Share

Bab 5

Brugh

"APA KAU SUDAH GILA?? KAU MAU MATI HANYA KARENA TUGAS AKHIR? APA SEMUDAH ITU KAU TIDAK BISA??,"teriakan memenuhi rongga telinga ku begitu hantaman kerikil menyapu punggung ku. "IYA AKU GILA. KAU TIDAK PERNAH TAU APA YANG KU RASAKAN. ENYAHLAH,"hardikku kembali mendekati rel kereta api.

"Cukup. Kamu sepertinya hanya lelah. Mari berpikir jernih,"ucapnya mendekapku. "Enyah. Aku tak sudi berdekatan dengan para pria brengsek,"tukasku terus berusaha meronta dari dekapannya. "Kau apa tidak ada pikiran lain selain bunuh diri?,"tanyanya begitu kereta sudah berlalu menjauh dari pandangan. "Jangan pernah ikut campur apa yang ada dalam hidup ku,"ucapku mengenyahkan diri dari dekapannya.

"Kenapa tidak bisa? Aku dosen pembimbing mu yang bertanggung jawab apapun yang terjadi padamu. Apa kau tak berpikir bagaimana perasaan orangtuamu?,"tanya Alvin membuatku menatapnya lurus. "Kamu hanya akan jadi dosen pembimbing jika aku masih hidup,"ucapku terduduk sebal dengan orang sok tau di depanku yang tak hentinya memberi ceramah. "Dengar. Kamu mungkin sedang terguncang tapi mati bukan menyelesaikan masalah,"ucap Alvin.

"Dimana rumahmu? Mari ku antar,"ucap Alvin tak ku pedulikan. "Jangan ikut campur dan pergilah,"ucapku berlalu menyusuri rel kereta berpikir cara mudah lain. "Apa kamu benar-benar mau mati? Untuk apa kau berada di sana,"tanya Alvin kembali menyeretku menepi. "Jangan pernah sentuh diriku,"tukasku menatapnya tajam kembali menyusuri rel. "Oke baik. Tapi apa kau benar-benar tidak kasihan dengan orangtua mu?,"tanya Alvin banyak bicara.

"AKU TIDAK PUNYA ORANGTUA,"geramku menutup bibirnya yang tak berhenti berbicara. "Setidaknya jika kau memilih bunuh diri mereka akan sedih bukan,"ucap Alvin tak ku hiraukan. Mataku menatap sebuah jalanan yang sangat ramai bahkan tak jarang sering terjadi kecelakaan di sisi lain rel. "Jangan berpikir kesana. Mari pulang,"ucap Alvin menyeret ku. "Jangan pernah sentuh diriku,"ucapku mengenyahkan tangannya kembali berbalik arah.

Bugh

Sontak rasa sakit memenuhi seluruh leher belakang ku hingga tak lama kegelapan memenuhi pandangan. Dasar pria brengsek pandai memanfaatkan situasi.

-&-

Rasa sakit masih mendera belakang kepala ku, namun rasa terikat langsung hinggap begitu kedua mata terbuka. Ah pria brengsek dia pasti akan memanfaatkan diriku. Hanya bergelar dosen nyatanya semuanya brengsek. Karena dia seorang pria. "Kau sudah bangun? Bagaimana kondisimu sekarang?,"tanya Alvin membawa nampan berbagai jenis masakan.

"Apa maksudmu? Lepaskan,"ucapku dingin membuatnya malah terkekeh lepas. "Kau sepertinya belum makan. Tadi aku sudah meminta dokter kemari mengobatimu. Sepertinya lebih baik kamu makan dengan baik kemudian aku bisa mengantarmu pulang,"ucap Alvin begitu lembut tak bisa ku percaya. "Hanya gadis bodoh yang percaya ucapan tak masuk akal itu,"ucapku mencibir.

"Oke baik Batari Kencana. Saya tau Anda sudah menyelesaikan hingga bab 2. Tapi fokusnya ini sudah sore dan tidak mungkin saya membiarkan seorang perempuan berada di rumah saya tanpa status,"ucap Alvin bersandar di tempatnya. "Cih. Lepaskan. Kau tak perlu repot-repot dengan ku,"ucapku. "Tidak begitu caranya. Entah setelah ini kamu akan melompat kemana lagi.

Aturannya kalau kau mau makan, setelah itu saya yang mengantarmu pulang,"ucap Alvin. "Bodoh pasti didalam makanan itu kau campurkan obat,"ucapku menatapnya sinis. "Kau terlalu negatif thinking. Mari berpikir positif untuk meringankan pikiran. Begitu bukan prosesnya,"ucap Alvin membuatku memutar bola mata malas. "Lepaskan,"ucapku. "Tidak sampai kau setuju ikut aturan saya.

Ini rumah saya jadi kau harus ikut,"ucap Alvin membuatku tak berhenti berdecih. "Pria seperti ini yang dikatakan baik kata Nacita. Cih,"gumamku lirih. "Oh. Kau ternyata teman dekat Nacita. Ah ya saya pernah dengar Nacita punya saudara dan saya yakin itu kamu. Baik masalah terpecahkan dan saya tau kemana harus mengantarmu. Tidak apa tidak mau makan, biar saya bungkus untukmu dan Nacita,"ucap Alvin.

"Ck brengsek,"ucapku berdecak. "Ya terserah jika bisa mengurangi pemikiran negatif mu silahkan maki diriku. Maaf aku harus memegangmu. Hanya dengan cara ini, kau tidak akan kabur lagi,"ucap Alvin menaikkan ku ke dalam mobil seperti karung beras. "Kamu harus menemui saya dengan segera jika ingin cepat selesai,"ucap Alvin membuatku memalingkan wajah menatap jendela luar.

"Brengsek. Kau pasti sudah mengambil keuntungan,"hardikku menyadari baju ku sudah berganti. "Hey hentikan pemikiran anehmu itu. Tadi sewaktu ada Dokter sekalian ku minta mengganti pakaianmu. Dokternya perempuan dan ini nomor nya,"ucap Alvin menaruh kartu nama di depan mataku. "Apa selain brengsek kau punya bahasa lain yang lebih enak di dengar?,"tanya Alvin tak ku hiraukan.

"Baiklah jika kau tidak ingin menjawab,"ucap Alvin membuat suasana kembali tenang. Hanya saja pikiran ku menjadi campur aduk karena pria itu. Belum lagi tidak bisa bergerak. Sungguh dia hanya menyusahkan diri saja dengan membantu ku. Dasar pria tidak waras.

-&-

"Maaf saya ingin mengantar putri Dewangga Arya Satyanegara,"ucap Alvin membuatku menoleh. Pria aneh ini untuk apa mengantar sampai rumah Ayah dan Bunda. "Nona Batari Kencana,"ucap Alvin tak bisa lagi berkata-kata. "Untuk apa kau antar diriku kemari?,"tanyaku begitu memasuki wilayah pemukiman khas dengan warna hijau.

"Kalau saya antar ke kost bisa saja nanti malam kau akan kembali ke rel itu. Jadi saya pikir mengantarmu ke sini akan lebih baik. Sepertinya kau enggan mendengar nasihat, jadi lebih baik saya diam saja,"ucap Alvin melepaskan tali yang mengikat tangan dan kaki ku. "Permisi saya ingin bertemu dengan Pak Dewangga,"ucap Alvin menarik tanganku. "Lepas,"ucapku cuek.

"Non Kencana? Pak Dewangga akan pulang sebentar lagi. Silahkan masuk,"ucap ajudan Ayah begitu ramah. "Pulang. Saya sudah sampai rumah,"usirku enggan menatapnya. "Tidak. Silahkan masuk nona Kencana,"ucap Alvin kian membuatku sebal. Pasti pria itu sebentar lagi akan membeberkan semua aksi ku. "Kencana dan wah ada tamu rupanya,"ucap Angga baru pulang masih lengkap mengenakan seragam lorengnya segera ku salami.

"Maaf bertamu disaat yang kurang tepat,"ucap Alvin begitu lumrahnya. "Ah tidak apa-apa. Mari masuk,"ucap Angga menyambut baik dirinya. Pasti pria ini akan mengadu panjang lebar tentang diriku. Enggan mendengar aksinya, diriku melangkah ke kamar meluapkan semua isi kepala yang sudah terlanjur hancur gara-gara pria aneh itu.

"Anda ini temannya Kencana sama Nacita,"

"Bukan Pak. Saya dosen pembimbingnya. Mungkin ini untuk tanda pengenal saya juga permintaan tanda tangan dari Kencana untuk menjadikan dosen pembimbingnya. Saya ingin membicarakan beberapa hal pada Anda,"

Apa sekarang semudah itu suara dari ruang tamu terdengar sampai kamar ku? "Ken kamu pulang sayang,"ucap Natasya tampak usai mengurai air mata membuat rasa heran menyeruak. Tangan lembutnya menggenggam tanganku pelan. "Nak. Apa Ayah dan Bunda memiliki salah denganmu? Apa kami menyakitimu?,"tanya Natasya membuatku menaikkan sebelah alisku. "Kenapa sampai harus mau bunuh diri Nak?

Apa kami menyakitimu begitu dalam sampai kamu pun tak sanggup menahannya Nak?,"tanya Natasya begitu tenang. Siapa yang sudah membeberkan pada Natasya? Jika sampai ke telinga Angga tidak masalah, tapi Natasya? "Bun. Semuanya salah paham. Ayah dan Bunda sudah membesarkan ku. Untuk itu rasa terimakasih tak terkira tak akan cukup untuk membalas.

Tidak Bun. Kalian tidak pernah menyakiti ku,"ucapku jujur sembari menatapnya lekat. "Lalu apa yang membuatmu begitu ingin mati Nak? Katakan Nak. Kamu begitu sayang pada Bunda kan,"ucap Natasya membuatku refleks melepas genggaman tangannya. Pikiran kalut tentang bayangan dan luka lama kembali menyeretku menuju lembah hitam sekali lagi.

"Tidak. Aku hanya takut. Iya aku hanya takut,"ucapku berlalu menatap dinding sembari memeluk diriku. "Kamu takut dengan apa Nak?,"tanya Natasya membuatku menggeleng. "Mereka. Aku tidak lagi diinginkan di dunia ini. Aku hanya sampah. Aku cacat,"ucapku bergetar merasakan ketakutan hebat hingga keringat dingin mengucur deras.

"Nak kamu anak sehat sayang. Siapa yang menyebutmu cacat?,"tanya Natasya berlumuran air mata menatapku penuh tanya sembari meyakinkan diriku baik-baik saja. "Pria brengsek dan wanita itu. Iya mereka. Aku cacat,"ucapku menggeleng enggan menatap lurus wajah Natasya. Ketakutan akan masa kecil yang tak diharapkan banyak pihak hanya membuatku kian tersiksa.

"Lihat Ken. Hanya ada Bunda sayang. Apa Bunda jahat denganmu?,"tanya Natasya menangkup wajahku menatapku lekat memberikan ruang hangat memenuhi relung benakku. "Aku tak

"Kamu anak sehat sayang. Kamu anak Bunda paling manis,"potong Natasya menyahuti gumaman bibirku yang terus bergetar merasakan ketakutan hebat. "Kencana anak Bunda paling manis,"ucap Natasya mendekapku sebelum ketakutan ku perlahan sirna bercampur dengan kegelapan yang kembali menyapa.

-&-

Author POV

"Kencana berniat bunuh diri lagi Bun,"ucap Angga mengusap bahu istrinya yang menatap lurus keluar jendela. "Pria dan wanita itu kembali lagi Yah. Mereka menemui Kencana setelah puluhan tahun berlalu,"ucap Natasya mengusap air mata yang menitik dari pelupuk matanya. "Mereka untuk apa kembali lagi,"ucap Angga mencengkeram bahu kursi geram.

"Tidak ada yang tau Yah. Nacita bilang dari semalam tidak ada hal yang aneh. Sampai pagi pun dirinya menyiapkan sarapan untuknya. Dirinya memang mengatakan mau ke makam sebelum ke kampus untuk konsultasi. Setelahnya dia baru kembali di hubungi temannya Nacita hampir bunuh diri di rel kereta api,"ucap Natasya terbata di akhir kata.

"Dari dosen pembimbingnya tadi, dirinya melihat Kencana tiba-tiba berlari mencurigakan apalagi dengan baju penuh dengan bekas tanah pemakaman. Sepertinya mereka berniat menemui Kencana di hari ulang tahun ibunya. Sayangnya mereka lupa telah menanam rasa begitu menyakitkan dan trauma begitu besar pada Kencana,"ucap Angga menghela nafas.

"Yah jangan sampai kita kehilangan Kencana,"ucap Natasya menatap suaminya penuh harap. "Cukup saudara Nacita dulu yang tak sanggup kita selamatkan. Jangan Kencana,"ucap Natasya memohon membuat Angga menarik istrinya dalam dekapannya. Ingatan buruk istrinya akan kehilangan putrinya saat masih dalam kandungan membuatnya trauma dengan kondisi setiap putrinya. Tak terkecuali Kencana.

"Tenanglah. Kita akan cari solusi terbaik dan melindungi Kencana. Sekarang kau minum dulu biar tenang. Biar ku pikirkan cara,"ucap Angga mengusap punggung istrinya menenangkan sementara dirinya beranjak membuka sedikit pintu Kencana. Disana gadis itu tengah terlelap usai di beri obat penenang oleh istrinya. Perlahan dirinya berjalan mendekati gadis itu sembari mengusap kepalanya sejenak.

"SIAPA,"jerit Kencana segera mencekal tangan Angga. "Ken ini Ayah Nak. Bagaimana tugas akhirmu? Kata dosen pembimbingmu kamu masih harus revisi,"ucap Angga tak ingin menanyakan apapun terkait hari ini. Dirinya paham gadis di depannya tengah terguncang habis-habisan. "Ayah. Kencana ngga bawa laptop Yah jadi belum bisa kerjakan,"ucap Kencana perlahan duduk.

"Tadi Om Arsen sudah bawakan semua perlengkapanmu pulang. Bundamu lagi kangen sama kamu,"ucap Angga membuat gadis itu menatap Angga sejenak. "Maaf Yah tadi Kencana han

"Bagaimana tugas akhirmu? Ayah penasaran seperti apa gambar desain anak teknik,"potong Angga segera sebelum Kencana kembali hilang kendali membuat gadis itu ikut teralihkan. "Masih belum Yah. Tapi segera ku selesaikan,"ucap Kencana segera beranjak menuju ruang tengah sembari mengambil laptopnya membuat rasa lega menyeruak.

Tatapan sendu Natasya melihat Kencana keluar segera di hapus Angga. "Ken kamu mau buat apa? Kata Ayah kamu mau buat desain pabrik kimia,"ucap Natasya begitu tenang dalam berakting. "Sebentar Bun. Kemarin sudah ku buat desain kasarnya. Tapi belum yang bentuk visionya,"ucap Kencana dengan giat menyelesaikan tugasnya. "Non memang mau buat pabrik apa?,"tanya Arsen sengaja ku minta mengalihkan pikiran Kencana.

'Sungguh tidak bersyukur pria itu,'pikir Angga menyaksikan tiga orang yang tengah sibuk di depan matanya. Bagaimana bisa seorang Ayah mengatakan anaknya bodoh dan cacat? Sedangkan lihatlah dirinya malah sudah membuat desain sementara putri kandungnya sendiri Nacita masih asyik berlibur dan aku tidak menyalahkan Nacita bermalasan. Karena memang seharusnya baru ide saja yang di ajukan.

Cacat yang seperti apa yang dia maksud. Terlambat bukan berarti cacat. Justru Kencana dengan matanya sendiri menyaksikan gadis itu membawa baki pada upacara bendera di Istana Negara. Bahkan tata bahasa yang dia gunakan dalam setiap perlombaan membuatku sadar dia gadis cerdas dan istimewa. Namun yang dia lakukan bukan mendukung malah memberinya cap tak masuk akal hingga membawa trauma besar.

Seperti saat pertama kali membawa Kencana ke rumah dinas saat masih di Malang. Gadis itu begitu takut dengan orang baru hingga berteriak. Cara bicaranya yang masih lambat dari usia pada umumnya juga sangat mudah jatuh membuat rasa cinta makin tumbuh dalam hati Natasya. Begitu uniknya gadis itu hingga membuat Natasya sangat menyayanginya hingga perlahan gadis itu pulang dengan membawa sebuah piala prestasi.

Kruk

"Nah waktunya makan berarti,"uca Angga membawa nampan berisi sayur dan lauk yang diberikan dosen pembimbingnya dalam jumlah banyak tadi. "Loh Ayah sama Bunda sudah makan?,"tanya Kencana menatapku. "Bunda sama Ayah tadi sudah. Sen makan dulu,"ucap Natasya. "Izin saya nanti saja Bu,"ucap Arsen. "Om Arsen. Bunda bilang suruh makan ya makan,"ucap Kencana mengambilkan Arsen makanan.

"Ayah sama Bunda buatkan minum dulu ya,"ucap Angga menarik Natasya berlalu. Mencegah wanita itu kembali menitikkan air mata. "Kencana tak lebih dari gadis kecil kita yang merindukan rumah saat begitu tenang Yah,"ucap Natasya tersenyum lega. "Begitulah putri kita. Besok sudah ku atur terkait tentangnya. Suatu saat dia akan menjadi gadis dewasa pada umumnya karena dirinya bukan karena keadaan yang memaksa,"ucap Angga menarik senyum penuh harap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status