Share

Bab 4

"Ken kamu tau Pramudhita orangnya loyal banget tau. Masa dia bilang kan dulu dia pernah sekali punya pacar tapi habis itu mereka putus karena ceweknya selingkuh. Se loyal itu coba,"ucap Nacita begitu bersemangat bercerita.

"Apa perlu bertanya sampai sejauh itu?,"tanyaku mencuci beras untuk ku masak esok hari. "Hmn gimana ya jawabnya Ken. Kamu gimana sama Adhikara?,"tanya Nacita tampak begitu penasaran. "Apa susahnya tinggal mengatakan iya? Sudahlah Cit sepertinya malam ini aku akan tidur lebih cepat. Besok harus ke kampus,"ucapku usai menaruh beras ke rice cooker.

"Eh ngapain  kamu ke kampus besok? Bukannya kita mau ke pantai?,"tanya Nacita. "Dosen pembimbing ku meminta menemui besok untuk bimbingan,"ucapku. "Hah cepatnya. Aku malah belum ada di respon,"ucap Nacita. "Entahlah,"ucapku sembari berlalu ke kamar. "Okelah,"ucap Nacita terdengar berlalu menuju kamarnya. Sementara itu sedari tadi ponsel ku tak henti menyala pertanda notifikasi.

Berbagai pesan masuk membuatku semakin malas melihatnya. Sungguh apa semua orang mempunyai hobi mengirim pesan. Rasa kantuk yang tak kunjung tiba membuatku bergerak mendekati laptop. Mengaburkan semua pikiran yang terlalu kosong untuk diselami. Baru saja membuka laptop, langsung disuguhi dengan potret gadis kecil yang tengah di pangku seorang wanita cantik.

Tangan ku merogoh kalung kecil dari dalam laci sama seperti yang wanita itu pakai. Ah Ibu mengapa kau harus jatuh cinta begitu dalam pada pria yang begitu brengsek hingga akhir pun masih tetap mencintainya. Jadi kau tidak perlu sampai menahan banyak rasa sakit sepanjang hidup. Juga mengapa harus wanita itu bodoh dalam urusan perasaan.

Tidak hanya kau, bahkan Nacita dan semua teman perempuan yang ku miliki begitu sering menangis hanya karena para pria brengsek itu. Apa mereka tak bisa hidup tanpa cinta dari pria brengsek itu? Kalender di ujung meja menunjukkan tanggal yang memiliki bulatan merah. "Lihat esok seharusnya kau masih mengurusku dan menyiapkan makanan untukku seperti saat hendak berangkat sekolah.

Aku juga perlu membeli kue dari toko kue tante Ana temanmu merayakan ulang tahun ke empat puluh enam tahunmu,"ucapku menatap manik matanya yang seolah tanpa beban. Menyingkirkan perasaan benci yang kian membuatku tak tahan untuk bunuh diri, beberapa draft tugas akhir muncul ke permukaan mengalihkan perhatian. "Ken kamu belum tidur?,"tanya Nacita membawa gulingnya.

"Belum,"ucapku tanpa menatapnya. "Mau numpang tidur disini. Boleh ya,"ucap Nacita menampilkan wajah menggemaskan di sekitarku. "Jangan nyalakan lampu,"ucapku membuatnya segera bersorak berguling di atas ranjang. "Kamu ngga takut matamu rusak kah?,"tanya Nacita. "Aku tidak ingin mendonorkan mata setelah mati,"ucapku. "Ngga berarti donor mata juga Ken. Memangnya kalau kamu rabun ngga menyusahkan?,"tanya Nacita.

"Radiasi tak bekerja secepat itu,"ucapku. Mengapa banyak sekali pertanyaan gadis itu sebelum tidur? Dia akan segera tidur atau akan membuka sesi wawancara. "Kau menggunakan laptopmu?,"tanyaku sebal menunggu aplikasi yang tak kunjung terbuka. "Nggak Ken. Untuk apa aku buka laptop jam segini,"ucap Nacita masih saja menggeser layar ponselnya. Sekarang siapa yang lebih merusak mata?

"Boleh ku pinjam?,"tanyaku. "Ya pakai saja Ken. Untuk apa kamu bertanya dulu,"ucap Nacita membuatku segera beranjak mengambil laptop di akh sial. Baru saja mau masuk mataku nyaris buta dengan nyala lampu begitu terang. Belum lagi lampu bewarna warni di sudut ruangan. Gadis ini apa bercita-cita menjadi penjual lampu setelah lulus kuliah?

Sangat berbeda dengan milikku meskipun memiliki bentuk dan spesifikasi yang sama. Milikku masih tetap sama seperti awal dibeli. Sementara laptop Nacita sudah dipenuhi dengan wajah berbagai aktor Korea. "Eh Ken. Kamu sudah dapat berapa bab buat perancangan pabrik kimia?,"tanya Nacita. "Baru dua,"ucapku mengobrak-abrik rak buku mencari desain kasar.

"Itu bukan baru Ken. Rajinnya kamu Ken,"ucap Nacita berdecak kaget. "Ken aku ngga salah lihat kan,"ucap Nacita turun dari ranjang. "Kamu mau buka Hysys di laptop ku?,"tanya Nacita terus saja berbicara. "Lalu kenapa jika di laptopmu?,"tanyaku membongkar semua dokumen di dalam kardus. "Mending laptopmu Ken. Penyimpanan ku kan penuh dengan drama Korea sama music videonya boyband Korea.

Kan setiap mata kuliah pemrogaman aku yang meminjam laptopmu,"ucap Nacita menghentikan kegiatan ku. "Itu sudah terbuka di laptopmu dan lihat malah mati di laptop ku,"ucap Nacita ku abaikan. Ck apa sekarang aku mulai tertular kecerobohan gadis di depan ku. "Ken kamu cari apa?,"tanya Nacita angkat bicara. "Desain,"ucapku masih bersikeras membongkar seisi kamar.

"Kenapa ngga ngomong dari tadi? Aku kan pernah pinjam desainmu waktu itu,"ucap Nacita membuatku menatapnya sebal. "Bisakah kau mengatakan dari tadi?,"tanyaku. "Gimana mau kasih tau? Kamu aja daritadi ku tanya ngga kamu dengerin,"ucap Nacita membela dirinya. "Ya baiklah aku yang salah. Sekarang bisa kamu kembalikan desainnya?,"tanyaku menahan kerutan karena sebal.

"Masih di Zikra,"ucap Nacita cengengesan membuatku menghela nafas panjang sembari menaruh kepala ku lelah. Sungguh membodohkan. Apa selain ceroboh sekarang juga sering lupa? Bodoh sekali.

-&-

Riuh tetangga yang tengah asyik bergelung dengan berbagai jenis kesibukan masing-masing terdengar begitu jelas. Kemeja yang baru saja disetrika bergantung rapi pada knop pintu. Nasi hangat yang sudah masak sejak semalam terlihat lembut tidak terlalu keras seperti biasanya. Melihat isi lemari, sepertinya telur mata sapi akan cukup untuk sarapan pagi ini.

Seharusnya kemarin berhenti di minimarket membeli oat, roti dan susu untuk sarapan. Mengingat Nacita yang kurang menyukai nasi putih sebagai sarapan membuatku kembali memutar otak berpikir. Sembari mengambil nasi ke dalam mangkuk bersama dengan telur dan daun bawang. Tak lupa menambahkan penyedap rasa sebelum mengaduk hingga tercampur rata.

Bunyi alarm terdengar begitu halus menunjukkan pukul 6.30 membuatku segera mempercepat kegiatan memasak. Gemeletuk Bunyi cipratan minyak membuatku menghela nafas panjang. Seharusnya memakai mentega saja, jadi tidak perlu membuatku begitu lelah dengan minyak panas yang mengenai kulitku. Masih tersisa 15 menit segera ku kenakan kemeja sembari tersenyum tipis melihat bunga yang masih segar usai direndam.

Harumnya bunga mawar yang begitu semerbak pasti akan membuat makam Ibu begitu cantik. Secantik dirinya saat masih hidup dulu. Ulang tahun ke 46 akan sangat berbeda karena biasanya diriku hanya menangis. Hari ini diriku sudah bertekad hanya akan bercerita tanpa menangis. Sembari merapikan buket bunga, mataku melirik jam dinding sejenak.

Penjual sayur sudah lewat pertanda sudah hampir pukul 7. Sudah hampir pukul 7, tapi gadis itu tak kunjung bangun juga. Sepertinya mimpinya begitu indah untuk ditinggalkan. Berbeda denganku yang selalu berharap tidak pernah ada mimpi. "Cit,"panggilku menepuk kakinya. "Eungh. Nanti ku bereskan kamarmu,"ucap Nacita hanya bergumam tanpa membuka mata.

"Sarapan di atas meja,"ucapku sembari memakai sepatu berangkat ke kampus. Baru juga pagi hari, rasa panas yang mengenai kulitku terasa begitu terik. Enggan menuju kampus terlalu cepat sepertinya diriku akan menuju makam terlebih dahulu. "Sudah lama ya Pak,"ucapan itu membuatku mendongak seraya menatap sekeliling makam.

Tampak sepasang insan berdiri dekat di makam. Sontak membuatku menghentikan langkah enggan mendekat. "Untuk apa kalian kemari?,"tanyaku tanpa sudi menatap keduanya. "Kencana. Kemana saja kamu Nak?,"tanya pria itu seolah diriku pernah menjadi bagian dalam hidupnya. "Aku tidak butuh pertanyaan. Katakan untuk apa kalian kemari?,"tanyaku.

"Ken,"panggil wanita itu memanggil ku seolah begitu akrab. "Aku tidak perlu banyak kata untuk meminta kalian pergi kan,"potongku enggan mendengar banyak alasan. "Ken. Kamu ngga rindu Ibu Bapak Nak?,"tanya pria itu membuatku menatapnya tajam. "Siapa yang kamu panggil Nak?,"tanyaku. "Nak sebesar apapun kemarahanmu dia tetap Bapakmu.

Ken kamu kemana Nak?,"tanya Nadira. "Dengar. Sepertinya kalian salah orang, aku sebatang kara. Ibuku sudah tiada dan aku tidak punya Bapak. Jadi bisakah Anda jawab untuk apa datang ke makam Ibuku?,"tanyaku tanpa tedeng aling-aling. "Bapak tau Nak. Bapak salah tap

"Maaf sekali lagi saya katakan. Saya bukan putri Anda,"potongku mulai geram. "Apa kami tampak begitu banyak salah padamu Nak?,"tanya Nadira membuatku tersenyum kecil. "Sepertinya kalian mulai gila. Pergilah saya ingin mengunjungi Ibu saya,"ketusku. Jauh dari dugaan, justru mereka malah melangkah mendekat. Seolah mimpi buruk di pagi buta.

"Pergi sebelum saya bertindak nekad,"ucap ku menatap lurus keduanya. Keriuhan yang ditimbulkan membuat penjaga makam datang mendekat. "Ada apa ini?,"tanya pria tua yang baru saja tiba. "Pak saya merasa dua orang ini mencurigakan dan mengganggu saya. Saya tidak bisa berziarah ke makam ibu saya karena mereka,"ucapku. "Pak ini salah paham. Saya bapaknya,"ucap pria itu.

"Bapak selama bertahun-tahun mengenal saya kan,"ucapku. "Maaf Pak Bu. Anda dipersilahkan meninggalkan makam,"ucap penjaga makam menggiring keduanya pergi. Sementara diriku melangkah gontai mendekati makam. Bapak katanya? Lalu apa ada Bapak yang memukul putri tunggal nya demi wanita lain. Lalu dimana dia saat diriku meringkuk kedinginan sengaja tidak di jemput hingga dua hari bertahan di halte bis waktu itu.

Mungkin saja jika Angga dan Natasya tidak menemukan ku akan lebih mudah Ibuku mengajak bersamanya. Rasa sakit yang mendera kembali terasa di sekujur tubuhku. Bayangan dan trauma masa lalu membuat rasa menyiksa yang kian mendekam diriku dalam kebisuan. Air mata bercampur keringat dingin mengucur begitu saja sementara tanganku mencengkeram kuat batu nisan.

Dekapan hangat Ibu saat nafasnya masih melewati rongga hidung begitu ku butuhkan saat ini. Baju putih yang berangsur menjadi merah karena tanah makam tanpa peduli setelahnya akan ku pakai menuju kampus. Semua kalimat mencecar hanya tercekat di tenggorokan. Lidahku seolah sudah kelu tak bisa bergerak lagi.

"Haruskah kau begitu mencintai pria brengsek itu hingga membuatmu tersiksa? Selain itu apa hanya dia yang menjadi fokusmu? Sementara aku waktu itu masih sangat belia untuk kau tinggal pergi. Namun kau lebih memilih pria yang sama sekali tidak bisa dianggap sebagai apapun selain brengsek,"batinku bergejolak.

Ingatanku terbayang pada hari-hari terakhirnya. Dirinya tak pernah menunjukkan tengah begitu kesakitan dengan penyakitnya. Bahkan masih sempat mengantarku ke sekolah setiap hari. Selalu mengusap kepala ku sebelum tidur tanpa ada keluh kesahnya. Hingga tiba-tiba dia sujud begitu lama hingga tak kembali. Barulah ku tau selama ini dirinya mengidap sakit keras.

Mirisnya saat kematian itu pula hadir sosok Nadira. Wanita yang selalu menjadi perdebatan saat Ibu masih sehat dengan pria tua itu. Tidak. Aku tidak sanggup lagi menahan rasa sakit begitu dalam ini lagi. "Aku segera menyusulmu Bu,"ucapku lirih sembari mencium baru nisannya lembut. Langkahku menjadi begitu semangat saat berjalan keluar dari makam. Aku akan segera menghilangkan semua rasa sakit ini.

Iya.

Aku ingin bebas dan tenang sebagaimana Ibu telah tenang disana. Aku tak bisa lagi menahan rasa sakit yang kian berkecamuk dalam benakku. Enggan menjadi pusat perhatian, langkahku urung melompat dari jembatan penyeberangan yang tengah ramai dengan lalu lalang kendaraan di bawahnya.

Langkah panjang ku menyusuri sebuah jalanan sepi yang berjarak 600 meter dari terminal. Ku pikir akan menunggu wisuda untuk melipur semua lara yang menjerat. Nyatanya aku harus mengakhiri semua rasa sakit ini sekarang. Tanpa ragu diriku terus berjalan meskipun beberapa bagian tubuh tergores pagar besi berduri. Warna pakaian ku sekarang sudah terlalu tak bisa di deskripsikan.

Maafkan diriku Bunda dan Ayah tak sempat membalas budi baik kalian. Aku tak bisa menahan semua rasa sakit ini lagi. Terdengar lonceng berulang dari kejauhan begitu nyaring pertanda kereta segera berangkat. Dengan beberapa tetes darah yang mengalir bekas tersangkut di pagar terasa sedikit nyeri begitu tertiup angin. Namun tidak sesakit apa yang telah mendera ku.

Lonceng kembali berbunyi bersamaan dengan beberapa burung yang terbang pertanda akan ada yang lewat. Langkah ku semakin tegas menyusuri rel yang sebentar lagi melintas.

"Kamu terlalu bodoh Arini. Bahkan kamu juga tidak mampu mendidik anak itu? Setiap harinya dia hanya bermanja denganmu. Lihat lah dia di sekolah sangat tertinggal hanya membuat malu saja,"

"Mas tapi dia anak tunggal kita. Dia juga buah hatimu,"

"Masih banyak yang bisa merawat dia Arini. Kamu harus fokus dengan dirimu,"

"Tidak Mas. Dia putriku. Hanya aku yang boleh membesarkan nya,"

"Arini dengar. Karena kecelakaan kecil yang kita timpa saat kamu mengandungnya sampai kapanpun dia akan menjadi gadis bodoh. Akan lebih baik dia di taruh di asrama saja. Kau harus fokus dengan dirimu,"

"Gadis itu selain bodoh dia juga cacat Arini. Mana ada anak yang sudah berusia 8 tahun belum bisa berjalan dan berbicara,"

"Mas dia putriku dan akan tetap menjadi putriku,"

"Serahkan dia pada Nadira Arini. Dia bisa mengasuh anak itu dan kamu fokuslah pada dirimu,"

Rasa tak diinginkan semua orang begitu menjerat batinku. Bayangan yang selalu menghantui ku sejak kecil selalu terbentang luas. Jika Ibu ku saja sudah tak mampu mengurus ku hingga berpulang lantas untuk apa aku harus bertahan di atas muka bumi. Sebagai beban dan sampah yang hanya memenuhi bumi saja.

Deru angin dan teriakan masinis begitu kereta terlihat di pelupuk mata ku tak akan bisa membuatku berhenti. "HEY MENYINGKIR DARI SANA!!!,"jerit seluruh kendali kereta meminta ku pergi. Desir angin yang begitu kuat menerbangkan sekeliling ku tak membuat gentar. Sebentar lagi aku akan merasakan kebebasan. Sembari menutup mata, ku hela nafas sejenak. Sedikit lagi.

Brugh

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status