Home / Romansa / Enak Banget, Kak! / 05 - Sopir Pribadi

Share

05 - Sopir Pribadi

Author: Kaitani_H
last update Last Updated: 2025-12-18 16:03:51

Aria yakin, apa yang terjadi semalam hanyalah bunga tidurnya saja. Mana mungkin Killian Elgara yang sangat populer di kampus itu adalah kakak tirinya?

Dia yakin semua itu hanya mimpinya saja, karena otaknya masih terbayang-bayang soal peristiwa kemarin siang, ketika dia berurusan dengan Killian.

Namun, saat dia turun ke ruang makan untuk sarapan bersama, Aria menemukan Killian sedang duduk di salah satu kursi yang ada.

Killian ada di sana. Dia hanya melirik Aria dari ekor mata, tanpa bicara atau sekadar menyapanya, laki-laki itu hanya mengabaikan keberadaan Aria, seperti sosok tidak kasat mata.

“Bagaimana tidurmu semalam, Aria?” tanya Adikara langsung saat Aria sudah duduk di kursinya.

“Nyenyak, Om.” Aria langsung menggigit bibirnya. Lagi, dia lupa memanggil Adikara dengan panggilan papa seperti yang dicontohkan Rexan sebelumnya.

“Baguslah kalau kamu bisa tidur nyenyak.” Adikara menatap Killian yang menyantap sarapannya tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Adikara berdeham pelan, memberikan sebuah kode terang-terangan, tapi yang dikode tetap tak acuh. Kesal karena tidak kunjung diperhatikan, Adikara menendang kaki Killian di bawah meja dan memelototinya.

“Aria, perkenalkan dia adalah Killian Elgara, kakak tirimu yang nomor empat!” Adikara pun memperkenalkan putranya.

Aria menatap Killian yang meliriknya dengan tatapan dingin. Apa laki-laki itu berencana tidak mengenalnya di depan Adikara? Kalau begitu ….

“Salam kenal—”

“Kami sudah saling mengenal, Pa,” potong Killian.

“Oh, ya?”

“Hm.”

“Bagaimana bisa? Bukannya usia kalian terpaut dua tahun, ya?” Adikara menatap Killian curiga.

“Dia adik tingkatku. Kami masih satu fakultas dan aku pernah mengulang kelas yang sama dengan kelasnya hari itu. Jadi, kami sudah saling mengenal saat itu,” jelas Killian cuek, masih melanjutkan sarapannya.

“Oh, ya?” Adikara menatap Aria yang mengerjapkan matanya berulang kali.

Aria tidak ingat pasti kapan peristiwa itu terjadi, tapi Killian masih ingat kalau mereka pernah berada di kelas yang sama? Padahal Aria tidak bisa mengingatnya, tapi kenapa Killian bisa mengingatnya, ya?

“Kalau demikian, harusnya kamu tidak keberatan kan kalau harus mengantar Aria pulang pergi kuliah selama Papa dan Mama pergi, kan?”

Killian mengernyitkan dahi. “Pergi?”

“Kalian mau pergi?” Aria terlihat penasaran sekali dengan masalah ini.

“Pergi bulan madu.” Adikara menatap Elvi dengan tatapan penuh makna.

Killian menoleh cepat, dahinya mengernyit, matanya bahkan menyipit. “Bulan madu?”

Adikara mengangguk. “Ya.”

“Kenapa tiba-tiba sekali kalian mau bulan madu?”

“Memang apa salahnya dengan bulan madu? Kami ini pengantin baru. Wajar saja dong bila kami pergi bulan madu?”

Killian menatap papanya sinis.

“Coba bayangkan kalau kamu berada di posisi Papa. Setelah menikah nanti kamu tidak pergi bulan madu sama sekali, apa kamu mau hal seperti itu terjadi padamu?” Adikara pun tidak kuasa mengomeli putra bungsunya ini.

“Aku tidak keberatan sama sekali. Memangnya apa pentingnya bulan madu seperti itu? Asalkan ada wanita dan kasur, sepertinya tidak ada yang harus dicari lagi, kan?” Killian menatap Adikara dengan tatapan tidak mengerti.

Adikara melongo mendengar balasan putranya yang sangat irit bicara ini. Sedangkan Aria memejamkan mata dan berdoa dalam hati, semoga calon istri kakak tirinya ini diberi kesabaran dan cinta seluas samudra, lantaran dia sangat tidak romantis sekali.

“Dari mana kamu belajar sesuatu seperti itu?” tanya Adikara mulai merasa penasaran.

“Apa sesuatu seperti itu perlu dipelajari?” Killian pun makin terlihat bingung.

Elvi berdeham, karena tidak nyaman dengan situasi di meja makan pagi ini. “Kalau anak-anak Mas keberatan, kita tidak perlu pergi—”

“Tentu saja kita harus pergi!” Adikara menatap Elvi tajam. “Aku ingin menghabiskan banyak waktu berdua saja denganmu, Elvira!”

Papa tiriku ini orangnya sangat romantis, tapi kenapa anaknya ini bisa jadi sedingin itu, ya? batin Aria, sembari menatap Killian dengan tatapan tidak terbaca.

“Apa?” Killian membalas tatapan Aria. “Ngapain lo natap gue kayak gitu?”

Aria menggeleng cepat. “Enggak, Kak. Enggak ada apa-apa.”

Killian mendengkus dan Adikara menatapnya tajam.

“Papa nggak mau tahu! Papa dan Mama mau pergi bulan madu! Jadi, selama itu kamu lah yang bertanggung jawab untuk mengantar jemput Aria ke kampus!” kata Adikara, final.

Killian sontak mendelik tidak setuju. “Kenapa harus aku yang melakukannya? Anak-anak Papa bukan cuma aku saja, kan?!”

“Tapi hanya kamu yang ada di rumah ini sekarang!” Adikara menatapnya tajam. “Killian, kamu harus patuh atau Papa akan membekukan semua rekeningmu!”

“Pa!” Killian mencoba menyela, tapi Adikara sudah membuang muka. Dia tidak menerima bantahan apa pun lagi dari putranya.

“Om, aku bisa berangkat dan pulang kuliah sendiri. Om tidak perlu merepotkan Kak Killian begini,” bela Aria berusaha menyelamatkan Killian dari tanggung jawab tentang mengantar-jemputnya.

Killian melirik Aria dari ekor matanya.

Aria pun menatap kakak tirinya. Lagi pula akan ada masalah kalau orang-orang kampus melihatnya berangkat bersama Killian Elgara, mengingat sepopuler apa Killian di fakultas mereka.

“Tidak boleh! Papa dan mamamu baru lega pergi jauh kalau ada yang bisa menjagamu selama kami tidak ada di sekitarmu.” Adikara menatap Killian tajam. “Nurut!”

Killian hanya menggumam samar. “Hm.”

“Jawab yang jelas!” tegas Adikara.

Killian berdecak kesal. “Iya!”

“Jangan pulang larut malam! Jangan mabuk-mabukan atau balapan! Pulang tepat waktu dan selalu jaga adikmu baik-baik di rumah ini!”

“Ck, iya, iya, cerewet sekali!” Killian mendengkus kesal mendengar perintah papanya yang banyak sekali itu.

“Kamu sudah dewasa, Killian. Sudah saatnya kamu mulai belajar cara bertanggung jawab yang benar!” tegas Adikara yang tidak akan bisa didebat lagi oleh putranya.

Elvi menatap Aria dengan senyum lega menghias wajah cantiknya yang tidak termakan usia. Walau usianya sudah lebih empat puluh tahun, tapi Elvi memang cantik sekali, seperti masih berusia awal tiga puluh tahun.

Adikara menatap putri barunya dengan tatapan lurus. “Aria, kami akan pergi cukup lama, karena rencananya kami berniat mengelilingi dunia. Kalau ada suatu masalah terjadi, kamu bisa mengandalkan kakak-kakakmu yang ada di rumah ini. Papa sudah meminta mereka pulang dan menemanimu agar kamu tidak merasa kesepian selama kami pergi. Jangan takut, mereka akan selalu menjaga dan melindungimu kapan pun dan di mana pun itu!”

Diam-diam Aria menganggukkan kepala. Kini, dia sadar dari mana sifat keras kepala kakak tiri pertamanya berasal. Sifat itu pasti berasal dari papa tirinya ini, kan?

Killian mendengkus mendengar ucapan papanya itu.

“Ya, Papa benar, Dek! Ada gue yang bakal jadi sopir pribadi lo, ada Revan yang bakal jadi tutor lo, ada Rexan yang siap jadi dokter lo, dan masih ada Al yang bakal jadi donatur lo.” Killian mendengkus lagi. “Lo pasti seneng banget, kan, denger semua ini?”

Aria langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. Pada akhirnya dia merasa tidak enak hati pada para kakak tirinya nanti, jika semua ucapan Killian benar-benar jadi kenyataan.

Sindiran yang begitu terang-terangan itu membuat Elvi merasa khawatir terhadap keselamatan putrinya, tapi genggaman tangan Adikara menguatkan tekad Elvi untuk tetap pergi meninggalkannya.

Semua ini Elvi lakukan demi Aria, juga demi dirinya. Dia harus menyerahkan semuanya pada keputusan yang dibuat oleh Adikara.

“Killian!” geram Adikara tertahan.

“Apa?”

“Jangan memulainya.”

Killian berdecak, lalu berdiri. Dia telah selesai makan sejak tadi. “Bangun, kita berangkat sekarang!”

Aria langsung bangun dengan gugup. Dia hanya bisa mengekori Killian, tapi sebelum pergi dia memeluk Elvi, mamanya untuk terakhir kali sebelum kedua orang tuanya pergi bulan madu.

“Semoga Mama dan Papa bersenang-senang!”

“Tentu saja kami akan bersenang-senang, Aria!” ucap Adikara bangga.

“Kamu jaga diri baik-baik ya, Sayang?” pesan Elvi.

Aria mengangguk. “Siap, Ma.”

“Kalau kakak-kakak tirimu melakukan sesuatu yang jahat padamu. Jangan ragu untuk melaporkan masalahnya pada Papa, biar Papa yang mengurus segalanya.”

Aria mengangguk, bibirnya mengulum senyum. “Iya, Pa. Aria pasti akan melakukannya.”

Saat itu, baik Adikara dan Elvi merasa bahagia hanya dengan satu panggilan ‘papa’ yang diberikan Aria untuk Adikara.

“Woi, jalan lo lelet banget sih!” teriak Killian yang mulai tidak sabaran.

Adikara yang mendengarnya pun menggeram marah. “Ck, anak itu!”

“Aku nggak apa-apa, Pa!” Aria tersenyum manis pada mereka. “Aku berangkat ya, Pa, Ma!”

“Hati-hati, Sayang!”

“Jaga dirimu baik-baik!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Enak Banget, Kak!   05 - Sopir Pribadi

    Aria yakin, apa yang terjadi semalam hanyalah bunga tidurnya saja. Mana mungkin Killian Elgara yang sangat populer di kampus itu adalah kakak tirinya?Dia yakin semua itu hanya mimpinya saja, karena otaknya masih terbayang-bayang soal peristiwa kemarin siang, ketika dia berurusan dengan Killian.Namun, saat dia turun ke ruang makan untuk sarapan bersama, Aria menemukan Killian sedang duduk di salah satu kursi yang ada.Killian ada di sana. Dia hanya melirik Aria dari ekor mata, tanpa bicara atau sekadar menyapanya, laki-laki itu hanya mengabaikan keberadaan Aria, seperti sosok tidak kasat mata.“Bagaimana tidurmu semalam, Aria?” tanya Adikara langsung saat Aria sudah duduk di kursinya.“Nyenyak, Om.” Aria langsung menggigit bibirnya. Lagi, dia lupa memanggil Adikara dengan panggilan papa seperti yang dicontohkan Rexan sebelumnya.“Baguslah kalau kamu bisa tidur nyenyak.” Adikara menatap Killian yang menyantap sarapannya tanpa rasa bersalah sedikit pun.Adikara berdeham pelan, memberik

  • Enak Banget, Kak!   04 - Kenapa ...

    “AAA—hmph!”“Lo pikir sekarang jam berapa?” desis lak-laki yang sedang membekap mulut Aria. “Bisa-bisanya lo teriak kayak gitu tengah malam gini? Lo mau bikin semua orang di rumah ini bangun, karena dengar suara teriakan lo yang keras itu, hm?”Suaranya terdengar tidak asing, tapi Aria yakin kalau dia salah satu kakak tirinya yang lain. Aria melirik rupa kakak tirinya dalam gelap, tapi dia hanya bisa melihat siluet yang tidak begitu jelas bagaimana bentuk wajahnya.“M-maaf, Kak, aku pikir tadi ada hantu,” jawab Aria ketika laki-laki itu mulai melepaskan bekapan tangannya.Laki-laki itu hanya mendengkus. “Harusnya gue yang mikir kayak gitu. Bisa-bisanya lo muncul di dapur tengah malam gini, mana lampunya nggak dinyalain lagi?”“Niatnya, aku cuma mau minum sebentar, Kak.” Aria menundukkan kepalanya merasa bersalah. “Aku nggak mau bangunin yang lain, makanya lampunya nggak aku nyalain.”Laki-laki itu berdecak, kemudian menyalakan lampu dapur yang membuat tatapan keduanya bertemu secara l

  • Enak Banget, Kak!   03 - Siapa di sana?

    “Di mana saudaramu yang lain?” Adikara bertanya saat mereka sedang makan malam bersama setelah selesai berdebat soal kamar yang akan ditempati Aria.Rexan meminta Aria untuk menempati kamarnya saja yang ada di ujung koridor lantai dua, karena dia tidak pernah menempatinya dan hanya pulang sesekali saja. Itu pun dia hanya sekadar mampir atau tidur di kamar lain— kamar yang hendak digunakan oleh Aria sebelumnya.Sedangkan Adikara berniat merenovasi kamar Alva, anak sulungnya yang memang tidak pernah pulang setelah membuat rumah sendiri di pusat ibu kota. Namun, Rexan melarangnya, karena takutnya hal itu akan menimbulkan masalah untuk Aria ke depannya.Pada akhirnya, mereka sepakat untuk memberikan kamar Rexan pada Aria.“Entahlah!” Rexan mengangkat bahunya santai.“Bukankah aku sudah meminta kalian semua untuk pulang hari ini? Kenapa hanya kamu saja yang datang kemari?”“Jangan tanya padaku, aku sudah lama tidak bertemu dengan mereka akhir-akhir ini.”Walaupun mereka bersaudara, tapi me

  • Enak Banget, Kak!   02 - Salah Paham

    “KYAAA!”Aria menutup matanya menggunakan tangan, tubuh kecilnya berbalik dan memunggungi pria yang sedang membenarkan posisi handuknya.Pria itu adalah Rexan Sagara, anak kedua di keluarga Putra. Dia menatap punggung Aria dengan tatapan tidak terbaca. Otaknya bertanya, tapi tidak berhasil menemukan jawabannya.“M-maafkan aku, aku tidak tahu—”“Keluar.” Nada suaranya yang tegas dan jelas itu membuat Aria takut dan memutuskan untuk pergi secepat mungkin dari sana.Aria berjalan lurus—nyaris berlari—masih dengan mata tertutup. Alhasil, dia menabrak tembok di depannya hingga jatuh dengan keadaan mengenaskan.Rexan yang melihat peristiwa itu pun dibuat melotot kaget dan secara refleks dia mendekati Aria lalu bertanya bagaimana keadaannya. “Kamu baik-baik saja?”Aria mengangguk “Aku baik-baik saja,” jawabnya, walau mulutnya meringis menahan perih di jidatnya.Rexan tersenyum tipis mengingat kelakuan Aria tadi. “Seharusnya kamu tidak perlu menutup mata lagi kalau kamu sudah balik badan, buk

  • Enak Banget, Kak!   01 - Salah Kamar

    Cup! Kecupan itu berhasil menggemparkan seisi kafetaria. Pasalnya yang menjadi sasaran ciuman nyasar itu adalah Killian Elgara, seorang mahasiswa populer yang tidak banyak bicara, tapi sangat disegani oleh mahasiswa lainnya. Sedangkan sang tersangka utama, Aria Valencia, mengedipkan kedua matanya berulang kali. Wajah polos dan tatapan tanpa dosanya membuat mahasiswa lain menatap iba. “Mau sampai kapan lo di sana?” desis Killian. “Eh?” Aria masih mencoba mencerna keadaan. Beberapa saat lalu dia sedang berjalan dengan pelan, takut kalau ada yang tiba-tiba saja menjegal kaki atau mungkin menyiramnya dengan kuah bakso sisa atau es teh Mbak Anisa. Walaupun sudah mengantisipasi, tapi Aria yang cukup ceroboh ini didorong dari belakang oleh orang lain yang membuatnya menabrak tubuh seseorang hingga jatuh. Tak hanya menimpa tubuh orang itu, dia juga tidak sengaja mencium pipinya. Aria menelan ludah susah payah. Dilihatnya laki-laki yang memasang ekspresi masam dengan wajah merah padam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status