Share

Bab 6

Dering nada ponsel yang kunjung berhenti mengganggu aktivitas Kencana. Tidak hanya sekali Alvin menghubunginya dalam sehari hanya untuk konsultasi. Sementara dirinya saja masih bersiap. "Siapa Ken?,"tanya Angga membuat Kencana mendongak sejenak. "Dosen pembimbing Kencana Yah,"ucap Kencana tenang.

"Oh yang kemarin itu. Kenapa ngga di angkat Nak?,"tanya Angga heran. Bagaimana bisa ada yang sesantai itu padahal yang menghubungi dosen pembimbing. "Tadi Kencana sudah balas baik saya segera menghadap. Tapi masih saja tetap begitu,"ucap Kencana terdengar merasa risih membuat Angga terkekeh pelan mengusap bahu putri sulung nya.

"Coba di angkat dulu. Barangkali dosennya cemas,"ucap Angga memberikan ponselnya membuat Kencana mau tidak mau menekan tombol hijau panggilan. "Selamat pagi Pak,"ucap Kencana menghela nafas berulang membuat Angga hanya menggeleng pelan. "Hah? Tidak perlu Pak. Saya bisa berangkat sendiri dan Anda tidak perlu kemari,"ucap Kencana terlonjak.

"Pak saya bis ck kenapa seenaknya sendiri sih,"decak Kencana sebal. "Kenapa kok sebel gitu Ken? Ada masalah?,"tanya Natasya menyuapkan kue sus yang baru jadi. "Nggak ada Bun hanya masalah kecil,"ucap Kencana meredam kekesalannya. Sementara Angga tampak tersenyum puas dengan rencananya yang telah dibuat. Dirinya cukup tau, dosen pembimbing Kencana memiliki karakter yang jauh lebih keras kepala dibanding Kencana.

"Sebentar Bun, Kencana antar ke koperasi dulu baru kembali lagi,"ucap Kencana beranjak. "Eh ngga usah Ken,"ucap Natasya mencegah namun bukan Kencana jika tidak keras kepala. "Sudah Bun dia lagi semangat tuh,"ucap Angga menahan istrinya yang tampak cerah. "Kenapa tadi dia kok sebel gitu Yah?,"tanya Natasya heran. "Ayah minta dosen pembimbingnya mengawasi Kencana. Ayah pikir ya mengawasi seperti biasa mahasiswa dan dosen.

Nyatanya sampai dia meminta izin Ayah mau jemput pulang pergi memastikan dia pulang ke rumah ngga kemana-mana,"ucap Angga terkekeh puas. "Tapi kenapa harus dosen pembimbingnya Yah?,"tanya Natasya membuat Angga menarik istrinya duduk memberinya pengertian. "Sifat dosen pembimbingnya yang sama keras kepala sepertinya itu cukup membuatnya harus patuh Bun.

Dan kalau dosen pembimbingnya tidak akan menimbulkan masalah terkait dengan Adhikara di kemudian hari,"ucap Angga membuat Natasya mengangguk patuh. Lain halnya dengan Kencana yang sengaja mengulur waktu ke koperasi sembari berbincang sedikit sementara kemungkinan Alvin merasa terlambat dan pulang lagi. "Eh Ken. Nunggu siapa?,"tanya pengurus koperasi tampak heran melihat anak komandannya hanya duduk diam.

Iya. Anak komandannya. Karena Angga sengaja menutup fakta Kencana anak angkat dari publik. "Ngga papa cil. Oiya cil kenapa atuh kalau malam ngga buka?,"ucap Kencana hanya basa basi. "Eh buka kok Ken. Jam berapa Kencana ke sininya. Kalau jam 10 lewat ya sudah tutup atuh,"ucap pengurus koperasi membuat gadis itu menutup rapat bibirnya. Sungguh tidak pandai berbasa basi.

Meninggalkan koperasi dengan rasa sebal begitu mencekat, Kencana mau tidak mau harus beranjak pulang. "Selamat pagi Batari Kencana,"sapa Alvin terdengar seperti playboy saja. "Pagi Pak. Maaf saya biasa dipanggil Kencana tidak sepanjang itu. Sepertinya akan terlambat jika harus masuk jadi lebih baik tidak usah saja tanpa mengurangi hormat,"ucap Kencana sebal namun masih mengedepankan sopan santun.

"Ehm tentu saja saya tunggu disini,"ucap Alvin hanya mengangguk. Mengingat memang dirinya dosen pembimbingnya tapi lokasinya menunjukkan dirinya tamu pemimpin wilayah dimana kakinya berpijak. "Pak, Non Kencana sengaja aja biar bapak nunggu diluar. Mari masuk nanti saya yang dimarahin komandan,"ucap Arsen menyapa. "Saya yang dimarahi mahasiswa saya Mas,"ucap Alvin menambahkan.

"Nggak seberat hukuman komandan Pak. Mari kompromi Pak,"ucap Arsen menarik Alvin beranjak memasuki rumah dinas Angga. Sontak membuat tuan rumah segera menyapanya hangat. "Wah ini dosennya Kencana ya. Terimakasih Pak sudah membimbing Kencana,"ucap Natasya segera memintanya duduk. "Baik sama-sama Bu,"ucap Alvin merasa begitu serba salah dengan situasi.

Apalagi melihat wajah Kencana yang sangat tidak enak untuk dijelaskan dengan kata-kata. "Maaf Pak Bu. Sepertinya Kencana sudah siap,"ucap Alvin segera berdiri dengan begitu hati-hati terlebih tidak jarang melihat senjata yang selalu berada dimana-mana. "Oalah. Hati-hati ya Pak,"ucap Angga menepuk pundak Angga mempercayakan putrinya padanya. Berbeda dengan Kencana yang ingin menumpahkan banyak kekesalan pada pria itu.

"Silahkan Kencana,"ucap Alvin membuat gadis itu semakin sebal. Yang benar saja dirinya sampai perlu membukakan pintu. "Pak apa Anda tidak punya pekerjaan lain selain harus ribet dengan satu mahasiswa di antara banyak mahasiswa?,"tanya Kencana tak bisa lagi memendam kekesalannya. "Karena kamu berbahaya jadi harus saya antar jemput,"ucap Alvin.

"Cih,"decih Kencana sebal. Yang benar saja dirinya harus selalu bersama dengan pria bermulut manis sepertinya. "Sudah sarapan belum?,"tanya Alvin tak dihiraukan. "Oh baik saya anggap sudah. Karena sepertinya sangat tidak mungkin Bu Natasya membiarkanmu kelaparan. Sudah bawa hardfile untuk konsultasi?,"tanya Alvin terlalu membodohkan. "Sudah,"ucap Kencana merasa pertanyaan itu baru masuk topik.

"Baiklah saya tidak akan bertanya lagi,"ucap Alvin membuat gadis di sebelahnya segera menghela nafas lega. 'Akhirnya bibirnya terkunci juga,'batin Kencana menikmati pemandangan pagi hari.

-&-

Kencana POV

Tumpukan buku di depan mataku di tumpuk begitu saja oleh pria di depan ku. Pria manalagi selain dosen pembimbing kesayangan Nacita. Bahkan dirinya sengaja menggunakan akses privat room di perpustakaan. Pria dengan segala tipu daya dan tak hentinya mengacau hari ku. Sudah membuatku harus manut dan patuh di depan Ayah dan Bunda. Sekarang malah membuatku harus mengikuti semua sarannya.

"Coba pelajari lagi darimana sumber gagasan yang akan kamu ambil. Apa itu sudah sesuai dengan materi atau belum. Semuanya harus punya dasar yang jelas dari buku-buku itu,"ucap Alvin membuatku melirik sekilas judul buku di sampingnya. "Semua itu sudah saya sertakan Pak,"ucapku mengingat jelas. "Bisa kau perjelas bagian mana saja,"ucap Alvin menyerahkan kertas bab 2 milikku.

Ini yang dinamakan kerja dua kali. Dengan kekesalan yang membuncah cukup dalam, tanganku perlahan mulai membuat catatan kaki masing-masing kutipan yang ku ambil dari buku. "Pak terus bagaimana untuk yang dari jurnal?,"tanyaku tapi tak kunjung ada sahutan. "Bagus. Sekarang malah menghilang,"ucapku beranjak mencari jurnal di sisi lain perpustakaan. Baru juga melangkah, mataku menangkap bayangan yang dipantulkan pintu privat room.

Bayangan orang yang tengah melaksanakan sholat membuatku berbalik menatapnya tengah bersujud. Pria yang religius. Tapi mana ada orang religius akan sholat Subuh di jam segini? Ini sudah pukul 10 bukan pukul 6 pagi. "Maka sertakan jurnalnya. Untuk apa Anda menatap saya darisana Nona Batari Kencana,"ucap Alvin merapikan sajadahnya. Baru saja sholat sudah kambuh genitnya.

"Sudah semuanya,"ucapku menyerahkan kertas yang sudah ku beri catatan kaki. "Saya periksa dulu,"ucap Alvin duduk di sofa sementara diriku bersandar melihat beberapa buku yang tampak begitu tebal sebagai referensi tugas akhir bidang studi lain. "Jangan melamun Ken. Saya tidak pandai ruqyah,"ucap Alvin membuatku memutar bola mata sebal. Lagian yang melalui siapa pria gila.

"Baik semuanya sudah benar artinya saya tidak perlu lagi mengoreksi. Selanjutnya coba buat bab 3 nya,"ucap Alvin membuatku mengingat perbincangan semalam bersama Ayah dan Bunda menghasilkan bab 3. "Saya perlu pergi sebentar Pak,"ucapku namun membuatnya segera berdiri. "Mau kemana? Bab 3 tidak sesusah itu Ken. Saya masih bisa membimbing jadi jangan berpikir pergi,"ucap Alvin.

"Ck saya mau print bab 3 bukan mau bunuh diri,"decakku sebal seolah diriku akan mati setiap waktu. Hanya beberapa waktu saja aku akan berusaha mati. "Biar ku cek soft filenya saja dulu. Kembali ke tempatmu Ken,"ucap Alvin membuatku menghela nafas berbalik. "Penulisanmu rapikan dulu,"ucap Alvin membuatku menaikkan sebelah alisku heran.

"Jangan pakai WPS Pak. Saya sudah menulis rapi dengan Microsoft Word,"ucapku. "Sama saja Kencana. Mengapa penulisannya seperti ini?,"tanya Alvin mencoret sana sini penulisan yang salah. Seharusnya pria itu hanya perlu memberi pada bagian yang salah bukan seluruh layar. Menyusahkan saja.

-&-

"Pak sudah jam makan siang. Saya ingin bertemu dengan Nacita,"ucapku meminta izin membuatnya mendongak. "Silahkan asal kembali pukul 13.10,"ucap Alvin membuatku menghela nafas lega sembari segera keluar perpustakaan. "Ken ya Allah. Alhamdulillah kamu ngga papa. Eh kamu kata Bunda tinggal di rumah,"ucap Nacita.

"Iya Ayah sama Bunda tinggal dirumah. Itu semua karena dosen pembimbing kesayanganmu,"ucapku berdecak kesal. "Loh kamu sudah mulai bimbingan?,"tanya Nacita ku angguki. "Sungguh pria tidak waras,"ucapku membuat Nacita mengelak. "Ih ngga boleh begitu. Kak Alvin kan ganteng,"ucap Nacita membuatku tersengih. Sebuah kesalahan membicarakan orang yang tidak kita sukai pada pecinta garis kerasnya seperti Nacita.

"Kau untuk apa ke kampus?,"tanyaku heran melihat seorang Nacita ke kampus tanpa alasan. "Mau kumpul surat pengantar tugas akhir ke Bu Leni,"ucap Nacita membuatku menghentikan sejenak langkahku. "Apa kita pernah disuruh membuat itu?,"tanyaku waspada. Teriakan Bu Leni teramat menyesakkan tak semerdu Rossa untuk terus di ulang di telinga ku.

"Ada Ken. Yang minggu lalu Bu Leni bilang setiap mahasiswa harus sudah punya surat pengantar tugas akhir dan harus diserahkan maksimal hari ini,"ucap Nacita membuatku mengetuk keningku keras. Bodoh sekali, kenapa harus melupakan itu sih Ken. Apa semua hal harus kau lupakan seperti satu ini. "Kau sudah mengerjakannya kan,"ucap Nacita menyadari perubahan ekspresi ku. "Ken,"ulang Nacita perlahan ku gelengkan.

-&-

"BATARI KENCANA HADINATA,"

"APA MENURUTMU SEMUA DOSEN MAU TAU URUSANMU? KALAU KAMU MALAS MENGURUS ADMINISTRASI KULIAH LEBIH BAIK TIDAK USAH KULIAH. BISANYA BARU MAU MEMINTA FORM PENGISIAN KEMANA SAJA KAMU SELAMA INI? SIBUK PACARAN ATAU SIBUK BERLIBUR? SUDAH TAU SEMESTER AKHIR MASIH SAJA SANTAI. SAYA MINTA TERAKHIR JAM 15.00,"bentak Leni seperti dugaan.

Padahal dirinya hanya akan membuang waktu dengan membentak telinga bebal sepertiku. "Bukan lagi malas, mati jauh lebih baik daripada mendengar omelan penuh fitnah. Racun kampus saja,"ucapku mencibir lirih sembari mengisi seadanya seperti yang tertulis. "Memang kamu dibilangi apa sama Ibu Ken?,"tanya Nacita. "Sibuk pacaran atau sibuk berlibur?

Bagaimana jika ku jawab sibuk bagaimana cara mati?,"ucapku begitu saja tanpa menggunakan emosi. Aku tidak sebodoh itu yang marah padahal kita juga penyebab kemarahannya. "Sudah Ken. Kalau kamu mah bukan bercanda lagi. Tapi bener sih lagian ibu tau darimana kamu punya pacar?,"tanya Nacita membantu menempelkan materai di atasnya.

"Ken coba lihat di datamu di jurusan sudah sesuai belum,"ucap Nacita membuatku segera membuka Web kampus. Tapi tunggu. Untuk apa terdapat banyak sekali panggilan dari Alvin. Akh bodohnya. Bagaimana bisa lupa harus kembali pukul 13.10 dan sekarang sudah hampir setengah 3. Alvin sepertinya masih bisa menunggu dan tidak akan mengeluarkan teriakan gagal audisi  dari Bu Leni.

"Ini Bu,"ucapku kembali mengumpulkan. Namun ya sangat tidak sah jika tanpa menyertakan teriakan dan segala hal tak penting lainnya. "Kencana makanya jangan pacaran terus. Lagian pacarmu yang mana? Seganteng apa sampai kamu ikut terus jalan dengannya?,"tanya Leni membuatku menarik nafas perlahan. "Malaikat Izrail Bu,"ucapku jujur. Siapa lagi yang selalu ku kejar selama ini selain nya?

"ANAK KURANG AJAR. BU MAHASISWA INI WALINYA SIAPA?,"tanya Leni berkoar-koar memancing perhatian semua dosen. "Ken? Kencana tidak pernah punya masalah setau saya Bu,"ucap Nabila, dosen waliku memang benar adanya. Lagian untuk apa aku berbohong. "Sepertinya tidak di ajari tata krama dirumahnya. Saya tanya siapa pacarnya malah jawab malaikat Izrail,"ucap Leni membuatku menggigit bibir kesal.

"Mohon maaf Bu. Saya tidak punya tata krama karena orangtua saya mati,"ucapku menunduk sejenak sebelum berlalu nyatanya tak menutup teriakan Leni. "Baguslah mereka mati. Coba tidak, malu punya anak seperti mu,"ucap Leni membuatku kembali merasakan rasa yang sama seperti yang ku rasakan kemarin. Sekujur tubuhku bergetar hingga mengeluarkan keringat dingin.

Aku tidak pernah sakit hati jika diriku di hina cacat atau apapun itu. Tapi aku akan merasakan rasa sakit begitu dalam jika dihina orangtua ku, ibu ku mati karena tidak mengharapkan ku. Rasa tidak di harapkan berada di dunia sukses membuatku tak bisa mengendalikan diri dan emosi yang berkecamuk. "Kenapa diam Kencana? Daritadi terus berbicara,"ucap Leni tak peduli peringatan semua dosen yang menahannya.

"Terimakasih membuat saya sadar,"ucapku berjalan sembari menyentuh dinding karena kaki ku saja tak bisa menahan langkah yang bergetar tak tentu. "Kencana. Ken kenapa kamu keringat dingin? Ken lihat aku Ken,"ucap Nacita mengibaskan tangan di depan wajahku. "Ken kita pulang. Hey hey buang semua perkataan tidak enak itu. Buang Ken. Ingat aku ngga akan pergi darimu,"ucap Nacita mengusap punggung ku perlahan.

"Memang dia ngga bisa kasih kalimat positif Ken. Jadi abaikan aja. Oiya Kak Alvin dari tadi hubungi kamu terus tuh,"ucap Nacita membuatku mengerutkan kening sebal. "Apa selain mengganggu hidupku tidak punya kegiatan lain? Seharusnya dia bukan melamar jadi dosen. Tapi jadi pengganggu hidup saja,"decakku sebal berlalu menuju perpustakaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status