Sudah satu jam berlalu dan pintu ruangan Erlan belum juga terbuka. Di dalam sana masih ada Raka yang menggantikannya untuk memijat Erlan. Bukan ia khawatir akan Raka, tetapi ia lebih was-was akan bosnya. Siwi hapal betul tabiat Raka bila sedang marah. Yah, walaupun ia tidak yakin lelaki itu tengah marah atau melindunginya, yang jelas perasaannya saat ini begitu resah.CklekPintu terbuka lebar dan Siwi bangun dari duduknya. Ia melihat Raka menutup kembali pintu itu dengan pelan. Lalu berjalan seperti biasa dengan kain lap disampir di pundak kanannya."Pak Erlan sudah tertidur. Sepertinya lelaki itu memang menyukai pijatan. Tapi memijat lelaki yang sedang mabuk bukanlah suatu pekerjaan mudah untuk perempuan. Berhati-hatilah lain kali. Saya permisi, Bu." Raka berjalan semakin menjauh dan menghilang di balik anak tangga. Untuk kesekian kalinya lelaki itu tidak membiarkan Siwi mengatakan apapu
Sebuah kejutan untuk Raka. Wanita yang pergi begitu saja meninggalkannya tepat di hari pernikahan, kini muncul sendiri; bahkan begitu dekat. Ada banyak yang harus ia selesaikan pada wanita itu, walau sepertinya tidak mudah. Gandengan tangan begitu lekat dengan lelaki pemilik perusahaan, dapat dipastikan bahwa Rena adalah istri dari Erlan.Sepertinya akan menjadi sebuah permainan menarik untuknya saat ini. Rena akan menerima pembalasan darinya tipis-tipis, tanpa wanita itu sadari, hingga akhirnya dia bisa bertanggung jawab atas kekacauan yang telah ia buat. Termasuk mengambil semua harta milikku. Begitu kata hati Raka, saat tanpa sengaja ia mengikuti langkah Rena dan Erlan masuk ke dalam kotak besi khusus petinggi perusahaan.Raka menoleh ke belakang saat begitu kenal dengan suara renyah yang ada di belakangnya. Siwi dan salah satu petinggi perusahaan juga. Berdua masuk melalui lobi parkir mobil dengan wajah merona. Terutama Siwi. Raka menu
“Tunggu, apakah kalian berdua saling kenal? Sayang, kamu kenal OB ini?” tanya Erlan tiba-tiba, saat ia mendengar petugas kebersihan menyapa istri cantiknya.“Maaf, Tuan, mm ….” Rena semakin mendelik ketakutan saat Raka membuka mulut, mencoba menjelaskan siapa dirinya. Tatapan Raka begitu tajam seakan sedang mengejek Rena. Wanita itu masih menopang tubuhnya yang lemas pada pinggir meja. Tungkai kaki yang tinggi seakan kebas tak bertulang, semua karena Raka yang begitu berbeda tampil di depannya.“Kami hanya teman lama saat masih sama-sama susah. Namun sekarang Bu Rena sudah lebih sukses daripada saya sepertinya. Mari, Tuan, saya permisi, maaf mengganggu waktunya. Permisi, Bu,” ujar Raka lagi sambil berbalik badan dan berjalan keluar ruangan Erlan. Tak lupa ia membawa nampan kembali ke dapur. Siwi hanya bisa melirik sedikit saat Raka me
“Foto siapa itu, Sayang?” tanya Erlan lagi sambul menaruh dagu di atas pundak istrinya. Rena langsung menekan tombol kecil di samping kanan ponselnya. Benda pipih itu pun padam. “Teman kampusku dahulu mengirimkan foto mesum. Tidak perlu dilihat, mending mesum sama suami sendiri, dapat pahala.” Rena segera mengalihkan perhatian Erlan dengan mencium rakus bibir suaminya.Detak jantungnya masih naik turun tidak beraturan. Foto itu benar-benar bisa mengancam kebahagiaan rumah tangganya. Rena mendorong tubuh Erlan hingga hingga terjatuh di atas kasur empuk mereka, lalu mulai melancarkan serangan, hingga lelaki itu berteriak tidak berdaya. Satu hal yang selalu ia banggakan pada dirinya—bahwa ia begitu beruntung menjadi wanita yang mahir di ranjang, sehingga lelaki manapun bertekuk lutut.Erlan tertidur begitu pulas, sampai mengeluarkan suara dengkuran yang sangat kencang. Lela
Raka menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala dan menatap langit-langit kamar tidur yang bernoda. Air hujan yang merembes pada dinding plafon, sepertinya yang menyebabkan warna kecoklatan tercetak cukup tebal di sebagian tempat. Lelaki itu belum bisa memejamkan kedua matanya, padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Isi di kepalanya masih mengingat betul kejadian hari ini. Mulai dari prilaku Siwi dan juga sedikit pembalasan pada Rena. Dua wanita yang ada di hidupnya dengan rasa yang berbeda. Suara dengkuran papanya terdengar cukup nyaring. Edwin sudah tertidur sejak pukul sembilan malam. Lelaki paruh baya itu lelah karena ikut bekerja di toko beras yang tidak jauh dari tempat mereka kos. Raka sudah melarangnya, tetapi Edwin mengatakan dirinya bosan jika tidak melakukan apapun. Bersyukur besok h
"Aku mau." Siwi menerima cincin pemberian Evan dengan wajah merona dan mata berkaca-kaca. Beberapa orang tamu yang hadir di sana turut memberikan tepuk tangan pada acara lamaran Evan pada kekasihnya. Ayumi yang tidak paham, malah ikut bertepuk tangan dengan wajah riang. Lalu memperhatikan sekeliling yang tengah riuh memberikan tepuk.Seseorang di seberang sana meremas sendok yang ada di tangannya. Wajahnya merah menahan kesal dan juga sedih. Raka meneguk jusnya hingga tandas, berusaha mengatur napasnya yang mendadak tersengal. Tak jauh dari mejanya, ia melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa Siwi dan Ayumi ada di restoran yang sama dengan dirinya. Namun ia tidak menyangka, harus melihat acara lamaran Evan pada mantan istrinya yang begitu manis. Apa ia sakit hati? Tidak, ia tidak boleh sakit hati. Siwi dan Ayumi pantas bahagia, tetapi bukan dengannya."Ka, lu baik-baik aja'kan?" tegur Darma; temannya yang membeli mob
Ternyata tidak semudah itu melupakan Raka. Siwi salah menilai dirinya sendiri. Ciuman itu, ciuman yang sama seperti tiga tahun yang lalu. Lembut dan begitu menuntut. Tidak bisa untuk dipungkiri, wanita seperti Siwi sangat menyukai rasanya. Beberapa jam yang lalu, bibir dingin dan padat itu kembali mendarat di bibirnya. Siwi merasa tubuhnya meremang dan kedinginan.Wanita itu beranjak turun dari tempat tidur dengan malas. Ia berjalan ke lemah menuju nakas untuk menuangkan air ke dalam gelas. Diteguknya hingga tenggorokan yang begitu kering hingga basah kembali. Kini apa yang harus ia lakukan pada Raka? Lusa ia akan kembali bertemu dengan lelaki itu dan harus menahan kesal bercampur rindu di setiap saat.Siwi merasa gamang untuk perasaannya sendiri. Diangkatnya jari manis yang kini tersemat cincin bermata biru pemberian Evan. Lelaki itu tulus mencintai dan menerima segala kekurangannya. Apakah pantas ia melukai ha
Keluarga besar Siwi tentu saja terkejut bukan main dengan tamu yang datang sore hari. Tidak lain dan tidak bukan adalah Raka dan Edwin. Dua lelaki yang memiliki tingkat kemiripan hampir sembilan puluh persen. Sama-sama tampan dan gagah. Hanya Edwin versi tua dan Raka versi muda.Keduanya tentu saja tidak langsung diusir oleh Teja dan Ria, apalagi Ayumi mengenali lelaki tampan yang datang adalah papanya. Tentu saja gadis kecil itu bersorak gembira karena papa yang ia nantikan akhir sembuh dan mengunjunginya.Saat ini saja Ayumi tidak mau turun dari pangkuan Raka. Walau baru bertemu beberapa kali saja, tetapi Ayumi nampak dekat dan lengket pada Raka. Apakah karena memang keduanya memiliki ikatan darah yang begitu kuat?"Papa udah sembuh?" tanya Ayumi sambil memegang pipi Raka. Lelaki itu mengangguk cepat tanpa sanggup berkata-kata. Sungguh sangat di luar dugaannya, ternyata Ayumi nampak begitu menyayanginya. Mata Raka pun be