“Sambungkan aku dengan Martinez!” Suara Marco terdengar rendah tapi tetap menggelegar .
Begitu panggilannya dijawab Martinez, Marco langsung menyembur, “Kapan jadwal pesawat kita ke Honolulu?”
“Sore ini, Tuan.”
“Lalu apa yang kau kerjakan sekarang?”
“Aku hendak memberi pelajaran pada orang yang menjual identitas palsu pada Nona Esme dan Catherine, Bos.”
“Kenapa baru sekarang?! Baiklah! Jangan sampai telat!!”
“Baik, Tuan,” jawab Martinez lagi.
Marco menutup teleponnya dan mendorong pintu kamarnya. Dia memandangi Margaritta yang terbaring di atas ranjangnya. Luka di tubuh istrinya terlihat semakin parah. Andai Marco mau mengakuinya, beberapa luka yang dia torehkan dengan sarung samurainya itu terlihat semakin terang dan melebar.
Bau daging yang bernanah mulai tercium samar di ruangan itu. Akan tetapi, kemarahannya pada sang istri tidak membuat dia menyadari seberapa parah yang dia lihat, dan seberapa busuk yang tercium in
“BAgaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?!” Esme panic dan dia benar-benar kehilangan akal sehatnya. Wajahnya pucat dan ketakutan. Teringat di benaknya ucapan Darren sebelumnya yang mengkhawatirkan pembalasan dari Hale. “Ap- apakah ini perbuatan Hale?” “Aku rasa iya,” jawab Darren sambil memandang sekelilingnya. “Ayo!” Darren berlari menuju toko penyewaan motor. Mereka menyewa motor dan gegas mengejar jejak mobil tadi. Sampai di persimpangan jalan raya, tidak ada lagi jejak mobil yang masih tersisa di sana. Esme merasa terhempas jatuh dari pohon tinggi. Bagaimana ini? “Kita kembalikan motor ini, kemudian pulang ke apartemen. Aku akan menghubungi temanku yang bisa melacak ponsel. Kau tenang saja, ya. Hale tidak akan berani macam-macam. Orang seperti dia hanya mampu mengancam. Dan yang dia butuhkan adalah uang. Jadi, dia tidak akan berani macam-macam.” Darren berusaha menenangkan Esme. Kemudian, laju motor itu kembali ke area pantai yang ramai. Sesam
Honolulu International AirportMarco Bandares turun dari pesawat pribadi mereka dengan menggunakan kacamata hitam. Di sampingnya adalah sang adik, Rodriguez Bandares, pun dengan mengenakan kacamata hitam. Martinez berjalan di depan mereka, memastikan situasi aman.Meskipun mereka landing di jalur tersendiri, tapi keadaan di bandara teramat ramai. Mereka tidak bisa mengambil resiko akan dikenali public atau pihak berwenang setempat. Dengan berjalan mantap, Marco dan Rodriguez dituntun Martinez hingga ke pintu keluar, yang tersembunyi dari khalayak umum.Limousin yang disiapkan Martinez lewat rekannya di Honolulu telah menunggu kedatangan mereka. Marco dan Rodriguez melesak masuk. Dan begitu Martinez masuk dan menutup pintu, Marco langsung memerintahkannya, “Cepatlah lacak nomor ponsel mereka!”“Baik, Tuan!”Martinez mengeluarkan laptop dan segala peralatannya. Setelah berkutat selama beberapa menit
Martinez melepas jasnya dan menutupi tubuh polos Catherine. Dia juga mengambil celana dalam gadis itu dan memakaikannya pada Catherine. Setelahnya, jantungnya kembali terjun bebas ke tanah karena dia juga menyadari denyut nadi gadis itu sangat lemah. “No! No! No! Bertahanlah! Kau harus hidup!” Martinez menggendong Catherine hingga tiba di limousine yang terparkir di dekat sana. Begitu dia masuk dan menutup pintu, dia segera berseru, “SEgera ke rumah sakit!” Suara hardikan Martinez lah yang membuat driver langsung injak gas dalam-dalam. Mereka tiba di rumah sakit. Martinez menggendong Catherine lagi dan berlari terseok-seok meminta pertolongan pertama dari tenaga kesehatan. Setelah tubuh Catherine dibaringkan di tempat tidur pasien dan dokter menanganinya langsung, Martinez terduduk letih. Dia menyeka keringat dan mengeluarkan rokok untuk meredakan kepanikannya yang hampir membuatnya lupa akan hal lainnya. Sekarang dia baru teringat unt
“Saya tidak mau tau! Putriku harus bisa ditolong!” Seruan Rodriguez memantul di dinding rumah sakit besar yang ada di kota itu. Kedua tangannya malahan telah kurang ajar menarik kerah baju sang dokter dan dia berdesis di depan wajah dokter itu. “Buat dia sadar!” “Rod, Rod! Tenanglah! Biarkan mereka bekerja semaksimal mungkin. Kau tenang dulu!” Marco Bandares menepuk punggung adiknya itu agar menenangkan dirinya. Biar bagaimanapun, kota ini bukanlah kandang mereka. Mereka tidak bisa seenaknya. Bisa mendapatkan perawatan intensif bagi Catherine di rumah sakit ternama ini saja sudah bagus, meskipun Marco harus mengeluarkan banyak kemampuan berbicaranya untuk mengarang jati diri mereka pada pihak rumah sakit. “Tuan tenanglah dulu. Kami para dokter pasti akan berusaha yang terbaik untuk setiap pasien kami. Jadi, tolong Anda berikan kami waktu untuk bekerja semaksimal mungkin. Silakan menunggu di ruang tunggu sebelah sana. Dan harap semuanya tenang karena di sini ada banya
“Uncle, Itu dokter yang merawat Catherine!” bisik Esme pada pamannya yang terduduk lesu di sampingnya. Sudah satu jam lebih mereka menunggu, tapi tim dokter belum juga keluar. Uncle Rod sampai tidak mengingat hal lain lagi, kecuali menunggu kabar tentang Catherine. Dan saat mendengar ucapan Esme, Uncle Rod langsung bangkit dan menghampiri dokter. “Bagaimana, Dokter?” Sang dokter menghela napasnya seraya melepaskan kacamata yang bertengger di atas hidungnya. “Putri Anda berhasil tertolong. Efek obat di dalam darahnya telah berhasil kami bersihkan. Kita hanya perlu menunggu dia tersadar saja.” Seketika Uncle Rod lemas karena terlalu bahagia. Tetapi wajahnya mulai merekah hidup kembali. “Boleh saya lihat dia, Dok?” “Ya, silakan. Tapi dia masih belum sepenuhnya sadar. Silakan ditemani agar saat sadar dia tidak merasa down lagi.” “Iya, Dok. Iya.” Bertiga, mereka masuk ke ruang perawatan Catherine. Kondisi gadis itu cukup memilukan d
Darren tak hentinya menatap ponsel yang ada di tangannya. Jantungnya berpacu lebih kencang mendapati pesan dari Esme yang menyatakan sebuah janji bahwa gadis itu takkan mengganti nomor ponselnya. Dan setelah beberapa pesan balasan untuk Esme dan akhirnya gadis itupun membalasnya dengan sebuah ‘good night’, pria itu lekas berkemas untuk perjalanannya malam itu juga. Dia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Penerbangan menuju Miami selama 15 jam lebih dilalui Darren dengan tak sabaran. Rasanya pesawat yang ditumpanginya ini bergerak sangat pelan. Hingga saat dia tiba di Miami, Darren bergegas menuju kantornya. Hari baru beranjak siang saat itu. Dan kehadiran Darren di sana cukup menyita perhatian rekan-rekannya. Apalagi pakaiannya hanya berupa kaos oblong dan celana jeans selutut. “Hei, Darren! Kau sudah pulang?” sapa Michael yang kebetulan keluar dari ruangannya menuju mesin kopi. Darren hanya menepuk bahunya tanpa menjawab. Langkahnya mantap dan tergesa menuju
Pintu kamar hotel yang gelap dan pengap itu akhirnya terbuka. Sosok pelayan hotel masuk ke dalamnya, membawa troli dorong yang berisikan peralatan bersih-bersih. Hal pertama yang dilakukan pelayan laki-laki itu adalah menyalakan lampu. Begitu kamar terang dan pelayan itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, tatapannya terhenti pada sosok pemuda yang terikat di atas kursi. Kepala pemuda itu terkulai dan tampak darah berceceran di sekujur pakaiannya. Seketika si pelayan menjerit keras. Polisi datang sepuluh menit kemudian. Mereka melepaskan ikatan Hale dan membawa pemuda itu ke rumah sakit. Beruntung nyawanya tertolong. Tapi, adanya sebotol heroin di saku celananya, membuat Hale dipantau pihak berwenang. Saat sembuhnya nanti, dia akan segera diproses pihak berwajib sebagai pemakai narkoba. Beberapa temannya yang lain, saat mendengar berita Hale, tidak berani datang menjenguk. Sempat ada yang mencoba, tetapi langsung mendapatkan interogasi yang k
Darren memandangi pantulan dirinya di cermin. Dia memakai sebuah hoodie yang berwarna abu-abu. Resleting hoodie itu dia rekatkan setengah dan bagian topinya dia pasangkan di atas kepalanya, hingga seluruh keningnya tertutupi. Dia tidak memakai kacamata hitam, tapi dengan bagian topi hoodi yang terpasang rendah, rasanya tidak mungkin ada yang akan mengenalinya dengan mudah. Wajahnya bahkan tidak terlalu jelas terlihat jika hanya dilirik sekilas.Setelah yakin penampilannya tidak mudah dikenali, Darren mengambil ponselnya dan menuju titik koordinat di mana nomor ponsel Esme terlacak.Darren tiba di sebuah rumah sakit swasta terbesar di kota itu. Dia masuk dan mengitari seluruh lantai yang ada, hingga dia melihat sosok pengawal yang menjaga sebuah kamar perawatan intensif di lantai lima.Dua pengawal berjaga di kanan dan kiri pintu. Darren tidak mengenali mereka, tapi sangat janggal melihat ada kamar yang dikawal seketat itu, kecuali memang dari pihak kepolisian. T