LOGIN“Di mana saudaramu yang lain?” Adikara bertanya saat mereka sedang makan malam bersama setelah selesai berdebat soal kamar yang akan ditempati Aria.
Rexan meminta Aria untuk menempati kamarnya saja yang ada di ujung koridor lantai dua, karena dia tidak pernah menempatinya dan hanya pulang sesekali saja. Itu pun dia hanya sekadar mampir atau tidur di kamar lain— kamar yang hendak digunakan oleh Aria sebelumnya. Sedangkan Adikara berniat merenovasi kamar Alva, anak sulungnya yang memang tidak pernah pulang setelah membuat rumah sendiri di pusat ibu kota. Namun, Rexan melarangnya, karena takutnya hal itu akan menimbulkan masalah untuk Aria ke depannya. Pada akhirnya, mereka sepakat untuk memberikan kamar Rexan pada Aria. “Entahlah!” Rexan mengangkat bahunya santai. “Bukankah aku sudah meminta kalian semua untuk pulang hari ini? Kenapa hanya kamu saja yang datang kemari?” “Jangan tanya padaku, aku sudah lama tidak bertemu dengan mereka akhir-akhir ini.” Walaupun mereka bersaudara, tapi mereka berempat sudah dewasa dan mandiri. Bahkan adik bungsunya pun memiliki apartemen pribadi yang membuatnya tidak mau pulang ke kediaman ini lagi. “Oh, benarkah itu?” Adikara menatapnya curiga. “Sepertinya Papa terlalu sering menaruh kecurigaan padaku, huh!” Rexan menyudahi acara makan malamnya dan menatap Adikara yang tengah mendelik ke arahnya. “Dua minggu lalu, Al memang sempat datang ke rumah sakit tempatku bekerja. Dia bilang padaku kalau untuk sementara waktu, dia akan menetap di Kanada.” “Kanada?” Adikara mengernyitkan dahi. “Untuk apa dia pergi ke sana?” Elvi terlihat heran mendengar ucapan Rexan. “Seingatku, keluarga ini tidak memiliki cabang perusahaan di Kanada, bukan?” Rexan tampak terkejut, karena mama tirinya rupanya tahu banyak tentang keluarga ini. Dia melirik Aria yang memilih diam saja dan menyimak pembicaraan mereka. Wajahnya yang polos itu membuktikan kalau dia tidak tahu apa-apa, tidak seperti ibunya yang sepertinya sudah tahu segalanya. “Apa diam-diam dia masih mencari tahu soal Tasya?” Adikara terlihat curiga. Rexan mengangkat bahu lagi. “Mungkin saja, sejak dulu Al memang seorang budak cinta.” Dia menatap Aria. “Jadi, adikku sayang!” Aria yang sedang menyimak pun langsung terkesiap mendengar panggilan Rexan yang sangat tiba-tiba. “Y-ya, Kak?” “Cinta boleh, tapi jangan bodoh. Jangan ikuti jejak Al yang rela melakukan apa pun untuk kekasih berengseknya itu, okay?” Nasihat Rexan. Aria mengangguk patuh. Lagipula, dia memang tidak berniat menjalin hubungan asmara untuk sementara waktu. Dia hanya ingin fokus kuliah, lulus, dan bekerja agar bisa meringankan beban mamanya. Adikara menggeram pelan. “Aku akan mencari orang untuk menyeretnya pulang—” “Sebaiknya jangan lakukan itu!” Rexan melarangnya. “Biarkan saja dia. Orang seperti Al itu, semakin dilarang semakin dia berani melawan. Jadi biarkan saja sampai dia menemukan sendiri faktanya.” Aria mengerjap pelan. “Apa Kak Al orang yang keras kepala, Kak?” “Sangat-sangat keras kepala. Jika bertemu dengannya lebih baik kamu tidak pernah mendebatnya, okay?” Aria mengangguk paham. Adikara menghembuskan napas kasar. Dia menatap Elvi, meminta maaf melalui isyarat matanya. Elvi hanya tersenyum manis, tanda bahwa dia sama sekali tidak keberatan. Interaksi mereka diam-diam disaksikan oleh Rexan dan Aria, kemudian mereka berdua saling tatap dan saling melemparkan senyum lega. “Lalu, di mana adik-adikmu yang lain?” Rexan berdecak. “Papa bisa menghubungi mereka sendiri, kan? Kenapa harus menanyakannya padaku? Aku tidak pernah melihat atau bertemu dengan mereka berdua selama sebulan terakhir.” Jika tahu akan berakhir seperti ini, aku tidak akan pulang hari ini, sesal Rexan di dalam hatinya. Adikara berdecak kesal. “Baiklah, kalau begitu aku akan menghubungi mereka nanti.” Selesai makan malam, Rexan pamit karena besok pagi dia memiliki jadwal operasi. Dia meminta Aria untuk mengantarnya, meninggalkan Elvi dan Adikara yang kini mengambil ponsel dan menghubungi anak-anaknya yang lain. “Aria, tadi kamu bilang, kamu berusia sembilan belas tahun, kan?” tanya Rexan dalam perjalanan. “Benar, Kak.” “Apa kamu sudah punya pacar?” Aria menggeleng cepat. “Aku tidak tertarik pacaran, Kak.” Tidak ada yang mau dengan orang miskin sepertiku juga. “Oh, benarkah itu? Padahal aku tidak kaget kalau ada satu atau dua laki-laki yang sedang menjalin hubungan denganmu sekarang.” Aria langsung cemberut. “Itu tidak mungkin.” Rexan melirik ekspresi adiknya yang benar-benar alami dan tidak terkesan dibuat-dibuat itu. “Kenapa tidak mungkin?” “Yaaaa, tidak mungkin, alias mustahil.” “Kalau gebetan, kamu punya, kan?” Aria menggeleng lagi. “Tidak juga.” Dia membalas tatapan Rexan dengan berani. “Sebaliknya, Kakak yang pasti punya, kan?” Rexan tersenyum masam. “Sayangnya, aku juga tidak punya.” “Tidak mungkin!” Aria berhenti melangkah dan kini menatap Rexan yang juga ikut menghentikan langkahnya. “Bukankah orang-orang seumuran Kakak itu sudah pasti punya satu atau dua gebetan, kan?” Rexan mendengkus pelan dan kembali berjalan. “Apa kamu tahu berapa umurku?” “Memangnya berapa?” Aria mengikuti langkahnya. “Dua puluh tujuh tahun.” Rexan tersenyum miring. “Ya, itu kan sudah masuk usianya, Kak!” jerit Aria sebal. Rexan terkekeh pelan. “Sayangnya, selama ini belum ada wanita yang berhasil menarik perhatianku.” “Kenapa begitu?” “Entahlah!” Rexan mengangkat bahunya santai. “Aku juga tidak tahu. Mungkin, karena hubungan asmara tidak terlalu penting bagiku atau mungkin karena aku takut jadi sebodoh Al setelah mengenal cinta.” Rexan menatap Aria yang mendengarkannya dengan saksama. Entah kenapa, dia merasa bahagia melihat sisi perhatian yang diberikan Aria untuknya. “Menurutmu, apa alasanku yang sebenarnya?” Aria menggeleng. “Entahlah, aku juga tidak tahu. Mungkin saja karena Kakak terlalu takut mencoba untuk mulai jatuh cinta?” “Mungkin begitu.” Rexan menghentikan langkahnya, Aria pun ikut berhenti. Dia membelai puncak kepala Aria dengan lembut kemudian berkata, “Senang bertemu dan berkenalan denganmu, Aria. Aku akan menyuruh Kill pulang agar kamu memiliki teman di rumah ini!” Aria terdiam, kedua matanya mengerjap. Belaian tangan Rexan terasa hangat dan penuh kasih sayang. Aria merasa dia benar-benar memiliki seorang kakak yang sangat menyayanginya sekarang. “Terima kasih, Kak Rexan!” Setelah itu, keduanya bertukar nomor telepon dan Rexan pun pergi dari sana. Aria kembali masuk ke rumah. Dia langsung masuk ke kamarnya saat tidak menemukan siapa pun di ruang makan. Aria mengambil ponselnya yang ada di atas meja, lalu mengirimkan pesan pada satu-satunya teman baiknya. Aria : Coba tebak, apa saja yang terjadi padaku hari ini, Je? Jesslyn : Memangnya ada apa? Aria : Mama menikah lagi. Jesslyn : Tiba-tiba sekali, apa kamu baik-baik saja? Aria : Baik. Papa baruku sangat baik. Aku juga punya kakak laki-laki yang sangat baik. Aku sangat senang hari ini, Je. Aria : Aku merasa seperti memiliki keluarga baru lagi sekarang. Jesslyn : Aku ikut senang mendengarnya, Ria. Jesslyn : Aku akan pulang bulan depan. Saat itu tiba, pertemukan aku dengan keluarga barumu itu, ya! Aria : Tentu saja, aku pasti akan memperkenalkanmu dengan mereka! Aria tidak bisa menyembunyikan senyum di wajah cantiknya. Rupanya, tidak semua keluarga tiri itu buruk seperti anggapannya selama ini. *** Tengah malam, Aria terbangun karena merasa haus. Dia keluar dari kamarnya dan pergi menuju dapur untuk mencari air minum. Aria tidak menyalakan lampu dapur, karena dia hanya berencana singgah sebentar saja di sana. Namun, suara derap langkah kaki terdengar dari arah belakang punggungnya. Aria menelan ludah susah payah. Kedua matanya bergerak awas, melirik kiri kanannya yang gelap gulita dengan waspada. “Siapa di sana … AAA!”Aria yakin, apa yang terjadi semalam hanyalah bunga tidurnya saja. Mana mungkin Killian Elgara yang sangat populer di kampus itu adalah kakak tirinya?Dia yakin semua itu hanya mimpinya saja, karena otaknya masih terbayang-bayang soal peristiwa kemarin siang, ketika dia berurusan dengan Killian.Namun, saat dia turun ke ruang makan untuk sarapan bersama, Aria menemukan Killian sedang duduk di salah satu kursi yang ada.Killian ada di sana. Dia hanya melirik Aria dari ekor mata, tanpa bicara atau sekadar menyapanya, laki-laki itu hanya mengabaikan keberadaan Aria, seperti sosok tidak kasat mata.“Bagaimana tidurmu semalam, Aria?” tanya Adikara langsung saat Aria sudah duduk di kursinya.“Nyenyak, Om.” Aria langsung menggigit bibirnya. Lagi, dia lupa memanggil Adikara dengan panggilan papa seperti yang dicontohkan Rexan sebelumnya.“Baguslah kalau kamu bisa tidur nyenyak.” Adikara menatap Killian yang menyantap sarapannya tanpa rasa bersalah sedikit pun.Adikara berdeham pelan, memberik
“AAA—hmph!”“Lo pikir sekarang jam berapa?” desis lak-laki yang sedang membekap mulut Aria. “Bisa-bisanya lo teriak kayak gitu tengah malam gini? Lo mau bikin semua orang di rumah ini bangun, karena dengar suara teriakan lo yang keras itu, hm?”Suaranya terdengar tidak asing, tapi Aria yakin kalau dia salah satu kakak tirinya yang lain. Aria melirik rupa kakak tirinya dalam gelap, tapi dia hanya bisa melihat siluet yang tidak begitu jelas bagaimana bentuk wajahnya.“M-maaf, Kak, aku pikir tadi ada hantu,” jawab Aria ketika laki-laki itu mulai melepaskan bekapan tangannya.Laki-laki itu hanya mendengkus. “Harusnya gue yang mikir kayak gitu. Bisa-bisanya lo muncul di dapur tengah malam gini, mana lampunya nggak dinyalain lagi?”“Niatnya, aku cuma mau minum sebentar, Kak.” Aria menundukkan kepalanya merasa bersalah. “Aku nggak mau bangunin yang lain, makanya lampunya nggak aku nyalain.”Laki-laki itu berdecak, kemudian menyalakan lampu dapur yang membuat tatapan keduanya bertemu secara l
“Di mana saudaramu yang lain?” Adikara bertanya saat mereka sedang makan malam bersama setelah selesai berdebat soal kamar yang akan ditempati Aria.Rexan meminta Aria untuk menempati kamarnya saja yang ada di ujung koridor lantai dua, karena dia tidak pernah menempatinya dan hanya pulang sesekali saja. Itu pun dia hanya sekadar mampir atau tidur di kamar lain— kamar yang hendak digunakan oleh Aria sebelumnya.Sedangkan Adikara berniat merenovasi kamar Alva, anak sulungnya yang memang tidak pernah pulang setelah membuat rumah sendiri di pusat ibu kota. Namun, Rexan melarangnya, karena takutnya hal itu akan menimbulkan masalah untuk Aria ke depannya.Pada akhirnya, mereka sepakat untuk memberikan kamar Rexan pada Aria.“Entahlah!” Rexan mengangkat bahunya santai.“Bukankah aku sudah meminta kalian semua untuk pulang hari ini? Kenapa hanya kamu saja yang datang kemari?”“Jangan tanya padaku, aku sudah lama tidak bertemu dengan mereka akhir-akhir ini.”Walaupun mereka bersaudara, tapi me
“KYAAA!”Aria menutup matanya menggunakan tangan, tubuh kecilnya berbalik dan memunggungi pria yang sedang membenarkan posisi handuknya.Pria itu adalah Rexan Sagara, anak kedua di keluarga Putra. Dia menatap punggung Aria dengan tatapan tidak terbaca. Otaknya bertanya, tapi tidak berhasil menemukan jawabannya.“M-maafkan aku, aku tidak tahu—”“Keluar.” Nada suaranya yang tegas dan jelas itu membuat Aria takut dan memutuskan untuk pergi secepat mungkin dari sana.Aria berjalan lurus—nyaris berlari—masih dengan mata tertutup. Alhasil, dia menabrak tembok di depannya hingga jatuh dengan keadaan mengenaskan.Rexan yang melihat peristiwa itu pun dibuat melotot kaget dan secara refleks dia mendekati Aria lalu bertanya bagaimana keadaannya. “Kamu baik-baik saja?”Aria mengangguk “Aku baik-baik saja,” jawabnya, walau mulutnya meringis menahan perih di jidatnya.Rexan tersenyum tipis mengingat kelakuan Aria tadi. “Seharusnya kamu tidak perlu menutup mata lagi kalau kamu sudah balik badan, buk
Cup! Kecupan itu berhasil menggemparkan seisi kafetaria. Pasalnya yang menjadi sasaran ciuman nyasar itu adalah Killian Elgara, seorang mahasiswa populer yang tidak banyak bicara, tapi sangat disegani oleh mahasiswa lainnya. Sedangkan sang tersangka utama, Aria Valencia, mengedipkan kedua matanya berulang kali. Wajah polos dan tatapan tanpa dosanya membuat mahasiswa lain menatap iba. “Mau sampai kapan lo di sana?” desis Killian. “Eh?” Aria masih mencoba mencerna keadaan. Beberapa saat lalu dia sedang berjalan dengan pelan, takut kalau ada yang tiba-tiba saja menjegal kaki atau mungkin menyiramnya dengan kuah bakso sisa atau es teh Mbak Anisa. Walaupun sudah mengantisipasi, tapi Aria yang cukup ceroboh ini didorong dari belakang oleh orang lain yang membuatnya menabrak tubuh seseorang hingga jatuh. Tak hanya menimpa tubuh orang itu, dia juga tidak sengaja mencium pipinya. Aria menelan ludah susah payah. Dilihatnya laki-laki yang memasang ekspresi masam dengan wajah merah padam







