"Berhenti! Kau pikir kau siapa seenaknya mau masuk?! Apa kau tidak tahu tempat ini steril dari orang-orang miskin sepertimu?"
Dua orang sekuriti tampak menghadang langkah Gelmar yang hendak menerobos masuk ke Lobby hotel mewah itu. Mereka tampak memandang sinis kepada pria bertubuh gempal berotot, berkepala plontos sexy. Sexy karena ditopang dengan rahang yang kokoh dan leher sekeras beton. Mempertegas kesan maskulin natural tapi dengan penampilan jas yang lusuh.
Gelmar diam sesaat. Pria berkulit coklat eksotis itu menyapu ke arah tatapan yang sangat menghina dan merendahkan. Namun, dia hanya terfokus tentang tujuannya awalnya datang ke hotel ini. Diutus mendiang Sancez, mafia terhebat untuk melindungi ke enam putri angkatnya yang menjadi incaran musuh-musuhnya!
Sebelumnya, saat pertama kali melihat wajah keenam putri angkat Sanchez lewat foto, Gelmar begitu terpesona dengan kecantikan khas eropa dan tubuh proporsional yang mereka miliki. Bahkan, tanpa sadar, jantungnya berdegup kencang melihat foto-foto mengagumkan itu. Benar-benar para perempuan yang diidamkan seluruh lelaki di muka bumi!
“Saya sudah memesan kamar paling atas di hotel ini.”
“Apa kau bilang? Kau sudah pesan kamar paling atas? Itu kamar yang paling mahal! Sudah gila ya kau!”
Tawa terpingkal-pingkal mencuat dari kedua sekuriti itu. Tentu karena hal itu sangat mustahil bagi pria berpenampilan miskin itu. Mereka tidak pernah tahu bahwa pria berwajah sangar itu adalah otak baru dari gang mafia besar dengan segala kemampuan yang mumpuni. Penerus mendiang Sancez yang sangat ditakuti di seluruh negeri.
“Kalian tidak percaya? Ini buktinya?”
Gelmar menyodorkan dua kartu akses. Kedua sekuriti itu tampak saling berpandangan sejenak. Kemudian memandang kea rah kartu yang mirip sekali dengan kartu akses di hotel ini.
“Kau pikir kami bodoh! Bisa saja kau merekayasa kartu ini. Banyak wartawan dan paparazzi yang melakukan hal tolol seperti itu!”
“Kau jangan nekad! Ini acara Red Carpet yang mewah dan berkelas. Hanya artis-artis ternama yang boleh masuk. Tapi, kalau kau masih keras kepala juga. Kami tidak segan melaporkanmu ke polisi!” timpal sekuriti yang lain.
Gelmar tidak gentar mendengar ancaman kelas teri dari para penjaga itu. Pria berwajah tegas itu tampak mengusap-usap bawah hidungnya dan berdeham sejenak.
“Sekarang kita coba ke resepsionis. Kalau kartu itu palsu, saya dengan sukarela akan masuk penjara, tapi kalau asli, maka kalianlah yang akan mendapatkan hukuman yang sangat memalukan karena sudah berusaha mengusir tamu VVIP.”
Mimik wajah kedua sekuriti itu mendadak serius. Mereka tampak bisik-bisik. Diskusi. Menimbang antara mengabulkan permintaan Gelmar atau tidak. Ini acara yang berkelas dan mewah. Kalau sampai mereka kelepasan, resikonya sangat besar, tapi bagaimana kalau ternyata Gelmar benar-benar tamu VVIP. Resikonya akan jauh lebih besar!
“Ok kita buktikan. Kalau benar kartu itu palsu. Maka, kamu bisa dijeboskan ke penjara lebih lama karena sudah mengacaukan acara elit ini.”
“Siapa takut.”
Kedua sekuriti itu menggeleng-gelengkan kepala. Dengan kasar, mereka meminta Gelmar untuk mengikuti mereka. Membelah karpet merah di lobby itu di mana banyak orang-orang berpenampilan berkelas yang tampak memandang sinis ke arahnya. Bahkan, terselip obrolan pedas penuh hinaan.
“Gembel banget sih pakaiannya.”
“Kok bisa sih diizinnin masuk. Merusak acara saja.”
“Iya, jijik sekali liatnya. Mirip orang gila.”
Bahkan, mereka menghindar seraya memegang hidung melihat Gerlmar berjalan melewati mereka. Tak dapat dipungkiri, perlakuan orang-orang sok kaya itu membuat Gelmar sangat kesal!
Gelmar bukannya tidak menanggapi perkataan mereka. Buang-buang waktu saja. Kalau mau, bisa saja dia membeli hotel mewah ini dan seluruh isinya.
“Dasar orang-orang kaya palsu! Mereka pikir kekayaan mereka sebanding dengan milik ayah Sanchez?!”
Mereka sudah sampai di depan elevator. Salah satu sekuriti tampak menempelkan kartu akses milik Gelmar. Namun, hal yang tidak terduga ketika kartu itu tidak bisa terdeteksi.
Melihat kejadian di depannya, kedua sekuriti itu mengulas senyum licik dan menatap ML dengan senyum amat meremehkan.
“Dasar penipu! Kau lihat kan barusan?! Kartu ini tidak berfungsi! Kau coba membodohi kami hah!” geram sekuriti itu. Dia memberikan komando kepada temannya untuk segera menyeret Gelmar dari hotel itu.
“Ayo ikat bajingan tengik ini! Jangan sampai orang-orang rendahan sepertinya merusak perayaan para artis dan orang-orang kaya di sini!”
Gelmar terkejut untuk sesaat. Kartu itu tidak mungkin salah. Ia mendapatkannya langsung lewat anak buahnya. Dan, bahkan ia membayar seluruh kamar yang ada di lantai atas! Harusnya kartu itu bisa berfungsi!
Seraya berpikir, Gelmar membiarkan saja kedua sekuriti itu hendak mengikatnya. Pria itu bahkan tidak bergeming saat kedua sekuriti itu mengungkung kedua tangannya. Malah, dia bisa menghempaskan cengkraman itu dengan sekali hentakan tangan.
“Pasti ada yang salah, Coba aku saja!” ucap Gelmar seraya menatap tajam kedua sekuriti itu.
Gelmar merebut kartu akses itu dan men-tapnya sendiri. Peluh di keningnya mengalir, jika ini gagal, maka gagal pula upayanya bertemu dengan salah satu anak angkat Sanchez!
Namun, keadaan tiba-tiba berbalik. Elevator terbuka seketika.
“Ti…tidak mungkin! Hey, kau lihat sendiri kan sebelumnya kartu itu tidak bisa?”
“I…iya! Aku sendiri yang men-tapnya. Tapi, kenapa tiba-tiba sekarang bisa?”
Melihat hal itu, kedua sekuriti itu saling tatap tak percaya. Tubuh mereka mendadak panas dingin. Ketakutan menyelimuti mereka.
“Ma-maafkan kami, Tuan. Kami tidak bermaksud menghalang-halangi Tuan.”
“Iya, Tuan. Tolong jangan hukum kami. Jangan permalukan kami.”
Kedua sekuriti itu tampak membungkukkan badan dengan tubuh gemetaran. Gelmar menyunggingkan senyum miring. Dua sekuriti yang sedari tadi merendahkannya malah ciut dan memohon-mohon.
“Kalian beruntung karena mood-ku sedang baik hari ini. kalau tidak, saya bisa menyuruh orang untuk menelanjangi kalian dan mengarak kalian keliling kota.”
“Ampun Tuan, Jangan.”
Kedua sekuriti itu semakin ketakutan. Bahkan, mereka sampai merendahkan badannya. bersujud di kaki Gelmar. Sekarang terlihat aura Gelmar yang sebenarnya. Sangat menyeramkan dan penuh intimidasi. Insting mafia. Tidak segan untuk melibas apapun yang menghalangi. Bahkan, menghukum dengan cara yang paling sadis. Namun, entah kenapa hari itu suasana hati Gelmar sedang baik. Mungkin karena hendak bertemu dengan salah satu anak angkat dari mendiang Sancez.
Gelmar tidak menghiraukan kedua sekuriti itu. Langsung masuk ke dalam elevator. Di dalam elevator, pria plontos berahang keras itu tampak bersiul-siul. Tengil sekali gayanya. Apalagi kalau sudah merayu, dijamin membuat wanita gelisah tujuh hari tujuh malam.
Pria itu melenggang masuk ke lantai paling atas setelah pintu elevator terbuka. Segera dia menuju satu ruangan di mana ada seorang artis besar yang hendak dia temui. Salah satu dari enam anak angkat Sancez yang konon sangat cantik jelita.
Karena mempunyai kartu akses kamar, Gelmar tidak berpikir panjang untuk mengetuk pintu dulu. Dia langsung membuka pintu dengan santai.
Namun, pemandangan di depannya membuatnya terpaku, sosok perempuan tanpa busana yang tengah berganti pakaian menatapnya dengan nyalang!
“Bajingan! Apa yang kau lakukan di sini!”
Gelmar tak berkutik, celananya kini telah menyempit!
“Kurang ajar! Siapa kamu? Berani masuk ke kamar saya?”“Sa…Saya…”Gelmar masih terpaku untuk sesaat. Matanya yang besar itu tampak menyala. Jakunnya naik turun. Kemolekan tubuh seorang gadis yang masih ramping itu begitu menawan. Mahkota rambut merahnya semakin menambah kesan berani dan sexy. Sesuatu menyembul besar dan tidak terkendali.Si Gadis yang diperhatikan seperti itu langsung meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajahnya merah padam. Pria asing berpostur besar. Rahang keras dan leher betonnya begitu sempurna menopang kepalanya yang botak. Namun, tetap saja dia merasa tidak nyaman dengan tatapan mesum yang seolah ingin menelannya hidup-hidup."Dasar lelaki mesum! Kamu ingin melecehkanku ya? Keluar kamu dari sini!"Gelmar menggeleng-gelengkan kepala. Tampak salah tingkah sambil melihat ke sekitar dan kembali tertuju ke gadis yang sudah kemerahan itu. Dia menyeringai malu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Maaf, Nona. Sepertinya saya salah kamar.”“Enggak! Kamu pa
“Mau apa kau hah! Dasar Lelaki Carut!”Belum juga menjelaskan, Gelmar sudah mendapatkan tamparan keras. Dicecar di hadapan para pengawalnya. Hal yang sangat dimaklumi mengingat kelakukan Gelmar semalam. Dia juga melihat raut wajah Miranda yang merah padam, antara emosi dan juga menahan malu.“Miranda, saya minta maaf atas kejadian semalam, tapi tolong beri saya waktu. Ada hal penting yang harus saya bicarakan.” Gelmar berkata dengan wajah tegang. Walaupun tidak berpengaruh sama sekali dengan wajah garangnya. Tetap saja, dia dicap sebagai lelaki berandal, brutal, mesum. Yang membuat Miranda meluap-luap membencinya.“Miranda, Miranda! Jangan menyebut-nyebut nama saya seolah kita saling kenal ya! Kamu itu cuma orang rendahan! Pengutit! Atau….”Miranda menggantung perkataannya. Gelmar memandang lamat-lamat. Dia tahu kalau wanita di hadapannya meledak-ledak. Di sisi lain, Miranda juga sedikit gelagapan. Gelmar melawan pandangan matanya. Berusaha mengambil simpatik wanita berambut merah it
“Kamu mengenalku?”Gelmar memeriksa foto-foto yang ada di sakunya. Tidak diragukan lagi. Si Tomboy dengan kemampuan bela diri yang mumpuni. Jawara dalam berbagai turnamen nasional. Istimewanya lagi dia sudah menggunakan sabuk hitam.“Namaku Adelia Putri. Putri angkat ke tiga. Aku tahu kamu lewat pesan telegram Sancez.”Gelmar bisa bernafas lega. Akhirnya ada salah satu putri angkat yang mengenalnya. Memang dari awal perasaannya sangat klop dengan gadis tomboy ini.“Sekarang kita fokus menyelamatkan Miranda. Lawan kali ini bukan main-main. Aku berharap kamu bisa mengerahkan semua kemampuanmu.”Mobil yang mereka ikuti berhenti di sebuah gudang. Adel menaikkan laju kendaraannya tepat ketika pintu gudang itu akan ditutup.“Brak!”Mobil offroad itu berhasil masuk. Menimbulkan efek debu beterbangan. Muncul bayang-bayang Adel dan Gelmar yang turun dari mobil itu.Sosok mereka jelas begitu melangkah ke depan mobil. Baru pada saat itu. Pandangan mulai kentara. Terlihat puluhan orang mengacungk
“Bedebah! Ada lapis keduanya!”Gelmar menatap nanar. Pasukan itu terlihat lebih padu. Pakaian rapi serba hitam dengan dalaman kemeja berwarna putih. Topi datar yang familiar. Lengkap dengan persenjataanya. Gelmar sendiri tentu belum mampu menaklukan mereka.“Tikus got-nya besar juga ternyata.”Pria paling depan berkata sambil memainkan tusuk gigi. Picingan matanya terlihat dari balik kaca mata hitam yang dia pakai. Gaya meledek ala pemimpin sebuah pasukan kacangan.“Rata semua pasukan lapis satu. Pertunjukan sirkus yang bagus.”Yang lain menimpal. Menganggap Gelmar hanyalah binatang sirkus yang hanya bisa menaklukan pasukan remahan mereka.Gelmar tersungut. Namun, sebisa mungkin meredamnya dalam dekapan Miranda yang ketakutan. Agak terpaksa, dia melepas Miranda di sisi tembok bangunan. Berbicara lembut dengan Miranda sejenak.“Jangan terlalu cemas ya, aku akan melawan mereka dulu, setelah itu kita pulang.”Kerlingan mata indah itu tertuju pada sorot mata dalam. Terasa hangat. Penuh ta
“Uh.”Untuk beberapa saat, Gelmar ingin waktu berhenti. Menikmati momen mendaratnya rahang tegas ke sesuatu yang terasa padat dan kenyal. Rasanya ingin mimisan saja.Namun, momen itu tidak bertahan lama saat bentakan keras terasa memekakan telinga.“Ih!”Seketika wanita berambut pendek berkaca mata itu agak menjauhkan wajah Gelmar yang menempel. Tanpa melepaskan cengkramannya. Merasa geli dan jijik. Padahal, dia sendiri yang menarik paksa.Inilah kakak pertama. Putri tertua dari semua putri di sini. Sekar Melani. Seorang dokter bedah yang cukup terkemuka. Kesan auranya lebih galak dari yang lain. Bahkan, Stevani pemimpin pasukan khusus dan Gwen pemimpin Mafia kalah telak. Mungkin karena dia adalah sosok yang paling dituakan.“Ini dibilang utusan Sanchez? Yang benar saja?”Sekar tertuju ke semua saudara angkatnya. Seolah-olah meremehkan pria lusuh yang dipandang tidak memiliki kemampuan apa-apa, selain perawakannya yang macho sekali.“Tapi, Benar Kak. Dia utusan Sanchez.”“Diam kamu Ad
“Ah!”Gelmar terhenyak sesaat menyadari kecerobohannya yang membuka pintu kamar mandi tanpa mengetuk. Alhasil yang ada di hadapannya sosok badan sekal langsing khas atlet. Lengkap dengan keindahannya tanpa tertutup sehelai benang pun.“Gila kamu ya! Main masuk saja!”Pria berkepala pelontos itu serasa tertampar. Wajahnya bersemu merah. Cengiran terlihat antara malu dan bingung.Insiden itu cukup menghentikan waktu beberapa saat sampai Adel yang langsung buru-buru mengenakan handuk. Kedua tangan mulus tapi kencang itu langsung mendorong perawakan Gelmar sampai hamper agak terjengkang keluar dari kamar mandi.Punggung besar Gelmar terhantam di sudut ruangan. Disudutkan oleh wanita tomboy yang kesehariannya selalu terlihat easy going dengan rambut yang terkuncir, Tampak sorot matanya yang tajam menikam seolah ingin menelan Gelmar hidup-hidup.Bukannya tersadar oleh kesalahannya. Malah Gelmar terhipnotis aroma sabun yang menyeruak dari badan wanita tomboy itu. Badan setengah telanjang yan
“Segera keluar dari mobil ini, Adel!” Adel terperanjat ketika mendengar aba-aba dari Gelmar. Begitu melihat Gelmar melompat. Adel pun segera melompat. Dia sempat mendarat ke tanah dan terguling-guling sebelum beberapa saat kemudian mobil meledak.Duar!Adel mematung. Pandangannya terpana ke arah ledakan mobil yang membentuk jamur raksasa sungguh sangat menakutkan. Apa jadinya kalau tadi sedetik saja dia terlambat melompat.“Kamu enggak apa-apa?” Gelmar menghampiri Adel. Mengangkat tubuh gadis itu. Memberi kode kepada sekuriti yang mendekat untuk mengambil air. Meminumkannya ke Adel.Beberapa teguk mengalir di tenggorokan Adel, baru terdengar suara helaan nafas Adel yang berat. Wajahnya yang pucat pasi tampak panik. Dia memegang kedua lengan besar Gelmar.“Gelmar! Kita dalam bahaya Gelmar! Mereka sudah ada di sekitar kita!”Adel tak mampu menyembunyikan ketakutannya. Dia yang selama ini dikenal sebagai sosok yang tegar, periang, dan easy going menjadi menciut gara –gara insiden ini
“Bos, ada orang gila yang ngaku-ngaku keluarga bos.” Juan penuh semangat mengadu kepada Hana. Berharap bos-nya itu akan mencaci Gelmar dan mengusirnya dari depan gedung itu. Namun, reaksi Hana justru mengejutkan. “Siapa yang kamu maksud orang gila?” Mata Juan melotot. Dia benar-benar tidak menyangka reaksi sang bos. Padahal, jelas-jelas Juan menunjuk ke arah Gelmar. Pria berpakaian kumal lusuh. ‘Jangan-jangan benar yang dikatakan Gelmar tadi kalau Hana adalah saudaranya,’ Juan membatin. Peluh mulai membanjiri keningnya. “D-dia, Nyonya. Nyonya enggak mungkin kan punya saudara gembel seperti dia?” Juan mempertegas pertanyaannya. Dia masih yakin kalau Gelmar, lelaki yang dulu dia pandang remeh di masa sekolah mempunyai saudara CEO paling terpandang di negeri ini. Sangat mustahil! “Kalau emang iya, kenapa?” Wajah Juan langsung memucat. Rasanya ingin merobek saja wajahnya. Melempar jauh-jauh. Serasa tertampar sebuah fakta di luar dugaan. “Jadi…” Dengan gerakan slow-motion, Juan