Sudah hampir tiga tahun Mansa menjalani kehidupan sebagai siswa SMP dengan identitas yang dipaksakan oleh sosial pada dirinya sebagai anak indigo. Meski begitu, Mansa cukup pandai beradaptasi dan menjaga diri untuk tidak terlalu menjadi sasaran bully.
Hingga pada satu kejadian kecil yang memicu rentetan masalah dalam kehidupannya, membuatnya tak lagi bisa menjalani kehidupan sebagai seorang anak SMP normal pada umumnya.
Suatu ketika, Mansa meminta izin untuk keluar dari kelas karena panggilan alam. Efektivitas dari sistem ekskresinya membuatnya tak kuasa berlama-lama mengikuti presentasi yang sedang berlangsung. Dia pun bergegas ke toilet untuk memenuhi hajatnya.
Tak lama setelah Mansa keluar dari kelas, Danu dan dua orang temannya mengikuti Mansa keluar sementara guru yang mengajar di kelas saat itu seperti tak peduli dengan mereka.
Ketika tiga orang siswa tersebut baru sampai di toilet, Mansa baru saja selesai menyetor jatah pengeluaran hariannya dan hendak bergegas kembali ke kelas. Namun di pintu toilet, dua orang teman Danu menyeret tangan Mansa dan memaksanya kembali masuk ke dalam.
“Tak usah buru-buru dulu. Barengan saja kita baliknya.”
Danu meletakkan tangannya di dada Mansa berusaha menahannya untuk tetap di toilet bersama mereka.
Tiga orang siswa tersebut membuka resleting dan memulai ritual biologis mereka di depan kloset yang terpasang di dinding. Anehnya, tak satupun dari mereka yang mengeluarkan apa yang seharusnya mereka keluarkan untuk ritual tersebut.
“Oh, tidak seperti biasanya kita kompakan begini,” celutuk Dodi yang berdiri paling kiri.
Sementara Eri yang berdiri di tengah ikut menyahut.
“Jangan bilang cuma gara-gara ini kencingmu tak juga bisa keluar, Dod.”
Merekapun tertawa dengan celoteh yang aneh bin receh tersebut. Lantas Danu menoleh ke belakang dan berkata,
“Kali saja si Mansa bisa membantu kita,” ujarnya.
Seketika itu dua orang yang lainnya juga berbalik ke arah Mansa dan menghadapkan keran biologis mereka ke arahnya.
Danu pun bergeser ke arah belakang Mansa dan berkata, “Sepertinya hari ini kami tak bisa kencing kalau pakai kloset.”
“Benar juga. Mungkin sudah bosan sepertinya,” sahut Eri yang juga ikut pindah ke sisi sebaliknya.
Sekarang tiga orang tersebut berdiri mengelilingi Mansa dengan tiga alat kelamin mereka diarahkan padanya. Mereka pun menghujani celana Mansa dari tiga sisi secara serentak sementara Mansa hanya berdiam diri saja tanpa ada keinginan untuk berbuat apa-apa.
“Aaah, memang si Mansa benar-benar ajaib seperti kata orang. Tiba-tiba saja kencingnya jadi lancar begini.”
“Makasih yaa,” ujar Danu sebelum menutup resletingnya.Setelah berkata seperti itu, tubuh Danu terlihat sedikit bergetar lega seperti umumnya orang selesai kencing.
Mereka bertiga meniggalkan Mansa dan bergegas ke kelas. Tinggal Mansa seorang diri dengan kondisi celana yang sudah basah kuyub di segala sisi. Entah apa yang dipikirkannya, dia langsung saja melenggang masuk ke dalam kelas seolah tak terjadi apa-apa.
Sesampainya di kelas, dia berjalan lurus ke arah meja guru dan kemudian berbelok ke arah tempat duduknya yang ada di pojok paling belakang. Beberapa orang yang duduk di depan tentu menyadari keanehan pada Mansa.
Terutama si guru yang biasanya cuek sekarang tak bisa tidak terpancing perhatiannya karena aroma semerbak dari celana Mansa yang basah yang baru saja melintas di depannya.
Sedikit terdengar gaduh di kelas oleh reaksi siswa yang memperhatikan Mansa masuk.
“Eh, lihat! Celananya bisa basah begitu.”
“Hihi, mungkin dia ngompol.”
“Eww!!!”
“Lihat gayanya berjalan, bisa santai begitu ya.”
Guru itu berdiri dengan tampang serius menatap ke arah Mansa sementara Mansa langsung duduk dengan ekspresi cuek persis sama dengan gaya cuek yang selama ini diperlihatkan oleh guru tersebut.
Seakan mengejek, sikap aneh Mansa menarik perhatian semua murid yang ada di kelas. Mereka yang duduk di dekatnya terlihat menutupi hidung karena tak tahan dengan baunya. Mansa santai saja duduk di belakang begitu tidak peduli dengan semua itu. Pikirnya, dari pada apes sendirian kenapa tidak dinikmati saja bersama-sama.
Melihat Mansa yang seolah tak peduli seperti itu membuat guru geram dan menegurnya dengan sedikit membentak.
“Sudah sebesar ini kamu masih saja pipis di celana, Mansa?!” tanya guru tersebut.
“Oh?!” sahut Mansa singkat.
Dia pun berjalan ke arah guru tersebut dan memperlihatkan padanya bahwa celananya basah di segala sisi.
Nampak semua orang menutup hidung begitu tercium bau pesing yang menyengat ketika Mansa lewat. Begitu juga dengan guru tersebut ketika Mansa sudah sampai di depan mejanya.
“Kira-kira, apa Bapak bisa membayangkan bagaimana caranya aku bisa kencing dan membuat celana ini basah di segala sisi?”
Mansa sama sekali tidak ada niat untuk menceritakan apa yang terjadi. “Apa aku harus kembali duduk? Atau aku langsung saja pulang ke rumah, Pak?”
Tentu pertanyaan Mansa membuat guru tersebut kesulitan berkata-kata. Guru itu terdiam. Mansa langsung saja balik ke bangkunya. Dia mengambil tas dan pergi meninggalkan kelas.
Sesampainya di dekat pintu Mansa berhenti sejenak dan menoleh ke arah Danu dan teman-temannya.
“Apa kalian tidak mau ikutan juga? “Harusnya kalian kencingi saja celana kalian sendiri. Bukannya malah kencing di celana orang.”
Setelah Mansa keluar, Danu dan dua orang temannya tersebut habis dimaki-maki oleh guru. Cukup lama guru tersebut menceramahi mereka sampai-sampai kelompok yang seharusnya melakukan presentasi kehilangan kesempatannya.
Sebenarnya guru tersebut adalah orang yang sangat realistis dan pragmatis. Dia sama sekali tidak berharap tiga orang tersebut bakalan berubah hanya karena dibentak seperti itu. Tapi tetap saja guru tersebut sudah kadung emosi dan tak bisa lagi menahan amarahnya.
Kebetulan dia juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah sehingga dia bisa secara langsung memberikan skorsing pada Danu dan dua orang lainnya itu selama tiga minggu. Setelah kena marah, Danu dan dua orang temannya langsung diusir keluar dari kelas.
Masalahnya, hanya tiga hari anak-anak bandel itu tidak masuk. Di hari ke empat mereka bertiga seperti kompak kembali datang ke sekolah. Kebetulan saja, guru yang sebelumnya memberikan skors pada mereka tidak mengajar di kelas tersebut. Sementara guru yang lain tidak tahu-menahu soal skrosing itu. Tak seperti biasanya, Danu, Eri dan Dodi hanya diam saja sejak awal mereka masuk sampai habis jam pelajaran. Mereka sama sekali tidak mengobrol, tidak terlihat juga saling sapa. Tak sekalipun mereka bertingkah usil menggoda cewek-cewek yang ada di dekat mereka seperti yang sering mereka lakukan. Setelah pelajaran hari itu habis, hampir semua murid-murid pergi meninggalkan kelas. Mereka bertiga masih tetap diam di tempat duduknya. Entah alasan apa, Mansa pun juga sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya. Seakan dia tahu mereka sengaja menunggu kelas kosong untuk berurusan dengannya, dan Mansa seperti tak ada niat untuk menghindar. Hingga Danu mulai berdiri dan berjalan menenteng tasny
Tak seorang pun yang tahu kondisi dua orang siswa tersebut selepas Dodi pergi meninggalkan kelas. Bahkan di hari-hari berikutnya, tak satupun dari mereka yang kembali masuk ke sekolah. Sementara Mansa sendiri tetap mengikuti pelajaran seperti biasanya seperti tak pernah terjadi apa-apa. Lagi pula, sedari awal ketiga anak itu memang sedang menjalani skorsing selama tiga minggu sehingga tak ada yang mempertanyakan perihal mereka. Namun ketika masa skorsing itu telah lewat, Danu dan Eri masih saja tidak masuk ke sekolah. Dodi sendiri sudah kembali masuk menjadi murid patuh dan pendiam selama beberapa hari itu. Kebetulan saat itu yang mengajar adalah Pak Syamsudin, guru geografi yang dulu memberikan skorsing pada tiga siswa bermasalah tersebut. Karena ingat masa skorsing tiga anak itu seharusnya sudah lewat, guru tersebut menanyakan keadaan Danu dan Eri yang tidak masuk kepada Dodi. “Dodi Permana, ada apa dengan Danu dan Eri?” tanya guru tersebut. Dodi hanya diam terlihat ragu-ragu un
Tak banyak yang berubah setelah seminggu Mansa tak lagi masuk. Tak sedikit yang berpikir bahwa dia adalah dukun sakti yang entah bagaimana caranya, bisa menggunakan kemampuan itu untuk bisa lulus pada seleksi yang diikutinya. Namun rumor tetaplah rumor. Setelah itu, semua kembali pada kehidupan mereka masing-masing, menjalani masa-masa sekolah seperti biasanya. Tapi tidak bagi Rani. Baginya, Mansa sudah seperti sebuah novel misteri dalam kehidupan remajanya. Sudah tiga tahun dia sekelas dengan Mansa, dan dia sengaja memilih duduk dekat dengannya karena satu alasan khusus. Rani yang kepo dan penasaran, sementara Mansa yang misterius, membuatnya seperti terperangkap dalam lumpur hisap yang dia sendiri tak ingin terbebas darinya. Namun sekarang Mansa tak lagi ada di tempat duduk itu. Bangku itu kosong namun pikiran Rani tidak. Saat ini pikirannya masih sibuk mengulang-ulang kembali segala hal yang pernah sempat terlintas perihal novel misteri yang berjudul Mansa tersebut. “Oh, bukank
Keesokan harinya, kekhawatiran yang diceritakan Rani benar-benar datang menghampiri rumah Mansa. Ketika Mansa baru keluar dari hutan, terlihat tiga orang berstelan kemeja hitam sedang berbicara dengan ibunya. Satu orang dengan seragam polisi masih duduk di dalam mobil menatap ke arah Mansa. “Mansa, sepertinya bapak-bapak ini ada perlu dengan kamu.”“Cukup lama beliau menunggu di sini” “Ada perlu apa, ya?!” tanya Mansa singkat.” “Sebenarnya bukan kami yang ada keperluan di sini”, jawab salah seorang dari pria itu. Tak berselang lama, pria berseragam polisi yang sedari tadi masih di dalam mobil datang menghampiri mereka dari belakang. “Ehm.. “ petugas tersebut memotong permbicaraan.“Maaf jika kedatangan kami mengganggu.”“Sebelumnya perkenalkan saya Handoko dan kebetulan pamannya Danu”. Mendengar nama Danu, Mansa langsung bisa membaca alas
Mansa mulai sadar mobil yang membawanya pergi sudah lewat dari Polsek kecamatan di mana seharusnya menjadi tujuan mereka. Namun mobil tersebut masih tetap melaju sementara Mansa masih bersikap tenang seakan tak menyadari apa-apa. Terlihat salah seorang dari pria berjas hitam yang duduk di sebelah kirinya mulai mengeluarkan rokok dan mencoba menyalakannya. Hal tersebut membuat pria yang satunya lagi yang sedang duduk di depan di sebelah Pak Handoko yang menyetir mobil menjadi rewel. “Sudah kubilang jangan merokok di dalam mobil, Ded!!!” bentaknya mengingatkan rekannya yang sedang mencoba menyalakan rokok. Pria tersebut terlihat cuek dan akhirnya rokok itu pun berhasil dibakarnya. Dihisapnya rokok begitu dalam. Terlihat sepertinya dia begitu lega akhirnya bisa merokok, sesuatu yang sudah beberapa jam dia tahan. Begitu nikmat dihisapnya rokok itu dalam dan begitu dia menghembuskannya, asap rokok mengepul memenuhi ruangan di
Dalam kekalutan, tiba-tiba Mansa mampu memutus ikatan tali rifet yang mengikat kedua tangannya secara paksa. Ketika lepas, satu tangannya tak sengaja terpental ke samping. Satu pria di sebelah kanannya terkena tepat di bagian pelipis dan kepalanya terdorong keras hingga membuatnya pingsan tak sadarkan diri. Mansa semakin kehilangan kontrol dan membuat pria di sebelah kiri yang sedari tadi menertawakannya mulai khawatir. Pria itu masih berusaha keras menahan sapu tangan tersebut berharap Mansa segera pingsan oleh gas cloroform yang ada di sapu tangan tersebut. Mansa menggigit sapu tangan itu sementara tangan kirinya berusaha mencekik leher pria tersebut secara brutal. Pak Handoko yang sedari awal fokus menyetir mobil mulai ikutan panik dengan kemelut di dalam mobil tersebut. “Hei, apa kau tak bisa mengendalikan seorang bocah SMP?!” teriak Handoko sambil sesekali menoleh ke belakang. “Yusron, apa kau baik-baik saja...
Malam itu, tak berapa lama sehabis menghantarkan Mansa pulang setelah peristiwa kecelakaan mobil, pikiran Mike langsung disibukkan oleh berbagai hal. Dia sesegera mungkin berusaha menggali informasi lebih jauh sebelum kecelakaan tersebut menjadi konsumsi publik. Setelah merasa cukup dekat dengan tujuannya, Mike memarkir SUV nya di bawah sebuah pohon besar dan berniat untuk meneruskannya dengan berjalan kaki. Di sebuah lampu jalan Mike sempat terpikir dengan penampilannya yang mungkin akan mengundang kecurigaan orang lain. Setelah melepas kaca mata dan menyesuaikan kondisi matanya, Mike melonggarkan dasi dan melepas kancing jas hitamnya agar terlihat lebih santai sebelum mendekati sebuah toko kelontong. Dengan sikap santainya yang alamiah seperti biasa, Mike datang menyapa pemilik toko kelontong. “Malam, Pak!” sapanya. “Waah, masih sibuk saja tokonya di jam segini ya?” tanya Mike sekadar basa-basi. “Ooh, iya lumayan,” jawab penjaga toko itu. “Biasa, anak-anak muda dekat sini masih
Merasa cukup, Mike langsung memeriksa nomor telepon dari akun Any dan mencatatnya. Setelah itu dia uninstall kembali aplikasi emulator yang baru saja dipasangnya di komputer Handoko dan segera men-shutdown komputer tersebut begitu proses uninstal selesai. Tak lupa juga dia menghapus folder instalasi aplikasi tersebut untuk menghilangkan jejak. Setelah itu, Mike segera melakukan panggilan sambil bergegas menuju pintu keluar. “Agus, aku baru saja mengirimkan sebuah nomor.” “Tolong periksa, dan segera kabari aku jika kamu memperoleh sesuatu” Secara diam-diam Mike melompati pagar dan apesnya dia tak sengaja membuat pagar besi tersebut sedikit bergetar dan menyebabkan bunyi yang cukup gaduh. Tanpa berpikir lama-lama, dengan berlagak seperti orang yang sedikit panik Mike setengah barlari menghampiri toko kelontong tadi. “Pak, maaf!” seru Mike. “Bapak tahu keluarga Pak Handoko yang bisa dihubungi?”