Author's POVMiranda meraih gelas jus dan menyesap isinya. Tiba-tiba saja grogi melanda. Jadi takut juga membayangkan menikah dengan pria dingin seperti Hendriko. Padahal kemarin ia sangat memujanya. Entahlah, gadis itu bingung sendiri."Kenapa diam?" tanya Hendriko."Kau tidak suka menikah denganku?" Pertanyaan serius itu membuat Miranda berdebar dan bengong. Hati yang sudah tertata rapi kini kembali berantakan karena kebingungan."Mir.""Memangnya Mas mau?"Hendriko menarik tubuhnya dan kembali bersandar pada kursi. Netranya masih menatap sepupunya. Membuat gadis itu makin serba salah. Menyesal juga ia bertanya seperti itu. Memalukan dirinya sendiri saja. Sekian lama ditolak, apa dia akan tunduk sekarang?Miranda ingat, tadi malam mamanya bilang kalau dibandingkan dengan Hendriko, sang mama lebih memilih Andrean. Sayangnya Andrean sudah menikah. Hendriko sendiri juga diam. Perdebatan beberapa hari yang lalu dengan mamanya berakhir dengan tangisan wanita yang telah melahirkannya itu
Author's POVPagi yang cerah. Andrean mengangkat koper untuk di masukkannya ke dalam mobil. Pagi itu untuk pertama kalinya sejak menikah, Andrean mengajak istrinya ke luar kota untuk bekerja.Embun tampil cantik dan segar dengan blouse hamil warna putih dan celana bahan warna army. Dia berdiri di depan pintu sambil menenteng tas warna hitam.Biasanya tiap pagi begini dia telah memakai baju kerjanya dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Namun mulai hari ini dia tidak bekerja lagi. Teman-teman dan beberapa dokter menyayangkan keputusannya. Tapi juga tidak melarang, karena bagi seorang istri berbakti pada suami adalah hal yang utama.Andrean memberi kode pada istrinya untuk diajak berangkat. Embun menoleh pada Mbok Darmi yang berdiri di sebelahnya. "Mbok, kami berangkat dulu, ya," pamit Embun."Hati-hati ya, Mbak. Nikmati waktu kalian sebaik mungkin," pesan wanita sepuh itu sambil tersenyum. "Makasih, Mbok." Embun melangkah menuju mobil. Andrean melambaikan tangan pada Mbok Darmi yang m
Author's POVAndrean tersenyum. "Hidup Mas terlalu kaku setelah kepergian orang-orang yang Mas cintai. Kakek, nenek, terutama mama. Walaupun Mas hampir tidak bisa mengingat sosoknya.""Mas, bisa menjaga diri. Tapi ketika dapat istri, justru dapat janda," ucap Embun sambil tersenyum.Pria itu menatap istrinya, tepat setelah Embun selesai bicara. "Kamu istimewa." Itu saja ucapan Andrean. Dan setelahnya mereka tidak berbicara lagi hingga kembali ke hotel.Usai Salat Isya mereka duduk di balkon kamar saling berdekatan dan lengan Andrean memeluk bahu istrinya. Mereka menatap jauh ke angkasa, pada bulan separuh yang bersinar terang di langit malam."Kamu merasa tenang di sini?" tanya Andrean."Iya."Andrean pun merasakan hal yang sama. Ketenangan justru dirasakan saat jauh dari kota kecil tempat tinggal mereka. Jauh dari orang-orang yang menjadi keluarganya. "Kita bisa pindah ke luar kota jika kamu mau. Mas bisa mencari pekerjaan lain."Embun mendongak, menatap suami yang bicara serius pad
Author's POVAndrean menggenggam erat jemari istrinya sambil tersenyum pada Fariq yang masih keget dan memandangnya. Ia juga tersenyum pada kenalan yang ada di restoran. Ada beberapa relasi bisnis yang diundang Fariq malam itu.Embun menyalami dan mencium tangan mantan mertuanya. Bu Salim dengan netra berkaca-kaca menarik pelan lengan Embun supaya lebih mendekat padanya. Wanita itu meneteskan air mata sambil menatap mantan menantu. "Kamu hamil?" tanya Bu Salim dengan suara bergetar dan menyentuh perut yang membulat itu."Alhamdulillah, iya Tante."Bu Salim menatap lekat mantan menantunya."Kenalkan, ini suami saya." Embun mengenalkan Andrean pada Bu Salim dan Pak Salim.Andrean mengangguk pada kedua orang tua Fariq. Sementara kedua orang tua Karina hanya diam memandang mereka."Semoga kalian bahagia," ucap Pak Salim sambil tersenyum. Andrean menjawabnya dengan kata Aamiin.Ketika Bu Salim mengajak Embun berbincang-bincang, tatapan Andrean tidak lepas dari istrinya ketika wanita itu be
Author's POVFariq diam dan kembali terluka. Andrean tak segan mengakui itu di samping istrinya. Fariq kemudian menoleh pada Embun yang berdiri tidak jauh dari mereka. Tapi wanita itu memandang ke tempat lain."Saya harap, ini tidak akan jadi kendala dalam kerjasama kita, Pak Fariq. Semoga kita tetap bisa profesional."Fariq tersenyum sambil mengangguk. Andrean meraih jemari istrinya dan mengajaknya pulang."Mas, kami permisi dulu ya. Assalamu'alaikum," pamit Embun.Lagi-lagi Fariq hanya bisa tersenyum getir sambil mengangguk. Pria itu baru masuk restoran lagi setelah mobil Andrean pergi. * * *"Mas, sengaja ya mengundang mereka. Kenapa nggak bilang sejak kemarin kalau laki-laki yang bertemu dengan kita di minimarket itu suaminya mantanmu." Baru juga pulang dan masuk kamar, Karina yang menahan emosi sejak tadi menyerang suaminya."Aku juga nggak tahu kalau dia suaminya Embun.""Bohong. Bekerjasama berbulan-bulan masa nggak tahu. Mas, memang sengaja mengundang mereka datang kan?"Far
Author's POVAda panggilan dari Pak Darmawan. "Halo, Pa!" sapa Andrean."Kamu belum tidur?" tanya Pak Darmawan di seberang."Belum. Ada apa, Pa?""Hendriko minggu depan tunangan.""Tunangan? Sama siapa?""Sama Miranda. Besok pagi kita ketemu di taman kota. Sudah lama kita nggak joging bersama. Jam enam papa tunggu.""Oke." Andrean mengembalikan ponselnya ke nakas. Embun melepaskan mukena dan meletakkan di tempat biasanya. Andrean juga mengganti baju koko dengan kaos warna putih. Dia lebih suka memakai kaos tanpa lengan daripada piyama untuk tidur. "Minggu depan Hendriko tunangan dengan Miranda." Andrean memberitahu istrinya. Setelah mereka berbaring berhadapan."Oh ya? Apa mereka pacaran, Mas?""Mereka memang dekat, tapi Mas tidak tahu soal itu." Hendriko seperti dirinya yang hampir tidak punya teman perempuan. Bisa jadi pernikahan adik dengan sepupunya itu karena perjodohan. Sebab bagaimanapun juga ia bisa merasa kalau Hendriko pernah suka dengan Embun. Jika sekarang mau tunangan
Author's POV"Suatu hari Mbak Hera pernah datang ke rumah si mbok dan menangis di sana. Dia menceritakan kalau sering mengalami KDRT dan diselingkuhi. Dia menyesal telah mengkhianati Mas Andrean. Menyesal karena lebih percaya Rusdy daripada tunangannya sendiri.""Kapan dia menemui, Mbok Darmi?""Sudah lama, Mbak. Waktu Mbak Hera hamil anak keduanya. Dia bilang sudah nggak ada tempat untuk pulang. Saudara-saudaranya sudah punya keluarga masing-masing dan tinggal di luar kota. Sedangkan mertuanya sama sekali nggak mau tahu dan lebih percaya pada anaknya sendiri daripada sama menantunya yang terzolimi. Si mbok kasihan, tapi nggak bisa membantu apa-apa selain menyuruhnya bersabar."Kasihan. Nasibnya lebih menyedihkan daripada kisahnya bersama mantan suaminya. Bagaimanapun, Fariq tidak pernah mengkhianati pernikahan mereka. Bahkan ia juga yang memaksa Fariq menikahi Karina karena tekanan dari ibu mertuanya."Tapi waktu saya menceritakan hal itu pada Mas Andrean. Sedikit pun Mas Andrean ngg
Author's POVAndrean menyerahkan uang pembayaran ketika penjual rujak memberikan pesanannya. Pada saat yang bersamaan Rusdy telah menyeberang. Ketika Andrean hendak melangkah menuju motornya, tangan Rusdy menahannya. Mereka berhenti berlawanan arah."Mas, kami nggak ngomong apa-apa. Kami nggak sengaja bertemu." Hera mendekati dan memegang tangan kiri suaminya. Tampak sekali kalau wanita itu ketakutan. Bahkan anak yang dalam gendongan Rusdy juga takut. Mungkin karena sudah terbiasa melihat kekasaran ayahnya. Dan kejadian itu juga diperhatikan orang-orang yang ada di sana."Lepaskan tanganmu, kita tidak punya urusan," kata Andrean tanpa memandang pria di sebelahnya."Apa yang kalian bicarakan?""Bukankah istrimu sudah bilang kalau kami tidak ngobrol apapun. Kalau kamu mencurigaiku, itu salah besar. Aku bukan tipe laki-laki yang suka mengambil milik orang lain. Aku tidak berminat dengan milik orang lain. Satu wanita saja sudah cukup untukku dan itu istriku." Andrean melepaskan pegangan t