayahnya. Dia menyesal telah membenci pengawasan ayahnya. Dia menyesal telah melawan kehendak ayahnya.
Andai dia diam di rumah seperti yang diarahkan ayahnya. Andai dia tidak terbujuk ide liar Catherine. Andai dia tetap menjadi Mommy's little girl, saat ini dia pastilah sedang mendengarkan cerita ibunya, sambil duduk di sofa, menyantap camilan sedap, dan menonton film keluaran Marvel's.
Esme sangat merindukan rumah dan kedua orang tuanya. Dan saat pikirannya kembali meratapi pemaksaan Brandon, tubuh bawah pira itu sudah menempel padanya. dia bisa merasakan sesuatu yang menjadi pusat gairah pria itu sudah terbangkitkan.
Esme mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk meronta dengan sia-sia, sampai di satu titik dia tahu usahanya takkan mungkin menghalau kebejatan Brandon. Esme menangis karena merasa kalah. Dan di sisa-sisa tenaganya itu, dia hanya sanggup berharap alam berpihak padanya dan membantunya menghentikan Brandon.Dan sedetik kemudian, Esme benar terbebas dari cengkeraman Brandon. Secepat itu harapannya didengar Tuhan? Terima kasih Tuhan, batinnya penuh syukur.Bugh!!"Hei, apa-apaan! Siapa kau!"Suara pukulan di tengah bising musik, diikuti erangan sakit dari Brandon, mulai sampai di telinga Esme. Tatapannya kini terarah pada Brandon yang ternyata sedang diserang oleh seseorang.Seorang pria sudah menyelamatkannya dari terkaman nafsu Brandon. Pria itu memukuli Brandon bertubi-tubi hingga Brandon tergeletak di lantai dan tak sanggup melawan lagi.Beberapa saat berlalu dan akhirnya pria itu mulai berhenti dan menegakkan dirinya. Saat itulah Esme baru mel
"Berhati-hatilah dengan pemuda tadi. Sekali dia sudah kurang ajar padamu, berikut-berikutnya dia masih mungkin bersikap seperti itu."Entah kenapa, nasihat Darren yang biasa saja terdengar begitu manis bagi Esme. Seolah pria itu begitu mengkhawatirkannya.Tak ayal, Esme memberikan senyum manisnya yang malu-malu. Jarinya spontan menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. Terlihat bibir Darren seakan siap mengucapkan perpisahan mereka untuk malam itu. Namun, dering ponsel Esme telah lebih dulu mengisi keheningan mereka yang canggung.Esme mengambil ponselnya dengan Darren yang masih di hadapannya."Ya, halo?""Little Girl, are you okay?" seru Catherine di ujung telepon. Suaranya terdengar sangat panik."Ya. Aku baik-baik saja. Dan aku sudah pulang.""Huft, syukurlah. Aku panik sekali tadi. Dengan siapa kau pulang?" tanya Catherine lagi."Dengan Darren," jawab Esme. Dia sebenarnya masih ingin menjelaskan banyak hal tenta
"Bagaimana?" tanya Hale begitu dia melihat Catherine, alias Alicia, mendekat."Sudah beres! Dia akan tidur."Catherine menatap yang lainnya. "Silakan kalian bisa anggap rumah sendiri. Asal jangan ganggu adikku saja. Dia tidur di kamar yang sana."Brandon dan yang lainnya mengangguk. Catherine kemudian meninggalkan mereka semua di sofa ruang tengah, untuk mengambil minum."Aku rasa kalian kusajikan soft drinks saja ya. Di club tadi sudah minum beralkohol." Catherine mengucapkannya sambil lalu menuju dapur. Dia tahu Hale mengikutinya, sehingga ucapannya itu ditujukannya pada Hale.Sesampainya di dapur, saat hendak meraih pintu kulkas, lengan kokoh Hale sudah melingkar di pinggangnya. Hangat napas pria itu sudah terasa di tengkuk Catherine."Uhm ... Baby?" tanya Catherine tidak jadi membuka kulkas. Desiran di tubuhnya lebih menguasai otaknya hingga dia lupa apa yang h
"Oh, Baby, wanna try this? This is amazing!" tanya Hale tanpa beban."Kau! Kau gila! Kenapa membawa barang seperti itu ke sini?" Amarah Catherine terasa mendidih di kepalanya. Tidak perlu dijelaskan. Sekali lihat saja siapapun akan tahu bahwa itu adalah bubuk obat terlarang.Tentu saja Catherine marah. Obat seperti ini ilegal di Hawaii dan hampir di seluruh negara. Pemakai dan pengedarnya bisa dihukum belasan tahun hingga seumur hidup di penjara.Habislah dia dan Esme jika sampai terlibat hal seperti itu di Hawaii. Sekalipun jika dia tidak memakai ataupun mengedarkan, tapi jika huniannya yang menjadi tempat untuk memakainya, dia tetap akan terseret.Catherine tidak menginginkan itu! Ayahnya sering berkata agar jangan pernah menyentuh dan mencicipi obat terlarang. Bahkan jika hanya satu kali dan dalam dosis kecil sekalipun. Efek candu dari obat itu akan menjeratmu!"Wohooo ... tenang dulu
"LEPASKAN AKU! LEPASKAN AKU, JAHANAM!!""Hahaha, kau takkan kulepaskan. Kau harus menerima pemberianku ini. Aku sudah susah payah membelinya untukmu. Sekarang terimalah!" Brandon mulai menarik rambut Esme untuk bisa mengendalikan gadis itu.Dililitnya rambut panjang Esme di tangannya hingga Esme tak bisa menggerakkan kepalanya. Setelahnya, Brandon mulai mendorong Esme menuju meja. Didorongnya kepala Esme agar mendekat ke meja, mendekat ke bubuk putih terlarang yang disebutnya bubuk bahagia itu.Esme berusaha menahan dorongan Brandon. Menahan wajahnya agar tidak semakin dekat pada bubuk putih itu. Tapi tenaga Brandon teramat sangat kuat hingga yang mampu Esme lakukan hanyalah menangis.Dalam hatinya dia memanggil-manggil ayahnya. Dia juga memanggil Enrique, kakaknya. Tapi suara itu hanya memantul dalam benaknya dan wajahnya hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari meja.Esme memegang tangan
"Hale? Kau mau ke mana?"Suara Catherine terdengar merengek dan dia menghambur ke arah Hale. Catherine memeluk Hale dengan erat karena firasatnya mengatakan Hale akan pergi meninggalkannya."Jangan pergiii...."Tangan Hale menghalau pelukan Catherine menyebabkan wanita itu semakin histeris. Tapi Hale tetap melangkah, membawa Brandon keluar dari apartemen mereka.Catherine berbalik pada Esme. Ditatapnya sepupunya itu dengan pandangan bertanya, sekaligus marah."Kenapa kau biarkan mereka pergi?" Catherine masih merasa tak senang. Sekalipun dia tidak tahu permasalahan sesungguhnya, dia merasa Esme-lah yang mengusir Hale."Sudahlah Cath, mereka berniat tidak baik pada kita.""Tidak baik bagaimana? Dia pacarku!""Iya, aku tau! Tapi pacarmu itu sudah menjebakmu agar mengkonsumsi narkoba!""Omong kosong!""Aku tidak
"Cath, ayo kita jalan-jalan. Sekalian kita ke supermarket membeli berbagai bahan makanan. Aku kepingin masak sendiri. Rasanya makanan di sini kurang pas di lidahku."Esme mengetuk pintu kamar Catherine dan mengucapkan kalimat panjang itu, berharap Catherine bersedia melupakan kejadian yang tak mengenakkan bersama Hale.Esme menunggu beberapa saat, tapi Catherine tak kunjung menjawab."Catherine! Cath! Ayolah, kita jalan-jalan mengusir suntuk." Esme masih berusaha mengajaknya lagi. Beberapa kali sudah dia mengambil napas dalam-dalam demi mempertebal kesabarannya. Tapi jawaban dari Catherine tak kunjung muncul.Hingga saat Esme berbalik hendak pergi dari sana, tiba-tiba pintu terbuka dan Catherine keluar dari kamarnya. Sepupunya itu tak menyapanya, tak juga menjawab pertanyaannya sedari tadi. Gadis itu melewatinya dengan dagu terangkat dan tatapan lurus ke depan."Cath...." Esme me
Bip. Bip.Catherine sedang mengambil kopi dingin dari kulkas saat mendengar ponselnya berbunyi. Bunyi pesan?Sudah sejak hari di mana Hale diusir pulang dari apartemennya oleh Esme, pria itu tak pernah membalas pesannya dan tak pernah juga mengangkat panggilan teleponnya. Catherine rasanya ingin menyerah. Tapi dia begitu merindukan Hale.Hampir setiap detik dia teringat akan wajah tampan Hale, canda tawa pria itu, hingga sentuhan hangat Hale padanya. Bagaimana mereka menghabiskan malam bersama waktu itu masih sangat membekas di benaknya. Dia ingin mengulangnya lagi. Dia ingin merasakannya lagi. Dia ingin bersama Hale lagi.Jika semua itu tak bisa terulang lagi, lantas untuk apa dia berada di negara ini?Saat ponselnya berbunyi, Catherine langsung tahu bahwa itu pesan dari Hale. Hanya Esme dan Hale yang mengetahui nomornya. Gegas dia menutup kulkas dan meraih ponsel yang tadi diletakkanny