Home / Romansa / Embrace Fate / 07. Boyfriend?

Share

07. Boyfriend?

Author: Chani yoh
last update Last Updated: 2021-03-28 10:54:00

Ada 4 pria dan 2 wanita yang diakui Catherine sebagai teman-temannya. Ke empat pria itu berpakaian kaos kasual dengan celana panjang jeans yang sobek di lutut, di paha, ataupun di betis. Dua di antara mereka memakai topi terbalik. Dua lagi yang tidak memakai topi memiliki rambut yang warnanya di cat hijau dan abu-abu, atau biru bercampur merah.

Esme melirik tato di lengan pemuda-pemuda itu. Mereka memasang tato bergambang sama di lengan kanan mereka. Tato bergambar elang yang sedang berdiam di daratan. 

Selain tato, hal lain yang membuat Esme merasa tidak nyaman adalah motor gede yang mereka bawa. Dia akan ikut naik motor? Yang benar saja! Esme belum pernah naik motor! Perasaannya berkecamuk antara takut tapi juga antusias. Sepertinya naik motor akan terasa seru. Tapi, berada dekat pemuda-pemuda itu membuatnya terintimidasi. Mereka terlihat seperti pemberontak jalanan.

"Hai semua! Ini adikku, Leah. Dan Leah, ini Hale, Akoni, Ekewaka, dan Brandon. Sedangkan mereka berdua Lewwa dan Jane, pacarnya Ekewaka dan Akoni."

Esme menatap satu demi satu yang dikenalkan oleh Catherine. Dan dia pun mendapat tatapan yang intens dari mereka berenam, terutama yang bernama Brandon.

"Ayo!" seru Catherine memecah pengamatan Esme. Sepupunya itu sudah mengenakan helm dan duduk di motor sambil memeluk pinggang Hale.

Esme menatap satu-satunya motor yang masih cukup mengangkut dirinya di jok belakang. Motor Brandon! Dan pria itu tersenyum miring saat Esme menghampirinya, menerima helm, dan duduk di boncengan belakang Brandon.

Belumlah dia duduk dengan mantap, mereka semua sudah melajukan motor masing-masing. Termasuk Brandon yang tarikan motornya membuat Esme hampir terpental ke belakang.

                   

                                ***

Marco Bandares berusia di pertengahan 50 tahun. Tubuhnya tidak besar, cenderung tak berotot, dengan punggung yang sedikit membungkuk. Rambutnya sudah mulai dipenuhi uban-uban putih, meski masih banyak yang berwarma coklat jerami. Mata birunya terlihat sangat teduh kala tersenyum. Namun keteduhan itu ada syaratnya. Saat semua berjalam lancar sesuai keinginannya.

Jika ada yang tidak beres meski hanya sedikit, seperti saat ini, maka keteduhan itu berganti murka bagai api neraka.

"Apa yang kau katakan?!" serunya lagi saat Martinez, orang kepercayaannya, menyampaikan kabar minggatnya Esme dari rumah.

Martinez sudah biasa menghadapi murka Marco. Dia tak gentar dan tetap berdiri tegap menanti perintah sang bos.

Namun kali ini, kabar buruk ini mengenai gadis kecil kesayangannya. Bagaimana mungkin murkanya selevel biasanya saja?

"BAGAIMANA BISA?" raungnya bagai singa yang kakinya terjepit ranjau.

"Saya tidak tau, Tuan."

"Esme ada di rumah dengan lima pengawal. Belum lagi pelayan di sana yang hampir 10 orang. Bagaimana bisa dia keluar tanpa satu orang pun yang menyadarinya?" 

Meski kini suaranya sudah merendah dan nyaris berupa desisan, tapi bara api kebengisan yang terpancar di matanya masih menyala-nyala.

"Nyonya yang menyadarinya pertama kali, Tuan. Tapi saat itu, Nona Esme sudah pergi dari rumah."

"Lalu tunggu apa lagi? CARI DIA!!"

Martinez menundukkan tubuhnya sebagai bentuk penghormatan. Namun sebelum dia berlalu dari hadapan tuannya, ponsel Rodrigez, adik bosnya yang juga ada di ruangan itu bersama mereka, berbunyi.

Sedetik setelah Rodriguez menjawabnya, suaranya ikut menggelegar marah. "Apa?! Bagaimana bisa Catherine menghilang?"

Kedua matanya melirik pada Marco. Begitu ponselnya ditutup, Marco menggelegar marah lagi. "Temukan Esme dan Catherine! Mereka pasti bersama-sama! Seret mereka pulang sekalipun mereka menolak dengan merengek-rengek!"

"Siap, Tuan!" Martinez membungkuk penuh hormat sekali lagi sebelum berlalu dari ruangan itu.

             

                              ***

"Wohooo! Ini seru sekali, Hale!" 

Dari belakangnya, Esme melihat Catherine sangat senang. Sepupunya itu berteriak dengan mengangkat kedua lengannya, merasa bebas melaju dengan motor. 

Mereka sudah keluar dari jalan raya yang padat dengan kendaraan. Tapi, Catherine tidak merasa malu berteriak sesuka hatinya, sekalipun pengendara lain ikut melirik ke arahnya. Dan dari yang Esme lihat, sepupunya itu memeluk Hale dengan sangat akrab. Dia menyentuh Hale tanpa sungkan, seakan Hale adalah kekasihnya.

Seketika, Esme justru terkesiap dengan pemikirannya sendiri. Mungkinkah?

Esme melirik lagi ke arah Catherine. Jalanan yang mereka lalui semakin sepi. Hanya ada beberapa pengemudi lainnya. 

Tubuh Catherine sudah menempel dengan punggung Hale. Lengan Catherine sudah melingkar erat di pinggang Hale. Dan entah apa yang mereka lakukan, tiba-tiba motor mereka oleng sejenak, dan Catherine malah tertawa terbahak-bahak.

"Sial! Hale sungguh beruntung mendapat pacar seperti kakakmu." Ucapan Brandon sontak membuat Esme terkesiap.

"Pacar?" tanyanya seperti orang bodoh, atau tuli.

"Iya, mereka berpacaran selama ini. Long distance relationship. Sudah lima bulan. Kau tidak tau?"

Esme yang masih belum pulih dari kekagetannya, menjawab dengan gelengan kepala. Tentu saja Brandon tidak melihatnya.

Detik demi detik berlalu dengan hanya suara deru motor mengisi telinga Esme. Hingga saat dia menemukan lagi suaranya, gadis itu hanya mampu berkata, "Aku tidak tau."

"Ngomong-ngomong, kau sendiri bagaimana?" tanya Brandon setengah berteriak agar suaranya terdengar jelas oleh Esme.

Gadis yang masih terkejut akan informasi yang didapatnya tentang Catherine, otaknya seakan tumpul. 

"Aku bagaimana apanya?"

"Sudah punya pacar belum?" 

"Ah? Pacar?" Esme menggeleng lagi tanpa menyadari Brandon tidak bisa melihatnya. Selama ini dia hanya home scholling sendirian. Temannya hanyalah para anak dari teman-teman orang tuanya. Meskipun mereka sesekali keluar bersama, tapi rasanya sangat sulit untuk bisa menjalin hubungan asmara dengan salah satu dari anak teman orang tuanya. 

"Bagaimana? Sudah punya pacar belum?" Suara Brandon terdengar lagi. Kali ini suara itu berkurang setengah kesabarannya. 

"Belum." Esme menjawab apa adanya. Tapi entah kenapa dia mulai merasa tidak nyaman berada di dekat Brandon.

Brandon sendiri, seperti yang telah dikatakan Catherine, adalah berwajah tampan. Tubuhnya tinggi, dadanya tegap, rambutnya pirang, dan pakaiannya urakan. Ya, seperti tiga temannya yang lain, Brandon urakan. Badboys. Meskipun menurut Esme, wajah Brandon tidak cocok dikategorikan badboys. Wajahnya terlalu manis untuk disebut badboys.

Tapi pertanyaan Brandon tentang pacar, juga kesabarannya yang sepertinya cepat menguap, membuat Esme merasa tidak nyaman.

Terlebih lagi, setelahnya, sebelah tangan Brandon tiba-tiba saja menangkup telapak tangan Esme yang berada di atas lututnya sendiri.

"That's great!" ujar Brandon dan dia meremas tangan Esme sebagai ungkapan rasa senangnya.

Spontan Esme menarik tangannya dan menjauh dari tubuh Brandon di depannya. Dia mulai menjaga jarak duduknya dengan Brandon. Entah pria itu merasakannya atau tidak. Esme tidak mau memedulikannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Embrace Fate   Extra Endings

    Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak

  • Embrace Fate   170. As Long As You Love Me

    “Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha

  • Embrace Fate   169. Throw a Party or Investment?

    Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan

  • Embrace Fate   168. I'm not Incomplete

    “Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan

  • Embrace Fate   167. Farewell and Forgetting

    Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b

  • Embrace Fate   166. Where's Your Pride?

    “LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status