Beberapa jam sebelum kejadian malam itu.
“Eh? Gimana Bu?” tanya Lydia dengan mata membesar. Lydia baru saja mendapat telepon interkom dari atasannya yang katanya baru saja selesai rapat dengan bos besar. Dan apa yang didengarnya saat ini membuatnya syok. “Pak Reino katanya ingin ketemu kamu, Lyd. Dia pengen apresiasi kamu soal kebocoran dana tahun lalu dan anggaran produk baru kita.” Ucapan manajernya itu makin membuat mata Lydia membesar. Kenapa bisa tiba-tiba Reino yang pelit itu mau memberi apresiasi? Dan itu untuk kejadian tahun lalu pula. Ditambah dengan hal yang sudah seharusnya dia lakukan untuk produk baru beberapa bulan lalu. “Gak salah, Bu?” tanya Lydia sangat yakin kalau manajernya salah dengar. Tidak mungkin dia dapat apresiasi hanya kerena hal seperti itu. “Gak salah kok, Lyd. Mending kamu sekarang ke ruangan di lantai paling atas deh. Jarang-jarang loh pegawai biasa seperti kita bisa melihat wajah tampan bos Reino.” ‘Tampan my ass,’ teriak Lydia dalam hati. Dengan gerakan sangat malas, mau tidak mau Lydia dengan amat sangat terpaksa melangkah keluar dari ruangannya. Dia merasa amat sangat tertekan karena akan bertemu dengan mantan suami pura-puranya. Apalagi jika pria itu sedingin kutub utara. Polar Bear alias Beruang Kutub, aslinya mungkin terlihat ‘agak’ menggemaskan. Tapi sesungguhnya dia pemangsa yang mengerikan. “Dasar Polar Bear sialan. Kenapa juga sih aku masih harus ketemu dia,” geram Lydia dengan nada rendah. Dia sama sekali lupa kalau mereka berdua sekantor. Wajah cemberut Lydia segera berubah menjadi senyum profesional, ketika sampai di depan meja sekretaris Reino yang seksi itu. Dia berani jamin, Reino pasti sering memakai sekretarisnya ini. “Nah, ini dia anaknya.” Seorang wanita gempal langsung melambaikan tangan meminta Lydia mendekat, ketika melihatnya memasuki ruangan. Lydia mendekat dengan sopan dan senyum profesionalnya yang tak pernah tanggal. Dia juga tidak duduk di sofa, tapi berdiri di dekat manajernya tadi. “Namanya Lydia, Pak. Dia masih pegawai kontrak, tapi pekerjaannya sangat bagus. Cocok banget sih jadi tim audit, tapi jangan dipindah Pak ya.” Reino menatap Lydia dengan tatapan yang sama sekali tidak hangat seperti biasanya. Dan demi kesopanan Lydia hanya bisa membungkuk sedikit, kemudian tersenyum seadanya. *** Tidak ada yang menarik dari wanita muda yang berdiri di depan Reino itu. Dia adalah karyawan potensial, sekaligus mantan istri yang baru saja diceraikannya sekitar sebulan lalu. Dan Reino baru tahu kalau Lydia yang menemukan kesalahan pada anggaran keuangan tahun lalu dan yang membuat anggaran untuk launching produk baru mereka. “Terima kasih karena sudah membuat perusahaan kita tidak mengalami kerugian terlalu banyak,” seru Reino tanpa ada perubahan ekspresi. “Saya tidak bekerja sendiri, Pak. Ada teman-teman lain yang membantu,” jawab Lydia merendah. “Beritahu HRD untuk memberikan bonus untuknya,” perintah Reino pada sekretarisnya yang seksi tadi. Lydia membulatkan mata mendengar itu. Perusahaan memang memberi gaji, tunjangan dan bonus yang bagus untuk karyawannya. Tapi mendengar Reino memberi bonus tambahan? Itu terdengar sedikit aneh bagi Lydia, terutama karena selama jadi istri Reino, dia tidak pernah dinafkahi. Dia luap dengan bayaran milyaran yang diterimanya. “Terima kasih atas apresiasinya, Pak. Tapi sekali lagi, saya tidak bekerja sendirian,” jawab Lydia sopan. Reino bisa menangkap maksud Lydia, tapi dia tidak bersedia mengeluarkan uang sebanyak itu untuk divisi keuangan. Rata-rata dari mereka tidak bekerja sebaik Lydia. “Berikan mereka kartu kredit perusahaan,” pinta Reino sebelum beranjak untuk duduk kembali di kursi kebesarannya. Itu pertanda kalau diskusi tidak penting ini sudah berakhir. Dan Lydia serta para wanita yang lain segera pamit keluar. *** “Haruskah kita ke sini?” protes Lydia untuk yang kesekian kalinya sejak sore tadi. “Sudahlah, Lyd. Pasrah saja, mereka semua sedang butuh healing,” jawab manajer Lydia dengan santai. Setelah mendapat kartu sakti dari pak bos dengan kalimat ‘silakan pakai sesuka hati’ mengikuti, para manusia dari divisi keuangan langsung sibuk menentukan tempat untuk menghabiskan limit kartu itu. Dan club malam paling tersohor se-Jakarta raya lah yang jadi pemenangnya. Lydia juga tidak tahu siapa yang duluan mengusulkan tempat ini, tapi pada akhirnya di sinilah mereka saat ini. Dan demi kenyamanan bersama, mereka memesan VIP room paling besar, untuk bisa menampung 15 orang. Yang jadi masalah sekarang adalah, Lydia sangat tidak suka tempat yang terlalu ramai dan berisik. Apalagi dengan teman-teman satu ruangannya yang dari awal memang sangat ribut. “Untuk Lydia yang jadi pahlawan kita hari ini,” teriak salah seorang rekan kerja lelakinya. Dan semua orang pun mengangkat gelasnya tinggi-tinggi sambil berteriak keras. Lydia hanya bisa meringis, mendengar keributan itu. Belum lagi dengan dentuman musik keras dari luar. Yang paling parah, teman-temannya terus-terusan memaksa Lydia untuk minum alkohol. Dan setelah nyaris semua memintanya, Lydia terpaksa minum segelas wine. “Hm. Rupanya ini enak,” gumam Lydia yang baru pertama kali mencoba red wine dengan sedikit rasa ceri. Merasa kadar alkohol dalam wine yang diminumnya tidak begitu tinggi dan rasanya juga enak, Lydia dengan senang hati minum beberapa gelas lagi. Toh yang dituang ke gelasnya hanya sedikit saja dan Lydia yakin dia tidak akan mabuk. “Astaga. Kenapa toiletnya jauh sekali sih?” protes Lydia kesal saat ingin ke toilet. Padahal dia baru 5 langkah dari ruangannya. Disaat yang bersamaan, pintu ruangan VIP room di sebelah Lydia terbuka. Dan seorang lelaki yang terlihat familiar keluar dari sana. *** Reino mengutuk pelan ketika mengetahui ada yang menuang minuman beralkohol di gelasnya. Dia tidak bisa menolak karena yang ditemaninya saat ini adalah salah satu pemasok bahan baku yang diincarnya. Dari awal ketika rapat selesai dan dia ajak ke club, Reino sudah ingin menolak. Tapi ketika semua orang membujukmu, tentu susah untuk menolak. Apalagi mereka semua adalah rekan kerja yang penting. “Maaf, saya rasa saya perlu ke toilet,” Reino segera pamit ketika merasa pandangannya mulai buram, sambil mengutuki toleransi alkoholnya yang rendah. “Kamu?” gumam Reino ketika dia membuka pintu dan melihat Lydia. “Pak Reino? Ngapain di sini?” “Saya yang harusnya tanya. Kamu ngapain mabuk di tempat seperti ini?” tanya Reino dengan satu alis terangkat. “Menghabiskan limit kartu Pak Reino tentunya. Dan saya tidak mabuk,” kilah Lydia tidak sadar tentunya. Reino hanya menggeleng pelan. Dia yang merasa perlu segera pergi dari tempat ini tidak mau peduli. Tapi Lydia yang berjalan saja susah malah menabrak dirinya dan tidak sengaja menyentuh benda yang tidak seharusnya wanita itu pegang. “Astaga. Apa yang kamu sentuh?” geram Reino marah. “Hm? Memangnya apa yang kusentuh?” Lydia yang tidak sadar malah benar-benar menyentuh area terlarang Reino. Pria itu menggeram rendah dan segera mendorong Lydia menjauh. Tapi bukannya segera pergi, Reino malah terpaku pada wajah Lydia yang sebenarnya cantik itu. Wanita di depannya itu, entah bagaimana malah membuat ekspresi yang seksi. Terutama dengan bibir basah yang sedikit terbuka, membuat Reino yang tadi sudah sedikit ‘tersentil’ dan dalam pengaruh alkohol, langsung bereaksi. “Sialan. Ikut denganku.” Reino menarik tangan Lydia dengan kasar.***To Be Continued***“Ugh…” Lydia mengernyit kemudian meringis pelan menahan sakit saat bangkit dari toilet duduk, tuk kemudian berjalan ke wastafel. Setelah mencuci tangan, Lydia menatap pantulan dirinya di cermin. Dengan mata telanjang sekalipun bisa terlihat dengan jelas bintik-bintik merah di area lehernya. Tidak banyak sih, tapi ada satu hal yang paling mencolok. Di sekitaran pangkal leher Lydia, ada bekas serupa jari yang agak samar. Seolah dirinya pernah dicekik. Dan tak usah ditanya jejak jari siapa itu. Itu adalah milik Reino Andersen. "Ini benar-benar gila. Bagaimana mungkin jadi seperti ini sih? Polar Bear itu nyaris memhunuhku." Lydia yang sudah teringat kejadian semalam, jadi merinding. Itu benar-benar malam yang panas dan brutal. Lydia harus ingat untuk menutupi ini sebentar sore, sebelum ibu dan adiknya pulang ke rumah. “Mau buang hajat aja menderita banget ya Tuhan,” gumam Lydia setelah berhasil kembali berbaring di ranjangnya. Sumpah demi apapun, Lydia merasa sangat kesakitan seka
"Oh, Tuhan ini sangat melelahkan." Lydia memijat pelipisnya yang berdenyut. Gara-gara Erika, dua sahabatnya yang lain ikut merecokinya sampai malam. Mereka semua bahkan kompak berkunjung ke rumah Lydia, selepas jam pulang kantor. Andaikata Cinta yang sudah menikah tidak dicari suami, mungkin para sahabat Lydia itu akan menginap. Apalagi karena tuan rumah yang lainnya tidak keberatan sama sekali. “Good morning. Kok lesu banget,” salah seorang rekan kerja Lydia menyapa. “Good morning juga. Aku cuma masih ngantuk saja,” jawab Lydia seraya duduk di kursinya. Sesuai rencana, hari ini Lydia kembali bekerja. Dan rasa sakit yang dirasakannya juga sudah jauh berkurang. Yang tersisa hanyalah bekas kemerahan yang kini sudah mulai menghitam. Untung saja semua tanda itu masih bisa ditutupi dengan concealer yang banyak. Erika yang punya alat make up paling lengkap, memberinya concealer mahal yang masih baru, lengkap dengan sponge dan kuas make up. Lydia amat berterima kasih untuk yang satu i
“Udah mau pulang, Lyd?” Revan langsung bangkit dari kursinya, ketika Lydia berjalan menuju pintu ruangan sambil melihat ponselnya. “Yupz. Tapi aku mau cari taksi online dulu.” Lydia menunjukkan ponselnya sambil tersenyum. “Aku juga sudah mau pulang, gimana kalau sekalian kuantar pulang?” Revan terlihat buru-buru mengambil tas ranselnya. “Kebetulan aku ada bawa helm lebih hari ini.” Langkah Lydia terhenti untuk menatap rekan kerjanya sebentar. Kalau mau jujur, sebenarnya Lydia kurang nyaman dibonceng oleh lawan jenis yang belum terlalu dekat dengannya. Karena itu dia selalu memilih taksi online dibandingkan ojek. Tapi karena ini masih pertengahan bulan dan keuangannya sedang menurun, Lydia akhirnya mengiyakan. “Tapi aku gak langsung pulang ke rumah nih. Aku ada janji dulu sama teman-temanku dan sepertinya tempatnya agak jauh.” “Memangnya di mana?” Lydia menyebut nama sebuah cafe dan Revan langsung menyanggupi untuk mengantar. Katanya kebetulan dia ada urusan disekitar situ. “Ci
“Sayang? Apa sih yang kamu lihat dari tadi?” Perempuan yang bersama Reino menoleh ke arah yang dilihat lelaki berwajah dingin itu, bertepatan dengan Lydia dkk beranjak. Dia penasaran apa yang membuat fokus Reino teralihkan darinya, tapi sama sekali tidak menemukan apa yang dilihat Reino. “Sudah kubilang berapa kali? Berhenti panggil aku sayang,” geram Reino ketika wanita di depannya sudah kembali melihat dirinya. “Tapi kita kan pacaran, masa .…” “Pacaran? Kata siapa?” tanya Reino meletakkan gelas wine dengan kasar ke atas meja. “Ah,” Reino mengangguk paham maksud wanita itu. “Apa setelah kuajak tidur beberapa kali, lantas kau merasa dirimu spesial?” tanya pria berwajah masam itu pada wanita di depannya. “Bukan begitu … aku .…” “Than behave,” potong Reino dingin. “Aku masih punya banyak cadangan selain kau. Dan ini kali terakhir aku menuruti permintaan makan malam absurd ini sebelum kita check in.” Reino mengelap bibirnya dengan serbet putih, kemudian melempar kain itu ke ata
“Makasih, Bang.” Lydia tersenyum sambil mengambil plastik merah yang disodorkan abang ojek online yang dipesannya. Lydia kemudian dengan tergesa kembali masuk ke lobi kantornya. Ini sebenarnya sudah jam pulang kantor dan orang-orang mulai keluar dari gedung kantor. Dan Rasanya hanya Lydia saja yang justru berlari masuk, lebih tepatnya ke arah toilet yang ada di lantai satu. Sialnya karena terlalu terburu-buru, Lydia malah menabrak seseorang. “Aduh maaf, Pak. Saya gak perhatiin jalan.” Lydia segera menunduk untuk minta maaf pada orang yang ditabraknya. Lydia sebenarnnya tidak memperhatikan siapa yang ditabraknya, tapi dari pakaian dia tahu itu adalah lelaki. Dan Lydia tak menyangka kalau bungkusan obat dengan label aplikasi kesehatan online yang dipegangnya terjatuh ke lantai, tuk kemudian dipungut oleh pria itu. “Kamu sakit?” Suara baritone yang terdengar dalam itu menyentak Lydia. Dia segera mendonggak dan menemukan Reino memegang plastik obat miliknya. Padahal Lydia sudah ber
“KELUAR.” Reino menyeret perempuan yang menurutnya terlalu lamban dalam bergerak itu keluar dari kamar hotel yang dipesannya. Sama sekali tidak peduli jika wanita itu masih dalam keadaan setengah telanjang. “Tunggu Reino. Aku belum selesai berpakaian,” teriak wanita itu kesal setengah mati. Tapi tidak ada gunanya, Reino sudah membanting pintu hingga menutup.Lelaki putih nun jangkung yang masih dalam keadaan telanjang itu menggeram kesal di dalam kamar suite yang sudah berantakan. Bukan berantakan habis bercinta, tapi Reino menghancurkan sebagian isi kamar itu. Pecahan lampu hias tergeletak di lantai, demikian pula dengan vas bunga. Belum termasuk dengan telepon dan teko listrik yang teronggok tak berdaya di bawah televis layar datar yang sudah pecah. “Sialan. Apa sih yang perempuan itu lakukan padaku?” geram Reino yang sudah duduk di pinggir ranjang, sedang menyumpahi Lydia. Yes, thats right. Lydia Amarta mantan istri kontraknya Reino Andersen. Pria itu sedang memaki mantan ist
“Eh? Ini apaan?” gumam Lydia ketika merasakan ada sesuatu yang mengganjal di bawah keyboardnya. “Ah, tadi Pak Reino duduk di sana waktu periksa laporan. Mungkin ada paper klip yang gak sengaja tersangkut tadi,” Kiara yang mendengar gumaman Lydia segera menyahut. Mulut Lydia langsung terbuka cukup lebar mendengar kalimat Kiara. Dia baru mendengar kalau Reino duduk di tempatnya saat berkunjung tadi. Untung saja Lydia kembali setelah pria itu telah pergi. Entah kenapa, Lydia punya pikiran kalau yang ada di bawah keyboardnya bukan paper clip yang gak sengaja nyempil. Dan ketika dia mengangkat keyboardnya, ada lipatan kertas kecil berwarna kuning di sana. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Dengan gerakan pelan agar tidak terlihat orang sekitarnya, Lydia mengambil kertas-kertas itu dan membukanya. Dia tidak terkejut lagi menemukan tulisan yang nyaris serupa pada kertas-kertas itu.‘Temui aku di parkiran basement selepas pulang kantor. Awas saja kalau terlambat. Aku akan memecatmu.’
Lydia mengerjapkan matanya beberapa kali, sedang berusaha mencerna kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi entah dia sedang lemot atau apa, Lydia gagal memahami. Atau mungkin juga dia salah dengar. “Sorry, tadi Pak Reino ngomong apa?” tanya Lydia karena dia merasa amat sangat yakin dia salah dengar. Reino menggeram kesal. Padahal dia sudah memutuskan urat malunya untuk mengatakan semua itu, tapi wanita kurus ini bahkan tidak mendengar dengan baik? “Aku ingin membuat kontrak baru denganmu,” kali ini Reino 100 persen menanggalkan kesopanannya. Jika biasanya lelaki itu masih sesekali menggunakan saya kamu, maka kali ini tidak lagi. Mulai detik ini Reino akan menggunakan bahasa yang lebih santai demi kenyamanannya sendiri kedepannya. Dia percaya diri pengajuannya akan disetujui Lydia. “Dan kontrak apa yang anda maksud, Pak?” Reino kembali menggeram marah ketika Ly