Author's POV"Lain kali nggak usah pergi belanja kalau bukan Mas yang ngantar. Kalau butuh apa-apa yang urgent catat saja dan berikan pada Pak Karyo biar beliau yang membelinya.""Hu um.""Kapan beli perlengkapan untuk bayi kita?""Setelah acara tujuh bulanan saja, Mas.""Oke." Sebenarnya ada yang ingin dikatakan pada sang istri. Tentang kecemasan yang melebihi dari apa yang sudah ia ucapkan. Perasaannya takut kalau ada yang berniat mencelakai istrinya. Dia juga tahu kalau adiknya sendiri menyukai Embun. Dari cara memandang saja Andrean tahu kalau Hendriko memiliki perasaan itu.Andrean merapatkan tubuhnya kemudian memeluk erat sang istri. Embun yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan suaminya, membalas pelukan itu meski terhalang oleh perutnya. Dia pikir, Andrean sedang meminta untuk berhubungan intim. Salah duga itu justru berujung manis. Kemesraan tercipta di malam yang belum larut. Dan selimut warna dark grey itu menutup tubuh setelah petualangan manis mereka."Seben
Keduanya memesan makanan dan minuman karena memang sudah waktunya jam makan siang. Usai makan mereka langsung membahas tentang pekerjaan, Fariq sudah hafal bagaimana rekan kerjanya ini. Andrean orangnya tidak bertele-tele.Justru dari Fariq sendiri yang berulang kali di telepon oleh Karina. Perempuan itu makin posesif setelah kemarin melihat Embun tengah mengandung. Dalam setengah hari ini tadi entah sudah berapa kali ia di telepon dan dikirimi pesan. Untung ponselnya dalam mode silent jadi tidak mengganggu pembicaraannya dengan Andrean."Saya akan mengundang Pak Andrean dan istri di acara dinner bulan depan. Datang ya. Nanti saya infokan tanggalnya kalau sudah dekat."Andrean termenung sejenak, lalu buru-buru mengangguk. "Insya Allah, saya akan datang."Setelah selesai bicara, Fariq lebih dulu pamitan dan pergi, sedangkan Andrean masih menyempatkan diri untuk menelepon istrinya.Tepat setelah ia selesai menelepon, pandangannya bentrok dengan tatapan seorang gadis yang baru masuk rest
Author's POV"Pak Andre," sapa Fariq sambil tersenyum. Dibalas senyuman juga oleh Andrean. Fariq kemudian mengenalkan Andrean pada istrinya. Mereka berdua sama-sama mengangguk. Sekarang Andrean tahu mantan madu dari istrinya. Bahkan tanpa bertanya pada Embun, satu per satu orang-orang dari masa lalu istrinya ia ketahui tanpa sengaja."Apa rumah Pak Andrean dekat sini saja?" "Tidak, Pak Fariq. Kebetulan tadi saya lewat sini." Tentu Andrean tidak memberitahu alamatnya. Fariq mungkin tak akan macam-macam, tapi bagaimana dengan istrinya? Bisa saja wanita itu sangat berbahaya."Oke, kami pergi dulu, Pak Andre.""Silakan!"Mereka hanya saling sapa sebentar, setelah Fariq dan Karina pergi, Andrean masuk ke minimarket. Dia mengambil apa yang dibutuhkan saja dan segera ke rumah sakit untuk menjemput istrinya.* * *"Kenapa harus progam bayi tabung, toh kamu juga pernah hamil dua kali. Berarti ada kesempatan besar untuk hamil lagi." Bu Salim terlihat keberatan ketika Karina menyampaikan niat
Author's POVMiranda meraih gelas jus dan menyesap isinya. Tiba-tiba saja grogi melanda. Jadi takut juga membayangkan menikah dengan pria dingin seperti Hendriko. Padahal kemarin ia sangat memujanya. Entahlah, gadis itu bingung sendiri."Kenapa diam?" tanya Hendriko."Kau tidak suka menikah denganku?" Pertanyaan serius itu membuat Miranda berdebar dan bengong. Hati yang sudah tertata rapi kini kembali berantakan karena kebingungan."Mir.""Memangnya Mas mau?"Hendriko menarik tubuhnya dan kembali bersandar pada kursi. Netranya masih menatap sepupunya. Membuat gadis itu makin serba salah. Menyesal juga ia bertanya seperti itu. Memalukan dirinya sendiri saja. Sekian lama ditolak, apa dia akan tunduk sekarang?Miranda ingat, tadi malam mamanya bilang kalau dibandingkan dengan Hendriko, sang mama lebih memilih Andrean. Sayangnya Andrean sudah menikah. Hendriko sendiri juga diam. Perdebatan beberapa hari yang lalu dengan mamanya berakhir dengan tangisan wanita yang telah melahirkannya itu
Author's POVPagi yang cerah. Andrean mengangkat koper untuk di masukkannya ke dalam mobil. Pagi itu untuk pertama kalinya sejak menikah, Andrean mengajak istrinya ke luar kota untuk bekerja.Embun tampil cantik dan segar dengan blouse hamil warna putih dan celana bahan warna army. Dia berdiri di depan pintu sambil menenteng tas warna hitam.Biasanya tiap pagi begini dia telah memakai baju kerjanya dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Namun mulai hari ini dia tidak bekerja lagi. Teman-teman dan beberapa dokter menyayangkan keputusannya. Tapi juga tidak melarang, karena bagi seorang istri berbakti pada suami adalah hal yang utama.Andrean memberi kode pada istrinya untuk diajak berangkat. Embun menoleh pada Mbok Darmi yang berdiri di sebelahnya. "Mbok, kami berangkat dulu, ya," pamit Embun."Hati-hati ya, Mbak. Nikmati waktu kalian sebaik mungkin," pesan wanita sepuh itu sambil tersenyum. "Makasih, Mbok." Embun melangkah menuju mobil. Andrean melambaikan tangan pada Mbok Darmi yang m
Author's POVAndrean tersenyum. "Hidup Mas terlalu kaku setelah kepergian orang-orang yang Mas cintai. Kakek, nenek, terutama mama. Walaupun Mas hampir tidak bisa mengingat sosoknya.""Mas, bisa menjaga diri. Tapi ketika dapat istri, justru dapat janda," ucap Embun sambil tersenyum.Pria itu menatap istrinya, tepat setelah Embun selesai bicara. "Kamu istimewa." Itu saja ucapan Andrean. Dan setelahnya mereka tidak berbicara lagi hingga kembali ke hotel.Usai Salat Isya mereka duduk di balkon kamar saling berdekatan dan lengan Andrean memeluk bahu istrinya. Mereka menatap jauh ke angkasa, pada bulan separuh yang bersinar terang di langit malam."Kamu merasa tenang di sini?" tanya Andrean."Iya."Andrean pun merasakan hal yang sama. Ketenangan justru dirasakan saat jauh dari kota kecil tempat tinggal mereka. Jauh dari orang-orang yang menjadi keluarganya. "Kita bisa pindah ke luar kota jika kamu mau. Mas bisa mencari pekerjaan lain."Embun mendongak, menatap suami yang bicara serius pad
Author's POVAndrean menggenggam erat jemari istrinya sambil tersenyum pada Fariq yang masih keget dan memandangnya. Ia juga tersenyum pada kenalan yang ada di restoran. Ada beberapa relasi bisnis yang diundang Fariq malam itu.Embun menyalami dan mencium tangan mantan mertuanya. Bu Salim dengan netra berkaca-kaca menarik pelan lengan Embun supaya lebih mendekat padanya. Wanita itu meneteskan air mata sambil menatap mantan menantu. "Kamu hamil?" tanya Bu Salim dengan suara bergetar dan menyentuh perut yang membulat itu."Alhamdulillah, iya Tante."Bu Salim menatap lekat mantan menantunya."Kenalkan, ini suami saya." Embun mengenalkan Andrean pada Bu Salim dan Pak Salim.Andrean mengangguk pada kedua orang tua Fariq. Sementara kedua orang tua Karina hanya diam memandang mereka."Semoga kalian bahagia," ucap Pak Salim sambil tersenyum. Andrean menjawabnya dengan kata Aamiin.Ketika Bu Salim mengajak Embun berbincang-bincang, tatapan Andrean tidak lepas dari istrinya ketika wanita itu be
Author's POVFariq diam dan kembali terluka. Andrean tak segan mengakui itu di samping istrinya. Fariq kemudian menoleh pada Embun yang berdiri tidak jauh dari mereka. Tapi wanita itu memandang ke tempat lain."Saya harap, ini tidak akan jadi kendala dalam kerjasama kita, Pak Fariq. Semoga kita tetap bisa profesional."Fariq tersenyum sambil mengangguk. Andrean meraih jemari istrinya dan mengajaknya pulang."Mas, kami permisi dulu ya. Assalamu'alaikum," pamit Embun.Lagi-lagi Fariq hanya bisa tersenyum getir sambil mengangguk. Pria itu baru masuk restoran lagi setelah mobil Andrean pergi. * * *"Mas, sengaja ya mengundang mereka. Kenapa nggak bilang sejak kemarin kalau laki-laki yang bertemu dengan kita di minimarket itu suaminya mantanmu." Baru juga pulang dan masuk kamar, Karina yang menahan emosi sejak tadi menyerang suaminya."Aku juga nggak tahu kalau dia suaminya Embun.""Bohong. Bekerjasama berbulan-bulan masa nggak tahu. Mas, memang sengaja mengundang mereka datang kan?"Far