Naya mengusap air mata di kedua pipinya dengan kasar, menarik selimut dengan tujuan untuk menutup foto polaroid yang bertebaran di atas kasur, turun dari tempat tidur dan berjalan menuju meja rias, mengambil bedak lalu memakaikan di wajahnya.
"Nay, buka pintunya dulu, sayang." Naya menatap ke arah pintu kamarnya yang sedari tadi diketuk. Menatap cermin, lalu meletakkan kembali bedak yang baru saja ia gunakan. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan sebelum membuka pintu kamarnya. Maya, dan Nathan. "Kenapa?" Nathan langsung menatapnya dengan tatapan sendu. "Bilang sama Kakak, kalau kamu cuman bercanda, Nay..." Nathan mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Naya. "Aku nggak bercanda," kata Naya tegas, menepis tangan Nathan. Nathan menggeleng, kedua matanya kembali berkaca-kaca. "Bilang sama Kakak, kalau Kakak ada salah sama Nay. Kakak ngelakuin kesalahan yang bikin kamu marah, hm?" "Kakak nggak salah, aku aja yang udah bosen." Nathan terperangah, begitu pula dengan Maya yang sedari tadi hanya diam menyimak obrolan keduanya. "Hal biasa jika dalam hubungan seperti ini ada yang bosan, Nay... " Nathan mengulas senyum kecil di bibirnya. "Wajar... Kakak akan memaklumi—" "Tidak! Aku tidak ingin menikah dengan Kak Nathan." "Nay...." Maya menatap putri bungsunya dengan kening mengkerut, tidak setuju dengan perkataan putrinya. "Mah, lebih baik kita tidak melanjutkan hubungan ini. Daripada pernikahan kita hancur nantinya." Nathan memejamkan mata, lelaki itu sudah meneteskan air matanya kali ini. Tiba-tiba sekali, Naya memutuskan hubungan mereka secara sepihak lewat salah satu aplikasi chatting. Itulah kenapa lelaki itu berada di rumah Naya saat itu. Berharap itu hanyalah sebuah prank, tapi Naya mengatakan jika dia sungguh-sungguh dengan itu. "Nay—" "Kak!" teriak Naya memotong cepat perkataan Nathan, kedua matanya menatap manik mata lelaki di depannya. "Keputusanku sudah final! Ini demi kebaikan kita berdua," lanjutnya. Kali ini, suaranya lebih rendah saat mengatakan kalimat itu. "Nay, kamu sedang lelah, pikiranmu pasti sedang kacau. Tidak papa, tenangkan diri kamu dulu, baru setelah itu kita bicara tentang ini lagi," ujar Maya mengusap pucuk kepala Naya dengan lembut. Keluarganya memang tidak sedang baik-baik saja belakangan ini karena perceraian Disya dan Devan, jadi Maya yakin Naya berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Nathan karena pikiran putrinya juga sedang kacau. "Mah, aku serius." "Nay mau makan, lapar..." Naya berucap sambil berjalan meninggalkan Nathan dan Maya yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. Berjalan menuruni tangga untuk menuju ke ruang makan. "Nay." "Nay." Panggilan dari Nathan, Naya abaikan begitu saja, menulikan telinganya. "Naya!" Saat kaki Naya sudah berada di anak tangga paling akhir, Nathan berhasil menarik pergelangan tangan kanannya, membuat Naya kini berhadapan dengan lelaki itu. "Bosan?" tanya Nathan dengan mata yang sudah memerah karena menangis. "Beri Kakak satu alasan yang pasti selain kata bosan!" tegasnya. "Aku tidak mencintai Kakak lagi," jawab Naya, menatap kedua manik mata Nathan dengan yakin. Hubungan mereka berakhir begitu saja. "Kenapa harus kembali ke Lampung?" Lagi, Naya kembali tersadar dari lamunannya—mengingat hari di mana hubungannya dengan Nathan berakhir, karena Devan sudah berjalan menghampirinya yang sedang duduk di atas bean bag. Naya semakin menarik syal berwarna abu dengan corak bunga berwarna pink itu untuk semakin menghangatkan tubuhnya, menatap Devan yang juga sudah duduk di sampingnya. "... hanya ingin," jawab Naya seadanya. Devan menatap adiknya lekat. "Are you oke?" Naya memutar bola matanya malas, kalau dihitung-hitung rasanya sudah puluhan kali seseorang menanyakan hal yang sama seperti itu. "Aku malas jawabnya. Abang tahu, Abang adalah orang yang ke seribu yang nanyain keadaan aku," jawab Naya yang sebenarnya melebih-lebihkan ucapannya. Devan masih diam menatap adiknya, mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala Naya. Naya tersenyum lebar. "Aku baik, Bang. Ini pilihan hidupku, lihat Kak Nathan sekararang, dia juga bahagia sama Zara. Kita memang nggak berjodoh...." Naya mendekatkan tubuhnya dengan Devan, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Devan, lalu menyenderkan kepala di dada lelaki itu. Membalas pelukan Naya, mengecup pelan bagian atas kepala adiknya sayang. "Padahal Abang setuju banget kalau kamu sama Nathan, bukan hanya Abang, tapi Mamah, Papah, bahkan seluruh keluarga besar sangat setuju...." Kedua keluarga besar yang sudah saling mengenal, dan teman-teman keduanya sangat menyayangkan dengan berakhirnya hubungan mereka. "Namanya juga belum jodoh, Bang." Keheningan menyelimuti keduanya. Udara malam kali ini terasa dingin, rembulan penuh juga terlukis di langit gelap ditemani bintang-bintang yang berkerlap-kerlip. "Masuk dan segera tidur, ini sudah malam, di luar juga sangat dingin," kata Devan setelah cukup lama terdiam. Naya melepaskan pelukannya, mendongak menatap wajah Devan lalu menyungginkan senyum geli. "Sekarang Abang perhatian banget sama Nay? Trus biasanya kalau ngobrol sama Nay, selalu manggil diri Abang dengan embel-embel saya, kok jadi tiba-tiba kaya gini?" "Kamu adik Abang, Nay." "Yang bilang kita rekan kerja siapa emang?" cibir Naya. "...." Naya tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ditinggalin Disya berpengaruh besar banget ya buat Abang?" "Ada banyak hal yang harus kita syukuri keberadaanya, sebelum pergi, dan pada akhirnya kita menyesal karena terlambat menyadari bahwa hal itu berharga, sekecil apa pun." "Harusnya Abang menikahi Disya bukan karena mau balas dendam—" Naya menghentikan ucapanya karena Devan menatapnya seolah tidak terima dengan apa yang dikatakannya. "Apa ucapanku salah?" tanya Naya lagi. "Kata-katamu terlalu kasar—balas dendam? Apa tidak ada kalimat yang lebih halus dari itu?" Naya memutar bola matanya jengah. "Tidak! Abang tuh yang dari awal salah, harusnya Abang nggak usah nikahin Disya kalau niatnya cuman balas dendam. Dan, harusnya kalau Abang mau balas dendam ke Mba Naisya aja langsung jangan Disya yang nggak tahu apa-apa malah dijadiin korban. Harusnya Abang bersyukur punya istri kaya Disya, ini bisa-bisanya selingkuh sama orang yang udah ninggalin Abang—" Naya memejamkan matanya, membuang napas kasar, dengan tujuan meredakan emosinya. Entah kenapa, emosi Naya selalu meluap-luap jika sedang membahas masalah kebodohan Devan yang satu ini. "Sudahlah, berhenti membahas masalah ini," lanjut Naya. Keheningan kembali tercipta di antara keduanya. Sebenarnya membahas masalah ini membuat Naya kembali mengingat kejadian mengerikan tiga tahun silam yang terjadi kepadanya. Kehilangan kesuciannya, kehilangan Nathan, dan banyak hal, banyak impian yang harus dikubur dalam-dalam karena kejadian itu. Samudra merenggut semuanya dari Naya. "Nasi sudah menjadi bubur, Abang sangat menyesal. Karma sudah menimpa Abang Nay, Disya pergi, bahkan calon buah hati kami pergi tanpa Abang tahu kehadirannya." Naya kembali menatap Devan, raut wajah lelaki itu sangat terlihat menyedihkan. "Maaf," lirih Naya merasa bersalah karena membuat Devan kembali bersedih. Disya benar-benar pergi meninggalkan Devan. Walaupun apa yang terjadi memang sudah menjadi konsekuensi yang harus Devan dapat, tapi Naya juga merasa kasihan. "Daddy!" Devan dan Naya serempak menatap ke arah sumber suara. Bocah lelaki terlihat berlari ke arah mereka dengan membawa sebatang coklat yang sudah habis setengah. "Hi Kai!" Naya menyambut kehadiran keponakannya dengan wajah sumringah. Bocah itu balas menampilkan senyumnya, mengecup pelan pipi kanan Naya. "Sudah jalan-jalannya?" lanjutnya. Kai mengangguk. "Sangat seru!" komentarnya. Mengalihkan pandangan untuk menatap Devan. "Mommy masih ada di bawah, lagi ngobrol sama Oma," lanjutnya. "...." Devan tidak bersuara, keningnya mengkerut bingung. tumben sekali Disya masuk ke dalam rumah dan duduk mengobrol dengan Maya? Ya walaupun hubungan pernikahan mereka berakhir, tapi Kai dan Disya masih tetap berhubungan baik, sering sekali Kai menginap di rumah Disya, atau mereka berdua, beserta keluarga Disya pergi untuk jalan-jalan ke suatu tempat. Begitu juga dengan hari ini, Kai baru kembali setelah Disya beserta keluarga besarnya mengajak Kai ke sebuah pantai. Disya pasti langsung pergi setelah mengantar Kai kembali ke rumah, bukan tanpa alasan, tapi karena Samudra mengantarnya, dan sepertinya lelaki itu tidak ingin dan tidak mengijinkan Disya bertemu dengan Devan. Tapi, kenapa malam ini berbeda? Disya mengobrol dengan Maya? Apa dia tidak tahu jika Devan sedang ada di rumah Mamahya? "Ah! Ada Om Sam juga di bawah," lanjut Kai. "Om Sam?" Devan membeo. "Iya, Om Sam. Daddy nggak mau ketemu Mommy?" tanya Kai lagi, sambil melanjutkan memakan coklat yang dipegangnya. Naya melirik Devan yang memasang wajah terkejut. "Aunty Nay, juga ke bawah ayo. emang nggak mau ketemu Mommy?" tanya Kai lagi yang membuat Naya kembali menatap ke arah bocah itu. Kai berdiri, menarik lengan Naya dan Devan agar berdiri dari duduknya. "Tidak... Aunty di sini saja, ya...." Suara Naya tergagap. Kai mengernyitkan keningnya bingung. "Kenapa? Sudah lama kan tidak ketemu dengan Mommy?" Tidak! Bukan tidak ingin bertemu dengan Disya, tapi... mengetahui jika Samudra berada di rumah ini rasanya Naya tidak sudi jika nanti ia akan bertemu dengan lelaki itu. "Kalian duluan saja turun ke bawah, Aunty Nay, nanti nyusul ya... " Pada akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Naya. Tidakkah nanti mereka curiga jika Naya tidak menemuinya? ***Keduanya memang merencakan untuk bertemu, besok mereka akan membicarakan tentang hubungan mereka kepada Devan dan Disya. Tentu saja harus ada persiapan sebaik munkin—harus mengarang cerita yang sangat menyakinkan, agar dimengerti Devan maupun Disya. Akan sangat kacau jika Naya dan Samudra tidak bertemu untuk membicarakan tentang ini terlebih dahulu. Pertemuan akan dilakukan sekitar jam tiga sore, menyesuasikan dengan pekerjaan Samudra, semalam sudah disepakati akan bertemu di caffe Angkasa dekat perumahan Naya—tetapi entah kenapa Naya bisa lupa dengan janjinya. Andai saja ia tidak lupa mungkin tidak akan jadi seperti ini—Samudra tidak akan datang ke rumah. Naya sedang berada di kamarnya sekarang, berbaring di kasur menatap langit-langit kamar, berharap rasa kantuknya akan datang. Mamahnya pergi sekitar satu setengah jam yang lalu, secara mendadak ia mendapat kabar jika Ria—salah satu temannya masuk ke rumah sakit. Meninggalkan Naya dan Kai di rumah—Samudra masih ada, sedang berm
“Siapa?” “Gue kenal sama dia?” “Atau anak-anak yang lain ada yang kenal sama dia ngga?” “Lo kenal di mana?” “Kerjanya di mana?” “Anak keluarga mana? Kenalan bokap lo? Atau lo di jodohin ya, Nay?” “....” Naya hanya diam, tidak berniat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Stevani. Membuat perempuan itu terlihat kesal ketika Naya hanya diam mengabaikan pertanyaannya. “Ngga usah banyak tanya tentang dia, nanti aku kenalin dia sama kamu, sama kalian semua....” Kalimat yang jelas membuat mulut Stevani terdiam, beberapa kali perempuan itu terus memaksa Naya untuk bercerita, memintanya memberi tahu tentang calon suami yang dimaksud oleh Naya. Naya menggeleng, tetep kekeh dengan pendiriannya tidak akan memberi tahu. Akhirnya Stevani capek sendiri. Walaupun kesal karena Naya tidak memberi tahu, Stevani sangat senang mengetahui Naya sudah kembali membuka hatinya untuk seorang lelaki—Stevani berbicara seperti itu kepada Naya sebelum pergi dari kediaman Nay
+628xxxxxxxxxx |Disya sedang pergi ke Jogja, pertemuan akan dilakukan setelah Disya pulang dari sana. Naya mengulum bibirnya, hatinya merasa sedikit lega ketika Samudra menggiriminya pesan seperti itu. Setidaknya masih ada beberapa hari lagi untuk mempersiapkan diri sebelum pertemuannya dengan Disya dan kakak lelakinya untuk membahas hubungan mereka. Memejamkan mata, Naya manarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh hingga wajahnya. Mencoba tidak memikirkan bagaimana tanggapan Disya dan Devan saat Naya dan Samudra memberi tahu tentang hubungan mereka—apa Disya dan kakak lelakinya akan sangat marah—sudah pasti iya ‘kan? Naya frustasi, tidak bisa menghentikan pikirannya. Suara ketukan pintu terdengar, membuat Naya langsung membuka selimut yang menutupi wajahnya. “Nay?” Mamahnya memanggil. “Iya, Mah,” balas Naya yang langsung menuruni kasur untuk membuka pintu kamar. “Mamah jemput Kai ya, kamu mau ikut atau di rumah saja, Nay?” tanya Maya ketika putri bungsunya baru saja membuka p
Naya membuka matanya perlahan ketika merasa lapar, mengerjap pelan supaya penglihatannya jelas untuk melihat ke sekeliling. Menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu mencoba duduk di tepi kasur sebentar untuk mengumpulkan kesadarannya. Menundukkan wajahnya, matanya terbuka lebar ketika tubuhnya dibalut dengan kemeja berwarna hitam, seingatnya ia tidak punya kemeja sebesar ini. “Pakaianmu basah, tadi.” Suara lelaki yang tentu Naya mengenalnya terdengar di telinga, dengan refleks kepalanya menengok ke arah sumber suara. Lelaki itu berjalan masuk ke dalam kamar dengan membawa dua mangkuk yang terlihat jika makanan itu masih panas, terbukti dari asap yang mengepul bersumber dari makanan itu. Naya memberengut kesal ketika tahu jika pasti Samudra sendiri yang menggantikannya pakaian. Benar-benar mesum! Seingatnya ia menangis di depan Samudra di bawah guyuran hujan, lalu entah apa yang terjadi, kenapa juga ia berada di sini sekarang? “Kamu jatuh pingsan tadi. Tidak ada cara lain se
Naya meremas permukaan dadanya kuat sekali, berharap rasa sakit yang timbul akan berangsur membaik, namun itu benar-benar tidak berpengaruh sama sekali. Naya memilih untuk memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Ia menunduk, menangis tergugu, dadanya semakin sesak rasanya. Naya sudah menahan mati-matian rasa sakit itu ketika berbicara dengan Nathan di dalam caffe. Menahan air matanya agar tidak keluar, hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja di hadapan lelaki itu. Kenyataannya tidak! Naya benar-benar hancur ketika mengatakan setiap kalimatnya. Apa yang dikatakan oleh Naya semuanya hanyalah kebohongan! Suara ketukan dari kaca mobil, membuat Naya mendongakkan wajahnya. Samudra ada dibalik pintu mobil, menatap ke arahnya. “Turun! Duduk di sana, saya yang akan mengantar kamu pulang.” Masih mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Samudra, Naya masih diam duduk di kursi kemudi. Namun, detik berikutnya, lelaki itu sudah menarik tangan Naya untuk keluar dari mobil. “Tidak!”
Naya menatap bangunan di depannya sambil menghela napas panjang, mengulum bibirnya menatap ke sekeliling gugup, tangannya melepas safety belt, lalu turun dari dalam mobil miliknya yang sudah terparkir rapih di parkiran rumah sakit. Perempuan itu turun dari mobil, dengan berusaha meredakan rasa gugup di dadanya. Terakhir kali ia mengunjungi rumah sakit ini, suasananya jelas sangat buruk. Naya diperhatikan dengan tatapan tidak bersahabat oleh beberapa pekerja di sini. Akankah tetap seperti itu hingga sekarang? "Kamu tahu tempat itu dari mana?" "Dulu, mobilku pernah mogok daerah situ. Laper banget, akhirnya mampir ke warung makan, dan ternyata enak banget." Naya bisa mendengar obrolan dua orang yang baru keluar dari mobil, satu orang perempuan dan satu lelaki. "Naya?" Naya yang merasa dirinya dipanggil langsung menengokkan wajahnya. Menatap perempuan yang memanggilnya, sebuah senyuman kecil namun jelas terkesan canggung itu Naya perlihatkan. "Ada urusan apa datang ke sini? Kamu s