Raka begitu senang karena Rena mau menerima lamarannya. Walau masih secara pribadi, tetapi wanita itu dengan senang memakai cincin pemberian pria pujaan hatinya, sambil mengangguk cepat. Raka, sang pengusaha yang sedang naik daun, menyukai Rena;sekretaris cantik dan juga seksi. Keduanya sering tampil bersama sejak enam bulan belakangan ini.
Raka pribadi yang tertutup, akhirnya tunduk pada pesona Rena yang cenderung agresif mendekatinya. Hubungan keduanya belum diketahui oleh Edwin;papa Raka, ataupun keluarga dari pihak Rena. Mereka masih berhubungan secara sembunyi-sembunyi.Gadis itu masih duduk di pangkuannya dengan manja, sambil meletakkan kepala di pundak Raka. Memperhatikan kekasihnya yang sangat sibuk di depan laptop. Rena memainkan jari yang tersemat cincin mahal dan super bagus. Berkali-kali Rena mengangkat jari manisnya, dan tak hentinya takjub dengan cincin yang ia pakai."Kamu suka?" tanya Raka tanpa menoleh ke arah Rena.Cup!"Bangun Siwi! Hei, bangun! Sial! Menyusahkan saja!" umpat Raka sembari melepas ikatan tali di kedua tangan istrinya. Siwi lagi-lagi pingsan dengan keadaan sangat menyedihkan. Bagaikan mayit hidup. Tubuhnya kurus kering, rambutnya berantakan tidak pernah disisir. Aroma tubuhnya mau keringat, belum lagi aroma Pesing di kasur, karena Siwi terikat dan terpaksa buang air kecil di sana.Dia bukanlah istri, melainkan budak yang dipasung. Dalam keadaan mungkin hampir mati, Raka sama sekali tetap tidak mengasihaninya. Lelaki itu memindahkan tubuh Siwi ke kursi kayu, lalu dia sibuk melepas kain alas kasur yang sangat berbau Pesing. Tubuh Siwi sama sekali tidak ia tutupi apapun. Lebih kepada, Raka sedikit jijik dengan penampilan Siwi yang kotor seperti gelandangan yang telanjang di jalanan."Kamu dan orang tuamu, bisanya menyusahkanku saja!" umpat Raka lagi dengan menahan napas.Setelah beres dengan kasur. Raka kembali menggendong tu
Srak!Srak!Siwi terus berlari dengan kaki telanjangnya. Menyusuri jalanan hutan dalam gelap malam."Siwi! Matilah Kau dimakan harimau!" pekik Raka dengan suara menggelegar. Siwi pias, kakinya semakin cepat berlari meninggalkan rumah besar.Bugh!"Sst ... Aaargh!" Siwi terjatuh, lalu dengan cepat ia berdiri lagi dan berlari. Burung hutan berterbangan di atas kepala. Saling sahut makhluk hutan lainnya tak membuat Siwi urung, ataupun takut sama sekali. Ia terus berlari, walau kakinya menginjak duri.Jauh dan semakin jauh. Matanya tidak bisa melihat apapun, karena keadaan sangat gelap. Tangannya terluka terkena ranting pohon yang tajam, karena meraba jalan di sisi kanan dan kirinya.Brem!Brem!Suara mobil dari kejauhan, membuat Siwi ketakutan. Ia kelimpungan mencari tempat untuk bersembunyi. Pasti suara mobil itu adalah mobil Raka. Ia pun yakin, ja
3 Tahun Kemudian"Sayang, undangan untuk teman-teman kampus sudah kamu sebar'kan?" tanya Raka pada Rena saat keduanya tengah menikmati makan malam di sebuah cafe di bilangan di pusat kota Surabaya."Sudah semua, Sayang. Persiapan sudah sembilan puluh lima persen. Tinggal kita saja," sahut Rena sambil tersenyum lebar. Matanya kembali melirik cincin berlian pemberian Raka;lelaki yang hampir lima tahun ini menjadi pacarnya."Sepulang dari sini, kita mampir ke rumah ya? Udah kamu hias belum? Aku udah beli furniture yang kamu pesan itu. Udah dikirim dan sudah sesuai dengan kehendak Tuan Putri, bukan?" tanya Raka dengan senyuman hangatnya."Udah, Sayang ... Nanti saja ke sananya. Lagian pamali, belum menikah sudah menempati rumah baru. Kejutan pokoknya. Kamu pasti suka. Oh iya, mulai besok kita sudah tidak boleh ketemu, kata Mama. Aku dipingit," uja
Ini sudah botol minuman keras kesepuluh yang dihabiskan oleh Raka. Lelaki itu bagaikan orang gila yang kehilangan arah, saat ditinggalkan begitu saja oleh calon mempelai pengantinnya, tepat di hari bahagia mereka. Luka pedih itu semakin menganga. Luka akan kekecewaan pada wanita di masa lalu, kini ia dapatkan di masa depan. Lucunya lagi, kejadian itu sama persis saat dia menjadi pahlawan kesiangan untuk Siwi;wanita yang pernah menjadi istrinya.Katakan ini karma, tetapi ini terlalu kejam untuk seorang Raka yang sudah berusaha melupakan kelamnya masa lalu. Tangan kekarnya yang berurat tebal, masih memegang ujung botol kesebelas dan bersiap memasukkannya kembali ke dalam mulut."Jangan diteruskan, Bos! Nanti bisa berakhir di rumah sakit. Tolong, Bos!" Tangan kekarnya dicekal oleh Dion. Asistennya itu tidak tega melihat Raka yang menggenggam minuman keras bagaikan orang kesurupan."Jangan urusi aku! Aku tidak akan pernah mati
Siwi baru saja selesai memasukkan dua puluh kilogram singkong dan dua puluh kilogram jagung ke dalam karung besar. Subuh nanti, selesai salat, dia berencana akan mengantarkannya ke pasar di kota. Kakek Usman sedang tidak sehat, dari kemarin diare. Siwi tidak tega jika membiarkan kakek tua yang telah sangat baik padanya dan juga gadis kecilnya, melakukan pekerjaan berat, disaat kurang sehat."Kamu yakin mau mengantarkan ke pasar?" suara tua itu membuat Siwi menoleh. Kakek Usman masih setengah berbaring di ranjang kayunya yang sudah lapuk."Iya. Kasian Uda Jainal kalau kita tidak mengantar pesanannya. Udah Jainal sudah menjadi langganan terbaik Kakek'kan?" Siwi tersenyum. Lalu beranjak keluar rumah melalui pintu belakang. Maklumlah, namanya di kampung. Di dalam hutan pula. Tidak ada kamar mandi yang berada di satu ruangan. Kamar mandi pasti terpisah dari rumah utama.Awal-awal tinggal bersam
Edwin masih memperhatikan ibu dan anak yang masih mengantre di depan kasir apotek. Dia mengulum senyum dari balik rak madu, tempat ia bertabrakan dengan gadis kecil tadi."Wajahnya mirip dengan Raka saat kecil. Jika mereka disandingkan, pasti banyak orang yang akan mengatakan bahwa mereka adalah ayah dan anak," gumam Edwin dalam hati.Gadis kecil itu menoleh kembali padanya sambil melambaikan tangan. Edwin membalas lambaian tangan dengan senyuman hangat. Dengan gerakan cepat, Edwin mengambil ponselnya, lalu memotret Ayumi tanpa diketahui oleh ibunya. Edwin mengarahkan kamera ponsel pada gadis kecil itu dan di depan sana, Ayumi tersenyum dengan sangat manis. Edwin sampai terpana, seakan ia melihat Raka saat seusia Ayumi."Resep atas nama Tuan Raka Hidayat," seru petugas apotek. Edwin menghampiri panggilan yang ditujukan untuknya. Siwi yang mendengar nama yang tidak asing baginya, menjadi sangat ketakutan. Ia menoleh k
Edwin mengangkat kepalanya dengan perasaan putus asa. Wajahnya sudah babak belur dipukuli oleh Teja;ayah dari Siwi. Lelaki itu mengusap sudut bibirnya yang berdarah dengan punggung tangan. Walau sangat pedih dan menyedihkan, tetapi ia tidak bisa protes apapun. Dia berhak mendapatkan semua ini karena sudah menjadi orang tua yang tidak becus mengurus anak lelakinya.Teja masih terengah-engah dengan wajah penuh keringat. Tangan kanan dan kiri yang ia pakai untuk memukul Edwin terasa kebas dan juga berdenyut. Jika saja membunuh itu boleh, maka dia sudah pasti membunuh lelaki yang seumuran dengannya ini."Kenapa kalian lakukan ini pada Siwi? Kenapa?!" bentak Teja lagi dengan suara bergetar."S-saya benar-benar tidak tahu, Teja. Saya berkata jujur. Saya pasti sudah datang kemari jika tahu Raka menikahi Siwi." Edwin kembali mengiba dengan suara yang begitu payah. Tidak mudah mengeluarkan kalimat, disaat bibirnya terluka.
Edwin dengan setia mendengarkan ocehan Raka yang masih asik menatap ponselnya, dengan memanggil nama 'Siwi'. Tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini, karena Raka tidak memberikan ponsel itu kembali ke tangannya. Padahal Edwin ingin sekali mengirimkan foto itu pada Dion, kemudian meminta lelaki itu untuk mencari informasi perihal wanita yang berkali-kali dipanggil 'Siwi' oleh anaknya.Edwin duduk di kursi, sedangkan Raka duduk di bawah. Rambut gondrong yang tumbuh sangat lebat dan tak terurus milik Raka, dengan sangat pelan dan hati-hati ia sisir hingga rapi. Setelahnya ia kuncir tinggi bak ekor kuda. Hormon Raka memang seperti itu, jika ia dalam keadaan mood tidak baik, maka rambut dan jampangnya akan mudah tumbuh dengan subur."Kita mandi ya, Ka? Nanti Papa ajak Siwi ke sini. Kamu mau?" rayu Edwin sambil berbisik. Raka yang tengah mematung menatap ponsel papanya, seketika menoleh dan sorot mata kosong itu bagaikan penuh harap."Siwi ya?" katanya lagi mema