"Mau kemana kamu?"
Prudence hanya memejamkan matanya sebelum berbalik dan dia memasang wajah tegar ke Xander yang berdiri di area makan sambil membawa gelas berisikan air putih. "Kembali ke studio aku," jawab Prudence. "Malam-malam begini? Kamu gila!" hardik Xander "Ya! Memang!" balas Prudence dengan dagu terangkat. Xander meletakkan gelasnya diatas meja dan berjalan menghampiri Prudence. "Aku melarangmu!" "Daripada disini! Aku tidak bisa tidur!" Xander menatap tajam ke arah Prudence. "Kembali ke kamarmu atau ... kamu mau tidur bersamaku?" Prudence menatap sengit ke Xander. "Aku hanya ingin tidur dengan tenang tanpa harus bangun melihat kamu disini!" Xander tidak menjawab apapun tapi mengambil alih koper Prudence dan menyeret tangan gadis itu ke dalam kamarnya. Prudence berusaha untuk melepaskan cengkraman Xander tapi pria itu lebih kuat. Prudence sedikit terhuyung saat Xander mendorongnya masuk ke dalam kamarnya dan pria itu langsung menutup pintu serta menguncinya dari luar. Prudence berbalik dan menggedor-gedor pintu kamarnya. "XANDER! BUKA PINTUNYA! XANDER!" teriak Prudence sambil terus menggedor pintu dengan keras. Xander hanya berbalik dan mengambil gelas minumnya lalu masuk ke dalam kamarnya. Pria itu mengunci kamar tidurnya, mengacuhkan suara Prudence di seberang. Prudence terus menggedor pintu tapi tetap tidak terbuka dan tubuhnya pun melorot ke lantai. Gadis itu menangis karena merasa Xander tidak paham perasaannya. Prudence ingin menghubungi ayahnya tapi dia tahu, pasti akan gegeran dan para anggota keluarga besarnya bisa menghajar Xander. Prudence lalu bersandar di pintu sambil mengusap air matanya. Gadis itu menatap kamarnya dan dirinya pun bangun untuk merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Prudence menangis disana hingga tanpa sadar dia tertidur karena kecapekan. Sementara itu di kamar Xander, pria itu masih menatap nyalang ke langit-langit kamarnya. Dia tidak habis pikir bagaimana Prudence nekad pergi malam-malam begini kembali ke studionya? Memang benar jarak dari The Plaza ke apartemennya tidak terlalu jauh tapi ini sudah malam. "Ampun deh Pru!" Xander memggumam kesal. "Kalau kamu kenapa-kenapa, aku bisa dihabisi Oom Rodrigo!" Xander mengambil ponselnya dan mencari informasi siapa yang membuat dia dan Prudence tidur bersama. "Siapa yang membuat aku dan Pru kemarin?" Namun tetap saja tidak ada informasi dari informannya yang sudah dia kirim ke Mallorca. "Brengseeekkkkk! Siapa!" Xander pun meletakan ponselnya ke atas nakas. "Aku lebih baik tidur. Besok pagi pasti akan frontal dengan Pru." Keesokan paginya Xander bangun dan keluar dari kamar setelah membersihkan diri. Pria itu membuka pintu kamarnya dan membuat kopi untuk mereka berdua. Xander ingin mengajak Prudence sarapan di restauran hotel. Prudence terbangun saat mendengar suara kunci pintu kamar dibuka namun dia tetap memejamkan matanya, seolah masih tidur. Telinganya mendengar suara langkah kaki dan hidungnya mencium harum parfum maskulin ditambah bau kopi dari luar yang menyeruak, membuat Prudence semakin erat menutup matanya. "Pru! Bangun! Sarapan!" panggil Xander tidak ada manis-manisnya. Prudence tetap tidak mau membuka matanya hingga Xander mendekatinya. Pria itu melihat mata Prudence sedikit bengkak yang berarti, semalaman istrinya menangis namun dia tetap tidak bergeming. "Bangun! Mandi! Kita ke bawah sarapan!" ucapnya sambil menggoyangkan bahunya dengan sedikit keras. Prudence membuka matanya dan Xander bisa melihat mata hijau istrinya ternyata lebih bengkak dari perkiraannya. "Sarapan saja sendiri sana! Aku tidak lapar!" balas Prudence ketus. "Kamu itu harus bangun! Kalau sampai dalam jangka waktu sepuluh menit kamu tidak bangun dan mandi, aku sendiri yang akan menyeret kamu ke dalam kamar mandi!" ancam Xander. "Jika kamu mengira aku tidak berani, maka akan aku buktikan!" Prudence menatap tajam ke arah Xander. "Keluar sana!" Xander pun berjalan keluar kamar meninggalkan Prudence yang merasakan matanya pedas karena kebanyakan menangis. Brengseeekkkkk Xander ! - batin Prudence. Gadis itu pun turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi setelah mengambil bajunya dari dalam koper. Prudence menatap dirinya melalui cermin kamar mandi dan dia nyaris tidak mengenali dirinya karena sosok di sana seperti zombie. Prudence pun mandi cepat dan berusaha menutupi mata panda nya dengan make-up. Setelah dirasa tidak terlalu terlihat, Prudence pun keluar dari kamar dimana Xander sudah menunggunya. "Ayo sarapan! Aku lapar!" Xander pun berjalan mendahului Prudential dan dirinya hanya mengikuti pria itu. Mereka pun tiba di restauran dan masing-masing mengambil makanan yang ada di meja prasmanan. Prudence sengaja mengambil banyak karena dirinya memang sangat lapar. Xander hanya acuh saat melihat istrinya mengambil makanan cukup banyak. "Aku mau kembali ke studio habis ini. Terserah kamu masih mau menginap disini atau tidak!" ucap Prudence tiba-tiba. Xander menatap dingin ke istrinya. "Buru-buru amat!" "Demi kewarasan otakku!" balas Prudence. "Aku juga masih harus menyelesaikan semua lukisan aku." "Kamu merasa tidak waras?" ejek Xander. "Ya !" Xander tertawa sinis. "Yakin? Tidak mau diperiksa Opa Billy otak kamu?" Prudence hanya diam saja. Malas ribut dengan pria di depannya. "Yakin kamu ke studio kamu? Bukan makan siang dengan Oom Erhan?" Prudence menghela nafas panjang. "Kalau begitu, kenapa tidak kita percepat perpisahan kita? Toh kamu sendiri yang bilang aku seperti tidak tahan melemparkan tubuh aku ke Oom Erhan." "Tidak semudah itu, Pru! Rekor kita hanya menikah 24 jam!" "Kita bukan yang pertama!" sinis Prudence. "Kamu bilang enam bulan, ya enam bulan!" balas Xander. "Aku berubah pikiran!" jawab Prudence. "Aku tidak akan menceraikan kamu sampai enam bulan sesuai dengan perjanjian! Dan aku minta kamu tidak ganjen dengan Oom Erhan!" Prudence tertawa sinis. "Kamu mau ganjen dengan siapapun, aku tidak perduli! Karena kita hanyaenikah secara formalitas!" "Begitu ya?" seringai Xander. "Ya !" "Kenapa ?" Xander menyandarkan punggungnya. "Aku tidak cinta kamu, aku tidak pernah suka sama kamu dari dulu dan sekarang dan aku tidak akan perduli sama kamu meskipun diatas kertas, kamu adalah suamiku!" jawab Prudence.. "Kita lihat saja nanti!" balas Xander sinis. "Aku atau kamu duluan yang jatuh cinta!" "Yang jelas, bukan aku orangnya!" Prudence melanjutkan makannya. *** bersambung ***Xander terus mendampingi Prudence yang sibuk memberikan keterangan tentang semua lukisannya. Xander tidak menyangka jika lukisannya yang diambil dari cerita Savitri, menjadi perhatian para pengunjung. Direktur museum bahkan berencana melakukan lelang bagi penawar tertinggi lukisan Prudence. "Aku tidak menyangka jika lukisan Savitri ini menjadi favorit banyak orang," ucap Direktur Museum ke Xander yang sedang menyesap minumannya. "Anda kan yang meminta untuk membuat lukisan dengan tema dramatis bukan?" ucap Xander.. "Dan dia melakukannya dengan baik. Aku tahu Prudence sangat berbakat tapi dia butuh suatu teguran agar bisa membuat karya yang lebih baik. Prudence terlalu tahu untuk melakukan hal yang baru." Direktur Museum itu menatap Xander. "Aku minta tolong agar kamu sebagai suaminya, bisa memberikan support ke Prudence agar sekali-sekali keluar.dadi zona nyamannya. Prudence kurang karya yang dramatis."Xander tersenyum. "Aku akan membicarakan pada Prudence nanti usai pameran."
Xander menatap Prudence yang sedang meletakkan ponselnya di meja sebelah dirinya. Istrinya pun berdiri untuk merenggangkan punggungnya lalu berjalan menuju dapur dan membuka pintu kulkas. Xander pun berdiri dan berjalan mendekati Prudence. Tangannya terulur untuk menyentuh punggung istrinya. Prudence yang sedang mengambil botol air mineral dingin itu, terkejut saat merasakan sentuhan di punggung bagian bawah. "Apa yang kamu lakukan Xander?" tanya Prudence sambil menengok ke belakang. "Aku tahu kamu pasti pegal dan aku hanya ingin memijat supaya relaks." Xander lalu memijat pelan punggung bawah Prudence yang memejamkan matanya karena merasa relaks. "Ya ampun, enak banget!" gumam Prudence. "Kamu pasti pegal kan Pru?" ucap Xander. "Pegal banget." Xander mendekati Prudence. "Kamu ... masih ingin berpisah Pru?" "Kenapa memang?" "Apa kamu sudah punya rencana jika kita berpisah?" Prudence menghela nafas panjang. "Rencana aku adalah, melukis lagi Xander. Aku ingin
"Oh tidak bisa Xander. Kamu akan menjadi milikku. Lagipula, kamu kan tidak mendapat apapun dari Prudence kan? Ditambah dia memang tidak mencintai kamu karena dia mencintai Asha! Aku yakin, Asha akan normal jika bersama Prudence,". ucap Amelie tanpa malu. "Sorry Ammie. Aku bilang tidak ya tidak. Dan aku yakin Pru tidak akan bersama Asha." Xander melihat ke arah Prudence yang masih sibuk konsentrasi melukis. "Jangan terlalu percaya diri Xander. Aku yakin kamu akan kecewa pada Prudence tapi aku ... Aku akan membuat kamu yang terbaik Xander." Xander tersenyum smirk. "Sorry Ammie, aku tidak pernah suka bekas orang. Dan kamu sudah bersama banyak orang sebelumnya kan?" "Memangnya Prudence masih perawan?" ejek Amelie. "Dia tinggal di New York, Xander. Bahkan perempuan di Indonesia saja sudah banyak yang tidak menjaga kegadisan mereka! Banyak yang jadi toilet umum!" "Kamu salah menilai Prudence, Ammie. Dia masih perawan saat kami melakukannya. Lihat, tanpa harus dia buktikan, aku
Xander meletakan menu sarapan yang dia beli sebelum ke apartemen Prudence dan melihat Asha sedang memasak. Sementara istrinya, menata meja dan meletakkan piring untuk masakan Asha. "Kamu kan bisa bilang sama aku kalau minta dimasakin," ucap Xander. "Aku juga tidak minta dimasakin Asha. Dia sendiri yang sudah datang pagi-pagi sebelum aku keluar kamar," jawab Prudence polos. "Aku akan pergi ke studio dan mungkin akan tinggal disana sekitaran dua Minggu jadi aku tidak bisa setiap hari bersama Pru. Oh, Pru, kamu tenang saja. Aku akan datang ke hari pertama kamu pameran." Asha meletakkan scramble eggs diatas tiga piring di meja dapur. "Tolong Sha. Sebelum kamu ke pameran aku, mandi dulu!" senyum Prudence manis. "Kamu memang pembersih Pru. Sayang, aku tidak tertarik padamu sebagai pria ke wanita dalam hal ini romansa. Aku hanya suka padamu sebagai sahabat." Asha melanjutkan masaknya dengan menggoreng sosis dan daging burger. "Pru ... Ayo kita sarapan." Xander menarik kursi
Xander pun terbangun dan melihat Prudence sedang berdiskusi dengan Asha. Jujur dirinya lebih cemburu melihat Prudence bersama Asha dibandingkan dengan Erhan. Asha seperti sangat mengerti bagaimana Prudence, sangat memahami istrinya dan sangat perhatian. Xander merasa dirinya tidak tahu betapa seriusnya Prudence dengan karyanya. Tak heran jika Asha bilang dirinya tidak tahu apapun soal Prudence. "Lho? Kamu masih disini Sha?" tanya Xander seolah baru bangun tidur. "Sorry. Apakah suara aku terlalu keras? Aku biasa menemani Prudence kalau dia sedang kena blocking. Aku juga seniman, Xander, jadi tahu rasanya saat kita tidak bisa mendapatkan ide atau mood itu sangat menyebalkan!" kekeh Asha. "Kamu sangat tahu soal istriku ya?" ucap Xander sambil lalu tapi baik Asha dan Prudence tahu kalau pria itu cemburu. "Kamu tidak mengenal aku seperti halnya Asha. Jadi kamu tidak boleh protes!" balas Prudence membuat Xander cemberut. "Iya tahu! Kamu di New York, aku di Oslo. Mana pernah ke
Asha melihat sahabatnya dan suaminya seperti ada gencatan senjata hingga mereka tidak ada pertengkaran seperti yang sering dia dengar. "Kalian sudah tidak ribut?" tanya Asha sambil membuka kulkas Prudence dan mengambil bir dingin disana. "Bukannya kamu seharusnya segera mandi?" ucap Xander dingin. "Oh iya. Aku habiskan satu botol bir ini dulu baru mandi." Asha meminum birnya dan keluar dari apartemen Prudence. "Ampun deh teman kamu itu! Susah sekali disuruh mandi!" omel Xander. Prudence tersenyum. "Mungkin karena aku sudah kenal Asha dari kuliah jadi terbiasa deh." Xander menggelengkan kepalanya. "Payah deh!" "Pria payah itu adalah teman baik aku yang tidak pernah pergi meninggalkan aku baik saat aku senang maupun sedih. Bahkan disaat aku dalam posisi paling terpuruk pun karena lukisan aku ditolak sana sini, Asha lah yang selalu ada di sampingku. Jadi, jangan kamu hina Asha. Dia adalah pria yang tulus." Prudence menatap Xander dingin. "Apakah aku bukan sahabat yang bai