共有

BAB 2 LENYAP

作者: Putra pribumi
last update 最終更新日: 2021-09-14 20:33:21

"GILA, dapet banyak lo, To?" pekik Udin dengan takjub. Pria bermulut agak monyong ini pemilik warung kopi dua puluh empat jam di Kampung Melayu. Ia memegang secarik kertas putih yang berisi kombinasi angka acak. Dan untuk kesekian kalinya Udin mencocokan nomor di kertas tersebut denganp catatan di bukunya.

"Ssttt, gak usah kenceng-kenceng napa, Din. Buruan sini duitnya ah. Mau berapakali lo cek juga tetep cocok nomernya." desak seorang pria bertubuh pendek yang berdiri di ambang pintu warung.

Suara tawa terbahak-bahak menembus bilik kayu sampai masuk ke dalam warung. Di luar, empat orang pria sedang asik bermain kartu Poker. Salah seorang di antara mereka mengumpat dengan kesal, berbagai macam kata makian keluar dari moncongnya. Ketidak-ahliannya memainkan kombinasi kartu, membuat ia hanya jadi bahan olok-olok teman-temannya.

"Nih. Uang lo." Udin menelan ludah memberikan setumpuk uang ke pria pendek di hadapannya. 

Apes bagi bandar togel ilegal sepertinya, uang yang harusnya masuk ke rekening bank malah justru dikeruk habis-habisan dalam satu tarikan kertas. Beginilah nasib jadi 'bandar togel independen' yang tidak punya back-up dana dari distributor. Namun, bagaimana pun ini sudah menjadi resiko yang pasti akan ditemuinya. Dan ia memang sengaja tidak mau kerja sama dengan distributor togel, karena menurut pandangannya jauh lebih untung jualan nomer begini… gak perlu bagi-bagi keuntungan setiap penjualan nomornya. Walaupun resiko kerugiannya pun besar ketika ada nomor yang tembus seperti sekarang. Ia harus membayar hadiah yang berlipat-lipat besarnya dengan uang pribadi, tidak seperti bardar yang setoran ke distributor, mereka saling berbagi resiko.

Udin sempat kegirangan ketika melirik jam sudah menujuk pukul dua dini hari dan gak ada yang nuker kertas. Biasanya itu berarti lumbung uangnya aman, para pelanggan setianya gak ada yang tembus. Namun, Si Karto yang sejak tadi asik main poker, diam-diam minta di gantikan sama si tongos lalu ia masuk ke warung, menyerahkan kombinasi tiga angka Hongkong yang dia tebak dengan benar. Udin sempat tidak percaya namun ketika ia cek memang tidak ada coretan, tidak ada salah tulis nomor, tidak pula kertas palsu, rupanya Karto memang lagi mujur! 

Karto menjilat jari telunjuk tangan kanan, lantas mulai menghitung uangnya. Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang bentor tersebut menyunggingkan senyuman ketika mulutnya selesai bergumal.

"Dapet nomer dari mana lo? Abis gelontang lagi di kuburan ya… ati-ati To, jangan keseringan diem di kuburan. lagi banyak penculikan, kagak takut apa lo?" tanya Udin dengan ketus.

"Ah, kagak penting itu mah. Udah, gua cabut dulu yak." Karto memasukan uangnya ke dalam saku celana. Ia tersenyum bangga bak seorang pemain sepak bola yang mendapat penghargaan tertinggi dari federasi.

Ia merasa malam ini punggungnya sedang disenderi dewi keberuntungan. Sudah lama sekali rasanya ia menantikan hari kemenangan ini.

Besok, tidak akan ada lagi orang yang menggedor-gedor daun pintunya. Semua hutangnya di warung makan, tunggakan bayar kontrakan, Listrik, air PDAM, dan hutangnya di orang-orang, semuanya bakal dibayar kontan. Tijah sang istri gak bakal bentak-bentak dia lagi. Semua masalah ekonomi sudah aman terkendali dalam satu saku celana ini. 

Sementara Karto diam-diam melenggang pergi dari warung, teman-teman tongkrongannya masih tertawa terbahak melihat permainan poker si Tongos. 

Salah seorang di antara mereka melihatnya.

"Woi, pulang lo?" teriak seorang pria berkumis tebal, namun Karto sudah menghilang berbelok di tikungan gang sempit.

"Eh, nitip warung sebentar ya… Gua mau nyusul si Karto." buru-buru Udin mengunci pintu warungnya, ia baru ingat Karto juga punya utang padanya dan harusnya tadi langsung dipotong buat lunasin, karena kalau nunggu besok belum tentu juga Karto masih pegang uang.

Pukul dua dini hari, decitan tikus-tikus saling kejar menemani langkah Karto. Rumahnya cukup jauh dibandingkan dengan teman-temannya yang masih satu komplek dari Warkop Udin. Dia lain kampung tapi sangat suka kumpul disitu. Bukan karena ia suka sifat mereka, namun lebih karena mereka yang ada di situ punya masalah kehidupan yang hampir sama seperti dirinya. Sama-sama tukang nganggur.

Kaki Karto terus melangkah, menyusuri jalan-jalan sempit yang gelap, menyeberangi jalan raya yang lengang, hingga masuk lagi ke kampung padat penduduk, lalu mengikuti jalan setapak yang membelah kuburan, rumahnya ada di ujung sana.

Cahaya bulan cukup terang saat ini, dia bisa melihat apa pun dengan jelas tanpa penerangan lampu.

Sudah enam bulan Karto dan sang istri-Tijah tinggal di kontrakan ujung kuburan ini, mungkin cuma mereka yang bersedia ngontrak disitu. Namun, jika dibandingkan dengan rumah kontrakan lainnya harga sewa yang ditawarkan si pemilik bangunan terbilang sangat murah. Tapi bukan hanya faktor harga saja Karto mau tinggal ditempat seperti itu, lebih jauh lagi dan lebih penting lagi adalah Karto justru merasa senang mengasingkan diri di tempat seperti ini. Dia merasa lebih aman jika jauh dari perkampungan dan keramaian penduduk, karena semakin ia sering berinteraksi dengan para warga maka semakin besar pula kemungkinan identitasnya bocor. Jika hal tersebut terjadi, warga bakal memandangnya semakin sinis karena Karto sebenarnya mantan narapidana alias seorang residivis yang tobat akhir-akhir ini. Ia sering terjerat dalam kasus penjambretan dan pencurian. Sewaktu-waktu dia pernah menjambret tas seorang wanita separuh baya, uang wanita itu sangat banyak membuat Karto begitu senang malam itu, namun tak berselang lama malapetaka menghampirinya. Wanita yang ia jambret ternyata istri dari seorang pemimpin organisasi penculikan. Malam itu juga ia dijebloskan ke bui dan mendekam di Nusa Kambangan. Hari demi hari ia lalui dengan lambat, dan satu per satu kawan satu selnya pergi meninggalkan Karto. Suatu saat ia diajak oleh orang-orang anak buah dari bos organisasi itu menuju ke suatu tempat dan tempat tersebut adalah ruang bedah. Ia melihat banyak teman-temannya berbaring kaku di atas ranjang dengan perut terbelah. Karto yang diserang perasaan panik, langsung kabur malam itu juga bertahan hidup dengan sembunyi di satu tempat ke tempat lainnya, hingga akhirnya ia pergi ke Jakarta.

Oleh karena itu, Ia menjaga ketat tentang informasi kehidupannya bahkan teman-temannya di warung kopi tidak ada satu pun yang mengetahui perihal tersebut. Hanya dia dan sang istri yang tahu. Namun, akhir-akhir ini dirinya menjadi waspada begitu mengetahui kasus penculikan sedang marak bermunculan di Jakarta. Akhirnya ia menjadi sangat waspada dan hati-hati.

Karto mengusap keringat dingin di dahinya.

Angin malam berdesir, meruntuhkan bunga-bunga kamboja di sisi kanan-kirinya. 

Karto menoleh ke belakang, sepi. Tidak ada apa pun di sana. Namun, entah mengapa perasaannya jadi gelisah, bulu tengkuknya berdiri tegang. Bayangan-bayangan di ruang bedah terlintas dalam benaknya, orang-orang yang menjerit kesakitan, anak anak kecil yang menangis tertahan, bunyi pisau yang menggores kulit secara perlahan dan erangan rasa sakit itu.

Karto mencoba mengenyahkan pikirannya, namun semakin dia coba mengusirnya semakin kuat bayangan itu terbayang. Gelap tanpa lampu menyelimuti segala sudut kuburan, tubuhnya jadi bergidik. Ia merasa malam ini cukup dingin, semoga saja saat masuk ke rumah, Tijah masih bangun dan mau membuatkannya teh anget. Ia hampir sampai di rumah.

Tiba-tiba suara deris dedaunan yang terinjak, membuat Karto terdiam, waspada. Itu bukan suara kakinya. Dia menunduk bersembunyi di balik sebuah pepohonan. Matanya menerawang ke penjuru arah. Bukan, bukan dari arah belakang. Ia mencoba menstabilkan napasnya. Menyimak dengan seksama.

SREEK, SREEK… SREEK…

Tidak salah lagi, Karto memang mendengarnya. Dari arah depan, dekat kontrakan. "Mungkinkah itu Tijah? Tidak! itu tidak mungkin." batin Karto.

Jantungnya semakin berderap kacau tidak beraturan. Namun, dengan segala umpatan yang sudah ia ucapkan di dalam hati, Ia memberanikan diri menimbulkan kepalanya sedikit, melongok sedikit saja, tidak ada 10 cm, hanya sebatas ekor matanya yang melihat kesana. Didapatinya dua orang pria berpakaian hitam dengan sarung tangan sedang menggotong sebuah karung putih di samping kontrakannya dan yang membuatnya terkejut, karung itu dipenuhi bercak darah. Karto menelan ludah, ia gumoh hampir muntah membayangkan apa isi karung itu.

DORRR….

Sebuah peluru super cepat menghancurkan hampir setengah sisi pohon tempat Karto bersembunyi.

Salah seorang pria itu sudah melihatnya! Dia besar dan memegang senjata. Di kokangnya senapan besar itu lagi.

Tidak aman! Pohon ini bisa tumbang dengan satu puluru lagi. Tanpa pikir panjang Karto langsung berlari ke sembarang arah. Menerjang makam-makam di kuburan. Dia mengkhawatirkan Tijah, tempat orang itu berdiri tidak jauh dari kontrakannya. Dan terlebih lagi apa isi karung itu? 

Apakah Tijah tidak mendengar suara keras tembakan itu? 

"Tijah… Bangun Tijah… Lari… Tijah… Lari… " jeritnya dalam hati.

Atau jangan-jangan ….

Tidak mau berpikir panjang lagi Karto terus saja berlari, Ia tidak ingin mati secepat ini. Masih banyak hal-hal yang masih diinginkannya, walaupun orang-orang selalu bilang kalau ia pemalas, pengangguran, gak jelas hidupnya, penyakitan, namun yang jelas dia masih punya harapan hidup. Sebuah harapan seperti saat ia menunggu lotre Hongkong diputar. Harapan yang akan membuat hidupnya berbeda menjadi lebih baik.

Derap kencang kaki berlari masih ada dibelakangnya.

Secara tidak sadar, kakinya mulai bergetar kelelahan. Napasnya megap-megap tidak karuan. Dia berlari terhuyung-huyung sekuat tenaga, suara kokang senjata berada tepat di belakangnya. Dan peluru kedua menyalak, menghantam tembok kuburan sampai remuk. Karto sudah melompati tembok tersebut dan menuju kembali ke jalan raya. 

Dia berlari di antara ruko tua yang saling berjejeran di sepanjang jalan ini. Rasanya ingin sekali berteriak minta tolong, namun apa dengan suara tembakan menggelegar itu orang-orang tidak ada yang bangun? Pasti ada, hanya saja mereka masa bodo! Cuma mau mengintip dari balik kisi-kisi dan jendela kotor itu. Mereka memang sudah gila! Apakah dirinya memang begitu hina hingga tidak ada yang sudi menolong?

Karto berlari dengan menutup mata mencoba menghentikan air mata yang menggenang. Barangkali sejak kecil dirinya memang tidak diinginkan terlahir oleh kedua orang tuanya, ia adalah anak terakhir dari 8 bersaudara. Karena masalah ekonomi, sejak kecil Karto diasuh oleh adik ibunya dan sejak saat itu pula ia tidak pernah bertemu dengan orangtua dan para saudaranya. dengan kata lain Karto merasa bahwa dirinya sengaja dibuang secara halus. Sementara kondisi keuangan pamannya juga tidak jauh berbeda, Karto hanya diberi makan 2 kali sehari. Jangankan untuk sekolah, uang jajan seumur-umur tidak pernah dikasih bibi dan pamannya. Kondisi itu memaksa Karto kabur dari rumah, barangkali memang hidupnya diperuntukan untuk kabur maka dia akan terus kabur. 

Rasa sedih yang menyesakkan itu muncul tiba-tiba, seakan tercurahkan begitu saja malam ini, seakan ia mengalami De Javu saat sakaratul maut datang, seakan dunia terus membuatnya semakin terjerembab ke lubang kegelapan.

 Ia memang pandai kabur, karena itu menurutnya nyopet adalah keahlian alami yang dia miliki, barangkali Tuhan memang menginginkannya seperti itu. Kabur dari kejaran warga, kabur dari amukan masa, kabur saat ada razia gelandangan, kabur saat mendekam di penjara, dan sekarang ia harus kabur demi kelangsungan hidupnya. Ia tahu, begitu ia tertangkap oleh komplotan itu, maka riwayatnya pasti akan habis.

Karto membelok di sebuah simpangan, ia mengenal kawasan ini. Jalan aspal ini menuju perumahan tempat orang-orang kaya tinggal. Mungkin saja, kalau ia berteriak di sana mereka mau menolongnya. Karto melongok ke belakang, tidak ada siapa-siapa tapi tidak menjamin pula dirinya sudah lolos dari mereka, terlebih lagi kakinya tertusuk sebuah ranting saat melompat dari tembok kuburan, tetesan darah mengikuti langkahnya. 

Ketika ia mau menoleh ke depan,

DEBUGG...

Tubuhnya terpental hingga tersungkur ke aspal menabrak seseorang yang nampak sama kaget dengan dirinya. Karto menatap pria berlengan besar itu, ia terperanjat begitu menyadari pria dihadapannya mengenakan pakaian serba hitam dan sarung tangan. Dengan menghiraukan rasa sakit di telapak kaki, ia melompat pergi darinya. Bersiap-siap sebuah peluru menembus jantungnya. Tapi setelah cukup jauh, tidak terjadi apa-apa, ia bahkan masih mendengarkan suara jantungnya memompa darah dengan kesakitan. 

Begitu melihat pria berlengan besar itu, Karto mengurungkan niatnya untuk berteriak, lagi pula napasnya benar-benar sudah habis. Untuk sekadar mengucapkan satu kata pun rasanya sudah tidak sanggup lagi. Ia berhenti berlari ketika sudah keluar lagi dari perumahan elit itu. Paru-parunya benar-benar tidak sanggup lagi, kakinya berhenti berlari, ia menyenderkan bokongnya pada sebuah mobil yang terparkir liar di pinggir jalan. Kedua tangannya mencengkeram lutut, tenggorokannya kering keronta bahkan ludahnya pun habis tak bersisa, ia menelan sisa-sisa angin dalam mulutnya, alhasil tenggorokannya makin terasa sakit. 

Pandangan mata Karto berkunang-kunang melihat ke bawah dan pada saat itu juga, sebuah besi panjang yang dingin menghantam kepalanya dari belakang. Seketika tubuh Karto tersungkur ke tanah, sedetik sebelum pandangan matanya lenyap ia melihat pria yang mengejarnya tersenyum puas, sebuah senapan laras panjang dipegangnya.

***

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Empat dari Lima Bedebah   Masa lalu bagian 2

    Rossa mengangguk, begitulah yang diperintahkan oleh si Limbertman bos besarnya, “Jika kau tertangkap oleh seseorang, gunakanlah nama itu. Seharusnya mereka akan segera melepaskanmu.” Rossa sudah beberapa kali menggunakan nama itu untuk menakuti orang yang menangkapnya dan itu memang berhasil.Entah kenapa wajah orang-orang yang mendengar nama tersebut seketika pucat dan tanpa sadar bergetar ketakutan, pada saat itulah Rossa biasanya melarikan diri sekencang mungkin.Namun, biksu berkepala plontos dengan luka bakar dimatanya ini sama sekali tidak menunjukan bahwa dia menjadi takut, justru sebaliknya. Dia mendekat ke Rossa dengan bola mata yang berkilat memantulkan cahaya-cahaya lentera. Entah kenapa Rossa merasa dia nampak seperti predator buas yang kaget melihat onggokan daging lezat di hadapannya.Biksu Wabi menekukan lutut lalu tangan kanannya mengusap rambut Rossa yang basah akibat kehujanan.“Kau tidak usah takut disini, orang tua berjanggut putih itu sangatlah kuat. Bahkan Lim

  • Empat dari Lima Bedebah   Masa lalu bagian 1

    ***Gemuruh hujan semakin deras menyerbu, genting-genting klenteng beradu dengan air yang turun dari langit. Daerah Bogor memang sering sekali hujan, tetapi hujan deras seperti ini jarang sekali terjadi. Seakan langit sedang marah dan ingin mengamuk melalui angin yang meronta-ronta.“Apa kalian dengar suara gemuruh itu?” ujar Master Chong.Para warga mengangguk seperti sebuah boneka yang digerakan kepalanya, namun tidak tahu kemana arah tujuan perkataan Master Chong.“Itu adalah dewa langit yang sedang marah, dia ganas dan tak bisa ditebak, kalian semua kan tahu daerah sini banyak pohon-pohon besar yang bisa setiap saat roboh. Apa jadinya kalau salah satu yang roboh itu mengenai kalian yang sedang mempertontonkan hal tak bermoral seperti tadi?”Semua diam, “Tak usah melakukan hal-hal bodoh seperti itu lagi, itu memalukan. Aku ingin kalian menyerahkan anak ini pada klenteng. Kami akan memulangkannya, tanpa melakuk

  • Empat dari Lima Bedebah   Masa lalu di panti asuhan 1

    *** Bulan Desember 15 tahun lalu... Saat itu hujan deras mengguyur daerah kaki Gunung Pancar, wilayah Bogor. Angin dari barat meronta-rontakan dedaunan pohon di sekitar Klenteng Tiga Dewa yang diurus Master Chong. Beberapa ranting yang patah dari pohonnya menyerbu genting tanah liat yang menaungi klenteng tersebut, sehingga menciptakan suara gemuruh dan gaduh di atas kepala Master Chong. “Sepertinya badai akan datang,” ucap Master Chong dalam hati, sambil terhuyung masuk ke ruang berdoa, dia dari tadi beridiri di ambang pintu. Kakinya yang sebetulnya masih sehat, entah kenapa terasa kaku dan gemetaran. Firasatnya merasa hal buruk mungkin saja akan terjadi padanya atau pada klenteng ini atau pada orang-orang disekitarnya. Tepat saat baru tiga langkah masuk ke dalam seseorang meneriakinya, suaranya memekik di antara deburan air hujan yang deras. Master Chong menengok ke arah hujan, seorang laki-laki muda berlarian ke arahnya, tubuhnya seratus persen basah. Namun, masih bisa dikenali

  • Empat dari Lima Bedebah   membuntuti si Anton

    Persis seperti yang dikatakan oleh si Manajer mobil, Pria bertubuh besar itu memiliki tatto berbentuk mawar di lengannya, dia berkumis tebal, namun tidak memiliki rambut sepeserpun di kepalanya. Sambil mengancing rompi kulitnya, dia berjalan ke arah Galang dengan langkah tegap. Jantung Galang berderap begitu kencang memandangi wajah sok kuat itu, tangannya meremas kesal di atas dasbord mobil, di belakang pria itu muncul pula beberapa temannya dengan baju rompang-ramping khas preman pasar. Tangan Galang sudah hampir membuka pintu mobil, namun berhasil ditahan oleh Rossa. “Tahan emosimu, Darling. Jangan mengamuk disini, banyak orang-orang tak bersalah yang akan kena imbasnya jika kamu menghajar mereka disini. Lihatlah, pandangan pria itu tidak tertuju ke kita. Artinya dia tidak sadar kita telah mengawasinya. Biarkan dia mengendarai motornya, lalu kita buntuti mereka.” Benar kata Rossa, si Anton melewati mobil mereka begitu saja tanpa curiga sedikit pun. Hanya saja preman-preman pasar d

  • Empat dari Lima Bedebah   Bab 16 berkunjung ke Little tokyo

    Pukul 21:35 di Little Tokyo.Bangunan-bangunan berlantai dua dengan atap genteng khas jepang berjejeran saling berhadapan sepanjang jalan kawasan Blok M. Lentera-lentera berwarna merah bergelantungan tertiup angin menghiasi hampir disetiap bangunan-bangunan tersebut. Orang-orang berlalu lalang di bawahnya, mereka saling bergandengan, bencanda ria, mengobrol, berfoto, lalu tertawa lagi, di antara mereka berucap “Ya, tentu saja aku mau...”. Dan beberapa orang lainnya yang berjalan sendirian terlihat murung, ia menyumpahi segala macam yang ada di sepanjang jalan itu, “sialan, aku menginjak tahi burung lagi.” Kawasan itu benar benar ramai.Galang mengisyaratkan ke Rossa supaya menepi di sebuah sisi jalan yang masih agak jauh dari kawasan tersebut, kedua bola mata Rossa melirik ke sebuah restoran jepang yang sangat ramai dikunjungi. Restoran tersebut berlantai dua dengan lantai ruftop yang difungsikan sebagai tempat makan untuk para pen

  • Empat dari Lima Bedebah   Bab 15 kabur dari showroom

    Sang manajer memperbaiki posisi duduknya, pantat kurusnya sudah mulai terasa panas beradu dengan kursi kantor yang busanya sudah kempis, ia mulai menjelaskan."Sepuluh bulan lalu, pria bernama Anton itu membeli mobil disini dengan opsi pengiriman ke sebuah perusahaan bernama PT. Genta yang letaknya tidak jauh dari Tanjung Priok. Jangan tanyakan mengapa begitu, karena aku berani sumpah, aku tidak tahu ada hubungan apa antara si Anton tersebut dengan PT. Genta. Namun, yang pasti... kau harus tahu orang-orang tersebut sangatlah berbahaya. Mereka punya kelompok yang kuat dan kejam." terang sang manajer tanpa mengedipkan mata sama sekali, ia mengucapkannya dengan penuh tekanan."Aku tidak peduli! Cepat katakan dimana mereka itu, entah itu si Anton entah itu si kelompok dari perusahaan Genta!"

  • Empat dari Lima Bedebah   Bab 14 Sang Manajer

    "Ini tidak akan susah, Darling." sesaat kemudian setelah Rossa mengambil alih laptop itu, ia mengangkat alis. "Nah ketemu, lihat ini. Cuma ada ratusan buyer mobil jenis Aston DBS ini dari sekian banyak daftar ini yang menarik perhatianku adalah pria bernama Anton. Coba lihat, dalam catatan ini 10 bulan lalu dia membelinya, namun dia memberi catatan mobil harus dikirimkan untuk perusahaan bernama PT. Genta Tama, nama yang sama seperti yang diucapkan seseorang dalam rekaman di flashdisk itu.""Dimana alamat perusahaan tersebut?" ucap Galang ikut melihat layar laptop."Sayangnya tidak ada catatan di dalam laptop ini, bahkan di google ataupun di deepweb juga tidak ada catatannya sana sekali, yang tertera dalam invoice elektronik ini h

  • Empat dari Lima Bedebah   Bab 13 Showroom Aston-Martin

    Seorang pria berusia 40 tahunan terlihat sedang berusaha mengunci pintu kaca showroom Aston itu. Ia tidak menyadari telah di taruh sebuah koin pengganjal pada mulut kunci, berulang kali dia coba anak kunci yang satu dengan yang lainnya, namun tidak ada yang pas. Sesuai dengan data yang berhasil direntas Rossa di laman situs perusahaan, hari ini adalah jadwal piket sang manajer, dia terpaksa pulang paling akhir dan mengunci sendiri pintu showroom-nya.Galang yang memperhatikan dari seberang jalan sudah tak sabar lagi, ia segera melompat keluar dari balik pohon sebrang jalan, berjalan pelan menghampirinya."Hei, bukan seperti itu rencananya, Galang…" pekik Rossa dengan raut wajah terperangah.Galang tidak

  • Empat dari Lima Bedebah   Bab 12 Sebuah Kebodohan

    Kedua mata Galang lamat-lamat terbuka, ia memandang lampu pijar yang dikenalinya berada tepat di langit-langit ruangan, ia bangun dari ranjang motel yang tidak asing lagi baginya. Kepalanya masih terasa berat dan nyeri, namun perlahan menghilang. Jam dinding yang menempel di sisi samping lampu pijar itu berdentang tujuh kali."Mimpi buruk lagi. Efek morfin menidurkanku lebih dari enam jam, luar biasa. Sebanding dengan tubuhku yang tidak terasa kesakitan lagi." gumam Galang pada dirinya sendiri.Ia melangkah keluar kamar begitu selesai mencuci muka. Didapatinya sebuah laptop terbuka menganga di meja ruang tamu. Tidak ada seorang pun berada disana. Ia duduk di sofa menghadap layar laptop. Sebuah file rekaman video berdurasi 2 menit ada di sana. Saat hendak mengeklik file video itu, Rossa muncul dari balik punggungnya membawa sejumlah botol kaleng minuman pe

無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status