Home / Romansa / Enak Banget, Kak! / 04 - Kenapa ...

Share

04 - Kenapa ...

Author: Kaitani_H
last update Last Updated: 2025-12-18 16:03:19

“AAA—hmph!”

“Lo pikir sekarang jam berapa?” desis lak-laki yang sedang membekap mulut Aria. “Bisa-bisanya lo teriak kayak gitu tengah malam gini? Lo mau bikin semua orang di rumah ini bangun, karena dengar suara teriakan lo yang keras itu, hm?”

Suaranya terdengar tidak asing, tapi Aria yakin kalau dia salah satu kakak tirinya yang lain. Aria melirik rupa kakak tirinya dalam gelap, tapi dia hanya bisa melihat siluet yang tidak begitu jelas bagaimana bentuk wajahnya.

“M-maaf, Kak, aku pikir tadi ada hantu,” jawab Aria ketika laki-laki itu mulai melepaskan bekapan tangannya.

Laki-laki itu hanya mendengkus. “Harusnya gue yang mikir kayak gitu. Bisa-bisanya lo muncul di dapur tengah malam gini, mana lampunya nggak dinyalain lagi?”

“Niatnya, aku cuma mau minum sebentar, Kak.” Aria menundukkan kepalanya merasa bersalah. “Aku nggak mau bangunin yang lain, makanya lampunya nggak aku nyalain.”

Laki-laki itu berdecak, kemudian menyalakan lampu dapur yang membuat tatapan keduanya bertemu secara langsung.

“Kak Killian?” Aria mengerjap dengan tatapan tidak percaya. Seorang Killian Elgara sekarang menjadi kakak tirinya? Ini bukan mimpi, kan?

Killian mengernyit. “Lo—”

Aria menelan ludah susah payah. “M-maaf!”

Killian mengembuskan napas kasar. Dia berbalik, lalu duduk di salah satu kursi yang ada. “Bikinin gue sesuatu, kepala gue pusing.”

“Pusing?” Aria mengerjap bingung.

“Hm.”

Aria melihat Killian yang memejamkan mata sambil memegangi dahinya. Wajahnya terlihat lelah, pipinya pun tampak memerah.

“Kak Killian lagi mabuk?” tanya Aria langsung.

“Enggak.”

Tapi ekspresinya kayak orang abis minum, batin Aria sangat yakin dengan pendapatnya itu.

“Cuma minum dikit.” Killian membalas tatapan Aria. “Gue nggak mabuk.”

“Ohh!” Aria mengangguk, walaupun dia tidak begitu tahu apa bedanya, karena keduanya sama-sama memiliki arti mabuk. “Aku bikinin teh madu ya, Kak?”

“Hm.”

Aria mulai mendidihkan air, lalu dia mencari di mana bahan teh dan madu yang diperlukan untuk membuat teh madu. Namun, dia tidak bisa menemukannya.

“Cari di lemari,” kata Killian tiba-tiba memberikan instruksi.

Aria menurut dan dia langsung berhasil menemukan apa yang dia cari sejak tadi. Setelah air mulai menguap, Aria mematikan kompor dan menuangkan air itu ke gelas untuk menyeduh teh.

Dia menunggu tiga menitan sebelum menambahkan madu ke teh agar khasiat madunya tidak hilang. Setelah itu dia memberikannya pada Killian.

Killian mulai meminumnya dengan pelan. Aria hanya berdiri saja dan hal itu sedikit mengusik perhatian Killian. “Kenapa lo cuma berdiri aja?”

Aria terkejut, dia baru sadar masih terbawa kebiasaan dirinya dulu. “M-maaf, aku harus apa, Kak?”

“Duduk!”

Aria pun menarik kursi lainnya, lalu duduk di sana sembari menemani Killian yang sedang menghabiskan teh madu buatannya.

Tak ada yang bicara di antara mereka. Hanya hening yang menemani kebersamaan mereka.

“Gue nggak nyangka, kalau lo terampil bikin teh madu kayak gini.” Killian mulai membuka obrolan, karena mulai merasa tidak nyaman dengan keheningan di antara mereka.

“Soalnya, papa dulu sering minta teh madu kalau abis mabuk, Kak.”

Jawaban itu membuat Killian mengernyitkan dahi dan mulai memfokuskan tatapan ke arah Aria. “Bokap lo sering mabuk?”

Aria mengangguk. “Iya.”

“Kenapa dia minta teh madu ke lo?”

Aria menggeleng. “Aku juga nggak tahu, Kak.”

“Aneh.”

Aria mengangguk. Hal itu memang aneh. Padahal Elvi juga ada di rumah, tapi saat mabuk pasti Aria lah yang dicari oleh papanya.

“Terus, sekarang bokap lo ada di mana?”

“Papa udah meninggal dunia, Kak.”

“Kapan?”

“Lima tahun lalu.”

“Meninggal karena apa?”

“Kecelakaan.” Aria tersenyum tipis. “Papa sempat koma selama satu bulan sebelum meninggal dunia, Kak.”

 “Pasti lo sama nyokap lo kehilangan banget waktu itu, ya?”

Aria hanya bisa menganggukkan kepala, tanpa bisa mengatakan yang terjadi sebenarnya. Karena mungkin, mereka merasa lega dan bahagia saat papanya meninggal dunia.

“Menurut lo, bokap gue orangnya gimana?”

Aria menatap Killian yang telah menghabiskan teh madunya. Tatapan laki-laki itu lurus ke depan. Dia terlihat memandang jauh, layaknya sedang menerawang sesuatu yang tak kasat mata sekarang.

“Baik. Menurutku, Om Adikara orang yang sangat baik sekali.” Aria tersenyum padanya.

Killian melirik bagaimana ekspresi wajah Aria dari ekor matanya. “Benarkah?”

Aria mengangguk. “Tentu saja!”

“Bagaimana jika dia tidak sebaik kelihatannya?”

Pertanyaan itu berhasil membuat Aria terdiam cukup lama.

“Bagaimana jika suatu hari nanti, dia bikin lo kecewa atau bikin nyokap lo sakit hati?” Killian menatap Aria lurus. “Apa yang bakal lo lakuin kalau sesuatu seperti itu terjadi?”

Aria menggeleng. “Aku nggak akan lakuin apa pun.”

“Kenapa?”

Aria hanya diam. Bibirnya mengulum senyuman tipis tanpa makna yang berarti dan membuat keduanya terdiam dengan isi pikiran masing-masing.

Aria tidak akan melakukan apa pun pada Adikara, karena dia percaya atas keputusan yang telah dibuat oleh mamanya.

Jika itu hanya kesalahan-kesalahan kecil, Aria yakin mamanya masih bisa memaafkannya. Karena apa yang sudah dibuat oleh almarhum papanya pada mereka pasti jauh lebih besar daripada kesalahan yang telah Adikara perbuat pada mereka.

Mereka masih terus diam dalam keheningan malam, hingga Aria yang masih mengantuk itu tidur dengan meja sebagai sandaran kepalanya.

Killian mengerjap sekilas. Dia menatap Aria dalam diamnya. Tangannya terulur menyentuh helai rambut Aria yang menutupi wajah cantiknya.

“Kenapa ….”

Killian menarik kembali tangannya dan mengepalkan tangannya erat.

“Kenapa harus lo yang jadi adik tiri gue, Aria?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Enak Banget, Kak!   05 - Sopir Pribadi

    Aria yakin, apa yang terjadi semalam hanyalah bunga tidurnya saja. Mana mungkin Killian Elgara yang sangat populer di kampus itu adalah kakak tirinya?Dia yakin semua itu hanya mimpinya saja, karena otaknya masih terbayang-bayang soal peristiwa kemarin siang, ketika dia berurusan dengan Killian.Namun, saat dia turun ke ruang makan untuk sarapan bersama, Aria menemukan Killian sedang duduk di salah satu kursi yang ada.Killian ada di sana. Dia hanya melirik Aria dari ekor mata, tanpa bicara atau sekadar menyapanya, laki-laki itu hanya mengabaikan keberadaan Aria, seperti sosok tidak kasat mata.“Bagaimana tidurmu semalam, Aria?” tanya Adikara langsung saat Aria sudah duduk di kursinya.“Nyenyak, Om.” Aria langsung menggigit bibirnya. Lagi, dia lupa memanggil Adikara dengan panggilan papa seperti yang dicontohkan Rexan sebelumnya.“Baguslah kalau kamu bisa tidur nyenyak.” Adikara menatap Killian yang menyantap sarapannya tanpa rasa bersalah sedikit pun.Adikara berdeham pelan, memberik

  • Enak Banget, Kak!   04 - Kenapa ...

    “AAA—hmph!”“Lo pikir sekarang jam berapa?” desis lak-laki yang sedang membekap mulut Aria. “Bisa-bisanya lo teriak kayak gitu tengah malam gini? Lo mau bikin semua orang di rumah ini bangun, karena dengar suara teriakan lo yang keras itu, hm?”Suaranya terdengar tidak asing, tapi Aria yakin kalau dia salah satu kakak tirinya yang lain. Aria melirik rupa kakak tirinya dalam gelap, tapi dia hanya bisa melihat siluet yang tidak begitu jelas bagaimana bentuk wajahnya.“M-maaf, Kak, aku pikir tadi ada hantu,” jawab Aria ketika laki-laki itu mulai melepaskan bekapan tangannya.Laki-laki itu hanya mendengkus. “Harusnya gue yang mikir kayak gitu. Bisa-bisanya lo muncul di dapur tengah malam gini, mana lampunya nggak dinyalain lagi?”“Niatnya, aku cuma mau minum sebentar, Kak.” Aria menundukkan kepalanya merasa bersalah. “Aku nggak mau bangunin yang lain, makanya lampunya nggak aku nyalain.”Laki-laki itu berdecak, kemudian menyalakan lampu dapur yang membuat tatapan keduanya bertemu secara l

  • Enak Banget, Kak!   03 - Siapa di sana?

    “Di mana saudaramu yang lain?” Adikara bertanya saat mereka sedang makan malam bersama setelah selesai berdebat soal kamar yang akan ditempati Aria.Rexan meminta Aria untuk menempati kamarnya saja yang ada di ujung koridor lantai dua, karena dia tidak pernah menempatinya dan hanya pulang sesekali saja. Itu pun dia hanya sekadar mampir atau tidur di kamar lain— kamar yang hendak digunakan oleh Aria sebelumnya.Sedangkan Adikara berniat merenovasi kamar Alva, anak sulungnya yang memang tidak pernah pulang setelah membuat rumah sendiri di pusat ibu kota. Namun, Rexan melarangnya, karena takutnya hal itu akan menimbulkan masalah untuk Aria ke depannya.Pada akhirnya, mereka sepakat untuk memberikan kamar Rexan pada Aria.“Entahlah!” Rexan mengangkat bahunya santai.“Bukankah aku sudah meminta kalian semua untuk pulang hari ini? Kenapa hanya kamu saja yang datang kemari?”“Jangan tanya padaku, aku sudah lama tidak bertemu dengan mereka akhir-akhir ini.”Walaupun mereka bersaudara, tapi me

  • Enak Banget, Kak!   02 - Salah Paham

    “KYAAA!”Aria menutup matanya menggunakan tangan, tubuh kecilnya berbalik dan memunggungi pria yang sedang membenarkan posisi handuknya.Pria itu adalah Rexan Sagara, anak kedua di keluarga Putra. Dia menatap punggung Aria dengan tatapan tidak terbaca. Otaknya bertanya, tapi tidak berhasil menemukan jawabannya.“M-maafkan aku, aku tidak tahu—”“Keluar.” Nada suaranya yang tegas dan jelas itu membuat Aria takut dan memutuskan untuk pergi secepat mungkin dari sana.Aria berjalan lurus—nyaris berlari—masih dengan mata tertutup. Alhasil, dia menabrak tembok di depannya hingga jatuh dengan keadaan mengenaskan.Rexan yang melihat peristiwa itu pun dibuat melotot kaget dan secara refleks dia mendekati Aria lalu bertanya bagaimana keadaannya. “Kamu baik-baik saja?”Aria mengangguk “Aku baik-baik saja,” jawabnya, walau mulutnya meringis menahan perih di jidatnya.Rexan tersenyum tipis mengingat kelakuan Aria tadi. “Seharusnya kamu tidak perlu menutup mata lagi kalau kamu sudah balik badan, buk

  • Enak Banget, Kak!   01 - Salah Kamar

    Cup! Kecupan itu berhasil menggemparkan seisi kafetaria. Pasalnya yang menjadi sasaran ciuman nyasar itu adalah Killian Elgara, seorang mahasiswa populer yang tidak banyak bicara, tapi sangat disegani oleh mahasiswa lainnya. Sedangkan sang tersangka utama, Aria Valencia, mengedipkan kedua matanya berulang kali. Wajah polos dan tatapan tanpa dosanya membuat mahasiswa lain menatap iba. “Mau sampai kapan lo di sana?” desis Killian. “Eh?” Aria masih mencoba mencerna keadaan. Beberapa saat lalu dia sedang berjalan dengan pelan, takut kalau ada yang tiba-tiba saja menjegal kaki atau mungkin menyiramnya dengan kuah bakso sisa atau es teh Mbak Anisa. Walaupun sudah mengantisipasi, tapi Aria yang cukup ceroboh ini didorong dari belakang oleh orang lain yang membuatnya menabrak tubuh seseorang hingga jatuh. Tak hanya menimpa tubuh orang itu, dia juga tidak sengaja mencium pipinya. Aria menelan ludah susah payah. Dilihatnya laki-laki yang memasang ekspresi masam dengan wajah merah padam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status