Share

Putri-Putri Penghuni Istana

“Bedebah! Ada lapis keduanya!”

Gelmar menatap nanar. Pasukan itu terlihat lebih padu. Pakaian rapi serba hitam dengan dalaman kemeja berwarna putih. Topi datar yang familiar. Lengkap dengan persenjataanya. Gelmar sendiri tentu belum mampu menaklukan mereka.

“Tikus got-nya besar juga ternyata.”

Pria paling depan berkata sambil memainkan tusuk gigi. Picingan matanya terlihat dari balik kaca mata hitam yang dia pakai. Gaya meledek ala pemimpin sebuah pasukan kacangan.

“Rata semua pasukan lapis satu. Pertunjukan sirkus yang bagus.”

Yang lain menimpal. Menganggap Gelmar hanyalah binatang sirkus yang hanya bisa menaklukan pasukan remahan mereka.

Gelmar tersungut. Namun, sebisa mungkin meredamnya dalam dekapan Miranda yang ketakutan. Agak terpaksa, dia melepas Miranda di sisi tembok bangunan. Berbicara lembut dengan Miranda sejenak.

“Jangan terlalu cemas ya, aku akan melawan mereka dulu, setelah itu kita pulang.”

Kerlingan mata indah itu tertuju pada sorot mata dalam. Terasa hangat. Penuh tanggung jawab. Mengayomi. Yang membuat perasaannya tidak karuan.

Lebih tidak karuan lagi saat dia melepas pria berbadan tegap itu di tengah puluhan mafia bersenjata. Melawan seorang diri.

“Oh, berani melawan.”

“Tunggu apalagi! Cincang dia!”

Mereka langsung menyerbu Gelmar. Menghajarnya tanpa ampun. Gelmar mampu mengelak pada awalnya. Namun, dia kewalahan karena terlalu banyak.

“Sudah! Cukup!”

Adelia histeris. Tanpa bisa membantu. Miranda meneteskan air mata. Tidak tega melihat Gelmar dirundung begitu banyak orang yang memukulinya.

Sampai dari arah pintu depan, terdengar riuh mobil trail yang masuk. Diiringi suara derap langkah pasukan. Pasukan loreng hitam biru dengan atribut-atribut khusus mulai memenuhi gudang bagian depan itu.

Suasana menjadi hening. Seorang wanita berambut blonde turun dari mobil trail itu. Menggunakan kaos lengan buntung dan celana jeans robek. Gelmar sempat  memperbaiki sesuatu yang bergejolak di bawah.

“Kak Stevani! Syukurlah kakak datang!”

Baru Gelmar tersadar setelah Adelia memanggilnya. Itu adalah putri angkat kedua. Stevani Marriam. Jendral pasukan khusus yang memiliki ciri khas berambut blonde. kesan tegas dan angkuh. Terkenal tidak pandang bulu dalam menghukum siapapun.

Stevani menoleh ke Adelia sesaat. Pandangannya dingin tanpa berkata apapun. Setelah itu beralih ke Miranda, adik bungsunya yang tampak meringkuk di bagian paling belakang gedung.

“Terkutuk! Kalian apakan adikku!”

Suaranya lantang menggema. Matanya menyulutkan amarah singa betina. Gelmar yang sedari memperhatikan body seksinya yang tertutup jaket jeans malah meneguk ludah berkali-kali. Sexy dan angkuh dalam waktu bersamaan. Sangat menggairahkan.

“Haha! Kenapa? Kau mau bernasib sama dengan adikmu itu hah!”

Mafia yang memainkan tusuk gigi itu tampak terkekeh. Tanpa dia ketahui bagaimana ganasnya kalau singa betina itu mengamuk.

Dengan langkah tegas, Stevani mendekatinya. Menonjok langsung di wajahnya yang membuat mafia itu terhuyung. Secepat kilat, dia membalikkannya. Mengunci lehernya sampai teriak kesakitan.

“Serang!”

Begitu komando diturunkan, pasukan langsung menyerbu para mafia itu. Kekuatan mafia itu tidak bisa dibandingkan dengan pasukan khusus. Mereka kalah gesit dan terpukul mundur. Bahkan, ada di antara mereka yang mulai untuk menembakkan senjata. Namun, dengan cepat dihentikan dan dipatahkan tangannya.

“Mundur!”

Sisa pasukan mafia melarikan diri. Yang lain sudah terkapar tanpa bisa bangun.

“Gelmar! Pelipismu memar!”

Adelia berhamburan mendekati Gelmar yang sedang terkapar di atas tanah dengan kondisi pelipis yang berdarah. Sementara, Stevani memerintah anak buahnya untuk membopong Miranda.

“Adel! Apa-apaan kamu! Jangan dekat-dekat dengan dia! Dia orang asing!”

Stevani menghardik adiknya. Tidak terima dia dekat-dekat dengan orang asing.

 “Dia bukan orang asing! Dia adalah utusan Sancez, ayah angkat kita, Kak!”

“Tahu dari mana kamu?”

“Ini, Kak.”

Adel menggeser layar ponselnya. Menunjukan isi pesan dari group telegram. Stevani memeriksanya lamat-lamat. Sesekali dia melirik ke arah Gelmar untuk memastikan.

Stevani menyerahkan ponsel Adel dengan tubuh agak sedikit condong. Membisikan sesuatu ke telinga Adel.

“Dia bisa saja sangat membahayakan! Awas saja kalau terjadi apa-apa dengan keluarga kita! Orang yang pertama kali bersalah adalah kamu!”

Adel sedikit begidik mendengarnya. Bukan tanpa alasan kakaknya begitu. Selain statusnya sebagai jendral. Ada protocol keamanan yang sangat ketat untuk menjaga keluarga. Terlebih akhir-akhir ini , banyak mafia yang mengincar mereka.

Juga, karena status Adel yang paling diremehkan. Pencapaiannya tidak seberapa dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain. Yang membuatnya sering dipandang remeh.

“Adel, kamu baik-baik saja kan?”

Gelmar sempat mendengar bisikan tegas putri angkat kedua tadi. Mengerti apa yang dirasakan Adel sekarang.

“Enggak apa-apa. Yuk kita ke mobil. Bisa berdiri kan?”

Gelmar mengangguk. Tenaganya belum habis sekalipun tadi bertempur habis-habisan. Bahkan, dia bisa berjalan selayaknya tidak terjadi apa-apa.

“Makasih ya.”

Gelmar berucap setelah masuk ke dalam mobil Adel. Mengikuti rombongan mobil Stevani.

“Untuk?”

Pandangan Adel masih tertuju ke depan. Berusaha santai. Tidak menunjukan beban di depan Gelmar. Semakin menarik saja wanita tomboy ini. Begitu Gelmar membatin.

“Sudah membelaku di depan saudara-saudaramu.”

“Seharusnya kami yang harus berterima kasih. Kamu sudah berjuang mati-matian melawan para mafia itu. Seorang diri. Tanpa senjata lagi. Kalau tidak ada kamu. Mungkin Miranda akan lolos dibawa mereka. Memang tidak salah Ayah Sanchez mengutus kamu.”

Gelmar tercenung. Ada satu hal yang belum terungkap tentang tujuan kedatangannya. Alasan sebenernya kenapa dia diutus untuk keenam putri angkat itu.

Gelmar dan Adel mengikuti rombongan Stevani sampai di sebuah kompleks mewah. Gaya eropa klasik dengan nuansa putih. Membentang luas dari ujung ke ujung.

“Ini rumah kami.”

Adel seolah bisa membaca pikiran Gelmar yang sedari tadi melongo. Kata ‘rumah’ tidak mewakili apa yang dia lihat. Ini lebih bisa dibilang sebagai istana megah ala bangsawan. Sangat cocok dengan penghuninya yang akan dilihat nanti. Gelmar semakin penasaran ingin tahu tentang putri lainnya.

Beberapa saat, barulah sampai di pintu Gerbang istana itu yang di jaga  oleh beberapa orang berpakaian rapi. Rupanya sedari tadi, hanya melewati jalan samping rumah.

Di dalamnya jauh lebih menawan, hamparan halaman luas di hiasi taman sebelah kanan kiri. Dibagian tengahnya ada air mancur dengan pancuran kuda dengan kedua kaki terangkat. 

Tampak depan, Rumah utama terlihat megah dan menawan ditunjang dua pilar tinggi,   Seorang pasukan khusus tampak membukakan pintu buat Stevani dan Miranda yang masih terlihat syok. Pasukan itu melakukan salam hormat sebelum Kembali masuk ke mobil. Rombongan pasukan itu bergerak ke belakang.

“Di belakang, ada base tempat tinggal mereka.”

Adel kembali menjelaskan. Rumah yang mewah dan luas ini tentu terdapat banyak pekerja, termasuk pasukan khusus yang jumlahnya puluhan untuk menjaga. Hanya sebagian bataliyon atau pasukan lebih besar yang dipimpin Stevani di luar sana.

“Yuk, masuk.”

Adel membimbing Gelmar. Sebisa mungkin membuat pria gagah berkepala plontos itu tidak kikuk. Walaupun, Gelmar terlihat santai dengan gaya cueknya.

Masuk ke sebuah ruangan, mereka disambut oleh dua wanita lainnya yang terlihat cemas dengan keadaan mereka.

“Astaga, Miranda. Kamu pucat sekali.”

Terlihat wanita berambut hitam gelombang tampak mengkhawatirkan Miranda. Menuntunnya duduk di sofa santai. Badannya beda dari yang lain. Lebih gemuk sedikit yang membuatnya terkesan berisi dan semok. Ada tahi lalat di pipinya. Raut wajahnya latin-nya terkesan tegas. Siapa sangka kalau itu adalah putri kelima dengan title pemimpin mafia yang melekat. Gwen Pricilia.

“Duh, kok kamu babak belur begini, Adel. Sini aku obatin.”

Kali ini, wanita dengan rambut hitam lurus. Penampilannya lebih formal dengan menggunakan jas dan rok pendek khas pimpinan CEO, tapi versi yang lebih seksi. Sepertinya dia sengaja pulang dari kantor. Gelmar tahu betul kalau itu adalah putri keempat yang punya darah Jepang. Hana Motokura.

“Saya panggil kalian pulang ke rumah untuk melihat keadaan mereka. Mereka baik-baik saja.”

Rupanya Stevani  yang menghubungi mereka untuk pulang. Putri-putri cantik Sanchez lainnya. Kepala Gelmar mendadak pusing. Tak bisa membayangkan hidup dikelilingi mereka. Menjadi pangeran satu-satunya di istana ini.

Dua wanita tadi tampak ngobrol dengan Stevani. Membicarakan tentang penculikan Miranda tadi.  tanpa mengacuhkan Gelmar yang mereka kira adalah salah satu anak buah Stevani.

“Siapa dia? Kenapa dia di sini?”

Semua mata langsung tertuju ke Gelmar. Pria berbadan sekal. Otot keras yang membuat baju lusuh tampak ketat. Kepala plontos menawan entah menimbulkan suatu kesan yang berbeda di pemikiran para wanita.

“Ehem, perkenalkan dia Gelmar. Utusan dari ayah angkat kita. Dia tadi yang ikut menghajar para begundal yang nyaris membawa Miranda.”

Kedua wanita tersebut tampak terhenyak. Pandangan mereka yang semula ke Adel beralih ke Gelmar dengan penuh selidik. Tampak curiga memandang Gelmar dari atas sampai bawah.

Tiba-tiba, ada satu wanita lagi berpakaian cukup terbuka. Dia baru keluar dari kamar mandi. Gelmar yang tidak menduga kedatangannya. Tampak terkejut saat wanita itu mencengkeram kerahnya. Menariknya cukup keras sampai buah dada wanita itu mengenai pipinya.

“Uh.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status