Share

Chapter 3 - Bukan Indigo

Keanehan Mansa selama di sekolah membuatnya sering dianggap sebagai anak yang tidak normal. Sudah sering beredar isu tentangnya sebagai anak indigo. Namun tak sedikit yang berpikir bahwa dia hanya suka ngigau atau gejala skizofrenia.

Meskipun begitu ada juga yang sedikit percaya karena tak jarang Mansa bisa membantu orang-orang yang datang meminta pertolongan padanya. 

Seperti pada suatu hari ada seorang siswi dari kelas sebelah mendatangi Mansa. Beberapa siswa yang ada di kelas hari itu menyadari bahwa akan ada sesuatu yang menarik sehingga mereka mengikuti siswi tersebut mengerubungi Mansa. 

Mansa yang tahu apa yang sedang menhampirinya terlihat sedikit jengkel. “Sudah berapa kali kubilang, berhenti memperlakukanku seperti orang aneh”

Sedikit ragu-ragu, siswi itu langsung berbicara kepada Mansa. “Maaf, aku butuh bantuanmu,” ujarnya.

“Bantuan apa?” tanya Mansa singkat.

“Kucing kesayanganku hilang,” terangnya.

“Sumpah, bukan aku yang nyuri,” jawab Mansa menghindar. “Dan jangan coba-coba bilang maling ga bakalan mau ngaku,” gerutunya.

Sebenarnya Mansa tahu apa maksud dari kedatangan siswi itu. Hanya saja dia sengaja bersikap seperti itu untuk menghindarinya. “Kenal juga tidak, tiba-tiba datang bicara soal kucing hilang,” ketusnya setengah bergumam.

Siswi itu jadi sedikit kecewa dan siswa yang mengerubunginyapun bubar. Ketika siswi itu berbalik ingin meninggalkan Mansa, tiba-tiba Mansa memanggilnya.

“Tunggu sebentar,” seru Mansa mencegatnya. “Sudah berapa lama kucing tersebut ada di rumahmu?”

Mendengar pertanyaan Mansa, kembali muncul harapan dalam diri siswi itu dan dengan semangat diapun bercerita.

“Kucing itu sudah hilang sejak seminggu yang lalu,” ujarnya sebelum menjelaskan. “Biasanya hanya main di sekitar kompleks. Orang-orang di kompleks mengenali kucing itu. Tapi aku sudah bertanya pada semuanya tapi tak ada yang lihat.”

Kemudian dengan sedikit ragu-ragu dan polosnya siswi itu bertanya pada Mansa. “Apa,  kamu tahu, di mana kucingku berada?” tanyanya terbata-bata.

Mendengar pertanyaan itu membuat Mansa semakin jengkel. Apa lagi hal yang ditanyakan Mansa sebelumnya sama sekali tidak dijawab oleh siswi itu.

“Mana aku tahu. Kamu pikir aku ini apa?!” jawab Mansa ketus.

“Tolong laah!” kembali siswi itu meminta sedikit memelas.

“Maaf, aku bukan dukun,” jawab Mansa sedikit jengkel. “Jangan harap tiba-tiba aku langsung tahu. Tapi aku tak berpikir kucingmu akan kembali. Lebih baik relakan saja kucingmu itu.”

Untuk kedua kalinya siswi itu kembali merasa kecewa. Tiba-tiba Rani muncul dari belakang hendak menuju tempat duduknya. Terdengar dia berbicara seperti bergumam.

“Bukan dukun, bukan dukun.”

“Tapi lagak tetap saja seperti dukun.”

“Kucingnya hilang, enak saja bilang relakan.”

Mendengar Rani berbicara seperti itu Mansa langsung berdiri dan sedikit kesal dia menarik bahu siswi tersebut dan membuat siswi itu berputar.

“Lihat foto yang yang ada di bagian belakang tasnya ini!” seru Mansa tegas. “Di situ ada seorang ibu mengendong bayi. Sebelahnya seorang yang sudah tua menggendong kucing. Besar kemungkinan bayi itu adalah dia, dan kucing itu...”

Siswi itu langsung berbalik memotong penjelasan Mansa untuk membenarkan tebakannya.

“Benar! Itu kucing kesayangan nenekku yang hilang. Dia satu-satunya temanku di rumah sejak nenek meninggal,” terangnya menjelaskan.

Mansa kembali mulai menjelaskan deduksinya. “Dilihat dari ukurannya, kucing itu sudah cukup besar. Jadi aku yakin sekarang dia pasti sudah sangat tua.”

“Ada mitos dikalangan pecinta kucing, kucing-kucing tua yang sekarat akan hilang menjauh sebelum mereka mati.”

“Tak jelas juga mitos itu benar atau tidak. Tapi sejauh ini, tidak ada yang menemukan bangkai kucing yang mati karena umur. Bisa saja ini bentuk perhatiannya pada orang yang merawatnya selama ini, agar mereka tidak begitu sedih atas kematiannya. Jadi besar kemungkinannya dia sengaja pergi diam-diam.”

“Tapi kamu bebas berharap jika dia masih hidup,” tutupnya.

Setelah mendengar penjelasan Mansa, akhirnya siswi itu pergi meninggalkan kelas tersebut. Sementara itu Rani masih menatapnya dengan penasaran.

“Apa?” tanya Mansa sedikit jengkel. “Sudah kubilang, aku ini bukan dukun.”

“Lalu bagaimana dengan dompet Rizky yang hilang?” tiba-tiba Rani mengungkit kejadian beberapa minggu yang telah lewat. “Waktu itu tiba-tiba bisa kamu tebak ada di mana.”

“Deduksi,” jawab Mansa singkat.

“Deduksi itu apa?!” tanya Rani polos.

“Semacam tenaga dalam itu, ya?” tanyanya dengan sedikit nada mengejek.

Terlihat sedikit menghela nafas karena jengkel, Mansa mulai menjelaskan meski merasa repot.

“Aku hanya menebaknya. Kebetulan waktu itu aku ikut ke rumahnya membantu kelompok mereka menyusun presentasi. Aku ingat dompetnya tergeletak di dekat kami di bawah sofa.”

“Aku tanya ke dia kapan terakhir masih ingat soal dompet itu. Dia bilang ketika mentraktir kami milkshake. Aku ingat itu kejadiannya sebelum datang ke rumah dia untuk pengerjaan presentasi tersebut. Jadi bisa dikatakan dia tak sadar atau tidak ingat setelah itu.”

“Itu berarti ketika aku lihat dompet itu di dekat sofa, mungkin dia tidak sadar ada di situ. Dari situ aku memulai deduksi. Besar kemungkinan dompet itu tak sengaja terdorong ke bawah sofa dan tak ada yang tahu setelah itu.”

“Karena itu aku suruh dia coba cek di bawah sofa itu. Sialnya, dompet itu benar tak kemana-mana setelah itu. Jadi tebakanku benar, dan lagi-lagi kalian menganggapku indigo.”

“Coba kalau aku salah. Andai dompet itu sempat jalan-jalan...”

Mansa sedikit terhenti karena terpikirkan sesuatu. Namun setelahnya dia kembali terlihat jengkel dan berkata, “Yah, aku rasa kalian masih akan mengejekku dengan cara lain.”

Rani terdiam sesaat mencerna penjelasan Mansa. Tak lama, lagi-lagi dia mengungkit hal aneh lainnya.

“Lalu bagaimana soal bangku di sebelahmu itu?” tanyanya dengan ekspresi dingin. “Aku sudah lama sekelas denganmu.”

Untuk kali ini Mansa sama sekali tidak memberikan penjelasan. Terlihat dia sedikit melihat ke bangku kosong itu dan kembali menatap dingin ke arah Rani. Hal itu sempat membuat Rani sedikit merasa ngeri dan akhirnya memilih untuk memalingkan wajahnya mencoba mengabaikan Mansa.

Namun beberapa pasang mata di kelas itu masih memperhatikan Mansa. Mansa sadar mereka sedang membicarakannya. Dia pun menatap ke arah mereka seakan berkata bahwa dia tahu apa yang mereka bisikan. Hal itu berhasil membuat mereka risih dan akhirnya memilih membubarkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status