"Aku lebih milih wedding venue indoor, Kak! Coba bayangin kalau kita pilih wedding venue outdoor, tiba-tiba hujan deres gimana? Nggak mungkin kan kita nyari pawang hujan?"
Nathan tidak mampu menahan gelak tawanya mendengar perkataan calon istrinya saat itu. Berbeda dengan Nathan, Naya memasang wajah serius, dengan sengaja perempuan itu memukul lengan berotot calon suaminya. "Aku serius, Kak! Kok malah ketawa sih?!" Naya memanyunkan bibirnya. "Hahaha... iya-iya kita nikahnya indoor aja," ucap Nathan masih tidak berhenti untuk tertawa, beruntungnya kali ini tawanya tidak sekeras tadi. Naya mengagguk pelan. Tangan kanan Nathan bergerak untuk mengelus rambut perempuan yang duduk di sampingnya dengan lembut. "Nanti, kamu ngga bakalan berubah pikiran lagi, nih?" Naya menatap Nathan lalu menggelengkan kepalanya. "Ini keputusan aku yang terakhir, aku.... janji," kata Naya dengan nada suara sangat pelan diakhir kalimatnya, seolah dirinya juga tidak sepenuhnya yakin dengan ucapannya beberapa detik yang lalu. "Baiklah." Nathan mengangguk lalu mengecup pelipis Naya cepat. Sebenarnya lelaki itu juga tidak terlalu yakin dengan kalimat yang dikatakan oleh Naya. Pasalnya pemikiran Naya kadang masih berubah-ubah. Bisa saja hari ini mengatakan A, besoknya B. Mereka berdua sedang duduk di salah satu caffe, mengobrol santai membahas rencana pernikahan mereka yang sebenarnya belum ditentukan tanggalnya. Beberapa hari yang lalu keduanya menghadiri pernikahan kerabat Nathan, pesta pernikahannya diadakan outdoor, dan sepulangnya dari sana Naya langsung heboh menginginkan pernikahan outdoor juga. Namun, saat mereka kembali berbincang beberapa hari setelahnya, Naya berubah pikiran. Begitu terus sampai-sampai membuat Nathan pusing sendiri, tapi dia begitu memaklumi sifat Naya yang masih labil, lagipula pernikahan mereka sepertinya masih jauh mengingat Naya yang masih kuliah saat itu. "Nay." Naya sedikit terperanjat. Mengalihkan pandangannya dari figura foto prewedding berukuran besar yang berada di dekat pintu masuk gedung. Naya menatap pemilik suara yang memanggilnya, berhasil membuat Naya kembali sadar dari lamunannya mengingat kejadian beberapa tahun silam. "Kamu mau masuk, atau tunggu di mobil saja?" tanya Maya menyentuh lengan putrinya dengan lembut. Sudah hampir lima kali Maya menanyakan pertanyaan yang sama kepada Naya. "Aku jauh-jauh ke sini, buat datang di acara pernikahan Kak Nathan, Mah. Ayo masuk!" Naya menampilkan senyum manis. Kedua tangannya merangkul lengan papa dan mama yang mengapitnya di tengah-tengah. Husein mengelus lembut rambut putrinya sembari tersenyum. Lalu, ketiganya melangkah memasuki gedung. "Tuan dan Nyonya Ganendra, apa kabar?" Sudah tidak salah lagi, saat ketiganya baru memasuki gedung ada beberapa orang yang langsung menyapa mereka. Sudah hal biasa memang, jika keluarga mereka mendatangi sebuah acara ada saja yang mengenali mereka. "Baik, Pak Fajar bagaimana kabarnya?" Husein membalas uluran tangan lelaki di depannya. Obrolan basa-basi mereka berlanjut begitu saja, Naya tidak memperhatikan obrolan, perempuan itu sedang mengontrol dirinya. Gedung luas dengan atap tinggi itu sudah disulap sedemikian rupa sehingga terlihat sangat cantik, banyak lampu, bunga, dan pernak-pernik lainnya yang menghiasi tempat itu, dengan warna yang didominasi oleh warna gold terkesan mewah dan elegan. Naya menggigit bibir bawahnya kuat, ada rasa sakit yang menjalar di dadanya saat menatap sekeliling, apalagi saat kedua netranya menatap pasangan pengantin yang berdiri di pelaminan dengan senyum terlukis di bibir keduanya, menyalami tamu undangan yang hadir untuk memberikan selamat juga do'a untuk pernikahan mereka. "Mah, Pah. Aku ketemu temen-temen dulu, ya," ucap Naya dengan suara pelan. Maya dan Husein yang sedang mengobrol dengan beberapa orang yang ada di meja itu, serempak menatap putri bungsunya. "Mau Mamah temani?" tanya Maya menatap Naya dengan raut khawatir. Naya menampilkan senyumnya sambil terkekeh pelan. "Nggak usah, Nay bukan anak kecil lagi, Mah," rengeknya manja. Setelah mendapat ijin dari kedua orang tuanya, Naya langsung beranjak dari meja VVIP yang disediakan. Berjalan, menjauh melewati kerumunan tamu undangan yang hadir, perempuan itu meremas permukaan dadanya dengan kuat. 'Tidak! Jangan menangis sekarang,' Naya bermonolog di dalam hatinya. Pandangannya sudah berkabut karena air mata yang menggenang di pelupuk matanya, langkahnya semakin lebar agar ia cepat-cepat keluar dari gedung itu. Hembusan napas berat keluar dari hidung Naya setelah ia berhasil keluar dari sana. Naya mencoba menghirup udara banyak-banyak, mencoba menormalkan gejolak sakit dalam dadanya, memejamkan mata, bulir bening itu menetes, dan dengan cepat perempuan itu menghapusnya. Bugh! Naya tidak sengaja menabrak seorang lelaki di depannya saat sedang berjalan, mengelus keningnya yang lumayan sakit, wajahnya yang sedari tadi menunduk, semakin menunduk dalan sambil bergumam kata, "Maaf." Kakinya kembali melangkah, namun lengannya tiba-tiba ditarik, hingga membuat Naya kembali berada di tempatnya semula. "Setidaknya, tatap lawan bicaramu jika berbicara." Naya dengan refleks mendongakkan wajahnya, suara familiar yang tidak lagi ingin Naya dengar kini terdengar oleh indranya. Lelaki yang hampir tiga tahun ini ia hindari sudah berada di depannya, kaki Naya mundur sehingga pegangan lelaki itu terlepas. Jantungnya berdetak tidak karuan, lututnya mendadak lemas, Naya takut. "Mm—maaf," lirihnya, lagi. Naya menundukkan wajahnya dalam, hendak kembali melangkah. Namun lagi-lagi lelaki itu membuat langkahnya terhenti karena dia sudah merangkul bahu Naya. "Kamu belum bertemu dengan kedua mempelai, kenapa ingin cepat-cepat pergi? Ayo saya antar!" katanya sedikit berbisik. Tubuh Naya kembali bergetar, air matanya benar-benar tidak bisa dibendung kali ini. "A—aku ingin pergi," ujar Naya tergagap. Acuh, lelaki itu tetap membawa Naya kembali berjalan memasuki gedung. "Do—dokter Sam... a—aku mohon...." Samudra menghentikan langkahnya. Menunduk, menatap wajah Naya yang memasang ekspresi memohon. Itu tidak mempan, lelaki itu tetap membawa Naya masuk, bahkan melangkah menuju pelaminan. Ingin memberontak, namun tangannya dicengkram kuat oleh Samudra, sakit, dan perih. Untuk berteriak? Naya tidak ingin menjadi pusat perhatian. "Dokter Sam...." Samudra menghentikan langkahnya. Menyentuh dagu Naya yang masih senantiasa menangis supaya mendonggak menatap manik matanya. Kedua tangannya menangkup pipi Naya, mengusap jejak air mata di sana. "Kamu tidak boleh terlihat menyedihkan dihadapan mantan tunanganmu!" suara Samudra terdengar sangat pelan, namun terkesan seperti mengejek. Memejamkan mata, Naya menjauhkan wajahnya agar elusan Samudra di pipinya terlepas. Naya jijik, tidak sudi disentuh oleh lelaki itu. Rahang Samudra mengeras, kembali menarik paksa lengan Naya untuk berjalan menuju pelaminan. Perempuan itu menggeleng kuat, mencoba melepaskan cekalan Samudra. "Kau kembali ke kota ini untuk menghadiri pernikahan mantan tunanganmu 'kan? Lalu kenapa kau ingin pergi, huh? Mari kita temui mereka terlebih dahulu." Lelaki itu kembali berbisik. "T—tunggu!" Melihat Samudra yang sepertinya tidak mau mendengar ucapannya, Naya kembali berbicara, "Biarkan aku memperbaiki riasanku." Berhenti. Langkah Samudra terhenti, menuruti permintaan Naya kali ini. Mengusap kedua pipinya kasar, langsung merogoh tas yang dibawanya untuk mengambil barang yang dibutuhkan untuk menutupi jejak air matanya. Naya tidak ingin Nathan melihatnya habis menangis. Memakai bedak, juga kembali mengoleskan blush-on di pipinya. "Tidak perlu mengantar ke pelaminan, aku bisa sendiri!" kata Naya yang sudah kembali memasukkan barang-barang itu ke dalam tas, setelah selesai menggunakanya. Suaranya kali ini terdengar lebih tegas dari sebelumnya. "Yakin?" Samudra menampilkan smirk. Naya mengangguk, tanpa berniat untuk menatap lawan bicaranya sama sekali. Meninggalkan Samudra, tungkai perempuan itu kembali melangkah, menarik kedua sudut bibirnya agar senyumnya terlukis. Menghampiri meja VVIP yang baru beberapa menit lalu ia tinggalkan. Mengajak kedua orang tuanya untuk menyalami kedua mempelai. Kedua tangannya diapit oleh lengan Mamah dan Papahnya saat berjalan menuju pelaminan, Naya hanya menampilkan senyum lebar yang sebenarnya dipakasakan itu. Kedua orang tuanya seperti mengerti apa yang sedang Naya rasakan, bagiamana pun, Nathan sudah hampir akan menjadi menantu mereka kalau saja tiga tahun silam Naya tidak membatalkannya secara sepihak. Memakai tuxedo berwarna khaki, dengan gaya rambut andalannya; slicked back. Nathan Adelino selalu terlihat sangat tampan, tapi hari ini berkali-kali lipat lebih tampan. "Happy wedding," ucap Naya mengulurkan tangan kanannya. Wajah Nathan seperti terkejut saat kedua nertanya bertubrukan dengan manik Naya , namun dengan cepat lelaki itu menampilkan senyumnya dan membalas uluran tangan Naya. "Thanks, Nay." Naya kembali mengangguk. Husein dan Maya mengucapkan selamat juga kepada kedua mempelai, mendo'akan juga agar pernikahan mereka selalu bahagia. Basa-basi yang berujung pada sesi berfoto bersama, setelahnya beranjak pergi dari pelaminan, memberikan kesempatan tamu undangan lain untuk memberikan selamat. "Are you oke?" Naya menatap Maya lalu memberengut kesal. "Mah, aku baik-baik aja kok. Lagipula ini pilihanku. Mamah tahu, ini yang terbaik untuk kita berdua," kata Naya. Maya tersenyum kecil lalu mengusap rambut Naya yang digelung. Menghembuskan napas lega, ketika mendengar jawaban putri bungsunya. "Tante Hani, dan Om Leo nanyain kamu tadi, Nay. Mau bertemu?" Naya mengalihkan pandangannya kepada Husein, lalu mengangguk kuat. Sepertinya tidak mungkin jika Naya bisa pergi dari tempat ini sekarang. 'Baiklah! Simpan air matamu, Nay!' Naya membatin. ***Keduanya memang merencakan untuk bertemu, besok mereka akan membicarakan tentang hubungan mereka kepada Devan dan Disya. Tentu saja harus ada persiapan sebaik munkin—harus mengarang cerita yang sangat menyakinkan, agar dimengerti Devan maupun Disya. Akan sangat kacau jika Naya dan Samudra tidak bertemu untuk membicarakan tentang ini terlebih dahulu. Pertemuan akan dilakukan sekitar jam tiga sore, menyesuasikan dengan pekerjaan Samudra, semalam sudah disepakati akan bertemu di caffe Angkasa dekat perumahan Naya—tetapi entah kenapa Naya bisa lupa dengan janjinya. Andai saja ia tidak lupa mungkin tidak akan jadi seperti ini—Samudra tidak akan datang ke rumah. Naya sedang berada di kamarnya sekarang, berbaring di kasur menatap langit-langit kamar, berharap rasa kantuknya akan datang. Mamahnya pergi sekitar satu setengah jam yang lalu, secara mendadak ia mendapat kabar jika Ria—salah satu temannya masuk ke rumah sakit. Meninggalkan Naya dan Kai di rumah—Samudra masih ada, sedang berm
“Siapa?” “Gue kenal sama dia?” “Atau anak-anak yang lain ada yang kenal sama dia ngga?” “Lo kenal di mana?” “Kerjanya di mana?” “Anak keluarga mana? Kenalan bokap lo? Atau lo di jodohin ya, Nay?” “....” Naya hanya diam, tidak berniat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Stevani. Membuat perempuan itu terlihat kesal ketika Naya hanya diam mengabaikan pertanyaannya. “Ngga usah banyak tanya tentang dia, nanti aku kenalin dia sama kamu, sama kalian semua....” Kalimat yang jelas membuat mulut Stevani terdiam, beberapa kali perempuan itu terus memaksa Naya untuk bercerita, memintanya memberi tahu tentang calon suami yang dimaksud oleh Naya. Naya menggeleng, tetep kekeh dengan pendiriannya tidak akan memberi tahu. Akhirnya Stevani capek sendiri. Walaupun kesal karena Naya tidak memberi tahu, Stevani sangat senang mengetahui Naya sudah kembali membuka hatinya untuk seorang lelaki—Stevani berbicara seperti itu kepada Naya sebelum pergi dari kediaman Nay
+628xxxxxxxxxx |Disya sedang pergi ke Jogja, pertemuan akan dilakukan setelah Disya pulang dari sana. Naya mengulum bibirnya, hatinya merasa sedikit lega ketika Samudra menggiriminya pesan seperti itu. Setidaknya masih ada beberapa hari lagi untuk mempersiapkan diri sebelum pertemuannya dengan Disya dan kakak lelakinya untuk membahas hubungan mereka. Memejamkan mata, Naya manarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh hingga wajahnya. Mencoba tidak memikirkan bagaimana tanggapan Disya dan Devan saat Naya dan Samudra memberi tahu tentang hubungan mereka—apa Disya dan kakak lelakinya akan sangat marah—sudah pasti iya ‘kan? Naya frustasi, tidak bisa menghentikan pikirannya. Suara ketukan pintu terdengar, membuat Naya langsung membuka selimut yang menutupi wajahnya. “Nay?” Mamahnya memanggil. “Iya, Mah,” balas Naya yang langsung menuruni kasur untuk membuka pintu kamar. “Mamah jemput Kai ya, kamu mau ikut atau di rumah saja, Nay?” tanya Maya ketika putri bungsunya baru saja membuka p
Naya membuka matanya perlahan ketika merasa lapar, mengerjap pelan supaya penglihatannya jelas untuk melihat ke sekeliling. Menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu mencoba duduk di tepi kasur sebentar untuk mengumpulkan kesadarannya. Menundukkan wajahnya, matanya terbuka lebar ketika tubuhnya dibalut dengan kemeja berwarna hitam, seingatnya ia tidak punya kemeja sebesar ini. “Pakaianmu basah, tadi.” Suara lelaki yang tentu Naya mengenalnya terdengar di telinga, dengan refleks kepalanya menengok ke arah sumber suara. Lelaki itu berjalan masuk ke dalam kamar dengan membawa dua mangkuk yang terlihat jika makanan itu masih panas, terbukti dari asap yang mengepul bersumber dari makanan itu. Naya memberengut kesal ketika tahu jika pasti Samudra sendiri yang menggantikannya pakaian. Benar-benar mesum! Seingatnya ia menangis di depan Samudra di bawah guyuran hujan, lalu entah apa yang terjadi, kenapa juga ia berada di sini sekarang? “Kamu jatuh pingsan tadi. Tidak ada cara lain se
Naya meremas permukaan dadanya kuat sekali, berharap rasa sakit yang timbul akan berangsur membaik, namun itu benar-benar tidak berpengaruh sama sekali. Naya memilih untuk memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Ia menunduk, menangis tergugu, dadanya semakin sesak rasanya. Naya sudah menahan mati-matian rasa sakit itu ketika berbicara dengan Nathan di dalam caffe. Menahan air matanya agar tidak keluar, hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja di hadapan lelaki itu. Kenyataannya tidak! Naya benar-benar hancur ketika mengatakan setiap kalimatnya. Apa yang dikatakan oleh Naya semuanya hanyalah kebohongan! Suara ketukan dari kaca mobil, membuat Naya mendongakkan wajahnya. Samudra ada dibalik pintu mobil, menatap ke arahnya. “Turun! Duduk di sana, saya yang akan mengantar kamu pulang.” Masih mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Samudra, Naya masih diam duduk di kursi kemudi. Namun, detik berikutnya, lelaki itu sudah menarik tangan Naya untuk keluar dari mobil. “Tidak!”
Naya menatap bangunan di depannya sambil menghela napas panjang, mengulum bibirnya menatap ke sekeliling gugup, tangannya melepas safety belt, lalu turun dari dalam mobil miliknya yang sudah terparkir rapih di parkiran rumah sakit. Perempuan itu turun dari mobil, dengan berusaha meredakan rasa gugup di dadanya. Terakhir kali ia mengunjungi rumah sakit ini, suasananya jelas sangat buruk. Naya diperhatikan dengan tatapan tidak bersahabat oleh beberapa pekerja di sini. Akankah tetap seperti itu hingga sekarang? "Kamu tahu tempat itu dari mana?" "Dulu, mobilku pernah mogok daerah situ. Laper banget, akhirnya mampir ke warung makan, dan ternyata enak banget." Naya bisa mendengar obrolan dua orang yang baru keluar dari mobil, satu orang perempuan dan satu lelaki. "Naya?" Naya yang merasa dirinya dipanggil langsung menengokkan wajahnya. Menatap perempuan yang memanggilnya, sebuah senyuman kecil namun jelas terkesan canggung itu Naya perlihatkan. "Ada urusan apa datang ke sini? Kamu s